81931337001: Sampai Ketemu di Kehidupan Alam Akhirat - Yaum al-Jaza (Hari Pembalasan)
Penawaran Terbatas! Paket Data 25GB Hanya Rp 90.000
Dapatkan kuota besar 25GB untuk semua nomor AS, Loop, dan simPATI hanya dengan Rp 90.000, berlaku selama 30 hari! Internet lancar tanpa khawatir kehabisan kuota, cocok untuk streaming, gaming, dan browsing sepuasnya!
Aktifkan sekarang dan nikmati kebebasan internet!
Read More Beli Paket81931337001: Sampai Ketemu di Kehidupan Alam Akhirat - Yaumal-Jaza (hari pembalasan) | Yaum al-Jaza adalah hari pembalasan seluruh amal manusia yang telah diperbuat selama hidup di dunia. Ini merupakan kelanjutan dari yaum al-mizan. Balasan dari Allah sangat tergantung pada apa yang telah dikerjakan oleh manusia selama di dunia. Bila amalnya baik, balasannya adalah kenikmatan di surga. Namun bila sebaliknya, balasannya adalah siksa neraka. Sekecil apapun amal keburukan yang telah diperbuat di dunia walaupun merasa hal itu bukan sebuah kesalahan, baik ataupun buruk, Allah Maha Mengetahui dan akan memberikan balasannya.
Suatu ketika Nabi Muhammad SAW pernah bertanya kepada para sahabatnya, Tahukah kalian, siapakah orang yang muflis (orang yang bangkrut) itu? Karena tidak tahu apa yang dimaksud oleh Nabi, para sahabat pun menjawab, Menurut kami, muflis itu adalah orang yang tidak mempunyai harta benda.”
Jawaban
itu tentu bukan yang dimaksud oleh Nabi. Seraya meluruskan jawaban mereka, Nabi
lalu menjelaskan bahwa yang muflis di
antara umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa
amal-amal shalat, puasa, dan zakat. Tetapi, ia pernah mencaci, memfitnah, menuduh zina,
merampas harta, membunuh, dan memukul orang lain. Maka pahala kebajikan orang
tersebut akan diberikan--sebagai tebusan--kepada orang-orang yang dizaliminya
itu.
Dan, apabila kebajikannya sudah
habis, sementara kesalahan-kesalahannya belum semua tertebus, dosa orang-orang
tersebut akan ditimpakan kepada orang tadi. Kemudian, ia dilemparkan ke dalam
neraka.” (HR Muslim). Itulah orang yang muflis!
Hadis dialogis tersebut sangat sarat
dengan spirit muhasabah (audit diri). Pertama, penyebab kebangkrutan amal
seseorang adalah kejahatan sosial, termasuk korupsi. Neraca kesalehan
individual seseorang ketika ditimbang dengan kejahatan sosialnya ternyata lebih
ringan sehingga seseorang menjadi ‘tekor’ dan akhirnya bangkrut.
Kedua, orang yang miskin harta belum
tentu bangkrut di akhirat, sementara orang yang kaya harta belum jaminan
beruntung di akhirat. Orang yang kaya harta boleh jadi muflis di akhirat jika
hartanya diperoleh melalui cara-cara yang tidak halal, seperti korupsi. Jadi,
koruptor itu pasti merugi, bahkan bangkrut secara moral, baik di dunia maupun
akhirat.
Ketiga, muflis itu pasti merugi di
akhirat karena neraca keburukan amalnya lebih berat daripada amal salehnya,
kendatipun ia mengaku beriman. Oleh karena itu, Alquran mengingatkan kepada
kita bahwa agar tidak merugi, kita harus mengintegrasikan iman, ilmu, dan amal
saleh, saling menasihati untuk menaati kebenaran dan menghiasi diri dengan
kesabaran (QS Alashr [103]: 1-3). Beriman dan beramal saleh saja memang belum
cukup karena seseorang terkadang dibuai oleh sifat takabur dan riya sehingga
amal kebajikannya berkarat dan berkeropos. Apalagi sampai membuat kejahatan dengan orang lain semisal menjelekkan dan menghasut individu, menjatuhkan nama baiknya, maka istighfar saja tidak cukup untuk menghapus dosa tersebut.
Orang muflis mulanya merasa banggadan takjub kepada dirinya bahwa ia telah shalat, puasa, zakat, haji, dan
lainnya, tapi dalam waktu sama ia juga melakukan dosa-dosa sosial dan moral.
Oleh karena itu, muhasabah menjadi sangat penting dilakukan kapan pun,
lebih-lebih pada akhir tahun, agar jangan sampai amal-amal saleh kita
tergerogoti oleh dosa-dosa sosial dan moral sehingga menjadi bangkrut, bahkan
tekor.
‘Umar bin al-Khattab ra pernah
berpesan: Hitunglah [amalan] dirimu, sebelum engkau dihitung [oleh Allah]”.
Yang paling tahu neraca amal baik-buruk adalah diri kita sendiri dan Allah SWT.
Dengan audit diri (muhasabah), kita dapat memosisikan diri sebagai hamba Allah
yang merasa serbatidak sempurna sehingga kita terpacu untuk istikamah
meningkatkan kualitas dan kuantitas amal ibadah kita kepada Allah.
Untuk menjauhkan diri dari
kebangkrutan dunia dan akhirat, kita harus selalu memaknai hidup dengan
berusaha menjadikan masa depan kita lebih baik. Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang akan
diperbuat untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah itu Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Hasyr [59]: 18).
Bukankah kita termasuk merugi jika neraca amal kita sama dengan hari kemarin atau
tahun kemarin. Bahkan, kita sungguh terlaknat jika hari ini, bulan ini, atau
tahun ini, amal kita justru lebih menurun dari hari, bulan, dan tahun
sebelumnya.
Sungguh Allah SWT telah memberikan
modal hidup yang sangat besar bagi kita. Kesehatan, anggota badan, dan akal
pikiran yang dianugerahkan kepada kita mustahil dapat dinilai dengan harta.
Karena itu, audit diri agar tidak muflis harus dimaknai sebagai ekspresi syukur
kepada-Nya.
Ketika Rasulullah ditanya oleh istri tercinta, Aisyah. Ya Rasul, mengapa engkau mewajibkan dirimu untuk salat malam (tahajud) dan beristigfar lebih dari 100 kali dalam sehari? Padahal, tidakkah engkau sudah dipelihara oleh Allah dari berbuat salah dan dosa (ma’shum) dan engkau pasti masuk surga? Rasul menjawab singkat: Aku melakukan semua itu karena aku ingin menjadi hamba-Nya yang pandai bersyukur?” (HR Muslim). Wallahua’lam.