Sejarah Nabi Muhammad SAW Dari Periode Pra-Islam Sampai Dengan Wafatnya Nabi
Penawaran Terbatas! Paket Data 25GB Hanya Rp 90.000
Dapatkan kuota besar 25GB untuk semua nomor AS, Loop, dan simPATI hanya dengan Rp 90.000, berlaku selama 30 hari! Internet lancar tanpa khawatir kehabisan kuota, cocok untuk streaming, gaming, dan browsing sepuasnya!
Aktifkan sekarang dan nikmati kebebasan internet!
Read More Beli PaketSejarah Nabi Muhammad SAW Dari Periode Pra-Islam Sampai Dengan Wafatnya Nabi, ditulis untuk menjawab tuduhan para orientalis Ditulis Oleh : MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
PENYELIDIKAN mengenai sejarah peradaban manusia dan dari mana pula asal-usulnya, sebenarnya masih ada hubungannya dengan zaman kita sekarang ini. Penyelidikan demikian sudah lama menetapkan, bahwa sumber peradaban itu sejak lebih dari enam ribu tahun yang lalu adalah Mesir. Zaman sebelum itu dimasukkan orang kedalam kategori pra-sejarah. Oleh karena itu sukar sekali akan sampai kepada suatu penemuan yang ilmiah. Sarjana-sarjana ahli purbakala (arkelogi) kini kembali mengadakan penggalian-penggalian di Irak dan Suria dengan maksud mempelajari soal-soal peradaban Asiria dan Funisia serta menentukan zaman permulaan daripada kedua macam peradaban itu: adakah ia mendahului peradaban Mesir masa Firaun dan sekaligus mempengaruhinya, ataukah ia menyusul masa itu dan terpengaruh karenanya?
Apapun juga yang telah diperoleh sarjana-sarjana arkelogi dalam bidang sejarah itu, samasekali tidak akan mengubah sesuatu dari kenyataan yang sebenarnya, yang dalam penggalian benda-benda kuno Tiongkok dan Timur Jauh belum memperlihatkan hasil yang berlawanan. Kenyataan ini ialah bahwa sumber peradaban pertama - baik di Mesir, Funisia atau Asiria - ada hubungannya dengan Laut Tengah; dan bahwa Mesir adalah pusat yang paling menonjol membawa peradaban pertama itu ke Yunani atau Rumawi, dan bahwa peradaban dunia sekarang, masa hidup kita sekarang ini, masih erat sekali hubungannya dengan peradaban pertama itu.
Apa yang pernah diperlihatkan oleh Timur Jauh dalam penyelidikam tentang sejarah peradaban, tidak pernah memberi pengaruh yang jelas terhadap pengembangan peradaban-peradaban Fira’un, Asiria atau Yunani, juga tidak pernah mengubah tujuan dan perkembangan peradaban-peradaban tersebut. Hal ini baru terjadi sesudah ada akulturasi dan saling-hubungan dengan peradaban Islam. Di sinilah proses saling pengaruh-mempengaruhi itu terjadi, proses asimilasi yang sudah sedemikian rupa, sehingga pengaruhnya terdapat pada peradaban dunia yang menjadi pegangan umat manusia dewasa ini.
Peradaban-peradaban itu sudah begitu berkembang dan tersebar ke pantai-pantai Laut Tengah atau di sekitarnya, di Mesir, di Asiria dan Yunani sejak ribuan tahun yang lalu, yang sampai saat ini perkembangannya tetap dikagumi dunia: perkembangan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam bidang pertanian, perdagangan, peperangan dan dalam segala bidang kegiatan manusia. Tetapi, semua peradaban itu, sumber dan pertumbuhannya, selalu berasal dari agama. Memang benar bahwa sumber itu berbeda-beda antara kepercayaan trinitas Mesir Purba yang tergambar dalam Osiris, Isis dan Horus, yang memperlihatkan kesatuan dan penjelmaan hidup kembali di negerinya serta hubungan kekalnya hidup dari bapa kepada anak, dan antara paganisma Yunani dalam melukiskan kebenaran, kebaikan dan keindahan yang bersumber dan tumbuh dari gejala-gejala alam berdasarkan pancaindera; demikian sesudah itu timbul perbedaan-perbedaan yang dengan penggambaran semacam itu dalam pelbagai zaman kemunduran itu telah mengantarkannya ke dalam kehidupan duniawi. Akan tetapi sumber semua peradaban itu tetap membentuk perjalanan sejarah dunia, yang begitu kuat pengaruhnya sampai saat kita sekarang ini, sekalipun peradaban demikian hendak mencoba melepaskan diri dan melawan sumbernya sendiri itu dari zaman ke zaman. Siapa tahu, hal yang serupa kelak akan hidup kembali.
Dalam lingkungan masyarakat ini, yang menyandarkan peradabannya sejak ribuan tahun kepada sumber agama, dalam lingkungan itulah dilahirkan para rasul yang membawa agama-agama yang kita kenal sampai saat ini. Di Mesir dilahirkan Musa, dan dalam pangkuan Firaun ia dibesarkan dan diasuh, dan di tangan para pendeta dan pemuka-pemuka agama kerajaan itu ia mengetahui keesaan Tuhan dan rahasia-rahasia alam.
Setelah datang ijin Tuhan kepadanya supaya ia membimbing umat di tengah-tengah Firaun yang berkata kepada rakyatnya: “Akulah tuhanmu yang tertinggi” iapun berhadapan dengan Firaun sendiri dan tukang-tukang sihirnya, sehingga akhirnya terpaksa ia bersama-sama orang-orang Israil yang lain pindah ke Palestina. Dan di Palestina ini pula dilahirkan Isa, Ruh dan Firman Allah yang ditiupkan ke dalam diri Mariam. Setelah Tuhan menarik kembali Isa putera Mariam, murid-muridnya kemudian menyebarkan agama Nasrani yang dianjurkan Isa itu. Mereka dan pengikut-pengikut mereka mengalami bermacam-macam penganiayaan. Kemudian setelah dengan kehendak Tuhan agama ini tersebar, datanglah Maharaja Rumawi yang menguasai dunia ketika itu, membawa panji agama Nasrani. Seluruh Kerajaan Rumawi kini telah menganut agama Isa. Tersebarlah agama ini di Mesir, di Syam (Suria-Libanon dan Palestina) dan Yunani, dan dari Mesir menyebar pula ke Ethiopia. Sesudah itu selama beberapa abad kekuasaan agama ini semakin kuat juga. Semua yang berada di bawah panji Kerajaan Rumawi dan yang ingin mengadakan persahabatan dan hubungan baik dengan Kerajaan ini, berada di bawah panji agama Masehi itu.
Berhadapan dengan agama Masehi yang tersebar di bawah panji dan pengaruh Rumawi itu berdiri pula kekuasaan agama Majusi di Persia yang mendapat dukungan moril di Timur Jauh dan di India. Selama beberapa abad itu Asiria dan Mesir yang membentang sepanjang Funisia, telah merintangi terjadinya suatu pertarungan langsung antara kepercayaan dan peradaban Barat dengan Timur. Tetapi dengan masuknya Mesir dan Funisia ke dalam lingkungan Masehi telah pula menghilangkan rintangan itu. Paham Masehi di Barat dan Majusi di Timur sekarang sudah berhadap-hadapan muka. Selama beberapa abad berturut-turut, baik Barat maupun Timur, dengan hendak menghormati agamanya masing-masing, yang sedianya berhadapan dengan rintangan alam, kini telah berhadapan dengan rintangan moril, masing-masing merasa perlu dengan sekuat tenaga berusaha mempertahankan kepercayaannya, dan satu sama lain tidak saling mempengaruhi kepercayaan atau peradabannya, sekalipun peperangan antara mereka itu berlangsung terus-menerus sampai sekian lama.
Akan tetapi, sekalipun Persia telah dapat mengalahkan Rumawi dan dapat menguasai Syam dan Mesir dan sudah sampai pula di ambang pintu Bizantium, namun tak terpikir oleh raja-raja Persia akan menyebarkan agama Majusi atau menggantikan tempat agama Nasrani. Bahkan pihak yang kini berkuasa itu malahan menghormati kepercayaan orang yang dikuasainya. Rumah-rumah ibadat mereka yang sudah hancur akibat perang dibantu pula membangun kembali dan dibiarkan mereka bebas menjalankan upacara-upacara keagamaannya. Satu-satunya yang diperbuat pihak Persia dalam hal ini hanyalah mengambil Salib Besar dan dibawanya ke negerinya. Bilamana kelak kemenangan itu berganti berada di pihak Rumawi Salib itupun diambilnya kembali dari tangan Persia. Dengan demikian peperangan rohani di Barat itu tetap di Barat dan di Timur tetap di Timur. Dengan demikian rintangan moril tadi sama pula dengan rintangan alam dan kedua kekuatan itu dari segi rohani tidak saling berbenturan.
Keadaan serupa itu berlangsung terus sampai abad keenam. Dalam pada itu pertentangan antara Rumawi dengan Bizantium makin meruncing. Pihak Rumawi, yang benderanya berkibar di benua Eropa sampai ke Gaul dan Kelt di Inggris selama beberapa generasi dan selama zaman Julius Caesar yang dibanggakan dunia dan tetap dibanggakan, kemegahannya itu berangsur-angsur telah mulai surut, sampai akhirnya Bizantium memisahkan diri dengan kekuasaan sendiri pula, sebagai ahliwaris Kerajaan Rumawi yang menguasai dunia itu. Puncak keruntuhan Kerajaan Rumawi ialah tatkala pasukan Vandal yang buas itu datang menyerbunya dan mengambil kekuasaan pemerintahan di tangannya. Peristiwa ini telah menimbulkan bekas yang dalam pada agama Masehi yang tumbuh dalam pangkuan Kerajaan Rumawi. Mereka yang sudah beriman kepada Isa itu telah mengalami pengorbanan-pengorbanan besar, berada dalam ketakutan di bawah kekuasaan Vandal itu.
Mazhab-mazhab agama Masehi ini mulai pecah-belah.Dari zaman ke zaman mazhab-mazhab itu telah terbagi-bagi ke dalam sekta-sekta dan golongan-golongan. Setiap golongan mempunyai pandangan dan dasar-dasar agama sendiri yang bertentangan dengan golongan lainnya. Pertentangan-pertentangan antara golongan-golongan satu sama lain karena perbedaan pandangan itu telah mengakibatkan adanya permusuhan pribadi yang terbawa oleh karena moral dan jiwa yang sudah lemah, sehingga cepat sekali ia berada dalam ketakutan, mudah terlibat dalam fanatisma yang buta dan dalam kebekuan. Pada masa-masa itu, di antara golongan-golongan Masehi itu ada yang mengingkari bahwa Isa mempunyai jasad disamping bayangan yang tampak pada manusia; ada pula yang mempertautkan secara rohaniah antara jasad dan ruhnya sedemikian rupa sehingga memerlukan khayal dan pikiran yang begitu rumit untuk dapat menggambarkannya; dan disamping itu ada pula yang mau menyembah Mariam, sementara yang lain menolak pendapat bahwa ia tetap perawan sesudah melahirkan Almasih.
Terjadinya pertentangan antara sesama pengikut-pengikut Isa itu adalah peristiwa yang biasa terjadi pada setiap umat dan zaman, apabila ia sedang mengalami kemunduran: soalnya hanya terbatas pada teori kata-kata dan bilangan saja, dan pada tiap kata dan tiap bilangan itu ditafsirkan pula dengan bermacam-macam arti, ditambah dengan rahasia-rahasia, ditambah dengan warna-warni khayal yang sukar diterima akal dan hanya dapat dikunyah oleh perdebatan-perdebatan sophisma yang kaku saja.
Salah seorang pendeta gereja berkata: “Seluruh penjuru kota itu diliputi oleh perdebatan. Orang dapat melihatnya dalam pasar-pasar, di tempat-tempat penjual pakaian, penukaran uang, pedagang makanan. Jika ada orang bermaksud hendak menukar sekeping emas, ia akan terlibat ke dalam suatu perdebatan tentang apa yang diciptakan dan apa yang bukan diciptakan. Kalau ada orang hendak menawar harga roti maka akan dijawabnya: Bapa lebih besar dari putera dan putera tunduk kepada Bapa. Bila ada orang yang bertanya tentang kolam mandi adakah airnya hangat, maka pelayannya akan segera menjawab:
“Putera telah diciptakan dari yang tak ada.”
Tetapi kemunduran yang telah menimpa agama Masehi sehingga ia terpecah-belah kedalam golongan-golongan dan sekta-sekta itu dari segi politik tidak begitu besar pengaruhnya terhadap Kerajaan Rumawi. Kerajaan itu tetap kuat dan kukuh. Golongan-golongan itupun tetap hidup dibawah naungannya dengan tetap adanya semacam pertentangan tapi tidak sampai orang melibatkan diri kedalam polemik teologi atau sampai memasuki pertemuan-pertemuan semacam itu yang pernah diadakan guna memecahkan sesuatu masalah. Suatu keputusan yang pernah diambil oleh suatu golongan tidak sampai mengikat golongan yang lain. Dan Kerajaanpun telah pula melindungi semua golongan itu dan memberi kebebasan kepada mereka mengadakan polemik, yang sebenarnya telah menambah kuatnya kekuasaan Kerajaan dalam bidang administrasi tanpa mengurangi penghormatannya kepada agama. Setiap golongan jadinya bergantung kepada belas kasihan penguasa, bahkan ada dugaan bahwa golongan itu menggantungkan diri kepada adanya pengakuan pihak yang berkuasa itu.
Sikap saling menyesuaikan diri di bawah naungan Imperium itu itulah pula yang menyebabkan penyebaran agama Masehi tetap berjalan dan dapat diteruskan dari Mesir dibawah Rumawi sampai ke Ethiopia yang merdeka tapi masih dalam lingkungan persahabatan dengan Rumawi. Dengan demikian ia mempunyai kedudukan yang sama kuat di sepanjang Laut Merah seperti di sekitar Laut Tengah itu. Dari wilayah Syam ia menyeberang ke Palestina. Penduduk Palestina dan penduduk Arab Ghassan yang pindah ke sana telah pula menganut agama itu, sampai ke pantai Furat, penduduk Hira, Lakhmid dan Mundhir yang berpindah dari pedalaman sahara yang tandus ke daerah-daerah subur juga demikian, yang selanjutnya mereka tinggal di daerah itu beberapa lama untuk kemudian hidup di bawah kekuasaan Persia Majusi.
Dalam pada itu kehidupan Majusi di Persia telah pula mengalami kemunduran seperti agama Masehi dalam Imperium Rumawi. Kalau dalam agama Majusi menyembah api itu merupakan gejala yang paling menonjol, maka yang berkenaan dengan dewa kebaikan dan kejahatan pengikut-pengikutnya telah berpecah-belah juga menjadi golongan-golongan dan sekta-sekta pula. Tapi disini bukan tempatnya menguraikan semua itu. Sungguhpun begitu kekuasaan politik Persia tetap kuat juga. Polemik keagamaan tentang lukisan dewa serta adanya pemikiran bebas yang tergambar dibalik lukisan itu, tidaklah mempengaruhinya. Golongan-golongan agama yang berbedabeda itu semua berlindung di bawah raja Persia. Dan yang lebih memperkuat pertentangan itu ialah karena memang sengaja digunakan sebagai suatu cara supaya satu dengan yang lain saling berpukulan, atas dasar kekuatiran, bila salah satunya menjadi kuat, maka Raja atau salah satu golongan itu akan memikul akibatnya.
Kedua kekuatan yang
sekarang sedang berhadap-hadapan itu ialah: kekuatan Kristen dan kekuatan
Majusi, kekuatan Barat berhadapan dengan kekuatan Timur. Bersamaan dengan itu
kekuasaan-kekuasaan kecil yang berada dibawah pengaruh kedua kekuatan itu, pada
awal abad keenam berada di sekitar jazirah Arab. Kedua kekuatan itu
masing-masing mempunyai hasrat ekspansi dan penjajahan. Pemuka-pemuka kedua
agama itu masing-masing berusaha sekuat tenaga akan menyebarkan agamanya ke atas
kepercayaan agama lain yang sudah dianutnya. Sungguhpun demikian jazirah itu
tetap seperti sebuah oasis yang kekar tak sampai terjamah oleh peperangan,
kecuali pada beberapa tempat di bagian pinggir saja, juga tak sampai terjamah
oleh penyebaran agama-agama Masehi atau Majusi, kecuali sebagian kecil saja pada
beberapa kabilah. Gejala demikian ini dalam sejarah kadang tampak aneh kalau
tidak kita lihat letak dan iklim jazirah itu serta pengaruh keduanya terhadap
kehidupan penduduknya, dalam aneka macam perbedaan dan persamaan serta
kecenderungan hidup mereka masing-masing.
Jazirah Arab bentuknya
memanjang dan tidak parallelogram. Ke sebelah utara Palestina dan padang Syam,
ke sebelah timur Hira, Dijla (Tigris), Furat (Euphrates) dan Teluk Persia, ke
sebelah selatan Samudera Indonesia dan Teluk Aden, sedang ke sebelah barat Laut
Merah. Jadi, dari sebelah barat dan selatan daerah ini dilingkungi lautan, dari
utara padang sahara dan dari timur padang sahara dan Teluk Persia. Akan tetapi
bukan rintangan itu saja yang telah melindunginya dari serangan dan penyerbuan
penjajahan dan penyebaran agama, melainkan juga karena jaraknya yang
berjauh-jauhan. Panjang semenanjung itu melebihi seribu kilometer, demikian juga
luasnya sampai seribu kilometer pula. Dan yang lebih-lebih lagi melindunginya
ialah tandusnya daerah ini yang luar biasa hingga semua penjajah merasa enggan
melihatnya. Dalam daerah yang seluas itu sebuah sungaipun tak ada. Musim hujan
yang akan dapat dijadikan pegangan dalam mengatur sesuatu usaha juga tidak
menentu. Kecuali daerah Yaman yang terletak di sebelah selatan yang sangat subur
tanahnya dan cukup banyak hujan turun, wilayah Arab lainnya terdiri dari
gunung-gunung, dataran tinggi, lembah-lembah tandus serta alam yang gersang. Tak
mudah orang akan dapat tinggal menetap atau akan memperoleh kemajuan. Samasekali
hidup di daerah itu tidak menarik selain hidup mengembara terus-menerus dengan
mempergunakan unta sebagai kapalnya di tengah-tengah lautan padang pasir itu,
sambil mencari padang hijau untuk makanan ternaknya, beristirahat sebentar
sambil menunggu ternak itu menghabiskan makanannya, sesudah itu berangkat lagi
mencari padang hijau baru di tempat lain. Tempat-tempat beternak yang dicari
oleh orang-orang badwi jazirah biasanya di sekitar mata air yang menyumber dari
bekas air hujan, air hujan yang turun dari celah-celah batu di daerah itu. Dari
situlah tumbuhnya padang hijau yang terserak di sana-sini dalam wahah-wahah yang
berada di sekitar mata air.
Sudah wajar sekali dalam wilayah demikian
itu, yang seperti Sahara Afrika Raya yang luas, tak ada orang yang dapat hidup
menetap, dan cara hidup manusia yang biasapun tidak pula dikenal. Juga sudah
biasa bila orang yang tinggal di daerah itu tidak lebih maksudnya hanya sekadar
menjelajahinya dan menyelamatkan diri saja, kecuali di tempat-tempat yang tak
seberapa, yang masih ditumbuhi rumput dan tempat beternak. Juga sudah sewajarnya
pula tempat-tempat itu tetap tak dikenal karena sedikitnya orang yang mau
mengembara dan mau menjelajahi daerah itu. Praktis orang zaman dahulu tidak
mengenal jazirah Arab, selain Yaman. Hanya saja letaknya itu telah dapat
menyelamatkan dari pengasingan dan penghuninyapun dapat bertahan
diri.
Pada masa itu orang belum merasa begitu aman mengarungi lautan guna
mengangkut barang dagangan atau mengadakan pelayaran. Dari peribahasa Arab yang
dapat kita lihat sekarang menunjukkan, bahwa ketakutan orang menghadapi laut
sama seperti dalam menghadapi maut. Tetapi, bagaimanapun juga untuk mengangkut
barang dagangan itu harus ada jalan lain selain mengarungi bahaya maut itu. Yang
paling penting transpor perdagangan masa itu ialah antara Timur dan Barat:
antara Rumawi dan sekitarnya, serta India dan sekitarnya. Jazirah Arab masa itu
merupakan daerah lalu-lintas perdagangan yang diseberanginya melalui Mesir atau
melalui Teluk Persia, lewat terusan yang terletak di mulut Teluk Persia itu.
Sudah tentu wajar sekali bilamana penduduk pedalaman jazirah Arab itu menjadi
raja sahara, sama halnya seperti pelaut-pelaut pada masa-masa berikutnya yang
daerahnya lebih banyak dikuasai air daripada daratan, menjadi raja laut. Dan
sudah wajar pula bilamana raja-raja padang pasir itu mengenal seluk-beluk jalan
para kafilah sampai ke tempat-tempat yang berbahaya, sama halnya seperti para
pelaut, mereka sudah mengenal garis-garis perjalanan kapal sampai
sejauh-jauhnya. “Jalan kafilah itu bukan dibiarkan begitu saja,” kataHeeren,
“tetapi sudah menjadi tempat yang tetap mereka lalui. Di daerah padang pasir
yang luas itu, yang biasa dilalui oleh para kafilah, alam telah memberikan
tempat-tempat tertentu kepada mereka, terpencar-pencar di daerah tandus, yang
kelak menjadi tempat mereka beristirahat. Di tempat itu, di bawah naungan
pohon-pohon kurma dan di tepi air tawar yang mengalir di sekitarnya, seorang
pedagang dengan binatang bebannya dapat menghilangkan haus dahaga sesudah
perjalanan yang melelahkan itu. Tempat-tempat peristirahatan itu juga telah
menjadi gudang perdagangan mereka, dan yang sebagian lagi dipakai sebagai tempat
penyembahan, tempat ia meminta perlindungan atas barang dagangannya atau meminta
pertolongan dari tempat itu.”1
Lingkungan jazirah
itu penuh dengan jalan kafilah. Yang penting di antaranya ada dua. Yang sebuah
berbatasan dengan Teluk Persia, Sungai Dijla, bertemu dengan padang Syam dan
Palestina. Pantas jugalah kalau batas daerah-daerah sebelah timur yang
berdekatan itu diberi nama Jalan Timur. Sedang yang sebuah lagi berbatasan
dengan Laut Merah; dan karena itu diberi nama Jalan Barat. Melalui dua jalan
inilah produksi barang-barang di Barat diangkut ke Timur dan barang-barang di
Timur diangkut ke Barat. Dengan demikian daerah pedalaman itu mendapatkan
kemakmurannya.
Akan tetapi itu tidak menambah pengetahuan pihak Barat
tentang negeri-negeri yang telah dilalui perdagangan mereka itu. Karena sukarnya
menempuh daerah-daerah itu, baik pihak Barat maupun pihak Timur sedikit sekali
yang mau mengarunginya - kecuali bagi mereka yang sudah biasa sejak masa
mudanya. Sedang mereka yang berani secara untung-untungan mempertaruhkan nyawa
banyak yang hilang secara sia-sia di tengah-tengah padang tandus itu. Bagi orang
yang sudah biasa hidup mewah di kota, tidak akan tahan menempuh gunung-gunung
tandus yang memisahkan Tihama dari pantai Laut Merah dengan suatu daerah yang
sempit itu. Kalaupun pada waktu itu ada juga orang yang sampai ke tempat
tersebut - yang hanya mengenal unta sebagai kendaraan - ia akan mendaki
celah-celah pegunungan yang akhirnya akan menyeberang sampai ke dataran tinggi
Najd yang penuh dengan padang pasir. Orang yang sudah biasa hidup dalam sistem
politik yang teratur dan dapat menjamin segala kepuasannya akan terasa berat
sekali hidup dalam suasana pedalaman yang tidak mengenal tata-tertib kenegaraan.
Setiap kabilah, atau setiap keluarga, bahkan setiap pribadipun tidak mempunyai
suatu sistiem hubungan dengan pihak lain selain ikatan keluarga atau kabilah
atau ikatan sumpah setia kawan atau sistem jiwar (perlindungan bertetangga) yang
biasa diminta oleh pihak yang lemah kepada yang lebih kuat. Pada setiap zaman
tata-hidup bangsa-bangsa pedalaman itu memang berbeda dengan kehidupan di
kota-kota. Ia sudah puas dengan cara hidup saling mengadakan pembalasan, melawan
permusuhan dengan permusuhan, menindas yang lemah yang tidak mempunyai
pelindung. Keadaan semacam ini tidak menarik perhatian orang untuk membuat
penyelidikan yang lebih dalam.
Oleh karena itu daerah Semenanjung ini
tetap tidak dikenal dunia pada waktu itu. Dan barulah kemudian - sesudah
Muhammad s.a.w. lahir di tempat tersebut - orang mulai mengenal sejarahnya dari
berita-berita yang dibawa orang dari tempat itu, dan daerah yang tadinya
samasekali tertutup itu sekarang sudah mulai dikenal dunia.
Tak ada yang
dikenal dunia tentang negeri-negeri Arab itu selain Yaman dan
tetangga-tetangganya yang berbatasan dengan Teluk Persia. Hal ini bukan karena
hanya disebabkan oleh adanya perbatasan Teluk Persia dan Samudera Indonesia
saja, tetapi lebih-lebih disebabkan oleh - tidak seperti jazirah-jazirah lain -
gurun sahara yang tandus. Dunia tidak tertarik, negara yang akan bersahabatpun
tidak merasa akan mendapat keuntungan dan pihak penjajah juga tidak punya
kepentingan. Sebaliknya, daerah Yaman tanahnya subur, hujan turun secara teratur
pada setiap musim. Ia menjadi negeri peradaban yang kuat, dengan kota-kota yang
makmur dan tempat-tempat beribadat yang kuat sepanjang masa. Penduduk jazirah
ini terdiri dari suku bangsa Himyar, suatu suku bangsa yang cerdas dan
berpengetahuan luas. Air hujan yang menyirami bumi ini mengalir habis menyusuri
tanah terjal sampai ke laut. Mereka membuat Bendungan Ma’rib yang dapat
menampung arus air hujan sesuai dengan syarat-syarat peradaban yang
berlaku.
Sebelum di bangunnya bendungan ini , air hujan yang deras
terjun dari pegunungan Yaman yang tinggi-tinggi itu, menyusur turun ke
lembah-lembah yang terletak di sebelah timur kota Ma’rib. Mula-mula air turun
melalui celah-celah dua buah gunung yang terletak di kanan-kiri lembah ini,
memisahkan satu sama lain seluas kira-kira 400 meter. Apabila sudah sampai di
Ma’rib air itu menyebar ke dalam lembah demikian rupa sehingga hilang terserap
seperti di bendungan-bendungan Hulu Sungai Nil. Berkat pengetahuan dan
kecerdasan yang ada pada penduduk Yaman itu, mereka membangun sebuah bendungan,
yaitu Bendungan Ma’rib. Bendungan ini dibangun daripada batu di ujung lembah
yang sempit, lalu dibuatnya celah-celah guna memungkinkan adanya distribusi air
ke tempat-tempat yang mereka kehendaki dan dengan demikian tanah mereka
bertambah subur. Peninggalan-peninggalan peradaban Himyar di Yaman yang pernah
diselidiki - dan sampai sekarang penyelidikan itu masih diteruskan -menunjukkan,
bahwa peradaban mereka pada suatu saat memang telah mencapai tingkat yang tinggi
sekali, juga sejarahpun menunjukkan bahwa Yaman pernah pula mengalami
bencana.
Sungguhpun begitu peradaban yang dihasilkan dari kesuburan
negerinya serta penduduknya yang menetap menimbulkan gangguan juga dalam
lingkungan jazirah itu. Raja-raja Yaman kadang dari keluarga Himyar yang sudah
turun-temurun, kadang juga dari kalangan rakyat Himyar sampai pada waktu Dhu
Nuwas al-Himyari berkuasa. Dhu Nuwas sendiri condong sekali kepada agama Musa
(Yudaisma), dan tidak menyukai penyembahan berhala yang telah menimpa bangsanya.
Ia belajar agama ini dari orang-orang Yahudi yang pindah dan menetap di Yaman.
Dhu Nuwas inilah yang disebut-sebut oleh ahli-ahli sejarah, yang termasuk dalam
kisah “orang-orang yang membuat parit,” dan menyebabkan turunnya ayat:
“Binasalah orang-orang yang telah membuat parit. Api yang penuh bahan bakar.
Ketika mereka duduk di tempat itu. Dan apa yang dilakukan orang-orang beriman
itu mereka menyaksikan. Mereka menyiksa orang-orang itu hanya karena mereka
beriman kepada Allah Yang Maha Mulia dan Terpuji.” (Qur’an 85:4-8)
Cerita ini ringkasnya ialah
bahwa ada seorang pengikut Nabi Isa yang saleh bernama Phemion telah pindah dari
Kerajaan Rumawi ke Najran. Karena orang ini baik sekali, penduduk kota itu
banyak yang mengikuti jejaknya, sehingga jumlah mereka makin lama makin
bertambah juga. Setelah berita itu sampai kepada Dhu Nuwas, ia pergi ke Najran
dan dimintanya kepada penduduk supaya mereka masuk agama Yahudi, kalau tidak
akan dibunuh. Karena mereka menolak, maka digalilah sebuah parit dan dipasang
api di dalamnya. Mereka dimasukkan ke dalam parit itu dan yang tidak mati karena
api, dibunuhnya kemudian dengan pedang atau dibikin cacat. Menurut beberapa buku
sejarah korban pembunuhan itu mencapai duapuluh ribu orang. Salah seorang di
antaranya dapat lolos dari maut dan dari tangan Dhu Nuwas, ia lari ke Rumawi dan
meminta bantuan Kaisar Yustinianus atas perbuatan Dhu Nuwas itu. Oleh karena
letak Kerajaan Rumawi ini jauh dari Yaman, Kaisar itu menulis surat kepada
Najasyi (Negus) supaya mengadakan pembalasan terhadap raja Yaman. Pada waktu itu
[abad ke-6] Abisinia yang dipimpin oleh Najasyi sedang berada dalam puncak
kemegahannya. Perdagangan yang luas melalui laut disertai oleh armada yang
kuat2 dapat menancapkan
pengaruhnya sampai sejauh-jauhnya. Pada waktu itu ia menjadi sekutu Imperium
Rumawi Timur dan yang memegang panji Kristen di Laut Merah, sedang Kerajaan
Rumawi Timur sendiri menguasainya di bagian Laut Tengah.
Catatan kaki:
1 Dikutip oleh Sir Muir dalam The Life of Mohammad,
p.xc.
2 Cerita demikian terdapat dalam beberapa buku
sejarah.
Encylopedia Britannica juga menyebutnya, dan dikutip oleh
penulis-penulis buku Historian’s History of the World dan juga dijadikan
pegangan oleh Emile Derminghem dalam la Vie de Mahomet. Akan tetapi At-Tabari
menceritakan melalui Hisyam ibn Muhammad bahwa setelah orang Yaman itu pergi
meminta bantuan Najasyi atas perbuatan Dhu Nuwas serta menjelaskan apa yang
telah dilakukannya terhadap orang-orang Kristen oleh pembela agama Yahudi itu
dan memperlihatkan sebuah Injil yang sudah sebagian dimakan api, Najasyi
berkata: “Tenaga manusia di sini banyak, tapi aku tidak punya kapal. Sekarang
aku menulis surat kepada Kaisar supaya mengirimkan kapal dan dengan itu akan
kukirimkan pasukanku.” Lalu ia menulis surat kepada Kaisar dengan melampirkan
Injil yang sudah terbakar. Dan menambahkan:
“Hisyam ibn Muhammad menduga,
bahwa setelah kapal-kapal itu sampai ke tempat Najasyi, pasukannyapun dinaikkan
dan berangkat ke pantai Mandab.” Lihat Tarikh’t-Tabari cetakan Al-Husainia, vol.
2, p. 106 dan 108.
Setelah surat
Kaisar sampai ke tangan Najasyi, ia mengirimkan bersama orang Yaman itu - yang
membawa surat - sepasukan tentara di bawah pimpinan Aryat (Harith) dan Abraha
al-Asyram salah seorang prajuritnya. Aryat menyerbu Kerajaan Yaman atas nama
penguasa Abisinia. Ia memerintah Yaman ini sampai ia dibunuh oleh Abraha yang
kemudian menggantikan kedudukannya. Abraha inilah yang memimpin pasukan gajah,
dan dia yang kemudian menyerbu Mekah guna menghancurkan Ka’bah tetapi gagal,
seperti yang akan terlihat nanti dalam pasal berikut.
Anak-anak Abraha
kemudian menguasai Yaman dengan tindakan sewenang-wenang. Melihat bencana yang
begitu lama menimpa penduduk, Saif bin Dhi Yazan pergi hendak menemui Maharaja
Rumawi. Ia mengadukan hal itu kepadanya dan memintanya supaya mengirimkan
penguasa lain dan Rumawi ke Yaman. Tetapi karena adanya perjanjian persekutuan
antara Kaisar Yustinianus dengan Najasyi tidak mungkin ia dapat memenuhi
permintaan Saif bin Dhi Yazan itu. Oleh karena itu Saif meninggalkan Kaisar dan
pergi menemui Nu’man bin’l-Mundhir selaku Gubernur yang diangkat oleh Kisra
untuk daerah Hira dan sekitarnya di Irak.3
Nu’man dan Saif bin Dhi Yazan bersama-sama datang menghadap
Kisra Parvez. Waktu itu ia sedang duduk dalam Ruangan Resepsi (Iwan Kisra) yang
megah dihiasi oleh lukisan-lukisan bimasakti pada bagian tahta itu. Di tempat
musim dinginnya bagian ini dikelilingi dengan tabir-tabir dari bulu binatang
yang mewah sekali. Di tengah-tengah itu bergantungan lampu-lampu kendil terbuat
daripada perak dan emas dan diisi penuh dengan air tawar. Di atas tahta itulah
terletak mahkotanya yang besar berhiaskan batu delima, kristal dan mutiara
bertali emas dan perak, tergantung dengan rantai dari emas pula. Ia sendiri
memakai pakaian serba emas. Setiap orang yang memasuki tempat itu akan merasa
terpesona oleh kemegahannya. Demikian juga halnya dengan Saif bin Dhi
Yazan.
Kisra menanyakan maksud kedatangannya itu dan Saifpun bercerita
tentang kekejaman Abisinia di Yaman. Sungguhpun pada mulanya Kisra Parvez
ragu-ragu, tetapi kemudian ia mengirimkan juga pasukannya di bawah pimpinan
Wahraz (Syahrvaraz?), salah seorang keluarga ningrat Persia yang paling berani.
Persia telah mendapat kemenangan dan orang-orang Abisinia dapat diusir dari
Yaman yang sudah didudukinya selama 72 tahun itu.
Sejak itulah Yaman
berada di bawah kekuasaan Persia, dan ketika Islam lahir seluruh daerah Arab itu
berada dalam naungan agama baru ini. Akan tetapi orang-orang asing yang telah
menguasai Yaman itu tidak langsung di bawah kekuasaan Raja Persia. Terutama hal
itu terjadi setelah Syirawih (Shiruya Kavadh II) membunuh ayahnya, Kisra Parvez,
dan dia sendiri menduduki takhta. Ia membayangkan - dengan pikirannya yang picik
itu bahwa dunia dapat dikendalikan sekehendaknya dan bahwa kerajaannya membantu
memenuhI kehendaknya yang sudah hanyut dalam hidup kesenangan itu.
Masalah-masalah kerajaan banyak sekali yang tidak mendapat perhatian karena dia
sudah mengikuti nafsunya sendiri. Ia pergi memburu dalam suatu kemewahan yang
belum pernah terjadi Ia berangkat diiringi oleh pemuda-pemuda ningrat berpakaian
merah, kuning dan lembayung, dikelilingi oleh pengiring-pengiring yang membawa
burung elang dan harimau yang sudah dijinakkan dan ditutup moncongnya; oleh
budak-budak yang membawa wangi-wangian, oleh pengusir-pengusir lalat dan
pemain-pemain musik. Supaya merasa dirinya dalam suasana musim semi sekalipun
sebenarnya dalam musim dingin yang berat, ia beserta rombongannya duduk di atas
permadani yang lebar dilukis dengan lorong-lorong, ladang dan kebun yang
ditanami bunga-bungaan aneka warna, dan dilatarbelakangi oleh semak-semak, hutan
hijau serta sungai-sungai berwarna perak.
Tetapi sungguhpun Syirawih
begitu jauh mengikuti kesenangannya, kerajaan Persia tetap dapat mempertahankan
kemegahannya, dan tetap merupakan lawan yang kuat terhadap kekuasaan Bizantium
dan penyebaran Kristen. Sekalipun dengan naik tahtanya Syirawih ini telah
mengurangi kejayaan kerajaannya, ia telah memberi kesempatan kepada kaum
Muslimin memasuki negerinya dan menyebarkan Islam.
Yaman yang telah
dijadikan gelanggang pertentangan sejak abad ke-4 itu sebenarnya telah
meninggalkan bekas yang dalam sekali dalam sejarah Semenanjung Arab dari segi
pembagian penduduknya. Disebutkan bahwa Bendungan Ma’rib yang oleh suku-bangsa
Himyar telah dimanfaatkan untuk keuntungan negerinya, telah hancur pula dilanda
banjir besar. Disebabkan oleh adanya pertentangan yang terus-menerus itu,
lalailah mereka yang harus selalu mengawasi dan memeliharanya. Bendungan itu
lapuk dan tidak tahan lagi menahan banjir. Dikatakan juga, bahwa setelah Rumawi
melihat Yaman menjadi pusat pertentangan antara kerajaannya dengan Persia dan
bahwa perdagangannya terancam karena pertentangan itu, iapun menyiapkan
armadanya menyeberangi Laut Merah - antara Mesir dengan negeri-negeri Timur yang
jauh - guna menarik perdagangan yang dibutuhkan oleh negerinya. Dengan demikian
tidak perlu lagi ia menempuh jalan kafilah.
Mengenai peristiwanya,
ahli-ahli sejarah sependapat, tetapi mengenai sebab terjadinya peristiwa itu
mereka berlainan pendapat. Peristiwanya ialah mengenai pindahnya kabilah Azd di
Yaman ke Utara. Semua mereka sependapat tentang kepindahan ini, sekalipun
sebagian menghubungkannya dengan sepinya beberapa kota di Yaman karena mundurnya
perdagangan yang biasa melalui tempat itu. Yang lain menghubung-hubungkan kepada
rusaknya bendungan Ma’rib, sehingga banyak di antara kabilah-kabilah yang pindah
karena takut binasa. Tetapi apapun juga kejadiannya, namun adanya imigrasi ini
telah menyebabkan Yaman jadi berhubungan dengan negeri-negeri Arab lainnya,
suatu hubungan keturunan dan percampuran yang sampai sekarang masih dicoba oleh
para sarjana menyelidikinya.
Apabila sistem politik di Yaman sudah
menjadi kacau seperti yang dapat kita saksikan, yang disebabkan oleh keadaan
yang menimpa negeri itu serta dijadikannya tempat itu medan pertarungan, maka
struktur politik serupa itu tidak dikenal pada beberapa negeri Semenanjung Arab
lainnya waktu itu. Segala macam sistem yang dapat dianggap sebagai suatu sistem
politik seperti pengertian kita sekarang atau seperti pengertian negara-negara
yang sudah maju pada masa itu, di daerah-daerah seperti Tihama, Hijaz, Najd dan
sepanjang dataran luas yang meliputi negeri-negeri Arab, pengertian demikian itu
belum dikenal. Anak negeri pada masa itu bahkan sampai sekarang adalah penduduk
pedalaman yang tidak biasa di kota-kota. Mereka tidak betah tinggal menetap di
suatu tempat. Yang mereka kenal hanyalah hidup mengembara selalu,
berpindah-pindah mencari padang rumput dan menuruti keinginan hatinya. Mereka
tidak mengenal hidup cara lain selain pengembaraan itu.
Seperti juga
ditempat-tempat lain, disinipun dasar hidup pengembaraan itu ialah kabilah.
Kabilah-kabilah yang selalu pindah dan mengembara itu tidak mengenal suatu
peraturan atau tata-cara seperti yang kita kenal. Mereka hanya mengenal
kebebasan pribadi, kebebasan keluarga dan kebebasan kabilah yang penuh. Sedang
orang kota, atas nama tata-tertib mau mengalah dan membuang sebagian kemerdekaan
mereka untuk kepentingan masyarakat dan penguasa, sebagai imbalan atas
ketenangan dan kemewahan hidup mereka. Sedang seorang pengembara tidak pedulikan
kemewahan, tidak betah dengan ketenangan hidup menetap, juga tidak tertarik
kepada apapun - seperti kekayaan yang menjadi harapan orang kota - selain
kebebasannya yang mutlak. Ia hanya mau hidup dalam persamaan yang penuh dengan
anggota-anggota kabilahnya atau kabilah-kabilah lain sesamanya. Dasar
kehidupannya ialah seperti makhluk-makhluk lain, mau survive, mau bertahan terus
sehingga sesuai dengan kaidah-kaidah kehormatannya yang sudah ditanamkan dalam
hidup mengembara yang serba bebas itu.
Oleh karena itu, kaum pengembara
tidak menyukai tindakan ketidak adilan yang ditimpakan kepada mereka. Mereka mau
melawannya mati-matian, dan kalau tidak dapat melawan, ditinggalkannya tempat
tinggal mereka itu, dan mereka mengembara lagi ke seluruh jazirah, bila memang
terpaksa harus demikian.
Juga itu pula sebabnya, perang adalah jalan
yang paling mudah bagi kabilah-kabilah ini bila harus juga timbul perselisihan
yang tidak mudah diselesaikan dengan cara yang terhormat. Karena bawaan itu
juga, maka tumbuhlah di kalangan sebagian besar kabilah-kabilah itu sifat-sifat
harga diri, keberanian, suka tolong-menolong, melindungi tetangga serta sikap
memaafkan sedapat mungkin dan semacamnya. Sifat-sifat ini akan makin kuat
apabila semakin dekat ia kepada kehidupan pedalaman, dan akan makin hilang
apabila semakin dekat ia kepada kehidupan kota.
Seperti kita sebutkan,
karena faktor-faktor ekonomi juga, baik Rumawi maupun Persia, hanya merasa
tertarik kepada Yaman saja dari antara jazirah lainnya yang memang tidak mau
tunduk itu. Mereka lebih suka meninggalkan tanah air daripada tunduk kepada
perintah. Baik pribadi-pribadi atau kabilah-kabilah tidak akan taat kepada
peraturan apapun yang berlaku atau kepada lembaga apapun yang
berkuasa.
Sifat-sifat pengembaraan itu cukup mempengaruhi daerah yang
kecil-kecil yang tumbuh di sekitar jaziarah karena adanya perdagangan para
kafilah, seperti yang sudah kita terangkan. Daerah-daerah ini dipakai oleh para
pedagang sebagai tempat beristirahat sesudah perjalanan yang begitu meletihkan.
Di situ mereka bertemu dengan tempat-tempat pemujaan sang dewa guna memperoleh
keselamatan bagi mereka serta menjauhkan marabahaya gurun sahara serta
mengharapkan perdagangan mereka selamat sampai di tempat
tujuan.
Kota-kota seperti Mekah, Ta’if, Yathrib dan yang sejenis itu
seperti wahah-wahah (oase) yang terserak di celah-celah gunung atau gurun pasir,
terpengaruh juga oleh sifat-sifat pengembaraan demikian itu. Dalam susunan
kabilah serta cabang-cabangnya, perangai hidup, adat-istiadat serta kebenciannya
terhadap segala yang membatasi kebebasannya lebih dekat kepada cara hidup
pedalaman daripada kepada cara-cara di kota, sekalipun mereka dipaksa oleh
sesuatu cara hidup yang menetap, yang tentunya tidak sama dengan cara-hidup
pedalaman. Dalam pembicaraan tentang Mekah dan Yathrib pada pasal berikut ini
akan terlihat agak lebih terperinci.
Lingkungan masyarakat dalam alam
demikian ini serta keadaan moral, politik dan sosial yang ada pada mereka,
mempunyai pengaruh yang sama terhadap cara beragamanya. Melihat hubungannya
dengan agama Kristen Rumawi dan Majusi Persia, adakah Yaman dapat terpengaruh
oleh kedua agama itu dan sekaligus mempengaruhi kedua agama tersebut di jazirah
Arab lainnya? Ini juga yang terlintas dalam pikiran kita, terutama mengenai
agama Kristen. Misi Kristen yang ada pada masa itu sama giatnya seperti yang
sekarang dalam mempropagandakan agama. Pengaruh pengertian agama dalam jiwa
serta cara hidup kaum pengembara tidak sama dengan orang kota. Dalam kehidupan
kaum pengembara manusia berhubungan dengan alam, ia merasakan adanya wujud yang
tak terbatas dalam segala bentuknya. Ia merasa perlu mengatur suatu cara hidup
antara dirinya dengan alam dengan ketak-terbatasannya itu. Sedang bagi orang
kota ketak-terbatasan itu sudah tertutup oleh kesibukannya hari-hari, oleh
adanya perlindungan masyarakat terhadap dirinya sebagai imbalan atas
kebebasannya yang diberikan sebagian kepada masyarakat, serta kesediaannya
tunduk kepada undang-undang penguasa supaya memperoleh jaminan dan hak
perlindungan. Hal ini menyebabkannya tidak merasa perlu berhubungan dengan yang
di luar penguasa itu, dengan kekuatan alam yang begitu dahsyat terhadap
kehidupan manusia. Hubungan jiwa dengan unsur-unsur alam yang di sekitarnya jadi
berkurang.
Dalam keadaan serupa ini, apakah yang telah diperoleh Kristen
dengan kegiatannya yang begitu besar sejak abad-abad permulaan dalam menyebarkan
ajaran agamanya itu? Barangkali soalnya hanya akan sampai di situ saja kalau
tidak karena adanya soal-soal lain yang menyebabkan negeri-negeri Arab itu,
termasuk Yaman, tetap bertahan pada paganisma agama nenek-moyangnya, dan hanya
beberapa kabilah saja yang mau menerima agama Kristen.
Manifestasi
peradaban dunia yang paling jelas pada masa itu - seperti yang sudah kita
saksikan - berpusat di sekitar Laut Tengah dan Laut Merah. Agama-agama Kristen
dan Yahudi bertetangga begitu dekat sekitar tempat itu. Kalau keduanya tidak
memperlihatkan permusuhan yang berarti, juga tidak memperlihatkan persahabatan
yang berarti pula. Orang-orang Yahudi masa itu dan sampai sekarang juga masih
menyebut-nyebut adanya pembangkangan dan perlawanan Nabi Isa kepada agama
mereka. Dengan diam-diam mereka bekerja mau membendung arus agama Kristen yang
telah mengusir mereka dari Palestina, dan yang masih berlindung dibawah panji
Imperium Rumawi yang membentang luas itu.
Catatan kaki:
3 Beberapa keterangan dalam buku-buku sejarah
berbeda-beda tentang sebab penyerbuan Abisinia (Habasya) ini ke Yaman.
Keterangan itu mengatakan, bahwa hubungan dagang antara Arab Musta’riba di Hijaz
dengan Yaman dan Abisinia terus berlangsung. Pada waktu itu pantai-pantai
Habasya membentang sepanjang Laut Merah lengkap dengan armada perdagangannya.
Karena kekayaan dan kesuburannya, Kerajaan Rumawi ingin sekali menguasai Yaman.
Aelius Galius penguasa (prefek) Kaisar Rumawi di Mesir mengadakan persiapan.
akan menyerbu Yaman. Pasukannya dikerahkan menyeberangi Laut Merah ke Yaman dan
juga menyerang Najran. Tetapi karena adanya penyakit yang menyerang mereka.
Orang-orang Yaman mudah sekali mengusir mereka itu dan merekapun kembali ke
Mesir. Sesudah itupun Rumawõ berturut-turut menyerang jazirah Arab di Yaman dan
di luar Yaman, tapi kenyataannya tidak lebih menguntungkan dan yang pernah
dilakukan oleh Galius. Saat itu Najasyi di Abisinia merasa perlu mengadakan
pembalasan terhadap Yaman yang telah memaksakan agama Yahudi terhadap orangorang
Rumawi yang beragama Kristen. Pasukan Aryat dikerahkan menyerbu Yaman dan
berkuasa di tempat itu sampai pada waktu Persia datang mengusir mereka.
Orang-orang Yahudi di negeri-negeri Arab merupakan kaum imigran yang besar,
kebanyakan mereka tinggal di Yaman dan Yathrib. Di samping itu kemudian agama
Majusi (Mazdaisma) Persia tegak menghadapi arus kekuatan Kristen supaya tidak
sampai menyeberangi Furat (Euphrates) ke Persia, dan kekuatan moril demikian itu
didukung oleh keadaan paganisma di mana saja ia berada. Jatuhnya Rumawi dan
hilangnya kekuasaan yang di tangannya, ialah sesudah pindahnya pusat peradaban
dunia itu ke Bizantium.
Gejala-gejala kemunduran berikutnya ialah
bertambah banyaknya sekta-sekta Kristen yang sampai menimbulkan pertentangan dan
peperangan antara sesama mereka. Ini membawa akibat merosotnya martabat iman
yang tinggi ke dalam kancah perdebatan tentang bentuk dan ucapan, tentang sampai
di mana kesucian Mariam: adakah ia yang lebih utama dari anaknya Isa Almasih
atau anak yang lebih utama dari ibu - suatu perdebatan yang terjadi di
mana-mana, suatu pertanda yang akan membawa akibat hancurnya apa yang sudah
biasa berlaku.
Ini tentu disebabkan oleh karena isi dibuang dan kulit
yang diambil, dan terus menimbun kulit itu di atas isi sehingga akhirnya
mustahil sekali orang akan dapat melihat isi atau akan menembusi timbunan kulit
itu.
Apa yang telah menjadi pokok perdebatan kaum Nasrani Syam, lain
lagi dengan yang menjadi perdebatan kaum Nasrani di Hira dan Abisinia. Dan
orang-orang Yahudipun, melihat hubungannya dengan orang-orang Nasrani, tidak
akan berusaha mengurangi atau menenteramkan perdebatan semacam itu. Oleh karena
itu sudah wajar pula orang-orang Arab yang berhubungan dengan kaum Nasrani Syam
dan Yaman dalam perjalanan mereka pada musim dingin atau musim panas atau dengan
orang-orang Nasrani yang datang dari Abisinia, tetap tidak akan sudi memihak
salah satu di antara golongan-golongan itu. Mereka sudah puas dengan kehidupan
agama berhala yang ada pada mereka sejak mereka dilahirkan, mengikuti cara hidup
nenek-moyang mereka.
Oleh karena itu, kehidupan menyembah berhala itu
tetap subur di kalangan mereka, sehingga pengaruh demikian inipun sampai kepada
tetangga-tetangga mereka yang beragama Kristen di Najran dan agama Yahudi di
Yathrib, yang pada mulanya memberikan kelonggaran kepada mereka, kemudian turut
menerimanya. Hubungan mereka dengan orang-orang Arab yang menyembah berhala
untuk mendekatkan diri kepada Tuhan itu baik-baik saja.
Yang menyebabkan
orang-orang Arab itu tetap bertahan pada paganismanya bukan saja karena ada
pertentangan di antara golongan-golongan Kristen. Kepercayaan paganisma itu
masih tetap hidup di kalangan bangsa-bangsa yang sudah menerima ajaran Kristen.
Paganisma Mesir dan Yunani masih tetap berpengaruh ditengah-tengah pelbagai
mazhab yang beraneka macam dan di antara pelbagai sekta-sekta Kristen sendiri.
Aliran Alexandria dan filsafat Alexandria masih tetap berpengaruh, meskipun
sudah banyak berkurang dibandingkan dengan masa Ptolemies dan masa permulaan
agama Masehi. Bagaimanapun juga pengaruh itu tetap merasuk ke dalam hati mereka.
Logikanya yang tampak cemerlang sekalipun pada dasarnya masih bersifat sofistik
- dapat juga menarik kepercayaan paganisma yang polytheistik, yang dengan
kecintaannya itu dapat didekatkan kepada kekuasaan manusia.
Saya kira
inilah yang lebih kuat mengikat jiwa yang masih lemah itu pada paganisma, dalam
setiap zaman, sampai saat kita sekarang ini. Jiwa yang lemah itu tidak sanggup
mencapai tingkat yang lebih tinggi, jiwa yang akan menghubungkannya pada semesta
alam sehingga ia dapat memahami adanya kesatuan yang menjelma dalam segala yang
lebih tinggi, yang sublim dari semua yang ada dalam wujud ini, menjelma dalam
Wujud Tuhan Yang Maha Esa. Kepercayaan demikian itu hanya sampai pada suatu
manifestasi alam saja seperti matahari, bulan atau api misalnya. Lalu tak
berdaya lagi mencapai segala yang lebih tinggi, yang akan memperlihatkan adanya
manifestasi alam dalam kesatuannya itu.
Bagi jiwa yang lemah ini cukup
hanya dengan berhala saja. Ia akan membawa gambaran yang masih kabur dan rendah
tentang pengertian wujud dan kesatuannya. Dalam hubungannya dengan berhala itu
lalu dilengkapi lagi dengan segala gambaran kudus, yang sampai sekarang masih
dapat kita saksikan di seluruh dunia, sekalipun dunia yang mendakwakan dirinya
modern dalam ilmu pengetahuan dan sudah maju pula dalam peradaban. Misalnya
mereka yang pernah berziarah ke gereja Santa Petrus di Roma, mereka melihat kaki
patung Santa Petrus yang didirikan di tempat itu sudah bergurat-gurat karena
diciumi oleh penganut-penganutnya, sehingga setiap waktu terpaksa gereja
memperbaiki kembali mana-mana yang rusak.
Melihat semua itu kita dapat
memaklumi. Mereka belum nmendapat petunjuk Tuhan kepada iman yang sebenarnya
Mereka melihat pertentangan-pertentangan kaum Kristen yang menjadi tetangga
mereka serta cara-cara hidup paganisma yang masih ada pada mereka, di
tengah-tengah mereka sendiri yang masih menyembah berhala itu sebagai warisan
dari nenek-moyang mereka. Betapa kita tak akan memaafkan mereka. Situasi
demikian ini sudah begitu berakar di seluruh dunia, tak putus-putusnya sampai
saat ini, dan saya kira memang tidak akan pernah berakhir. Kaum Muslimin dewasa
inipun membiarkan paganisma itu dalam agama mereka, agama yang datang hendak
menghapus paganisma, yang datang hendak menghilangkan segala penyembahan kepada
siapa saja selain kepada Allah Yang Maha Esa.
Cara-cara penyembahan
berhala orang-orang Arab dahulu itu banyak sekali macamnya. Bagi kita yang
mengadakan penyelidikan dewasa ini sukar sekali akan dapat mengetahui
seluk-beluknya. Nabi sendiri telah menghancurkan berhala-berhala itu dan
menganjurkan para sahabat menghancurkannya di mana saja adanya. Kaum Muslimin
sudah tidak lagi bicara tentang itu sesudah semua yang berhubungan dengan
pengaruh itu dalam sejarah dan lektur dihilangkan. Tetapi apa yang disebutkan
dalam Quran dan yang dibawa oleh ahli-ahli sejarah dalam abad kedua Hijrah -
sesudah kaum Muslimin tidak lagi akan tergoda karenanya - menunjukkan, bahwa
sebelum Islam paganisma dalam bentuknya yang pelbagai macam, mempunyai tempat
yang tinggi.
Di samping itu menunjukkan pula bahwa kekudusan
berhala-berhala itu bertingkat-tingkat adanya. Setiap kabilah atau suku
mempunyai patung sendiri sebagai pusat penyembahan. Sesembahan-sesembahan zaman
jahiliah inipun berbeda-beda pula antara sebutan shanam (patung), wathan
(berhala) dan nushub. Shanam ialah dalam bentuk manusia dibuat dari logam atau
kayu, Wathan demikian juga dibuat dari batu, sedang nushub adalah batu karang
tanpa suatu bentuk tertentu. Beberapa kabilah melakukan cara-cara ibadahnya
sendiri-sendiri. Mereka beranggapan batu karang itu berasal dari langit meskipun
agaknya itu adalah batu kawah atau yang serupa itu. Di antara berhala-berhala
yang baik buatannya agaknya yang berasal dari Yaman. Hal ini tidak mengherankan.
Kemajuan peradaban mereka tidak dikenal di Hijaz, Najd atau di Kinda. Sayang
sekali, buku-buku tentang berhala ini tidak melukiskan secara terperinci
bentuk-bentuk berhala itu, kecuali tentang Hubal yang dibuat dari batu akik
dalam bentuk manusia, dan bahwa lengannya pernah rusak dan oleh orang-orang
Quraisy diganti dengan lengan dari emas. Hubal ini ialah dewa orang Arab yang
paling besar dan diletakkan dalam Ka’bah di Mekah. Orang-orang dari semua
penjuru jazirah datang berziarah ke tempat itu.
Tidak cukup dengan
berhala-berhala besar itu saja buat orang-orang Arab guna menyampaikan
sembahyang dan memberikan kurban-kurban, tetapi kebanyakan mereka itu mempunyai
pula patung-patung dan berhala-berhala dalam rumah masing-masing. Mereka
mengelilingi patungnya itu ketika akan keluar atau sesudah kembali pulang, dan
dibawanya pula dalam perjalanan bila patung itu mengijinkan ia bepergian. Semua
patung itu, baik yang ada dalam Ka’bah atau yang ada disekelilingnya, begitu
juga yang ada di semua penjuru negeri Arab atau kabilah-kabilah dianggap sebagai
perantara antara penganutnya dengan dewa besar. Mereka beranggapan
penyembahannya kepada dewa-dewa itu sebagai pendekatan kepada Tuhan dan
menyembah kepada Tuhan sudah mereka lupakan karena telah menyembah
berhala-berhala itu.
[
Meskipun Yaman mempunyai peradaban yang paling
tinggi di antara seluruh jazirah Arab, yang disebabkan oleh kesuburan negerinya
serta pengaturan pengairannya yang baik, namun ia tidak menjadi pusat perhatian
negeri-negeri sahara yang terbentang luas itu, juga tidak menjadi pusat
keagamaan mereka. Tetapi yang menjadi pusat adalah Mekah dengan Ka’bah sebagai
rumah Ismail. Ke tempat itu orang berkunjung dan ke tempat itu pula orang
melepaskan pandang. Bulan-bulan suci sangat dipelihara melebihi tempat
lain.
Oleh karena itu, dan sebagai markas perdagangan jazirah Arab yang
istimewa, Mekah dianggap sebagai ibukota seluruh jazirah. Kemudian takdirpun
menghendaki pula ia menjadi tanah kelahiran Nabi Muhammad, dan dengan demikian
ia menjadi sasaran pandangan dunia sepanjang zaman. Ka’bah tetap disucikan dan
suku Quraisy masih menempati kedudukan yang tinggi, sekalipun mereka semua tetap
sebagai orang-orang Badwi yang kasar sejak berabad-abad lamanya.
DI
TENGAH-TENGAH jalan kafilah yang berhadapan dengan Laut Merah - antara Yaman dan
Palestina - membentang bukit-bukit barisan sejauh kira-kira delapanpuluh
kilometer dari pantai. Bukit-bukit ini mengelilingi sebuah lembah yang tidak
begitu luas, yang hampir-hampir terkepung samasekali oleh bukit-bukit itu kalau
tidak dibuka oleh tiga buah jalan: pertama jalan menuju ke Yaman, yang kedua
jalan dekat Laut Merah di pelabuhan Jedah, yang ketiga jalan yang menuju ke
Palestina.
Dalam lembah yang terkepung oleh bukit-bukit itulah terletak
Mekah. Untuk mengetahui sejarah dibangunnya kota ini sungguh sukar sekali.
Mungkin sekali ia bertolak ke masa ribuan tahun yang lalu. Yang pasti, lembah
itu digunakan sebagai tempat perhentian kafilah sambil beristirahat, karena di
tempat itu terdapat sumber mata air. Dengan demikian rornbongan kafilah itu
membentangkan kemah-kemah mereka, baik yang datang dari jurusan Yaman menuju
Palestina atau yang datang dari Palestina menuju Yaman. Mungkin sekali Ismail
anak Ibrahim itu orang pertama yang menjadikannya sebagai tempat tinggal, yang
sebelum itu hanya dijadikan tempat kafilah lalu saja dan tempat perdagangan
secara tukar-menukar antara yang datang dari arah selatan jazirah dengan yang
bertolak dari arah utara.
Kalau Ismail adalah orang pertama yang
menjadikan Mekah sebagai tempat tinggal, maka sejarah tempat ini sebelum itu
gelap sekali. Mungkin dapat juga dikatakan, bahwa daerah ini dipakai tempat
ibadat juga sebelum Ismail datang dan menetap di tempat itu. Kisah kedatangannya
ketempat itupun memaksa kita membawa kisah Ibrahim a.s. secara
ringkas.
Ibrahim dilahirkan di Irak (Chaldea) dari ayah seorang tukang
kayu pembuat patung. Patung-patung itu kemudian dijual kepada masyarakatnya
sendiri, lalu disembah. Sesudah ia remaja betapa ia melihat patung-patung yang
dibuat oleh ayahnya itu kemudian disembah oleh masyarakat dan betapa pula mereka
memberikan rasa hormat dan kudus kepada sekeping kayu yang pernah dikerjakan
ayahnya itu. Rasa syak mulai timbul dalam hatinya. Kepada ayahnya ia pernah
bertanya, bagaimana hasil kerajinan tangannya itu sampai disembah
orang?
Kemudian Ibrahim menceritakan hal itu kepada orang lain.
Ayahnyapun sangat memperhatikan tingkah-laku anaknya itu; karena ia kuatir hal
ini akan rnenghancurkan perdagangannya. Ibrahim sendiri orang yang percaya
kepada akal pikirannya. Ia ingin membuktikan kebenaran pendapatnya itu dengan
alasan-alasan yang dapat diterima. Ia mengambil kesempatan ketika orang sedang
lengah. Ia pergi menghampiri sang dewa, dan berhala itu dihancurkan, kecuali
berhala yang paling besar. Setelah diketahui orang, mereka berkata
kepadanya:
“Engkaukah yang melakukan itu
terhadap dewa-dewa kami, hai Ibrahim?” Dia menjawab: “Tidak. Itu dilakukan oleh
yang paling besar diantara mereka. Tanyakanlah kepada mereka, kalau memang
mereka bisa bicara.” (Qur’an, 21: 62-63)
Ibrahim
melakukan itu sesudah ia memikirkan betapa sesatnya mereka menyembah berhala,
sebaliknya siapa yang seharusnya mereka sembah.
“Bila malam sudah gelap,
dilihatnya sebuah bintang. Ia berkata: Inilah Tuhanku. Tetapi bilamana bintang
itu kemudian terbenam, iapun berkata: ‘Aku tidak menyukai segala yang terbenam.’
Dan setelah dilihatnya bulan terbit, iapun berkata: ‘Inilah Tuhanku.’ Tetapi
bilamana bulan itu kemudian terbenam, iapun berkata: ‘Kalau Tuhan tidak memberi
petunjuk kepadaku, pastilah aku akan jadi sesat.’ Dan setelah dilihatnya
matahari terbit, iapun berkata: ‘Ini Tuhanku. Ini yang lebih besar.’ Tetapi
bilamana matahari itu juga kemudian terbenam, iapun berkata: ‘Oh kaumku. Aku
lepas tangan terhadap apa yang kamu persekutukan itu. Aku mengarahkan wajahku
hanya kepada yang telah menciptakan semesta langit dan bumi ini. Aku tidak
termasuk mereka yang mempersekutukan Tuhan.” (Qur’an 6:
76-79)
Ibrahim tidak
berhasil mengajak masyarakatnya itu. Malah sebagai balasan ia dicampakkan ke
dalam api. Tetapi Tuhan masih menyelamatkannya. Ia lari ke Palestina bersama
isterinya Sarah. Dari Palestina mereka meneruskan perjalanan ke Mesir. Pada
waktu itu Mesir di bawah kekuasaan raja-raja Amalekit (Hyksos).
Sarah
adalah seorang wanita cantik. Pada waktu itu raja-raja Hyksos biasa mengambil
wanita-wanita bersuami yang cantik-cantik. Ibrahim memperlihatkan, seolah Sarah
adalah saudaranya. Ia takut dibunuh dan Sarah akan diperisterikan raja. Dan raja
memang bermaksud akan memperisterikannya. Tetapi dalam tidurnya ia bermimpi
bahwa Sarah bersuami. Kemudian dikembalikan kepada Ibrahim sambil dimarahi. Ia
diberi beberapa hadiah di antaranya seorang gadis belian bernama Hajar- Olelm
karena Sarah sesudah bertahun-tahun dengan Ibrahim belum juga beroleh keturunan,
maka oleh Sarah disuruhnya ia bergaul dengan Hajar, yang tidak lama kemudian
telah beroleh anak, yaitu Ismail. Sesudah Ismail besar kemudian Sarahpun beroleh
keturunan, yaitu Ishaq.
Beberapa ahli berselisih pendapat tentang
penyembelihan Ismail serta kurban yang telah dipersembahkan oleh Ibrahim. Adakah
sebelum kelahiran Ishaq atau sesudahnya? Adakah itu terjadi di Palestina atau di
Hijaz? Ahli-ahli sejarah Yahudi berpendapat, bahwa yang disembelih itu adalah
Ishaq, bukan Ismail. Disini kita bukan akan menguji adanya perselisihan pendapat
itu. Dalam Qishash’l-Anbia’ Syaikh Abd’l Wahhab an-Najjar berpendapat, bahwa
yang disembelih itu adalah Ismail. Argumentasi ini diambilnya dari Taurat
sendiri bahwa yang disembelih itu dilukiskan sebagai anak Ibrahim satu-satunya.
Pada waktu itu Ismail adalah anak satu-satunya sebelum Ishaq dilahirkan. Setelah
Sarah melahirkan, maka anak Ibrahim tidak lagi tunggal, melainkan sudah ada
Ismail dan Ishaq. Dengan mengambil cerita itu seharusnya kisah penyembelihan dan
penebusan itu terjadi di Palestina. Hal ini memang bisa terjadi demikian kalau
yang dimaksudkan itu terjadi terhadap diri Ishaq. Selama itu Ishaq dengan ibunya
hanya tinggal di Palestina, tidak pernah pergi ke Hijaz. Akan tetapi cerita yang
mengatakan bahwa penyembelihan dan penebusan itu terjadi diatas bukit Mina, maka
ini tentu berlaku terhadap diri Ismail. Oleh karena di dalam Qur’an tidak
disebutkan nama person korban itu, maka ahli-ahli sejarah kaum Muslimin
berlain-lainan pendapat.
Tentang pengorbanan dan penebusan itu kisahnya
ialah bahwa Ibrahim bermimpi, bahwasanya Tuhan memerintahkan kepadanya supaya
anaknya itu dipersembahkan sebagai kurban dengan menyembelihnya. Pada suatu pagi
berangkatlah ia dengan anaknya. “Bila ia sudah mencapai usia cukup untuk
berusaha, ia (Ibrahim) berkata: ‘O anakku, dalam tidur aku bermimpi, bahwa aku
menyembelihmu. Lihatlah, bagaimanakah pendapatmu?’ Ia menjawab: ‘Wahai ayahku.
Lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Jika dikehendaki Tuhan, akan
kaudapati aku dalam kesabaran.’ Setelah keduanya menyerahkan diri dan
dibaringkannya ke sebelah keningnya, ia Kami panggil: ‘Hai Ibrahim. Engkau telah
melaksanakan mimpi itu.’ Dengan begitu, Kami memberikan balasan kepada mereka
yang berbuat kebaikan. Ini adalah suatu ujian yang nyata. Dan kami menebusnya
dengan sebuah kurban besar.” (Qur’an, 37:
103-107)
Beberapa cerita melukiskan kisah ini dalam bentuk
puisi yang indah sekali, sehingga disini perlu kita kemukakan, sekalipun tidak
membawa kisah tentang Mekah. Kisahnya, setelah Ibrahim bermimpi dalam tidurnya
bahwa ia harus menyembelih anaknya dan memastikan bahwa itu adalah perintah
Tuhan, ia berkata kepada anaknya itu: ‘Anakku, bawalah tali dan parang itu, mari
kita pergi ke bukit mencari kayu untuk keluarga kita.’ Anak itupun menurut
perintah ayahnya. Ketika itu datang setan dalam bentuk seorang laki-laki,
mendatangi ibu anak itu seraya berkata: ‘Tahukah engkau ke mana Ibrahim membawa
anakmu?’ ‘Ia pergi mencari kayu dari lereng bukit itu,’ jawab ibunya. ‘Tidak,’
kata setan lagi, ‘ia pergi akan menyembelihnya.’ Ibu itu menjawab lagi: ‘Tidak.
Ia lebih sayang kepada anaknya.’ ‘Ia mendakwakan bahwa Tuhan yang memerintahkan
itu.’
‘Kalau itu memang perintah Tuhan biarkan dia menaati perintahNya,’
jawab ibu itu. Setan itu lalu pergi dengan perasaan kecewa. Ia segera menyusul
anak yang sedang mengikuti ayahnya itu. Kepada anak itupun ia berkata seperti
terhadap ibunya tadi. Tapi jawabannyapun sama dengan jawaban ibunya juga.
Kemudian setan mendatangi Ibrahim dan mengatakan, bahwa mimpinya itu hanya
tipu-muslihat setan supaya ia menyembelih anaknya dan akhirnya akan menyesal.
Tetapi oleh Ibrahim ia ditinggalkan dan dilaknatnya. Dengan rasa jengkel Iblis
itu mundur teratur, karena maksudnya tidak berhasil, baik dari Ibrahim, dari
isterinya atau dari anaknya.
Kemudian itu Ibrahim menyatakan kepada
anaknya tentang mimpinya itu dan minta pendapatnya. ‘Ayah, lakukanlah apa yang
diperintahkan.’ Lalu katanya lagi dalam ballada itu: ‘Ayah, kalau ayah akan
menyembelihku, kuatkanlah ikatan itu supaya darahku nanti tidak kena ayah dan
akan mengurangi pahalaku. Aku tidak menjamin bahwa aku takkan gelisah bila
dilaksanakan. Tajamkanlah parang itu supaya dapat sekaligus memotongku. Bila
ayah sudah merebahkan aku untuk disembelih, telungkupkan aku dan jangan
dimiringkan. Aku kuatir bila ayah kelak melihat wajahku ayah akan jadi lemah,
sehingga akan menghalangi maksud ayah melaksanakan perintah Tuhan itu. Kalau
ayah berpendapat akan membawa bajuku ini kepada ibu kalau-kalau menjadi hiburan
baginya, lakukanlah, ayah.’
‘Anakku,’ kata Ibrahim, ‘ini adalah bantuan
besar dalam melaksanakan perintah Allah.’
Kemudian ia siap melaksanakan.
Diikatnya kuat-kuat tangan anak itu lalu dibaringkan keningnya untuk disembelih.
Tetapi kemudian ia dipanggil: ‘Hai Ibrahim! Engkau telah melaksanakan mimpi
itu.’ Anak itu kemudian ditebusnya dengan seekor domba besar yang terdapat tidak
jauh dari tempat itu. Lalu disembelihnya dan dibakarnya.
Demikianlah
kisah penyembelihan dan penebusan itu. Ini adalah kisah penyerahan secara
keseluruhan kepada kehendak Allah.
Ishaq telah menjadi besar disamping
Ismail. Kasih-sayang ayah sama terhadap keduanya. Akan tetapi Sarah menjadi
gusar melihat anaknya itu dipersamakan dengan anak Hajar dayangnya itu. Ia
bersumpah tidak akan tinggal bersama-sama dengan Hajar dan anaknya tatkala
dilihatnya Ismail memukul adiknya itu. Ibrahim merasa bahwa hidupnya takkan
bahagia kalau kedua wanita itu tinggal dalam satu tempat. Oleh karena itu
pergilah ia dengan Hajar dan anak itu menuju ke arah selatan. Mereka sampai ke
suatu lembah, letak Mekah yang sekarang. Seperti kita sebutkan di atas, lembah
ini adalah tempat para kafilah membentangkan kemahnya pada waktu mereka
berpapasan dengan kafilah dari Syam ke Yaman, atau dari Yaman ke Syam. Tetapi
pada waktu itu adalah saat yang paling sepi sepanjang tahun. Ismail dan ibunya
oleh Ibrahim ditinggalkan dan ditinggalkannya pula segala keperluannya. Hajar
membuat sebuah gubuk tempat ia berteduh dengan anaknya. Dan Ibrahimpun kembali
ke tempat semula.
Sesudah kehabisan air dan perbekalan, Hajar melihat ke
kanan kiri. Ia tidak melihat sesuatu. Ia terus berlari dan turun ke lembah
mencari air. Dalam berlari-lari itu - menurut cerita orang - antara Shafa dan
Marwa, sampai lengkap tujuh kali, ia kembali kepada anaknya dengan membawa
perasaan putus asa. Tetapi ketika itu dilihatnya anaknya sedang mengorek-ngorek
tanah dengan kaki, yang kemudian dari dalam tanah itu keluar air. Dia dan Ismail
dapat melepaskan dahaga. Disumbatnya mata air itu supaya jangan mengalir terus
dan menyerap ke dalam pasir. Anak yang bersama ibunya itu membantu orang-orang
Arab yang sedang dalam perjalanan, dan merekapun mendapat imbalan yang akan
cukup menjamin hidup mereka sampai pada musim kafilah yang akan
datang.
Mata air yang memancar dari sumur Zamzam itu menarik hati
beberapa kabilah akan tinggal di dekat tempat itu. Beberapa keterangan
mengatakan, bahwa kabilah Jurhum adalah yang pertama sekali tinggal di tempat
itu, sebelum datang Hajar dan anaknya. Sementara yang lain berpendapat, bahwa
mereka tinggal di tempat itu setelah adanya sumber sumur Zamzam, sehingga
memungkinkan mereka hidup di lembah gersang itu.
Ismail sudah semakin
besar, dan kemudian ia kawin dengan gadis kabilah Jurhum. Ia dengan isterinya
tinggal bersama-sama keluarga Jurhum yang lain. Di tempat itu rumah suci sudah
dibangun, yang kemudian berdiri pula Mekah sekitar tempat itu.
Juga
disebutkan bahwa pada suatu hari Ibrahim minta ijin kepada Sarah akan
mengunjungi Ismail dan ibunya. Permintaan ini disetujui dan ia pergi. Setelah ia
mencari dan menemui rumah Ismail ia bertanya kepada isterinya: “Mana
suamimu?”
“Ia sedang berburu untuk hidup kami,” jawabnya.
Kemudian
ditanya lagi, dapatkah ia menjamu makanan atau minuman, dijawab bahwa dia tidak
mempunyai apa-apa untuk dihidangkan.
Ibrahim pergi, setelah mengatakan:
“Kalau suamimu datang sampaikan salamku dan katakan kepadanya: “Ganti ambang
pintumu.”
Setelah pesan ayahnya itu kemudian disampaikan kepada Ismail,
ia segera menceraikan isterinya, dan kemudian kawin lagi dengan wanita Jurhum
lainnya, puteri Mudzadz bin ‘Amr. Wanita ini telah menyambut Ibrahim dengan baik
setelah beberapa waktu kemudian ia pernah datang. “Sekarang ambang pintu rumahmu
sudah kuat,” (kata Ibrahim).
Dari perkawinan ini Ismail mempunyai
duabelas orang anak, dan mereka inilah yang menjadi cikal-bakal Arab
al-Musta’-riba, yakni orang-orang Arab yang bertemu dari pihak ibu pada Jurhum
dengan Arab al-‘Ariba keturunan Ya’rub ibn Qahtan. Sedang ayah mereka, Ismail
anak Ibrahim, dari pihak ibunya erat sekali bertalian dengan Mesir, dan dari
pihak bapa dengan Irak (Mesopotamia) dan Palestina, atau kemana saja Ibrahim
menginjakkan kaki.
Cerita ini diambil
dari sejarah yang hampir merupakan konsensus dalam garis besarnya tentang
kepergian Ibrahim dan Ismail ke Mekah, meskipun terdapat perbedaan dalam detail.
Dan yang memajukan kritik atas peristiwa secara mendetail itu berpendapat, bahwa
Hajar dan Ismail telah pergi ke lembah yang sekarang terletak Mekah itu dan
bahwa di tempat itu terdapat mata air yang ditempati oleh kabilah Jurhum. Hajar
disambut dengan senang hati oleh mereka ketika ia datang bersama Ibrahim dan
anaknya ke tempat itu. Sesudah Ismail besar ia kawin dengan wanita Jurhum dan
mempunyai beberapa orang anak. Dari percampuran perkawinan antara Ismail dengan
unsur-unsur Ibrani-Mesir di satu pihak dan unsur Arab di pihak lain, menyebabkan
keturunannya itu membawa sifat-sifat Arab, Ibrani dan Mesir. Mengenai sumber
yang mengatakan tentang Hajar yang kebingungan setelah melihat air yang habis
menyerap serta tentang usahanya berlari tujuh kali dari Shafa dan Marwa dan
tentang sumur Zamzam dan bagaimana air menyembur, oleh mereka masih
diragukan.
Sebaliknya William Muir menyangsikan kepergian Ibrahim dan
Ismail itu ke Hijaz dan ia menolak dasar cerita itu. Dikatakannya, bahwa itu
adalah Israiliat (Yudaica) yang dibuat-buat orang Yahudi beberapa generasi
sebelum Islam, guna mengikat hubungan dengan orang Arab yang sama-sama sebapa
dengan lbrahim, kalau Ishaq itu yang menjadi nenek-moyang orang Yahudi. Jadi
apabila saudaranya, Ismail itu moyang orang Arab, maka mereka adalah saudara
sepupu yang akan menjadi kewajiban orang Arab pula menerima baik emigran
orang-orang Yahudi ke tengah-tengah mereka, dan akan memudahkan perdagangan
orang Yahudi di seluruh jazirah Arab. Pengarang Inggris ini mendasarkan
pendapatnya pada cara-cara peribadatan di negeri-negeri Arab yang tak ada
hubungannya dengan agama Ibrahim, sebab mereka sudah benar-benar hanyut dalam
paganisma, sedang agama Ibrahim agama murni.
Kita tidak melihat bahwa
argumentasi demikian itu sudah cukup kuat untuk menghilangkan kenyataan sejarah.
Jauh beberapa abad sesudah meninggalnya Ibrahim dan Ismail paganisma Arab tidak
menunjukkan bahwa mereka memang sudah demikian tatkala Ibrahim datang ke Hijaz
dan tatkala ia dan Ismail bersama-sama membangun Ka’bah. Andaikata waktu itu
paganisma sudah ada, tentu itu akan memperkuat pendapat Sir William Muir.
Masyarakat Ibrahim sendiri waktu itu menyembah berhala dan ia berusaha mengajak
mereka ke jalan yang benar, tapi tidak berhasil. Apabila ia mengajak masyarakat
Arab seperti mengajak masyarakatnya sendiri, lalu tidak berhasil, dan
orang-orang Arab itu tetap menyembah berhala, tentu hal itu tidak sesuai dengan
kepergian Ibrahim dan Ismail ke Mekah. Keterangan sejarah itu secara logika
bahkan lebih kuat. Ibrahim yang telah keluar dari Irak karena mau menghindar
dari keluarganya, ia pergi ke Palestina dan Mesir, adalah orang yang mudah
bepergian dan biasa mengarungi sahara. Sedang jalan antara Palestina dan Mekah
sejak dahulu kala sudah merupakan lalu-lintas terbuka bagi para kafilah. Dengan
demikian tidak pula pada tempatnya orang meragukan kenyataan sejarah yang dalam
garis besamya sudah menjadi konsensus itu.
Sir William Muir dan mereka
yang menunjang pendapatnya itu mengatakan tentang kemungkinan adanya segolongan
anak-anak Ibrahim dan Ismail sesudah itu yang pindah dari Palestina ke
negeri-negeri Arab serta adanya pertalian mereka dalam arti hubungan darah. Kita
tidak mengerti, kalau kemungkinan mengenai anak-anak Ibrahim dan Ismail ini bagi
mereka dapat diterima, sedang kemungkinan mengenai kedua orang itu sendiri
tidak! Bagaimana akan dikatakan belum dapat dipastikan padahal peristiwa sejarah
sudah memperkuatnya. Bagaimana pula takkan terjadi padahal sumbernya sudah tak
dapat diragukan lagi dan sudah disebutkan dalam Quran dan dibicarakan juga dalam
kitab-kitab suci lainnya!
Ibrahim dan Ismail lalu mengangkat sendi-sendi
Rumah Suci itu dan “Bahwa rumah pertama dibuat untuk manusia beribadat ialah
yang di Mekah itu, sudah diberi berkah dan bimbingan bagi semesta alam.
Disitulah terdapat keterangan-keterangan yang jelas sebagai Maqam (tempat)
Ibrahim; barangsiapa memasukinya menjadi aman.” (Qur’an,
3: 96-97)
“Dan ingatlah, Kami jadikan Rumah
itu tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah Maqam
Ibrahim itu tempat bersembahyang, dan kami serahkan kepada Ibrahim dan Ismail
menyucikan RumahKu bagõ mereka yang bertawaf, mereka yang tinggal menetap dan
mereka yang ruku’ dan sujud. Dan ingatlah tatkala Ibrahim berkata: ‘Tuhanku,
jadikan tempat ini Kota yang aman dan berikanlah buah-buahan kepada penduduknya,
mereka yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian.’ Ia berkata: ‘Dan bagi
barangsiapa yang menolak iman akan Kuberi juga kesenangan sementara, kemudian
Kutarik ia ke dalam siksa api, tujuan yang paling celaka,. Dan ingatlah tatkala
Ibrahim dan Ismail mengangkat sendi-sendi Rumah Suci itu (mereka berdoa):
‘Tuhan, terimalah ini dari kami. Sesungguhnyalah Engkau Maha mendengar, Maha
mengetahui.” (Qur,an, 2: 125-127)
Bagaimana
Ibrahim mendirikan Rumah itu sebagai tempat tujuan dan tempat yang aman, untuk
mengantarkan manusia supaya beriman hanya kepada Allah Yang Tunggal lalu
kemudian menjadi tempat berhala dan pusat penyembahannya? Dan bagaimana pula
cara-cara peribadatan itu dilakukan sesudah lbrahim dan Ismail, dan dalam bentuk
bagaimana pula dilakukan? Dan sejak kapan cara-cara itu berubah lalu dikuasi
oleh paganisma? Hal ini tidak diceritakan kepada kita oleh sejarah yang kita
kenal. Semua itu baru merupakan dugaan-dugaan yang sudah dianggap sebagai suatu
kenyataan. Kaum Sabian1 yang menyembah bintang mempunyai pengaruh besar di tanah
Arab. Pada mulanya mereka - menurut beberapa keterangan - tidak menyembah
bintang itu sendiri, melainkan hanya menyembah Allah dan mereka mengagungkan
bintang-bintang itu sebagai ciptaan dan manifestasi kebesaranNya. Oleh karena
lebih banyak yang tidak dapat memahami arti ketuhanan yang lebih tinggi, maka
diartikannya bintang-bintang itu sebagai tuhan. Beberapa macam batu gunung
dikhayalkan sebagai benda yang jatuh dan langit, berasal dan beberapa macam
bintang. Dari situ mula-mula manifestasi tuhan itu diartikan dan dikuduskan,
kemudian batu-batu itu yang disembah, kemudian penyembahan itu dianggap begitu
agung, sehingga tidak cukup bagi seorang orang Arab hanya menyembah hajar aswad
(batu hitam) yang di dalam Ka’bah, bahkan dalam setiap perjalanan ia mengambil
batu apa saja dan Ka’bah untuk disembah dan dimintai persetujuannya: akan
tinggal ataukah akan melakukan perjalanan. Mereka melakukan cara-cara
peribadatan yang berlaku bagi bintang-bintang atau bagi pencipta bintang-bintang
itu. Dengan cara-cara demikian menjadi kuatlah kepercayaan paganisma itu,
patung-patung dikuduskan dan dibawanya sesajen-sesajen untuk itu sebagai
kurban.
Ini adalah suatu gambaran tentang perkembangan agama itu di tanah
Arab sejak Ibrahim membangun rumah sebagai tempat beribadat kepada Tuhan,
sebagaimana dilukiskan oleh beberapa ahli sejarah dan bagaimana pula hal itu
kemudian berbalik dan menjadi pusat berhala. Herodotus, bapa sejarah,
menerangkan tentang penyembahan Lat itu di negeri Arab. Demikian juga Diodorus
Siculus mcnyebutkan tentang rumah di Mekah yang diagungkan itu. Ini menunjukkan
tentang paganisma yang sudah begitu tua di jazirah Arab dan bahwa agama yang
dibawa Ibrahim di sana bertahan tidak begitu lama.
Dalam abad-abad itu
sudah datang pula para nabi yang mengajak kabilah-kabilah jazirah itu supaya
menyembah Allah semata-mata. Tetapi mereka menolak dan tetap bertahan pada
paganisma. Datang Hud mengajak kaum ‘Ad yang tinggal di sebelah utara Hadzramaut
supaya menyembah hanya kepada Allah; tapi hanya sebagian kecil saja yang ikut.
Sedang yang sebagian besar malah menyombongkan diri dan berkata: “O Hud, kau
datang tidak membawa keterangan yang jelas, dan kami tidak akan meninggalkan
tuhan-tuhan kami hanya karena perkataanmu itu. Kami tidak percaya kepadamu.”
(Qur’an, 11: 53) Bertahun-tahun lamanya Hud
mengajak mereka. Hasilnya malah mereka bertambah buas dan congkak. Demikian juga
Saleh datang mengajak kaum Thamud supaya beriman. Mereka ini tinggal di Hijr
yang terletak antara Hijaz dengan Syam di Wadi’l-Qura ke arah timur daya dari
Mad-yan (Midian) dekat Teluk ‘Aqaba. Sama saja, hasil ajakan Saleh itu tidak
lebih seperti ajakan Hud juga. Kemudian datang Syu’aib kepada bangsa Mad-yan
yang terletak di Hijaz, mengajak supaya mereka menyembah Allah. Juga tidak
didengar Merekapun mengalami kehancuran seperti yang terjadi terhadap golongan
‘Ad dan Thamud.
Selain para nabi itu juga Qur’an telah menceritakan
tentang ajakan mereka supaya menyembah Allah yang Esa. Sikap golongan itu begitu
sombong. Mereka tetap bersikeras hendak menyembah berhala dan bermohon kepada
berhala-berhala dalam Ka’bah itu. Mereka berziarah ke tempat itu setiap tahun;
mereka datang dari segenap pelosok jazirah Arab. Dalam hal ini turun firman
Tuhan: “Dan Kami tidak akan mengadakan siksaan sebelum Kami mengutus seorang
rasul.”(Qur’an 17: 15)
Sejak
didirikannya Mekah di tempat itu sudah ada jabatan-jabatan penting seperti yang
dipegang oleh Qushayy bin Kilab pada pertengahan abad kelima Masehi. Pada waktu
itu para pemuka Mekah berkumpul. Jabatan-jabatan hijaba, siqaya, rifada, nadwa,
liwa’ dan qiyada dipegang semua oleh Qushay. Hijaba ialah penjaga pintu Ka’bah
atau yang memegang kuncinya. Siqaya ialah menyediakan air tawar - yang sangat
sulit waktu itu bagi mereka yang datang berziarah serta menyediakan minuman
keras yang dibuat dari kurma. Rifada ialah memberi makan kepada mereka semua.
Nadwa ialah pimpinan rapat pada tiap tahun musim. Liwa’ ialah panji yang
dipancangkan pada tombak lalu ditancapkan sebagai lambang tentara yang sedang
menghadapi musuh, dan qiyada ialah pimpinan pasukan bila menuju perang.
Jabatan-jabatan demikian itu di Mekah sangat terpandang. Dalam masalah ibadat
seolah pandangan orang-orang Arab semua tertuju ke Ka’bah itu.
Saya kira
semua itu datangnya bukan sekaligus ketika rumah itu dibangun, melainkan satu
demi satu, pada satu pihak tak ada hubungannya satu sama lain dengan Ka’bah
serta kedudukannya dalam arti agama, di pihak lain sedikit banyak memang ada
juga hubungannya.
Tatkala Ka’bah dibangun menurut gambaran yang ada dalam
khayal kita - tidak lebih Mekah hanya terdiri dari kabilah-kabilah Amalekit dan
Jurhum. Sesudah Ismail menetap di sana dan bersama-sama dengan ayahnya memasang
sendi-sendi rumah itu, barulah Mekah mengalami perkembangan. Untuk beberapa
waktu yang cukup lama kemudian ia menjadi sebuah kota atau yang menyerupai kota.
Kita katakan menyerupai kota, karena Mekah dengan penduduknya waktu itu masih
membawa sifat sisa-sisa keterbelakangan dalam arti yang sangat bersahaja.
Beberapa penulis sejarah tidak keberatan dalam menyebutkan, bahwa Mekah itu
masih terbelakang sebelum semua urusan berada di tangan Qushayy pada pertengahan
abad kelima Masehi itu. Sukar bagi kita akan dapat membayangkan suatu daerah
seperti Mekah dengan Rumah Purbanya yang dianggap suci itu akan tetap berada
dalam suasana hidup pengembaraan. Padahal sejarah membuktikan bahwa persoalan
Rumah Suci itu berada di tangan Ismail dalam lingkungan keluarga Jurhum selama
beberapa generasi kemudian. Mereka tinggal di sekitar tempat itu, di samping
Mekah masa itu memang tempat pertemuan kafilah-kafilah dalam perjalanan ke
Yaman, Hira, Syam dan Najd. Juga hubungannya dengan Laut Merah yang tidak jauh
dari tempat itu merupakan hubungan langsung dengan perdagangan dunia. Sukar akan
dapat dibayangkan adanya suatu daerah dalam keadaan demikian itu akan tetap
tanpa ada pendekatan dari dunia lain dari segi peradabannya. Beralasan sekali
dugaan kita, bahwa Mekah, yang sudah didoakan oleh Ibrahim dan ditetapkan Allah
akan menjadi suatu daerah yang aman sentosa, sudah mengenal hidup stabil selama
beberapa generasi sebelum Qushayy.
Meskipun sudah dikalahkan oleh
Amalekit, Mekah masih di tangan Jurhum sampai pada masa Mudzadz bin ‘Amr ibn
Harith. Selama dalam masa generasi ini perdagangan Mekah mengalami perkembangan
yang pesat sekali di bawah kekuasaan orang-orang yang biasa hidup mewah,
sehingga mereka lupa bahwa mereka berada di tanah tandus dan bahwa mereka perlu
selalu berusaha dan selalu waspada. Demikian lalainya mereka itu sehingga Zamzam
menjadi kering dan pihak kabilah Khuza’a merasa perlu memikirkan akan turut
terjun memegang pimpinan di tanah suci itu.
Peringatan Mudzadz kepada
masyarakatnya tentang akibat hidup berfoya-foya, tidak berhasil. Ia yakin sekali
bahwa hal ini akan menghanyutkan mereka semua. Kemudian ia berusaha menggali
Zamzam lebih dalam lagi. Diambilnya dua buah pangkal pelana emas dari dalam
Ka’bah beserta harta yang dibawa orang sebagai sesajen ke dalam Rumah Suci itu.
Dimasukkannya semua itu ke dalam dasar sumur, sedang pasir yang masih ada di
dalamnya dikeluarkan, dengan harapan pada suatu waktu ia akan menemukannya
kembali. Ia keluar dengan anak-anak Ismail dari Mekah. Kekuasaan sesudah itu
dipegang oleh Khuza’a. Demikian seterusnya turun-temurun sampai kepada Qushayy
bin Kilab, nenek (kakek) Nabi Muhammad yang kelima.
Fatimah bint Sa’d bin
Sahl kawin dengan Kilab dan mempunyai anak bernama Zuhra dan Qushayy. Kilab
meninggal dunia ketika Qushayy masih bayi. Kemudian Fatimah kawin lagi dengan
Rabi’a bin Haram. Kemudian mereka pergi ke Syam dan di sana Fatimah melahirkan
Darraj. Qushayy semakin besar juga dan ia hanya mengenal Rabi’a sebagai ayahnya.
Lambat-laun antara Qushayy dengan pihak kabilah Rabi’a terjadi permusuhan. Ia
dihina dan dikatakan berada di bawah perlindungan mereka, padahal bukan dari
pihak mereka Qushayy mengadukan penghinaan itu kepada ibunya.
“Ayahmu lebih mulia dari mereka,” kata ibunya kepada Qushayy.
“Engkau anak Kilab bin Murra, dan keluargamu di Mekah menempati Rumah Suci.”
Qushayy lalu
pergi ke Mekah, dan menetap di sana. Karena pandangannya yang baik dan mempunyai
kesungguhan, orang-orang di Mekah sangat menghormatinya. Pada waktu itu
pengawasan Rumah Suci di tangan Hulail bin Hubsyia - orang yang berpandangan
tajam dari kabilah Khuza’a. Tatkala Qushayy melamar puterinya, Hubba, ternyata
lamarannya diterima baik dan kawinlah mereka. Qushayy terus maju dalam usaha dan
perdagangannya, yang membuat ia jadi kaya, harta dan anak-anaknya pun banyak
pula. Di kalangan masyarakatnya ia makin terpandang. Hulail meninggal dengan
meninggalkan wasiat supaya kunci Rumah Suci di tangan Hubba puterinya. Tetapi
Hubba menolak dan kunci itu dipegang oleh Abu Ghibsyan dari kabilah Khuza’a.
Tetapi Abu Ghibsyan ini seorang pemabuk. Ketika pada suatu hari ia kehabisan
minuman keras kunci itu dijualnya kepada Qushayy dengan cara menukarnya dengan
minuman keras.
Khuza’a sudah memperhitungkan betapa kedudukannya nanti
bila pimpinan Ka’bah itu berada di tangan Qushayy sebagai orang yang banyak
hartanya dan orang yang mulai berpengaruh di kalangan Quraisy. Mereka merasa
keberatan bilamana masalah pimpinan Rumah Suci berada di tangan pihak lain
selain mereka sendiri. Pada waktu Qushayy meminta bantuan Quraisy, beberapa
kabilah memang sudah berpendapat bahwa dialah penduduk yang paling kuat dan
sangat dihargai di Mekah. Mereka mendukung Qushayy dan berhasil mengeluarkan
Khuza’a dari Mekah. Sekarang seluruh pimpinan Rumah Suci itu sudah di tangan
Qushayy dan dia diakui sebagai pemimpin mereka.
Seperti sudah kita
kemukakan, beberapa orang berpendapat, bahwa sampai pada waktu pimpinan Mekah
berada di tangan Qushayy, bangunan apapun belum ada di tempat itu, selain Ka
bah. Alasannya ialah, karena baik Khuza’a atau Jurhum tidak ingin melihat ada
bangunan lain di sekitar Rumah Tuhan itu, juga karena pada malam hari mereka
tidak pernah tinggal di tempat itu, melainkan pergi ke tempat-tempat terbuka.
Ditambahkan pula bahwa setelah Qushayy memegang pimpinan Mekah ia mengumpulkan
Quraisy dan menyuruh mereka membangun di tempat itu. Dengan dipelopori oleh
Qushayy sendiri dibangunnya Dar’n-Nadwa sebagai tempat pertemuan
pembesar-pembesar Mekah yang dipimpin oleh Qushayy sendiri. Di tempat ini mereka
bermusyawarah mengenai masalah-masalah negeri itu. Menurut kebiasaan mereka,
setiap persoalan yang mereka hadapi selalu diselesaikan dengan persetujuan
bersama. Baik wanita atau laki-laki yang akan melangsungkan perkawinan harus di
tempat ini pula.
Dengan perintah Qushayy orang-orang Quraisy lalu
membangun tempat-tempat tinggal mereka di sekitar Ka’bah itu, dengan meluangkan
tempat yang cukup luas untuk mengadakan tawaf sekitar Rumah itu dan pada setiap
dua rumah disediakan jalan yang menembus ke tempat tawaf tersebut.
Anak
Qushayy yang tertua ialah Abd’d-Dar. Akan tetapi Abd Manaf adiknya, sudah lebih
dulu tampil ke depan umum dan sudah mendapat tempat pula.
Sesudah
usianya makin lanjut, kekuatannyapun sudah berkurang dan sudah tidak kuat lagi
ia mengurus Mekah sebagaimana mestinya, kunci Rumah itupun diserahkannya kepada
Abd’d-Dar, demikian juga soal air minum, panji dan persediaan makanan. Setiap
tahun Quraisy memberikan sumbangan dari harta mereka yang diserahkannya kepada
Qushayy guna membuatkan makanan pada musim ziarah. Makanan ini kemudian
diberikan kepada mereka yang datang tidak dalam kecukupan. Qushayy adalah orang
yang pertama mewajibkan kepada Quraisy menyiapkan persediaan makanan.
Dikumpulkannya mereka itu dan ia sangat merasa bangga terhadap mereka ketika
bersama-sama mereka berhasil mengeluarkan Khuza’a dari Mekah. Ketika mewajibkan
itu ia berkata kepada mereka:
“Saudara-saudara Quraisy! Kamu sekalian adalah tetangga Tuhan,
keluarga RumahNya dan Tempat yang Suci. Mereka yang datang berziarah adalah tamu
Tuhan dan pengunjung RumahNya. Mereka itulah para tamu yang paling patut
dihormati. Pada musim ziarah itu sediakanlah makanan dan minuman sampai mereka
pulang kembali.”
Seperti ayahnya, Abd’d-Dar juga telah memegang pimpinan Ka’bah dan kemudian diteruskan oleh anak-anaknya. Akan tetapi anak-anak Abd Manaf sebenarnya mempunyai kedudukan yang lebih baik dan terpandang juga di kalangan masyarakatnya. Oleh karena itu, anak-anak Abd Manaf, yaitu Hasyim, Abd Syams, Muttalib dan Naufal sepakat akan mengambil pimpinan yang ada di tangan sepupu-sepupu mereka itu. Tetapi pihak Quraisy berselisih pendapat: yang satu membela satu golongan yang lain membela golongan yang lain lagi.
Keluarga Abd Manaf mengadakan Perjanjian
Mutayyabun dengan memasukkan tangan mereka ke dalam tib, (yaitu bahan
wangi-wangian) yang dibawa ke dalam Ka’bah. Mereka bersumpah takkan melanggar
janji. Demikian juga pihak Keluarga Abd,d-Dar mengadakan pula Perjanjian Ahlaf:
Antara kedua golongan itu hampir saja pecah perang yang akan memusnakan Quraisy,
kalau tidak cepat-cepat diadakan perdamaian. Keluarga Abd Manaf diberi bagian
mengurus persoalan air dan makanan, sedangkan kunci, panji dan pimpinan rapat di
tangan Keluarga Abd’d-Dar. Kedua belah pihak setuju, dan keadaan itu berjalan
tetap demikian, sampai pada waktu datangnya Islam.
Hasyim termasuk pemuka
masyarakat dan orang yang berkecukupan. Dialah yang memegang urusan air dan
makanan. Dia mengajak masyarakatnya seperti yang dilakukan oleh Qushayy
kakeknya, yaitu supaya masing-masing menafkahkan hartanya untuk memberi makanan
kepada pengunjung pada musim ziarah. Pengunjung Baitullah, tamu Tuhan inilah
yang paling berhak mendapat penghormatan. Kenyataannya memang para tamu itu
diberi makan sampai mereka pulang kembali.
Peranan yang dipegang Hasyim
tidak hanya itu saja, bahkan jasanya sampai ke seluruh Mekah. Pernah terjadi
musim tandus, dia datang membawakan persediaan makanan, sehingga kembali
penduduk itu menghadapi hidupnya dengan wajah berseri. Hasyim jugalah yang
membuat ketentuan perjalanan musim, musim dingin dan musim panas. Perjalanan
musim dingin ke Yaman, dan perjalanan musim panas ke Suria.
Dengan adanya
semua kenyataan ini keadaan Mekah jadi berkembang dan mempunyai kedudukan
penting di seluruh jazirah, sehingga ia dianggap sebagai ibukota yang sudah
diakui. Dengan perkembangan serupa itu tidak ragu-ragu lagi anak-anak Abd Manaf
membuat perjanjian perdamaian dengan tetangga-tetangganya. Hasyim sendiri
membuat perjanjian sebagai tetangga baik dan bersahabat dengan Imperium Rumawi
dan dengan penguasa Ghassan. Pihak Rumawi mengijinkan orang-orang Quraisy
memasuki Suria dengan aman. Demikian juga Abd Syams membuat pula perjanjian
dagang dengan Najasyi (Negus). Selanjutnya Naufal dan Muttalib juga membuat
persetujuan dengan Persia dan perjanjian dagang dengan pihak Himyar di
Yaman.
Mekah sekarang bertambah kuat dan bertambah makmur. Demikian
pandainya penduduk kota itu dalam perdagangan sehingga tak ada pihak lain yang
semasa yang dapat menyainginya. Rombongan kafilah datang ke tempat itu dari
segenap penjuru dan berangkat lagi pada musim dingin dan musim panas. Di sekitar
tempat itu didirikan pasar-pasar guna menjalankan perdagangan itu. Itu pula
sebabnya mereka jadi cekatan sekali dalam utang-piutang dan riba serta segala
sesuatu yang berhubungan dengan perdagangan. Tak ada yang teringat akan
menyaingi Hasyim yang kini sudah makin lanjut usianya itu dalam kedudukannya
sebagai penguasa Mekah. Hanya kemudian terbayang oleh Umayya anak Abd Syams
-sepupunya - bahwa sudah tiba masanya kini ia akan bersaing. Tetapi dia tidak
berdaya, dan kedudukan itu tetap dipegang Hasyim. Sementara itu Umayya telah
meninggalkan Mekah dan selama sepuluh tahun tinggal di Suria.
Pada suatu
ketika dalam perjalanan pulang dari Suria, ketika Hasyim melalui Jathrib
dilihatnya seorang wanita baik-baik dan terpandang, muncul di tengah-tengah
orang yang sedang mengadakan perdagangan dengan dia. Wanita itu ialah Salma anak
‘Amr dari kabilah Khazraj. Hasyim merasa tertarik. Ditanyakannya, adakah ia
sedang dalam ikatan dengan laki-laki lain? Setelah diketahui bahwa dia seorang
janda dan tidak mau kawin lagi kecuali bila ia memegang kebebasan sendiri,
Hasyim lalu melamarnya. Dan wanita itupun menerima, karena dia mengetahui
kedudukan Hasyim di tengah-tengah masyarakatnya.
Beberapa waktu lamanya
ia tinggal di Mekah dengan suaminya. Kemudian ia kembali ke Jathrib. Di kota ini
ia melahirkan seorang anak yang diberi nama Syaiba.
Beberapa tahun
kemudian dalam suatu perjalanan musim panas ke Ghazza (Gaza). Hasyim meninggal
dunia. Kedudukannya digantikan oleh adiknya, Muttalib. Sebenarnya Muttalib ini
masih adik Abd Syams. Tetapi dia sangat dihormati oleh masyarakatnya. Karena
sikapnya yang suka menenggang dan murah hati oleh Quraisy ia dijuluki Al-Faidz’,
(“Yang melimpah”). Dengan keadaan Muttalib yang demikian itu di tengah-tengah
masyarakatnya, sudah tentu segalanya akan berjalan tenteram sebagaimana
mestinya.
Pada suatu hari terpikir oleh Muttalib akan kemenakannya, anak
Hasyim itu. Ia pergi ke Jathrib. Dan karena anak itu sudah besar, dimintanya
kepada Salma supaya anaknya itu diserahkan kepadanya. Oleh Muttalib dibawanya
pemuda itu ke atas untanya dan dengan begitu ia memasuki Mekah. Orang-orang
Quraisy menduga bahwa yang dibawa itu budaknya. Oleh karena itu mereka lalu
memanggilnya: Abd’l Muttalib (Budak Muttalib). “Hai,” kata Muttalib. “Dia
kemenakanku anak Hasyim yang kubawa dari Jathrib.” Tetapi sebutan itu sudah
melekat pada pemuda tersebut. Orang sudah memanggilnya demikian dan nama Syaiba
yang diberikan ketika dilahirkan sudah dilupakan orang.
Pada mulanya
Muttalib ingin sekali mengembalikan harta Hasyim untuk kemenakannya. Tetapi
Naufal menolak, lalu menguasainya. Sesudah Abd’l-Muttalib mempunyai kekuatan ia
meminta bantuan kepada saudara-saudara ibunya di Jathrib terhadap tindakan
saudara ayahnya itu dengan maksud supaya miliknya dikembalikan kepadanya. Untuk
memberikan bantuan itu pihak Khazraj di Jathrib mengirimkan delapan puluh orang
pasukan perang. Dengan demikian Naufal terpaksa mengembalikan harta
itu.
Sekarang Abd’l-Muttalib sudah menempati kedudukan Hasyim. Sesudah
pamannya Muttalib, dialah yang mengurus pembagian air dan persediaan makanan.
Dalam mengurus dua jabatan ini terutama urusan air - ia menemui kesulitan yang
tidak sedikit. Sampai saat itu anaknya hanyalah seorang, yaitu Harith. Sedang
persediaan air untuk tamu - sejak terserapnya sumur Zamzam didatangkan dari
beberapa sumur yang terpencar-pencar sekitar Mekah, yang kemudian diletakkan di
sebuah kolam di dekat Ka’bah. Anak yang banyak itu akan merupakan bantuan besar
dan memudahkan pekerjaan serupa ini serta pengawasannya sekaligus. Sebaliknya,
kalau Abd’l-Muttalib harus memikul jabatan penyediaan air dan makanan sedang
anak hanya Harith satu-satunya, tentu hal ini akan terasa berat sekali. Ini
jugalah yang lama menjadi pikiran.
Orang-orang Arab masih selalu ingat
kepada sumur Zamzam yang telah dicetuskan oleh Mudzadz bin Amr beberapa abad
yang lalu. Menjadi harapan mereka selalu andaikata sumur itu masih tetap ada.
Dan sesuai dengan kedudukannya Abd’l-Muttalib pun tentu lebih banyak lagi
memikirkan dam mengharapkan hal itu. Demikian kerasnya keinginan itu hingga
terbawa dalam tidurnya seolah ada suara gaib menyuruhnya menggali kembali sumur
yang pernah menyembur di kaki Ismail neneknya dulu itu. Demikian mendesaknya
suara itu dengan menunjukkan sekali letak sumur itu. Dan diapun memang gigih
sekali ingin mencari letak Zamzam tersebut, sampai achirnya diketemukannya juga,
yaitu terletak antara dua patung: Isaf dan Na’ila.
Ia terus mengadakan
penggalian, dibantu oleh anaknya, Harith. Waktu itu tiba-tiba air membersit dan
dua pangkal pelana emas dan pedang Mudzadz mulai tampak. Sementara itu
orang-orang lalu mau mencampuri Abd’l-Muttalib dalam urusan sumur itu serta apa
yang terdapat di dalamnya. Akan tetapi Abd’l-Muttalib berkata:
“Tidak!
Tetapi marilah kita mengadakan pembagian, antara aku dengan kamu sekalian. Kita
mengadu nasib dengan permainan qid-h (anak panah). Dua anak panah buat Ka’bah,
dua buat aku dan dua buat kamu. Kalau anak panah itu keluar, ia mendapat bagian,
kalau tidak, dia tidak mendapat apa-apa.”
Usul ini disetujui. Lalu
anak-anak panah itu diberikan kepada juru qid-h yang biasa melakukan itu di
tempat Hubal di tengah-tengah Ka’bah. Anak panah Quraisy ternyata tidak keluar.
Sekarang pedang-pedang itu buat Abd’l-Muttalib dan dua buah pangkal pelana emas
buat Ka’bah. Pedang-pedang itu oleh Abd’l-Muttalib dipasang di pintu Ka’bah,
sedang kedua pelana emas dijadikan perhiasan dalam Rumah Suci itu. Abd’l
Muttalib meneruskan tugasnya mengurus air untuk keperluan tamu, sesudah sumur
Zamzam dapat berjalan lancar.
Karena tidak banyak anak, Abd’l-Muttalib di
tengah-tengah masyarakatnya sendiri itu merasa kekurangan tenaga yang akan dapat
membantunya. Ia bernadar; kalau sampai beroleh sepuluh anak laki-laki kemudian
sesudah besar-besar tidak beroleh anak lagi seperti ketika ia menggali sumur
Zamzam dulu, salah seorang di antaranya akan disembelih di Ka’bah sebagai kurban
untuk Tuhan. Tepat juga anaknya yang laki-laki akhirnya mencapai sepuluh orang
dan takdirpun menentukan pula sesudah itu tidak beroleh anak
lagi.
Dipanggilnya semua anak-anaknya dengan maksud supaya dapat memenuhi
nadarnya. Semua patuh. Sebagai konsekwensi kepatuhannya itu setiap anak
menuliskan namanya masing-masing di atas qid-h (anak panah). Kemudian semua itu
diambilnya oleh Abd’l-Muttalib dan dibawanya kepada juru qid-h di tempat berhala
Hubal di tengah-tengah Ka’bah.
Apabila sedang menghadapi kebingungan yang
luarbiasa, orang-orang Arab masa itu lalu minta pertolongan juru qid-h supaya
memintakan kepada Maha Dewa Patung itu dengan jalan (mengadu nasib) melalui
qid-h. Abdullah bin Abd’l-Muttalib adalah anaknya yang bungsu dan yang sangat
dicintai.
Setelah juru qid-h mengocok anak panah yang sudah dicantumi
nama-nama semua anak-anak yang akan menjadi pilihan dewa Hubal untuk kemudian
disembelih oleh sang ayah, maka yang keluar adalah nama Abdullah. Dituntunnya
anak muda itu oleh Abd’l-Muttalib dan dibawanya untuk disembelih ditempat yang
biasa orang-orang Arab melakukan itu di dekat Zamzam yang terletak antara
berhala Isaf dengan Na’ila.
Tetapi saat itu juga orang-orang Quraisy
serentak sepakat melarangnya supaya jangan berbuat, dan atas pembatalan itu
supaya memohon ampun kepada Hubal. Sekalipun mereka begitu mendesak, namun
Abd’l-Muttalib masih ragu-ragu juga. Ditanyakannya kepada mereka apa yang harus
diperbuat supaya sang berhala itu berkenan. Mughira bin Abdullah dari suku
Makhzum berkata: “Kalau penebusannya dapat dilakukan dengan harta kita, kita
tebuslah.”
Setelah antara mereka diadakan perundingan, mereka sepakat
akan pergi menemui seorang dukun di Jathrib yang sudah biasa memberikan pendapat
dalam hal semacam ini. Dalam pertemuan mereka dengan dukun wanita itu kepada
mereka dimintanya supaya menangguhkan sampai besok.
“Berapa tebusan yang
ada pada kalian?” tanya sang dukun.
“Sepuluh ekor
unta.”
“Kembalilah ke negeri kamu sekalian,” kata dukun itu. “Sediakanlah
tebusan sepuluh ekor unta. Kemudian keduanya itu diundi dengan anak panah. Kalau
yang keluar itu atas nama anak kamu, ditambahlah jumlah unta itu sampai dewa
berkenan.”
Merekapun menyetujui.
Setelah yang demikian ini
dilakukan ternyata anak panah itu keluar atas nama Abdullah juga. Ditambahnya
jumlah unta itu sampai mencapai jumlah seratus ekor. Ketika itulah anak panah
keluar atas nama unta itu. Sementara itu orang-orang Quraisy berkata kepada
Abd’l-Muttalib - yang sedang berdoa kepada tuhannya: “Tuhan sudah
berkenan.”
“Tidak,” kata Abd’l-Muttalib. “Harus kulakukan sampai tiga kali.”
Tetapi sampai tiga kali dikocok anak panah itupun tetap keluar atas nama unta
itu juga. Barulah Abd’l-Muttalib merasa puas setelah ternyata sang dewa
berkenan. Disembelihnya unta itu dan dibiarkannya begitu tanpa dijamah manusia
atau binatang.
Dengan begitu itulah buku-buku biografi melukiskan.
Digambarkannya beberapa macam adat-istiadat orang Arab, kepercayaan serta
cara-cara mereka melakukan upacara kepercayaan itu. Hal ini menunjukkan
sekaligus betapa mulianya kedudukan Mekah dengan Rumah Sucinya itu di
tengah-tengah tanah Arab. At-Tabari menceritakan - sehubungan dengan kisah
penebusan ini - bahwa pernah ada seorang wanita Islam bernadar bahwa bila
maksudnya terlaksana dalam melakukan sesuatu, ia akan menyembelih anaknya.
Ternyata kemudian maksudnya terkabul. Ia pergi kepada Abdullah bin Umar. Orang
ini tidak memberikan pendapat. Kemudian ia pergi kepada Abdullah bin Abbas yang
ternyata memberikan fatwa supaya ia menyembelih seratus ekor unta, seperti
halnya dengan penebusan Abdullah anak Abd’l-Muttalib. Tetapi Marwan - penguasa
Medinah ketika itu - merasa heran sekali setelah mengetahui hal itu. “Nadar
tidak berlaku dalam suatu perbuatan dosa,” katanya.
Kedudukan Mekah
dengan status Rumah Sucinya itu menyebabkan beberapa daerah lain yang jauh-jauh
juga membuat rumah-rumah ibadat sendiri-sendiri, dengan maksud mengalihkan
perhatian orang dari Mekah dan Rumah Sucinya. Di Hira pihak Ghassan mendirikan
rumah suci, Abraha al-Asyram membangun rumah suci di Yaman. Tetapi bagi orang
Arab itu tak dapat menggantikan Rumah Suci yang di Mekah, juga tak dapat
memalingkan mereka dari Kota Suci itu. Bahkan sampai demikian rupa Abraha
menghiasi rumah sucinya yang di Yaman, dengan membawa perlengkapan yang paling
mewah yang kira-kira akan menarik orang-orang Arab - bahkan orang-orang Mekah
sendiri - ke tempat itu.
Akan tetapi setelah ternyata bahwa tujuan
orang-orang Arab itu hanya Rumah Purba itu juga, dan orang-orang Yaman
sendiripun meninggalkan rumah yang dibangunnya itu serta menganggap ziarah
mereka tidak sah kalau tidak ke Mekah, maka sekarang tak ada jalan lain bagi
penguasa Negus itu kecuali ia harus menghancurkan rumah Ibrahim dan Ismail itu.
Dengan pasukan yang besar didatangkan dari Abisinia dia sudah mempersiapkan
perang dan dia sendiri di depan sekali di atas seekor gajah
besar.
Tatkala pihak Arab mendengar hal itu, besar sekali kekuatirannya
akan akibat yang mungkin ditimbulkan karenanya. Suatu hal yang luarbiasa bagi
mereka, kedatangan seorang laki-laki Abisinia akan menghancurkan rumah suci
mereka dan tempat berhala-berhala mereka. Seorang laki-laki bernama Dhu-Nafar -
salah seorang bangsawan dan terpandang di Yaman - tampil ke depan mengerahkan
masyarakatnya dan orang Arab lainnya yang bersedia berjuang melawan Abraha serta
maksudnya yang hendak menghancurkan Baitullah. Tetapi dia tak dapat menghalangi
Abraha. Malah dia sendiri terpukul dan menjadi tawanan. Nasib yang demikian itu
juga yang menimpa Nufail bin Habib al-Khath’ami ketika ia mengerahkan
masyarakatnya dari kabilah Syahran dan Nahis, malah dia sendiri yang tertawan,
yang kemudian menjadi anggota pasukannya dan menjadi penunjuk jalan. Ketika
Abraha sampai di Ta’if penduduk tempat itu mengatakan, bahwa rumah suci mereka
bukanlah rumah suci yang dimaksudkan Abraha. Itu adalah rumah Lat. Kemudian ia
diantar oleh orang-orang yang bersedia menunjukkan jalan ke Mekah.
Bila
Abraha sudah mendekati Mekah dikirimnya pasukan berkuda sebagai kurir. Dari
Tihama mereka dapat membawa harta benda Quraisy dan yang lain-lain, di antaranya
seratus ekor unta kepunyaan Abd’l-Muttalib bin Hasyim. Pada mulanya orang-orang
Quraisy bermaksud mengadakan perlawanan. Tapi kemudian berpendapat, bahwa mereka
takkan mampu. Sementara itu Abraha sudah mengirimkan salah seorang pengikutnya
sebagai utusan bernama Hunata dan Himyar untuk menemui pemimpin Mekah. Ia
diantar menghadap Abd’l-Muttalib bin Hasyim, dan kepadanya ia menyampaikan pesan
Abraha, bahwa kedatangannya bukan akan berperang melainkan akan menghancurkan
Baitullah. Kalau Mekah tidak mengadakan perlawanan tidak perlu ada pertumpahan
darah.
Begitu Abd’l-Muttalib mendengar, bahwa mereka tidak bermaksud
berperang, ia pergi ke markas pasukan Abraha bersama Hunata, bersama
anak-anaknya dan beberapa pemuka Mekah lainnya. Kedatangan delegasi
Abd’l-Muttalib ini disambut baik oleh Abraha, dengan menjanjikan akan
mengembalikan unta Abd’l-Muttalib. Akan tetapi segala pembicaraan mengenai
Ka’bah serta supaya menarik kembali maksudnya yang hendak menghancurkan tempat
suci itu ditolaknya belaka. Juga tawaran delegasi Mekah yang akan mengalah
sampai sepertiga harta Tihama baginya, ditolak. Abd’l-Muttalib dan rombongan
kembali ke Mekah. Dinasehatkannya supaya orang meninggalkan tempat itu dan pergi
ke lereng-lereng bukit, menghindari Abraha dan pasukannya yang akan memasuki
kota suci dan menghancurkan Rumah Purba itu.
Malam gelap gelita
tatkala mereka memikirkan akan meninggalkan kota itu dan di mana pula akan
tinggal. Malam itulah Abd’l-Muttalib pergi dengan beberapa orang Quraisy,
berkumpul sekeliling pintu Ka’bah. Dia bermohon, mereka pun bermohon minta
bantuan berhala-berhala terhadap agresor yang akan menghancurkan Baitullah
itu.
Ketika mereka sudah pergi dan seluruh Mekah sunyi dan tiba waktunya
bagi Abraha mengerahkan pasukannya menghancurkan Ka’bah dan sesudah itu akan
kembali ke Yaman, ketika itu pula wabah cacar datang berkecamuk menimpa pasukan
Abraha dan membinasakan mereka. Serangan ini hebat sekali, belum pernah dialami
sebelumnya. Barangkali kuman-kuman wabah itu yang datang dibawa angin dari
jurusan laut, dan. menular menimpa Abraha sendiri. Ia merasa ketakutan sekali.
Pasukannya diperintahkan pulang kembali ke Yaman, dan mereka yang tadinya
menjadi penunjuk jalan sudah lari, dan ada pula yang mati. Bencana wabah ini
makin hari makin mengganas dan anggota-anggota pasukan yang mati sudah tak
terbilang lagi banyaknya.
Sampai juga Abraha ke Shan’a’ tapi badannya
sudah dihinggapi penyakit. Tidak berselang lama kemudian diapun mati seperti
anggota pasukannya yang lain. Dan dengan demikian orang Mekah mencatatnya
sebagai Tahun Gajah. Dan ini yang diabadikan dalam Qur’an:
“Tidakkah kau perhatikan,
bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap pasukan orang-orang bergajah? Bukankah Dia
gagalkan rencana mereka? Dan dilepaskan di atas mereka pasukan-pasukan burung.
Melempari mereka dengan batu yang keras membakar. Sehingga mereka seperti
daun-daun kering yang binasa berserakan.“( Qur’an 105:
1-4)
Peristiwa yang
luarbiasa ini lebih memperkuat kedudukan Mekah dalam arti agama, di samping itu
telah memperkuat pula kedudukannya dalam arti perdagangan. Juga menyebabkan
penduduknya lebih banyak memperhatikan dan memelihara kedudukan yang tinggi dan
istimewa itu serta mempertahankannya dari segala usaha yang akan mengurangi arti
atau akan menye,rang kota ini. Orang-orang Mekah lebih bersemangat lagi
mempertahankan kota mereka, mengingat kehidupan yang mereka peroleh karenanya,
hidup makmur dan mewah sejauh yang dapat kita bayangkan kemewahan hidup mereka
di daerah padang-pasir ini, gersang dan tandus.
Kegemaran penduduk daerah
ini yang luarbiasa ialah minum nabidh (minuman keras). Dalam keadaan mabuk itu
mereka menemukan suatu kenikmatan yang tak ada taranya! Suatu kenikmatan yang
akan memudahkan mereka melampiaskan hawa nafsu, akan menjadikan dayang-dayang
dan budak-budak belian yang diperjual-belikan sebagai barang dagangan itu lebih
memikat hati mereka. Yang demikian ini mendorong semangat mereka mempertahankan
kebebasan pribadi dan kebebasan kota mereka serta kesadaran mempertahankan
kemerdekaan dan menangkis segala serangan yang mungkin datang dari musuh. Yang
paling enak bagi mereka bersenang-senang waktu malam sambil minum-minum hanyalah
di pusat kota sekeliling bangunan Ka’bah.
Di tempat itu - di samping tiga
ratus buah berhala atau lebih, masing-masing kabilah dengan berhalanya -
pembesar-pembesar Quraisy dan pemuka-pemuka Mekah duduk-duduk; masing-masing
menceritakan hal-hal yang berhubungan dengan keadaan pedalaman, dengan Yaman,
orang-orang Mundhir di Hira dan orang-orang Ghassan di Suria, tentang datangnya
kafilah serta lalu-lintas orang-orang pedalaman.
Kejadian demikian itu
sampai kepada mereka dalam bentuk cerita, dari suatu kabilah kepada kabilah yang
lain. Setiap kabilah mempunyai “pemancar” dan “pesawat radio” yang menerima
berita-berita kemudian disiarkan kembali. Masing-masing membawa cerita yang ada
hubungannya dengan berita-berita orang pedalaman, kisah-kisah tetangga dan
handai-tolan sambil minum-minum nabidh. Dan sesudah mereka bermalam suntuk di
Ka’bah mereka menyiapkan diri untuk hal yang sama guna lebih memuaskan kehendak
hawa-nafsu. Dengan mata batu permata berhala-berhala itu menjenguk melihat
kepada mereka yang sedang berdagang itu, dan mereka merasa mendapat
perlindungan, karena Ka’bah itu dijadikan Rumah Suci dan Mekah menjadi kota aman
sentosa. Demikian juga berhala-berhala mendapat jaminan mereka, bahwa tak
seorangpun Ahli Kitab akan memasuki Mekah kecuali tenaga kerja yang takkan
bicara tentang agama atau kitabnya.
Itulah sebabnya di sana tak ada
koloni-koloni Yahudi seperti di Jathrib atau Nasrani seperti di Najran. Bahkan
:Ka’bah yang dijadikan tempat paganisma yang paling suci ketika itu mereka
lindungi dari semua yang akan menghinanya, dan merekapun berlindung ke sana dari
segala serangan. Begitulah seterusnya Mekah itu bebas berdiri sendiri, seperti
kabilah-kabilah Arab yang bebas pula berdiri sendiri-sendiri. Mereka tidak mau
kalau kebebasannya itu diganti, dan mereka tidak pedulikan cara hidup lain
selain kebebasannya ini di bawah perlindungan berhala-berhala. Masing-masing
kabilah tidak pula terganggu, dan tidak pula terpikir oleh mereka akan
mengadakan suatu kesatuan bangsa yang kuat, seperti yang dilakukan oleh Rumawi
dan Persia dalam meluaskan kekuasaan dan melakukan peperangan.
Oleh
karena itu tetaplah kabilah-kabilah itu semua tidak mempunyai sesuatu bentuk
apapun selain cara-cara hidup pedalaman, tempat mereka mencari padang rumput
untuk ternak, kemudian hidup di tengah-tengah itu dengan cara hidup yang kasar,
tertarik oleh segala kebebasan, kemerdekaan, kebanggaan dan
kepahlawanan.
Pada dasarnya tempat-tempat tinggal di Mekah mengelilingi
lingkungan Ka’bah. Jauh dekatnya rumah-rumah itu dari Ka’bah tergantung dari
penting dan tingginya kedudukan sesuatu keluarga atau suku. Kaum Quraisy adalah
yang terdekat letaknya dan paling banyak berhubungan dengan Rumah Suci itu.
Merekalah yang memegang kuncinya dan kepengurusan air Zamzam, juga segala
gelar-gelar kebangsawanan menurut paganisma ada pada mereka, yang sampai
menimbulkan perang karenanya, menyebabkan adanya persekutuan, atau
perjanjian-perjanjian perdamaian antar kabilah, yang tetap tersimpan di dalam
Ka’bah, supaya dapat disaksikan oleh sang berhala untuk kemudian menurunkan
murkanya bagi mereka yang melanggar.
Di belakang rumah-rumah Quraisy itu
menyusul pula rumah0rumah kabilah yang agak kurang penting kedudukannya, diikuti
oleh yang lebih rendah lagi, sampai kepada tempat-tempat tinggal kaum budak dan
sebangsa kaum gelandangan. Termasuk umat Kristen dan Yahudi di Mekah, seperti
kita sebutkan tadi - adalah juga budak. Tempat-tempat tinggal mereka jauh dari
Ka’bah malah sudah berbatasan dengan sahara. Oleh karena itu percakapan mereka
tentang kisah-kisah agama, baik Kristen atau Yahudi, tidak sampai mendekati
telinga pemuka-pemuka Quraisy dan penduduk Mekah umumnya. Letak mereka yang
lebih jauh itu benar-benar membuat mereka lebih rapat lagi menutup telinga.
Mereka tidak mau menyibukkan diri dengan itu. Dalam perjalanan mereka melalui
biara-biara dan tempat-tempat para rahib sudah biasa mereka mendengar cerita
serupa itu.
Hanya saja apa yang sudah mulai diperkatakan orang tentang
akan datangnya seorang nabi di tengah-tengah orang Arab waktu itu, sudah cukup
menimbulkan heboh. Abu Sufyan pernah marah kepada Umayya bin Abi’sh-Shalt karena
arang ini sering mengulang-ulang cerita para rahib tentang hal serupa itu. Dan
barangkali sesuai dengan kedudukan Abu Sufyan juga ketika itu ketika ia berkata
kepada kawannya itu: Para rahib itu suka membawa cerita semacam itu karena
mereka tidak mengerti soal agama mereka sendiri. Mereka memerlukan sekali adanya
seorang nabi yang akan memberi petunjuk kepada mereka. Tetapi kita yang sudah
punya berhala-berhala, yang akan mendekatkan kita kepada Tuhan, tidak memerlukan
lagi hal serupa itu. Kita harus menentang semua pembicaraan semacam
itu.
Dapat saja ia bicara begitu. Dia, yang begitu fanatik kepada Mekah
dan kehidupan paganismanya, tak pernah membayangkan bahwa saatnya sudah di
ambang pintu, bahwa kenabian Muhammad a.s. sudah dekat dan bahwa dari tanah Arab
pagan yang beraneka ragam itu cahaya Tauhid dan sinar kebenaran akan memancar ke
seluruh duniaAbdullah bin Abd’l-Muttalib sebenarnya adalah pemuda yang berwajah
tampan dan menarik. Menarik perhatian gadis-gadis dan wanita-wanita Mekah.
Lebih-lebih lagi yang menarik perhatian mereka ialah kisah penebusan, dan kisah
seratus ekor unta yang tidak mau diterima oleh Hubal kurang dari itu. Tetapi
takdir sudah menentukan Abdullah akan menjadi seorang ayah yang paling mulia
yang pernah dikenal sejarah. Demikian juga Aminah bint Wahb akan menjadi ibu
bagi anak Abdullah itu. Ia kawin dengan wanita itu dan selang beberapa bulan
kemudian iapun meninggal. Tak ada lagi penebusan berupa apapun yang akan
melepaskan dia dari maut. Tinggal lagi Aminah kemudian akan melahirkan Muhammad
dan akan mati semasa yang dilahirkan itu masih bayi.
Pada gambar berikut
ini silsilah keturunan Nabi yang menerangkan perkiraan tahun-tahun kelahiran
mereka masing-masing.
SILSILAH MUHAMMAD SAW
Qushayy
(lahir 400M)
|
+----------------------+----------------------+
| | |
'Abd'l-'Uzza 'Abd Manaf 'Abd'd-Dar
| (lahir 430M)
| |
| +----------+-----------+----------+
Asad | | | |
| Muttalib Hasyim Naufal 'Abd Syams
| (lahir 464M) |
Khuwailid | Umayya
| 'Abd'l-Muttalib |
+----+----+ (lahir 497M) Harb
| | | |
'Awwam Khadijah | Abu Sufyan
| | |
Zubair | Mu'awiya
|
+--------+----------+-------+--+-----------+----------+
| | | | | |
Hamzah 'Abbas 'Abdullah Abu Lahab Abu Talib Harith
(lahir 545M) |
| +----------+----------+
| | | |
MUHAMMAD 'Aqil 'Ali Ja'far
(lahir 570M) | |
| +---+---+
| | |
Muslim Hasan Husain
Catatan kaki:
1. Kaum Sabian yang
dimaksudkan di sini bukan yang dimaksudkan dalam Qur’an (2: 62), yaitu sekta
Nasrani yang berpegang pada Taurat dan Injil yang belum mengalami perubahan,
melainkan orang-orang Harran yang disebut oleh Ibn Taimia sebagai pusat golongan
ini dan sebagai tempat kelahiran Ibrahim atau tempat ia pindah dan Irak
(Mesopotamia). Di tempat ini terdapat kuil-kuil tempat menyembah
bintang-bintang. Kepercayaan mereka ini sebelum datangnya agama Nasrani. Setelah
datang Agama Nasrani, kepercayaan mereka menjadi campur-baur dan dikenal sebagai
pseudo-Sabian. (Dikutip oleh al-Qasimi dalam Mahasin’t-Ta’wil, jilid 2 hal.
154-147). Juga mereka tidak sama dengan kaum Sabaean yang berasal dari Saba di
Arab Selatan (A)
USIA
Abd’l-Muttalib sudah hampir mencapai tujuhpuluh tahun atau lebih tatkala Abraha
mencoba menyerang Mekah dan menghancurkan Rumah Purba. Ketika itu umur Abdullah
anaknya sudah duapuluh empat tahun, dan sudah tiba masanya dikawinkan. Pilihan
Abd’l-Muttalib jatuh kepada Aminah bint Wahb bin Abd Manaf bin Zuhra, - pemimpin
suku Zuhra ketika itu yang sesuai pula usianya dan mempunyai kedudukan
terhormat. Maka pergilah anak-beranak itu hendak mengunjungi keluarga Zuhra. Ia
dengan anaknya menemui Wahb dan melamar puterinya. Sebagian penulis sejarah
berpendapat, bahwa ia pergi menemui Uhyab, paman Aminah, sebab waktu itu ayahnya
sudah meninggal dan dia di bawah asuhan pamannya. Pada hari perkawinan Abdullah
dengan Aminah itu, Abd’l-Muttalib juga kawin dengan Hala, puteri pamannya. Dari
perkawinan ini lahirlah Hamzah, paman Nabi dan yang seusia dengan
dia.
Abdullah dengan Aminah tinggal selama tiga hari di rumah Aminah,
sesuai dengan adat kebiasaan Arab bila perkawinan dilangsungkan di rumah
keluarga pengantin puteri. Sesudah itu mereka pindah bersama-sama ke keluarga
Abd’l-Muttalib. Tak seberapa lama kemudian Abdullahpun pergi dalam suatu usaha
perdagangan ke Suria dengan meninggalkan isteri yang dalam keadaan hamil.
Tentang ini masih terdapat beberapa keterangan yang berbeda-beda: adakah
Abdullah kawin lagi selain dengan Aminah; adakah wanita lain yang datang
menawarkan diri kepadanya? Rasanya tak ada gunanya menyelidiki
keterangan-keterangan semacam ini. Yang pasti ialah Abdullah adalah seorang
pemuda yang tegap dan tampan. Bukan hal yang luar biasa jika ada wanita lain
yang ingin menjadi isterinya selain Aminah. Tetapi setelah perkawinannya dengan
Aminah itu hilanglah harapan yang lain walaupun untuk sementara. Siapa tahu,
barangkali mereka masih menunggu ia pulang dari perjalanannya ke Syam untuk
menjadi isterinya di samping Aminah.
Dalam perjalanannya itu Abdullah
tinggal selama beberapa bulan. Dalam pada itu ia pergi juga ke Gaza dan kembali
lagi. Kemudian ia singgah ke tempat saudara-saudara ibunya di Medinah sekadar
beristirahat sesudah merasa letih selama dalam perjalanan. Sesudah itu ia akan
kembali pulang dengan kafilah ke Mekah. Akan tetapi kemudian ia menderita sakit
di tempat saudara-saudara ibunya itu. Kawan-kawannyapun pulang lebih dulu
meninggalkan dia. Dan merekalah yang menyampaikan berita sakitnya itu kepada
ayahnya setelah mereka sampai di Mekah.
Begitu berita sampai kepada
Abd’l-Muttalib ia mengutus Harith - anaknya yang sulung - ke Medinah, supaya
membawa kembali bila ia sudah sembuh. Tetapi sesampainya di Medinah ia
mengetahui bahwa Abdullah sudah meninggal dan sudah dikuburkan pula, sebulan
sesudah kafilahnya berangkat ke Mekah. Kembalilah Harith kepada keluarganya
dengan membawa perasaan pilu atas kematian adiknya itu. Rasa duka dan sedih
menimpa hati Abd’l-Muttalib, menimpa hati Aminah, karena ia kehilangan seorang
suami yang selama ini menjadi harapan kebahagiaan hidupnya. Demikian juga
Abd’l-Muttalib sangat sayang kepadanya sehingga penebusannya terhadap Sang
Berhala yang demikian rupa belum pernah terjadi di kalangan masyarakat Arab
sebelum itu.
Peninggalan Abdullah sesudah wafat terdiri dari lima ekor
unta, sekelompok ternak kambing dan seorang budak perempuan, yaitu Umm Ayman -
yang kemudian menjadi pengasuh Nabi. Boleh jadi peninggalan serupa itu bukan
berarti suatu tanda kekayaan; tapi tidak juga merupakan suatu kemiskinan. Di
samping itu umur Abdullah yang masih dalam usia muda belia, sudah mampu bekerja
dan berusaha mencapai kekayaan. Dalam pada itu ia memang tidak mewarisi sesuatu
dari ayahnya yang masih hidup itu.
Aminah sudah hamil, dan kemudian,
seperti wanita lain iapun melahirkan. Selesai bersalin dikirimnya berita kepada
Abd’l Muttalib di Ka’bah, bahwa ia melahirkan seorang anak laki-laki. Alangkah
gembiranya orang tua itu setelah menerima berita. Sekaligus ia teringat kepada
Abdullah anaknya. Gembira sekali hatinya karena ternyata pengganti anaknya sudah
ada. Cepat-cepat ia menemui menantunya itu, diangkatnya bayi itu lalu dibawanya
ke Ka’bah. Ia diberi nama Muhammad. Nama ini tidak umum di kalangan orang Arab
tapi cukup dikenal. Kemudian dikembalikannya bayi itu kepada ibunya. Kini mereka
sedang menantikan orang yang akan menyusukannya dari Keluarga Sa’d (Banu Sa’d),
untuk kemudian menyerahkan anaknya itu kepada salah seorang dari mereka,
sebagaimana sudah menjadi adat kaum bangsawan Arab di Mekah.
Mengenai
tahun ketika Muhammad dilahirkan, beberapa ahli berlainan pendapat. Sebagian
besar mengatakan pada Tahun Gajah (570 Masehi). Ibn Abbas mengatakan ia
dilahirkan pada Tahun Gajah itu. Yang lain berpendapat kelahirannya itu
limabelas tahun sebelum peristiwa gajah. Selanjutnya ada yang mengatakan ia
dilahirkan beberapa hari atau beberapa bulan atau juga beberapa tahun sesudah
Tahun Gajah. Ada yang menaksir tiga puluh tahun, dan ada juga yang menaksir
sampai tujuhpuluh tahun.
Juga para ahli berlainan pendapat mengenai bulan
kelahirannya. Sebagian besar mengatakan ia dilahirkan bulan Rabiul Awal. Ada
yang berkata lahir dalam bulan Muharam, yang lain berpendapat dalam bulan Safar,
sebagian lagi menyatakan dalam bulan Rajab, sementara yang lain mengatakan dalam
bulan Ramadan.
Kelainan pendapat itu juga mengenai hari bulan ia
dilahirkan. Satu pendapat mengatakan pada malam kedua Rabiul Awal, atau malam
kedelapan, atau kesembilan. Tetapi pada umumnya mengatakan, bahwa dia dilahirkan
pada tanggal duabelas Rabiul Awal. Ini adalah pendapat Ibn Ishaq dan yang
lain.
Selanjutnya terdapat perbedaan pendapat mengenai waktu
kelahirannya, yaitu siang atau malam, demikian juga mengenai tempat kelahirannya
di Mekah. Caussin de Perceval dalam Essai sur l’Histoire des Arabes menyatakan,
bahwa Muhammad dilahirkan bulan Agustus 570, yakni Tahun Gajah, dan bahwa dia
dilahirkan di Mekah di rumah kakeknya Abd’l-Muttalib.
Pada hari ketujuh
kelahirannya itu Abd’l-Muttalib minta disembelihkan unta. Hal ini kemudian
dilakukan dengan mengundang makan masyarakat Quraisy. Setelah mereka mengetahui
bahwa anak itu diberi nama Muhammad, mereka bertanya-tanya mengapa ia tidak suka
memakai nama nenek moyang. “Kuinginkan dia akan menjadi orang yang
Terpuji,1
bagi Tuhan di langit dan bagi makhlukNya di bumi,” jawab Abd’l
Muttalib.
Aminah masih menunggu akan menyerahkan anaknya itu kepada salah
seorang Keluarga Sa’d yang akan menyusukan anaknya, sebagaimana sudah menjadi
kebiasaan bangsawan-bangsawan Arab di Mekah. Adat demikian ini masih berlaku
pada bangsawan-bangsawan Mekah. Pada hari kedelapan sesudah dilahirkan anak
itupun dikirimkan ke pedalaman dan baru kembali pulang ke kota sesudah ia
berumur delapan atau sepuluh tahun. Di kalangan kabilah-kabilah pedalaman yang
terkenal dalam menyusukan ini di antaranya ialah kabilah Banu Sa’d. Sementara
masih menunggu orang yang akan menyusukan itu Aminah menyerahkan anaknya kepada
Thuwaiba, budak perempuan pamannya, Abu Lahab. Selama beberapa waktu ia
disusukan, seperti Hamzah yang juga kemudian disusukannya. Jadi mereka adalah
saudara susuan.
Sekalipun Thuwaiba hanya beberapa hari saja menyusukan,
namun ia tetap memelihara hubungan yang baik sekali selama hidupnya. Setelah
wanita itu meninggal pada tahun ketujuh sesudah ia hijrah ke Medinah, untuk
meneruskan hubungan baik itu ia menanyakan tentang anaknya yang juga menjadi
saudara susuan. Tetapi kemudian ia mengetahui bahwa anak itu juga sudah
meninggal sebelum ibunya.
Akhirnya datang juga wanita-wanita Keluarga
Sa’d yang akan menyusukan itu ke Mekah. Mereka memang mencari bayi yang akan
mereka susukan. Akan tetapi mereka menghindari anak-anak yatim. Sebenarnya
mereka masih mengharapkan sesuatu jasa dari sang ayah. Sedang dari anak-anak
yatim sedikit sekali yang dapat mereka harapkan. Oleh karena itu di antara
mereka itu tak ada yang mau mendatangi Muhammad. Mereka akan mendapat hasil yang
lumayan bila mendatangi keluarga yang dapat mereka harapkan.
Akan tetapi
Halimah bint Abi-Dhua’ib yang pada mulanya menolak Muhammad, seperti yang
lain-lain juga, ternyata tidak mendapat bayi lain sebagai gantinya. Di samping
itu karena dia memang seorang wanita yang kurang mampu, ibu-ibu lainpun tidak
menghiraukannya. Setelah sepakat mereka akan meninggalkan Mekah. Halimah berkata
kepada Harith bin Abd’l-‘Uzza suaminya:
“Tidak senang aku pulang bersama
dengan teman-temanku tanpa membawa seorang bayi. Biarlah aku pergi kepada anak
yatim itu dan akan kubawa juga.”
“Baiklah,” jawab suaminya.
“Mudah-mudahan karena itu Tuhan akan memberi berkah kepada kita.”
Halimah
kemudian mengambil Muhammad dan dibawanya pergi bersama-sama dengan
teman-temannya ke pedalaman. Dia bercerita, bahwa sejak diambilnya anak itu ia
merasa mendapat berkah. Ternak kambingnya gemuk-gemuk dan susunyapun bertambah.
Tuhan telah memberkati semua yang ada padanya. Selama dua tahun Muhammad tinggal
di sahara, disusukan oleh Halimah dan diasuh oleh Syaima’, puterinya. Udara
sahara dan kehidupan pedalaman yang kasar menyebabkannya cepat sekali menjadi
besar, dan menambah indah bentuk dan pertumbuhan badannya. Setelah cukup dua
tahun dan tiba masanya disapih, Halimah membawa anak itu kepada ibunya dan
sesudah itu membawanya kembali ke pedalaman. Hal ini dilakukan karena kehendak
ibunya, kata sebuah keterangan, dan keterangan lain mengatakan karena kehendak
Halimah sendiri. Ia dibawa kembali supaya lebih matang, juga memang dikuatirkan
dari adanya serangan wabah Mekah.
Dua tahun lagi anak itu tinggal di
sahara, menikmati udara pedalaman yang jernih dan bebas, tidak terikat oleh
sesuatu ikatan jiwa, juga tidak oleh ikatan materi.
Pada masa itu,
sebelum usianya mencapai tiga tahun, ketika itulah terjadi cerita yang banyak
dikisahkan orang. Yakni, bahwa sementara ia dengan saudaranya yang sebaya sesama
anak-anak itu sedang berada di belakang rumah di luar pengawasan keluarganya,
tiba-tiba anak yang dari Keluarga Sa’d itu kembali pulang sambil berlari, dan
berkata kepada ibu-bapanya: “Saudaraku yang dari Quraisy itu telah diambil oleh
dua orang laki-laki berbaju putih. Dia dibaringkan, perutnya dibedah, sambil di
balik-balikan.”
Dan tentang Halimah ini ada juga diceritakan, bahwa
mengenai diri dan suaminya ia berkata: “Lalu saya pergi dengan ayahnya ke tempat
itu. Kami jumpai dia sedang berdiri. Mukanya pucat-pasi. Kuperhatikan dia.
demikian juga ayahnya. Lalu kami tanyakan: “Kenapa kau, nak?” Dia menjawab: “Aku
didatangi oleh dua orang laki-laki berpakaian putih. Aku di baringkan, lalu
perutku di bedah. Mereka mencari sesuatu di dalamnya. Tak tahu aku apa yang
mereka cari.”
Halimah dan suaminya kembali pulang ke rumah. Orang itu
sangat ketakutan, kalau-kalau anak itu sudah kesurupan. Sesudah itu, dibawanya
anak itu kembali kepada ibunya di Mekah. Atas peristiwa ini Ibn Ishaq membawa
sebuah Hadis Nabi sesudah kenabiannya. Tetapi dalam menceritakan peristiwa ini
Ibn Ishaq nampaknya hati-hati sekali dan mengatakan bahwa sebab dikembalikannya
kepada ibunya bukan karena cerita adanya dua malaikat itu, melainkan - seperti
cerita Halimah kepada Aminah - ketika ia di bawa pulang oleh Halimah sesudah
disapih, ada beberapa orang Nasrani Abisinia memperhatikan Muhammad dan
menanyakan kepada Halimah tentang anak itu. Dilihatnya belakang anak itu, lalu
mereka berkata:
“Biarlah kami bawa anak ini kepada raja kami di negeri
kami. Anak ini akan menjadi orang penting. Kamilah yang mengetahui keadaannya.”
Halimah lalu cepat-cepat menghindarkan diri dari mereka dengan membawa anak itu.
Demikian juga cerita yang dibawa oleh Tabari, tapi ini masih di ragukan; sebab
dia menyebutkan Muhammad dalam usianya itu, lalu kembali menyebutkan bahwa hal
itu terjadi tidak lama sebelum kenabiannya dan usianya empatpuluh tahun.
Catatan kaki:
1 Muhammad atau Mahmud artinya yang terpuji (A).
Baik kaum
Orientalis maupun beberapa kalangan kaum Muslimin sendiri tidak merasa puas
dengan cerita dua malaikat ini dan menganggap sumber itu lemah sekali. Yang
melihat kedua laki-laki (malaikat) dalam cerita penulis-penulis sejarah itu
hanya anak-anak yang baru dua tahun lebih sedikit umurnya. Begitu juga umur
Muhammad waktu itu. Akan tetapi sumber-sumber itu sependapat bahwa Muhammad
tinggal di tengah-tengah Keluarga Sa’d itu sampai mencapai usia lima tahun.
Andaikata peristiwa itu terjadi ketika ia berusia dua setengah tahun, dan ketika
itu Halimah dan suaminya mengembalikannya kepada ibunya, tentulah terdapat
kontradiksi dalam dua sumber cerita itu yang tak dapat diterima. Oleh karena itu
beberapa penulis berpendapat, bahwa ia kembali dengan Halimah itu untuk ketiga
kalinya.
Dalam hal ini Sir William Muir tidak mau menyebutkan cerita
tentang dua orang berbaju putih itu, dan hanya menyebutkan, bahwa kalau Halimah
dan suaminya sudah menyadari adanya suatu gangguan kepada anak itu, maka mungkin
saja itu adalah suatu gangguan krisis urat-saraf, dan kalau hal itu tidak sampai
mengganggu kesehatannya ialah karena bentuk tubuhnya yang baik. Barangkali yang
lainpun akan berkata: Baginya tidak diperlukan lagi akan ada yang harus membelah
perut atau dadanya, sebab sejak dilahirkan Tuhan sudah mempersiapkannya supaya
menjalankan risalahNya. Dermenghem berpendapat, bahwa cerita ini tidak mempunyai
dasar kecuali dari yang diketahui orang dari teks ayat yang berbunyi: “Bukankah
sudah Kami lapangkan dadamu? Dan sudah Kami lepaskan beban dari kau? Yang telah
memberati punggungmu?” (Qur’an 94:
1-3)
Apa yang telah diisyaratkan Qur’an itu adalah dalam arti
rohani semata, yang maksudnya ialah membersihkan (menyucikan) dan mencuci hati
yang akan menerima Risalah Kudus, kemudian meneruskannya seikhlas-ikhlasnya,
dengan menanggung segala beban karena Risalah yang berat itu.
Dengan
demikian apa yang diminta oleh kaum Orientalis dan pemikir-pemikir Muslim dalam
hal ini ialah bahwa peri hidup Muhammad adalah sifatnya manusia semata-mata dan
bersifat peri kemanusiaan yang luhur. Dan untuk memperkuat kenabiannya itu
memang tidak perlu ia harus bersandar kepada apa yang biasa dilakukan oleh
mereka yang suka kepada yang ajaib-ajaib. Dengan demikian mereka beralasan
sekali menolak tanggapan penulis-penulis Arab dan kaum Muslimin tentang peri
hidup Nabi yang tidak masuk akal itu. Mereka berpendapat bahwa apa yang
dikemukakan itu tidak sejalan dengan apa yang diminta oleh Qur’an supaya
merenungkan ciptaan Tuhan, dan bahwa undang-undang Tuhan takkan ada yang
berubah-ubah. Tidak sesuai dengan ekspresi Qur’an tentang kaum Musyrik yang
tidak mau mendalami dan tidak mau mengerti juga.
Muhammad tinggal pada
Keluarga Sa’d sampai mencapai usia lima tahun, menghirup jiwa kebebasan dan
kemerdekaan dalam udara sahara yang lepas itu. Dari kabilah ini ia belajar
mempergunakan bahasa Arab yang murni, sehingga pernah ia mengatakan kepada
teman-temannya kemudian: “Aku yang paling fasih di antara kamu sekalian. Aku
dari Quraisy tapi diasuh di tengah-tengah Keluarga Sa’d bin Bakr.”
Lima
tahun masa yang ditempuhnya itu telah memberikan kenangan yang indah sekali dan
kekal dalam jiwanya. Demikian juga Ibu Halimah dan keluarganya tempat dia
menumpahkan rasa kasih sayang dan hormat selama hidupnya itu.
Penduduk
daerah itu pernah mengalami suatu masa paceklik sesudah perkawinan Muhammad
dengan Khadijah. Bilamana Halimah kemudian mengunjunginya, sepulangnya ia
dibekali dengan harta Khadijah berupa unta yang dimuati air dan empat puluh ekor
kambing. Dan setiap dia datang dibentangkannya pakaiannya yang paling berharga
untuk tempat duduk Ibu Halimah sebagai tanda penghormatan. Ketika Syaima,
puterinya berada di bawah tawanan bersama-sama pihak Hawazin setelah Ta’if
dikepung, kemudian dibawa kepada Muhammad, ia segera mengenalnya. Ia dihormati
dan dikembalikan kepada keluarganya sesuai dengan keinginan wanita
itu.
Sesudah lima tahun, kemudian Muhammad kembali kepada ibunya.
Dikatakan juga, bahwa Halimah pernah mencari tatkala ia sedang membawanya pulang
ketempat keluarganya tapi tidak menjumpainya. Ia mendatangi Abd’l-Muttalib dan
memberitahukan bahwa Muhammad telah sesat jalan ketika berada di hulu kota
Mekah. Lalu Abd’l-Muttalibpun menyuruh orang mencarinya, yang akhirnya
dikembalikan oleh Waraqa bin Naufal, demikian setengah orang
berkata.
Kemudian Abd’l-Muttalib yang bertindak mengasuh cucunya itu. Ia
memeliharanya sungguh-sungguh dan mencurahkan segala kasih-sayangnya kepada cucu
ini. Biasanya buat orang tua itu - pemimpin seluruh Quraisy dan pemimpin Mekah -
diletakkannya hamparan tempat dia duduk di bawah naungan Ka’bah, dan
anak-anaknya lalu duduk pula sekeliling hamparan itu sebagai penghormatan kepada
orang tua. Tetapi apabila Muhammad yang datang maka didudukkannya ia di
sampingnya diatas hamparan itu sambil ia mengelus-ngelus punggungnya. Melihat
betapa besarnya rasa cintanya itu paman-paman Muhammad tidak mau membiarkannya
di belakang dari tempat mereka duduk itu.
Lebih-lebih lagi kecintaan
kakek itu kepada cucunya ketika Aminah kemudian membawa anaknya itu ke Medinah
untuk diperkenalkan kepada saudara-saudara kakeknya dari pihak Keluarga
Najjar.
Dalam perjalanan itu dibawanya juga Umm Aiman, budak perempuan
yang ditinggalkan ayahnya dulu. Sesampai mereka di Medinah kepada anak itu
diperlihatkan rumah tempat ayahnya meninggal dulu serta tempat ia dikuburkan.
Itu adalah yang pertama kali ia merasakan sebagai anak yatim. Dan barangkali
juga ibunya pernah menceritakan dengan panjang lebar tentang ayah tercinta itu,
yang setelah beberapa waktu tinggal bersama-sama, kemudian meninggal dunia di
tengah-tengah pamannya dari pihak ibu. Sesudah Hijrah pernah juga Nabi
menceritakan kepada sahabat-sahabatnya kisah perjalanannya yang pertama ke
Medinah dengan ibunya itu. Kisah yang penuh cinta pada Medinah, kisah yang penuh
duka pada orang yang ditinggalkan keluarganya.
Sesudah cukup sebulan
mereka tinggal di Medinah, Aminah sudah bersiap-siap akan pulang. Ia dan
rombongan kembali pulang dengan dua ekor unta yang membawa mereka dari Mekah.
Tetapi di tengah perjalanan, ketika mereka sampai di Abwa’,2 ibunda Aminah menderita sakit, yang kemudian meninggal dan
dikuburkan pula di tempat itu.
Anak itu oleh Umm Aiman dibawa pulang ke
Mekah, pulang menangis dengan hati yang pilu, sebatang kara. Ia makin merasa
kehilangan; sudah ditakdirkan menjadi anak yatim. Terasa olehnya hidup yang
makin sunyi, makin sedih. Baru beberapa hari yang lalu ia mendengar dari Ibunda
keluhan duka kehilangan Ayahanda semasa ia masih dalam kandungan. Kini ia
melihat sendiri dihadapannya, ibu pergi untuk tidak kembali lagi, seperti ayah
dulu. Tubuh yang masih kecil itu kini dibiarkan memikul beban hidup yang berat,
sebagai yatim-piatu.
Lebih-lebih lagi kecintaan Abd’l-Muttalib kepadanya.
Tetapi sungguhpun begitu, kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu itu bekasnya
masih mendalam sekali dalam jiwanya sehingga di dalam Qur’anpun disebutkan,
ketika Allah mengingatkan Nabi akan nikmat yang dianugerahkan kepadanya itu:
“Bukankah engkau dalam keadaan yatim-piatu? Lalu diadakanNya orang yang akan
melindungimu? Dan menemukan kau kehilangan pedoman, lalu ditunjukkanNya jalan
itu?” (Qur’an, 93: 6-7)
Kenangan yang
memilukan hati ini barangkali akan terasa agak meringankan juga sedikit,
sekiranya Abd’l-Muttalib masih dapat hidup lebih lama lagi. Tetapi orang tua itu
juga meninggal, dalam usia delapanpuluh tahun, sedang Muhammad waktu itu baru
berumur delapan tahun. Sekali lagi Muhammad dirundung kesedihan karena kematian
kakeknya itu, seperti yang sudah dialaminya ketika ibunya meninggal. Begitu
sedihnya dia, sehingga selalu ia menangis sambil mengantarkan keranda jenazah
sampai ketempat peraduan terakhir.
Bahkan sesudah itupun ia masih tetap
mengenangkannya sekalipun sesudah itu, di bawah asuhan Abu Talib pamannya ia
mendapat perhatian dan pemeliharaan yang baik sekali, mendapat perlindungan
sampai masa kenabiannya, yang terus demikian sampai pamannya itupun achirnya
meninggal.
Sebenarnya kematian Abd’l-Muttalib ini merupakan pukulan berat
bagi Keluarga Hasyim semua. Di antara anak-anaknya itu tak ada yang seperti dia:
mempunyai keteguhan hati, kewibawaan, pandangan yang tajam, terhormat dan
berpengaruh di kalangan Arab semua. Dia menyediakan makanan dan minuman bagi
mereka yang datang berziarah, memberikan bantuan kepada penduduk Mekah bila
mereka mendapat bencana. Sekarang ternyata tak ada lagi dari anak-anaknya itu
yang akan dapat meneruskan. Yang dalam keadaan miskin, tidak mampu melakukan
itu, sedang yang kaya hidupnya kikir sekali. Oleh karena itu maka Keluarga Umaya
yang lalu tampil ke depan akan mengambil tampuk pimpinan yang memang sejak dulu
diinginkan itu, tanpa menghiraukan ancaman yang datang dari pihak Keluarga
Hasyim.
Pengasuhan Muhammad di pegang oleh Abu Talib, sekalipun dia bukan
yang tertua di antara saudara-saudaranya. Saudara tertua adalah Harith, tapi dia
tidak seberapa mampu. Sebaliknya Abbas yang mampu, tapi dia kikir sekali dengan
hartanya. Oleh karena itu ia hanya memegang urusan siqaya (pengairan) tanpa
mengurus rifada (makanan). Sekalipun dalam kemiskinannya itu, tapi Abu Talib
mempunyai perasaan paling halus dan terhormat di kalangan Quraisy. Dan tidak
pula mengherankan kalau Abd’l-Muttalib menyerahkan asuhan Muhammad kemudian
kepada Abu Talib.
Abu Talib mencintai kemenakannya itu sama seperti
Abd’l-Muttalib juga. Karena kecintaannya itu ia mendahulukan kemenakan daripada
anak-anaknya sendiri. Budi pekerti Muhammad yang luhur, cerdas, suka berbakti
dan baik hati, itulah yang lebih menarik hati pamannya. Pernah pada suatu ketika
ia akan pergi ke Syam membawa dagangan - ketika itu usia Muhammad baru duabelas
tahun - mengingat sulitnya perjalanan menyeberangi padang pasir, tak terpikirkan
olehnya akan membawa Muhammad. Akan tetapi Muhammad yang dengan ikhlas
menyatakan akan menemani pamannya itu, itu juga yang menghilangkan sikap
ragu-ragu dalam hati Abu Talib.
Anak itu lalu turut serta dalam rombongan
kafilah, hingga sampai di Bushra di sebelah selatan Syam. Dalam buku-buku
riwayat hidup Muhammad diceritakan, bahwa dalam perjalanan inilah ia bertemu
dengan rahib Bahira, dan bahwa rahib itu telah melihat tanda-tanda kenabian
padanya sesuai dengan petunjuk cerita-cerita Kristen. Sebagian sumber
menceritakan, bahwa rahib itu menasehatkan keluarganya supaya jangan terlampau
dalam memasuki daerah Syam, sebab dikuatirkan orang-orang Yahudi yang mengetahui
tanda-tanda itu akan berbuat jahat terhadap dia.
Dalam perjalanan itulah
sepasang mata Muhammad yang indah itu melihat luasnya padang pasir, menatap
bintang-bintang yang berkilauan di langit yang jernih cemerlang. Dilaluinya
daerah-daerah Madyan, Wadit’l-Qura serta peninggalan bangunan-bangunan Thamud.
Didengarnya dengan telinganya yang tajam segala cerita orang-orang Arab dan
penduduk pedalaman tentang bangunan-bangunan itu, tentang sejarahnya masa
lampau. Dalam perjalanan ke daerah Syam ini ia berhenti di kebun-kebun yang
lebat dengan buab-buahan yang sudah masak, yang akan membuat ia lupa akan
kebun-kebun di Ta’if serta segala cerita orang tentang itu. Taman-taman yang
dilihatnya dibandingkannya dengan dataran pasir yang gersang dan gunung-gunung
tandus di sekeliling Mekah itu. Di Syam ini juga Muhammad mengetahui
berita-berita tentang Kerajaan Rumawi dan agama Kristennya, didengarnya berita
tentang Kitab Suci mereka serta oposisi Persia dari penyembah api terhadap
mereka dan persiapannya menghadapi perang dengan Persia.
Sekalipun
usianya baru dua belas tahun, tapi dia sudah mempunyai persiapan kebesaran jiwa,
kecerdasan dan ketajaman otak, sudah mempunyai tinjauan yang begitu dalam dan
ingatan yang cukup kuat serta segala sifat-sifat semacam itu yang diberikan alam
kepadanya sebagai suatu persiapan akan menerima risalah (misi) maha besar yang
sedang menantinya. Ia melihat ke sekeliling, dengan sikap menyelidiki, meneliti.
Ia tidak puas terhadap segala yang didengar dan dilihatnya. Ia bertanya kepada
diri sendiri: Di manakah kebenaran dari semua itu?
Tampaknya Abu Talib
tidak banyak membawa harta dari perjalanannya itu. Ia tidak lagi mengadakan
perjalanan demikian. Malah sudah merasa cukup dengan yang sudah diperolehnya
itu. Ia menetap di Mekah mengasuh anak-anaknya yang banyak sekalipun dengan
harta yang tidak seberapa. Muhammad juga tinggal dengan pamannya, menerima apa
yang ada. Ia melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh mereka yang seusia
dia. Bila tiba bulan-bulan suci, kadang ia tinggal di Mekah dengan keluarga,
kadang pergi bersama mereka ke pekan-pekan yang berdekatan dengan ‘Ukaz, Majanna
dan Dhu’l-Majaz, mendengarkan sajak-sajak yang dibawakan oleh penyair-penyair
Mudhahhabat dan Mu’allaqat.3 Pendengarannya terpesona
oleh sajak-sajak yang fasih melukiskan lagu cinta dan puisi-puisi kebanggaan,
melukiskan nenek moyang mereka, peperangan mereka, kemurahan hati dan jasa-jasa
mereka. Didengarnya ahli-ahli pidato di antaranya orang-orang Yahudi dan Nasrani
yang membenci paganisma Arab. Mereka bicara tentang Kitab-kitab Suci Isa dan
Musa, dan mengajak kepada kebenaran menurut keyakinan mereka. Dinilainya semua
itu dengan hati nuraninya, dilihatnya ini lebih baik daripada paganisma yang
telah menghanyutkan keluarganya itu. Tetapi tidak sepenuhnya ia merasa
lega.
Dengan demikian sejak muda-belia takdir telah mengantarkannya ke
jurusan yang akan membawanya ke suatu saat bersejarah, saat mula pertama
datangnya wahyu, tatkala Tuhan memerintahkan ia menyampaikan risalahNya itu.
Yakni risalah kebenaran dan petunjuk bagi seluruh umat manusia.
Kalau
Muhammad sudah mengenal seluk-beluk jalan padang pasir dengan pamannya Abu
Talib, sudah mendengar para penyair, ahli-ahli pidato membacakan sajak-sajak dan
pidato-pidato dengan keluarganya dulu di pekan sekitar Mekah selama bulan-bulan
suci, maka ia juga telah mengenal arti memanggul senjata, ketika ia mendampingi
paman-pamannya dalam Perang Fijar. Dan Perang Fijar itulah di antaranya yang
telah menimbulkan dan ada sangkut-pautnya dengan peperangan di kalangan
kabilah-kabilah Arab. Dinamakan al-fijar4 ini
karena ia terjadi dalam bulan-bulan suci, pada waktu kabilah-kabilah seharusnya
tidak boleh berperang. Pada waktu itulah pekan-pekan dagang diadakan di ‘Ukaz,
yang terletak antara Ta’if dengan Nakhla dan antara Majanna dengan Dhu’l-Majaz,
tidak jauh dari ‘Arafat. Mereka di sana saling tukar menukar perdagangan,
berlumba dan berdiskusi, sesudah itu kemudian berziarah ke tempat
berhala-berhala mereka di Ka’bah. Pekan ‘Ukaz adalah pekan yang paling terkenal
di antara pekan-pekan Arab lainnya. Di tempat itu penyair-penyair terkemuka
membacakan sajak-sajaknya yang terbaik, di tempat itu Quss (bin Sa’ida)
berpidato dan di tempat itu pula orang-orang Yahudi, Nasrani dan
penyembah-penyembah berhala masing-masing mengemukakan pandangan dengan bebas,
sebab bulan itu bulan suci.
Akan tetapi Barradz bin Qais dari kabilah
Kinana tidak lagi menghormati bulan suci itu dengan mengambil kesempatan
membunuh ‘Urwa ar-Rahhal bin ‘Utba dari kabilah Hawazin. Kejadian ini disebabkan
oleh karena Nu’man bin’l-Mundhir setiap tahun mengirimkan sebuah kafilah dari
Hira ke ‘Ukaz membawa muskus, dan sebagai gantinya akan kembali dengan membawa
kulit hewan, tali, kain tenun sulam Yaman. Tiba-tiba Barradz tampil sendiri dan
membawa kafilah itu ke bawah pengawasan kabilah Kinana. Demikian juga ‘Urwa lalu
tampil pula sendiri dengan melintasi jalan Najd menuju Hijaz.
Adapun
pilihan Nu’man terhadap ‘Urwa (Hawazin) ini telah menimbulkan kejengkelan
Barradz (Kinana), yang kemudian mengikutinya dari belakang, lalu membunuhnya dan
mengambil kabilah itu. Sesudah itu kemudian Barradz memberitahukan kepada Basyar
bin Abi Hazim, bahwa pihak Hawazin akan menuntut balas kepada Quraisy. Fihak
Hawazin segera menyusul Quraisy sebelum masuknya bulan suci. Maka terjadilah
perang antara mereka itu. Pihak Quraisy mundur dan menggabungkan diri dengan
pihak yang menang di Mekah. Pihak Hawazin memberi peringatan bahwa tahun depan
perang akan diadakan di ‘Ukaz.
Perang demikian ini berlangsung antara
kedua belah pihak selama empat tahun terus-menerus dan berakhir dengan suatu
perdamaian model pedalaman, yaitu yang menderita korban manusia lebih kecil
harus membayar ganti sebanyak jumlah kelebihan korban itu kepada pihak lain.
Maka dengan demikian Quraisy telah membayar kompensasi sebanyak duapuluh orang
Hawazin. Nama Barradz ini kemudian menjadi peribahasa yang menggambarkan
kemalangan. Sejarah tidak memberikan kepastian mengenai umur Muhammad pada waktu
Perang Fijar itu terjadi. Ada yang mengatakan umurnya limabelas tahun, ada juga
yang mengatakan duapuluh tahun. Mungkin sebab perbedaan ini karena perang
tersebut berlangsung selama empat tahun. Pada tahun permulaan ia berumur
limabelas tahun dan pada tahun berakhirnya perang itu ia sudah memasuki umur
duapuluh tahun.
Catatan kaki:
2 Abwa’ ialah sebuah desa antara Medinah dengan Juhfa,
jaraknya 23 mil (37 km) dari Medinah.
3 Al-Mu’allaqat nama yang diberikan
kepada tujuh buah kumpulan puisi Arab pra Islam yang dianggap terbaik, oleh
tujuh penyair: Imr’l-Qais, Tarafa, Zuhair, Labid, ‘Antara, ‘Amr ibn Kulthum dan
Harith ibn Hilizza. Mu’allaqat berarti ‘yang digantungkan’ yakni sajak-sajak
yang ditulis dengan tinta emas (almudhahhab) di atas kain lina (A).
4 Pelanggaran
terhadap ketentuan yang berlaku (A).
Juga orang
berselisih pendapat mengenai tugas yang dipegang Muhammad dalam perang itu. Ada
yang mengatakan tugasnya mengumpulkan anak-anak panah yang datang dari pihak
Hawazin lalu di berikan kepada paman-pamannya untuk dibalikkan kembali kepada
pihak lawan. Yang lain lagi berpendapat, bahwa dia sendiri yang ikut melemparkan
panah. Tetapi, selama peperangan tersebut telah berlangsung sampai empat tahun,
maka kebenaran kedua pendapat itu dapat saja diterima. Mungkin pada mulanya ia
mengumpulkan anak-anak panah itu untuk pamannya dan kemudian dia sendiripun ikut
melemparkan. Beberapa tahun sesudah kenabiannya Rasulullah menyebutkan tentang
Perang Fijar itu dengan berkata: “Aku mengikutinya bersama dengan paman-pamanku,
juga ikut melemparkan panah dalam perang itu; sebab aku tidak suka kalau tidak
juga aku ikut melaksanakan.”
Sesudah Perang Fijar Quraisy merasakan
sekali bencana yang menimpa mereka dan menimpa Mekah seluruhnya, yang disebabkan
oleh perpecahan, sesudah Hasyim dan ‘Abd’l-Muttalib wafat, dan masing-masing
pihak berkeras mau jadi yang berkuasa. Kalau tadinya orang-orang Arab itu
menjauhi, sekarang mereka berebut mau berkuasa. Atas anjuran Zubair bin
‘Abd’l-Muttalib di rumah Abdullah bin Jud’an diadakan pertemuan dengan
mengadakan jamuan makan, dihadiri oleh keluarga-keluarga Hasyim, Zuhra dan Taym.
Mereka sepakat dan berjanji atas nama Tuhan Maha Pembalas, bahwa Tuhan akan
berada di pihak yang teraniaya sampai orang itu tertolong. Muhammad menghadiri
pertemuan itu yang oleh mereka disebut Hilf’l-Fudzul. Ia mengatakan, “Aku tidak
suka mengganti fakta yang kuhadiri di rumah Ibn Jud’an itu dengan jenis unta
yang baik. Kalau sekarang aku diajak pasti kukabulkan.”
Seperti kita
lihat, Perang Fijar itu berlangsung hanya beberapa hari saja tiap tahun. Sedang
selebihnya masyarakat Arab kembali ke pekerjaannya masing-masing. Pahit-getirnya
peperangan yang tergores dalam hati mereka tidak akan menghalangi mereka dari
kegiatan perdagangan, menjalankan riba, minum minuman keras serta pelbagai macam
kesenangan dan hiburan sepuas-puasnya
Adakah juga Muhammad ikut serta
dengan mereka dalam hal ini? Ataukah sebaliknya perasaannya yang halus,
kemampuannya yang terbatas serta asuhan pamannya membuatnya jadi menjauhi semua
itu, dan melihat segala kemewahan dengan mata bernafsu tapi tidak mampu?
Bahwasanya dia telah menjauhi semua itu, sejarah cukup menjadi saksi. Yang
terang ia menjauhi itu bukan karena tidak mampu mencapainya. Mereka yang tinggal
di pinggiran Mekah, yang tidak mempunyai mata pencarian, hidup dalam kemiskinan
dan kekurangan, ikut hanyut juga dalam hiburan itu. Bahkan di antaranya lebih
gila lagi dari pemuka-pemuka Mekah dan bangsawan-bangsawan Quraisy dalam
menghanyutkan diri ke dalam kesenangan demikian itu.
Akan tetapi jiwa
Muhammad adalah jiwa yang ingin melihat, ingin mendengar, ingin mengetahui. Dan
seolah tidak ikut sertanya ia belajar seperti yang dilakukan teman-temannya dari
anak-anak bangsawan menyebabkan ia lebih keras lagi ingin memiliki pengetahuan.
Karena jiwanya yang besar, yang kemudian pengaruhnya tampak berkilauan menerangi
dunia, jiwa besar yang selalu mendambakan kesempurnaan, itu jugalah yang
menyebabkan dia menjauhi foya-foya, yang biasa menjadi sasaran utama pemduduk
Mekah. Ia mendambakan cahaya hidup yang akan lahir dalam segala manifestasi
kehidupan, dan yang akan dicapainya hanya dengan dasar kebenaran. Kenyataan ini
dibuktikan oleh julukan yang diberikan orang kepadanya dan bawaan yang ada dalam
dirinya. Itu sebabnya, sejak masa ia kanak-kanak gejala kesempurnaan, kedewasaan
dan kejujuran hati sudah tampak, sehingga penduduk Mekah semua memanggilnya
Al-Amin (artinya ‘yang dapat dipercaya’).
Yang menyebabkan dia lebih
banyak merenung dan berpikir, ialah pekerjaannya menggembalakan kambing sejak
dalam masa mudanya itu. Dia menggembalakan kambing keluarganya dan kambing
penduduk Mekah. Dengan rasa gembira ia menyebutkan saat-saat yang dialaminya
pada waktu menggembala itu. Di antaranya ia berkata: “Nabi-nabi yang diutus
Allah itu gembala kambing.” Dan katanya lagi: “Musa diutus, dia gembala kambing,
Daud diutus, dia gembala kambing, aku diutus, juga gembala kambing keluargaku di
Ajyad.”
Gembala kambing yang berhati terang itu, dalam udara yang bebas
lepas di siang hari, dalam kemilau bintang bila malam sudah bertahta, menemukan
suatu tempat yang serasi untuk pemikiran dan permenungannya. Ia menerawang dalam
suasana alam demikian itu, karena ia ingin melihat sesuatu di balik semua itu.
Dalam pelbagai manifestasi alam ia mencari suatu penafsiran tentang penciptaan
semesta ini. Ia melihat dirinya sendiri. Karena hatinya yang terang, jantungnya
yang hidup, ia melihat dirinya tidak terpisah dari alam semesta itu. Bukankah
juga ia menghirup udaranya, dan kalau tidak demikian berarti kematian? Bukankah
ia dihidupkan oleh sinar matahari, bermandikan cahaya bulan dan kehadirannya
berhubungan dengan bintang-bintang dan dengan seluruh alam? Bintang-bintang dan
semesta alam yang tampak membentang di depannya, berhubungan satu dengan yang
lain dalam susunan yang sudah ditentukan, matahari tiada seharusnya dapat
mengejar bulan atau malam akan mendahului siang. Apabila kelompok kambing yang
ada di depan Muhammad itu memintakan kesadaran dan perhatiannya supaya jangan
ada serigala yang akan menerkam domba itu, jangan sampai - selama tugasnya di
pedalaman itu - ada domba yang sesat, maka kesadaran dan kekuatan apakah yang
menjaga susunan alam yang begitu kuat ini?
Pemikiran dan permenungan
demikian membuat ia jauh dari segala pemikiran nafsu manusia duniawi. Ia berada
lebih tinggi dari itu sehingga adanya hidup palsu yang sia-sia akan tampak jelas
di hadapannya. Oleh karena itu, dalam perbuatan dan tingkah-lakunya Muhammad
terhindar dari segala penodaan nama yang sudah diberikan kepadanya oleh penduduk
Mekah, dan memang begitu adanya: Al-Amin.
Semua ini dibuktikan oleh
keterangan yang diceritakannya kemudian, bahwa ketika itu ia sedang menggembala
kambing dengan seorang kawannya. Pada suatu hari hatinya berkata, bahwa ia ingin
bermain-main seperti pemuda-pemuda lain. Hal ini dikatakannya kepada kawannya
pada suatu senja, bahwa ia ingin turun ke Mekah, bermain-main seperti para
pemuda di gelap malam, dan dimintanya kawannya menjagakan kambing ternaknya itu.
Tetapi sesampainya diujung Mekah, perhatiannya tertarik pada suatu pesta
perkawinan dan dia hadir di tempat itu. Tetapi tiba-tiba ia tertidur. Pada malam
berikutnya datang lagi ia ke Mekah, dengan maksud yang sama. Terdengar olehnya
irama musik yang indah, seolah turun dari langit. Ia duduk mendengarkan. Lalu
tertidur lagi sampai pagi.
Jadi apakah gerangan pengaruh segala daya
penarik Mekah itu terhadap kalbu dan jiwa yang begitu padat oleh pikiran dan
renungan? Gerangan apa pula artinya segala daya penarik yang kita gambarkan itu
yang juga tidak disenangi oleh mereka yang martabatnya jauh di bawah
Muhammad?
Karena itu ia terhindar dari cacat. Yang sangat terasa benar
nikmatnya, ialah bila ia sedang berpikir atau merenung. Dan kehidupan berpikir
dan merenung serta kesenangan bekerja sekadarnya seperti menggembalakan kambing,
bukanlah suatu cara hidup yang membawa kekayaan berlimpah-limpah baginya. Dan
memang tidak pernah Muhammad mempedulikan hal itu. Dalam hidupnya ia memang
menjauhkan diri dari segala pengaruh materi. Apa gunanya ia mcngejar itu padahal
sudah menjadi bawaannya ia tidak pernah tertarik? Yang diperlukannya dalam hidup
ini asal dia masih dapat menyambung hidupnya.
Bukankah dia juga yang
pernahh berkata: “Kami adalah golongan yang hanya makan bila merasa lapar, dan
bila sudah makan tidak sampai kenyang?” Bukankah dia juga yang sudah dikenal
orang hidup dalam kekurangan selalu dan minta supaya orang bergembira menghadapi
penderitaan hidup? Cara orang mengejar harta dengan serakah hendak memenuhi hawa
nafsunya, sama sekali tidak pernah dikenal Muhammad selama hidupnya. Kenikmatan
jiwa yang paling besar, ialah merasakan adanya keindahan alam ini dan mengajak
orang merenungkannya. Suatu kenikmatan besar, yang hanya sedikit saja dikenal
orang. Kenikmatan yang dirasakan Muhammad sejak masa pertumbuhannya yang
mula-mula yang telah diperlihatkan dunia sejak masa mudanya adalah kenangan yang
selalu hidup dalam jiwanya, yang mengajak orang hidup tidak hanya mementingkan
dunia. Ini dimulai sejak kematian ayahnya ketika ia masih dalam kandungan,
kemudian kematian ibunya, kemudian kematian kakeknya. Kenikmatan demikian ini
tidak memerlukan harta kekayaan yang besar, tetapi memerlukan suatu kekayaan
jiwa yang kuat. sehingga orang dapat mengetahui: bagaimana ia memelihara diri
dan menyesuaikannya dengan kehidupan batin.
Andaikata pada waktu itu
Muhammad dibiarkan saja begitu, tentu takkan tertarik ia kepada harta. Dengan
keadaannya itu ia akan tetap bahagia, seperti halnya dengan gembala-gembala
pemikir, yang telah menggabungkan alam ke dalam diri mereka dan telah pula
mereka berada dalam pelukan kalbu alam.
Akan tetapi Abu Talib pamannya -
seperti sudah kita sebutkan tadi -hidup miskin dan banyak anak. Dari
kemenakannya itu ia mengharapkan akan dapat memberikan tambahan rejeki yang akan
diperoleh dari pemilik-pemilik kambing yang kambingnya digembalakan. Suatu waktu
ia mendengar berita, bahwa Khadijah bint Khuwailid mengupah orang-orang Quraisy
untuk menjalankan perdagangannya. Khadijah adalah seorang wanita pedagang yang
kaya dan dihormati, mengupah orang yang akan memperdagangkan hartanya itu.
Berasal dari Keluarga (Banu) Asad, ia bertambah kaya setelah dua kali ia kawin
dengan keluarga Makhzum, sehingga dia menjadi seorang penduduk Mekah yang
terkaya. Ia menjalankan dagangannya itu dengan bantuan ayahnya Khuwailid dan
beberapa orang kepercayaannya. Beberapa pemuka Quraisy pernah melamarnya, tetapi
ditolaknya. Ia yakin mereka itu melamar hanya karena memandang hartanya.
Sungguhpun begitu usahanya itu terus dikembangkan.
Tatkala Abu Talib
mengetahui, bahwa Khadijah sedang menyiapkan perdagangan yang akan dibawa dengan
kafilah ke Syam, ia memanggil kemenakannya - yang ketika itu sudah berumur
duapuluh lima tahun.
“Anakku,” kata Abu Talib, “aku bukan orang berpunya.
Keadaan makin menekan kita juga. Aku mendengar, bahwa Khadijah mengupah orang
dengan dua ekor anak unta. Tapi aku tidak setuju kalau akan mendapat upah
semacam itu juga. Setujukah kau kalau hal ini kubicarakan dengan
dia?”
“Terserah paman,” jawab Muhammad.
Abu Talibpun pergi
mengunjungi Khadijah:
“Khadijah, setujukah kau mengupah Muhammad?” tanya
Abu Talib. “Aku mendengar engkau mengupah orang dengan dua ekor anak unta Tapi
buat Muhammad aku tidak setuju kurang dari empat ekor.”
“Kalau
permintaanmu itu buat orang yang jauh dan tidak kusukai, akan kukabulkan,
apalagi buat orang yang dekat dan kusukai.” Demikian jawab
Khadijah.
Kembalilah sang paman kepada kemenakannya dengan menceritakan
peristiwa itu. “Ini adalah rejeki yang dilimpahkan Tuhan kepadamu,”
katanya.
Setelah mendapat nasehat paman-pamannya Muhammad pergi dengan
Maisara, budak Khadijah. Dengan mengambil jalan padang pasir kafilah itupun
berangkat menuju Syam, dengan melalui Wadi’l-Qura, Madyan dan Diar Thamud serta
daerah-daerah yang dulu pernah dilalui Muhammad dengan pamannya Abu Talib
tatkala umurnya baru duabelas tahun.
Perjalanan sekali ini telah
menghidupkan kembali kenangannya tentag perjalanan yang pertama dulu itu. Hal
ini menambah dia lebih banyak bermenung, lebih banyak berpikir tentang segala
yang pernah dilihat, yang pernah didengar sebelumnya: tentang peribadatan dan
kepercayaan-kepercayaan di Syam atau di pasar-pasar sekeliling
Mekah.
Setelah sampai di Bushra ia bertemu dengan agama Nasrani Syam. Ia
bicara dengan rahib-rahib dan pendeta-pendeta agama itu, dan seorang rahib
Nestoria juga mengajaknya bicara. Barangkali dia atau rahib-rahib lain pernah
juga mengajak Muhammad berdebat tentang agama Isa, agama yang waktu itu sudah
berpecah-belah menjadi beberapa golongan dan sekta-sekta - seperti sudah kita
uraikan di atas.
Dengan kejujuran dan kemampuannya ternyata Muhammad
mampu benar memperdagangkan barang-barang Khadijah, dengan cara perdagangan yang
lebih banyak menguntungkan daripada yang dilakukan orang lain sebelumnya.
Demikian juga dengan karakter yang manis dan perasaannya yang luhur ia dapat
menarik kecintaan dan penghormatan Maisara kepadanya. Setelah tiba waktunya
mereka akan kembali, mereka membeli segala barang dagangan dari Syam yang
kira-kira akan disukai oleh Khadijah.
Dalam perjalanan kembali kafilah
itu singgah di Marr’-z-Zahran. Ketika itu Maisara berkata: “Muhammad,
cepat-cepatlah kau menemui Khadijah dan ceritakan pengalamanmu. Dia akan
mengerti hal itu.”
Muhammad berangkat dan tengah hari sudah sampai di
Mekah. Ketika itu Khadijah sedang berada di ruang atas. Bila dilihatnya Muhammad
di atas unta dan sudah memasuki halaman rumahnya. ia turun dan menyambutnya.
Didengarnya Muhammad bercerita dengan bahasa yang begitu fasih tentang
perjalanannya serta laba yang diperolehnya, demikian juga mengenai barang-barang
Syam yang dibawanya. Khadijah gembira dan tertarik sekali mendengarkan. Sesudah
itu Maisarapun datang pula yang lalu bercerita juga tentang Muhammad, betapa
halusnya wataknya, betapa tingginya budi-pekertinya. Hal ini menambah
pengetahuan Khadijah di samping yang sudah diketahuinya sebagai pemuda Mekah
yang besar jasanya.
Dalam waktu singkat saja kegembiraan Khadijah ini
telah berubah menjadi rasa cinta, sehingga dia - yang sudah berusia empatpuluh
tahun, dan yang sebelum itu telah menolak lamaran pemuka-pemuka dan
pembesar-pembesar Quraisy - tertarik juga hatinya mengawini pemuda ini, yang
tutur kata dan pandangan matanya telah menembusi kalbunya. Pernah ia
membicarakan hal itu kepada saudaranya yang perempuan - kata sebuah sumber, atau
dengan sahabatnya, Nufaisa bint Mun-ya - kata sumber lain. Nufaisa pergi
menjajagi Muhammad seraya berkata: “Kenapa kau tidak mau kawin?”
“Aku
tidak punya apa-apa sebagai persiapan perkawinan,” jawab Muhammad.
“Kalau
itu disediakan dan yang melamarmu itu cantik, berharta, terhormat dan memenuhi
syarat, tidakkah akan kauterima?”
“Siapa itu?”
Nufaisa menjawab
hanya dengan sepatah kata: “Khadijah.”
“Dengan cara bagaimana?” tanya
Muhammad. Sebenarnya ia sendiri berkenan kepada Khadijah sekalipun hati kecilnya
belum lagi memikirkan soal perkawinan, mengingat Khadijah sudah menolak
permintaan hartawan-hartawan dan bangsawan-bangsawan Quraisy.
Setelah
atas pertanyaan itu Nufaisa mengatakan: “Serahkan hal itu kepadaku,” maka iapun
menyatakan persetujuannya. Tak lama kemudian Khadijah menentukan waktunya yang
kelak akan dihadiri oleh paman-paman Muhammad supaya dapat bertemu dengan
keluarga Khadijah guna menentukan hari perkawinan.
Kemudian perkawinan
itu berlangsung dengan diwakili oleh paman Khadijah, Umar bin Asad, sebab
Khuwailid ayahnya sudah meninggal sebelum Perang Fijar. Hal ini dengan
sendirinya telah membantah apa yang biasa dikatakan, bahwa ayahnya ada tapi
tidak menyetujui perkawinan itu dan bahwa Khadijah telah memberikan minuman
keras sehingga ia mabuk dan dengan begitu perkawinannya dengan Muhammad kemudian
dilangsungkan.
Di sinilah dimulainya lembaran baru dalam kehidupan
Muhammad. Dimulainya kehidupan itu sebagai suami-isteri dan ibu-bapa,
suami-isten yang harmonis dan sedap dari kedua belah pihak, dan sebagai ibu-bapa
yang telah merasakan pedihnya kehilangan anak sebagaimana pernah dialami
Muhammad yang telah kehilangan ibu-bapa semasa ia masih kecil.
DENGAN duapuluh ekor unta muda sebagai mas kawin Muhammad
melangsungkan perkawinannya itu dengan Khadijah. Ia pindah ke rumah Khadijah
dalam memulai hidup barunya itu, hidup suami-isteri dan ibu-bapa, saling
mencintai cinta sebagai pemuda berumur duapuluh lima tahun. Ia tidak mengenal
nafsu muda yang tak terkendalikan, juga ia tidak mengenal cinta buta yang
dimulai seolah nyala api yang melonjak-lonjak untuk kemudian padam kembali. Dari
perkawinannya itu ia beroleh beberapa orang anak, laki-laki dan perempuan.
Kematian kedua anaknya, al-Qasim dan Abdullah at-Tahir at-Tayyib1 telah menimbulkan rasa duka yang dalam sekali. Anak-anak yang masih
hidup semua perempuan. Bijaksana sekali ia terhadap anak-anaknya dan sangat
lemah-lembut. Merekapun sangat setia dan hormat kepadanya.
Paras mukanya
manis dan indah, Perawakannya sedang, tidak terlampau tinggi, juga tidak pendek,
dengan bentuk kepala yang besar, berambut hitam sekali antara keriting dan
lurus. Dahinya lebar dan rata di atas sepasang alis yang lengkung lebat dan
bertaut, sepasang matanya lebar dan hitam, di tepi-tepi putih matanya agak ke
merah-merahan, tampak lebih menarik dan kuat: pandangan matanya tajam, dengan
bulu-mata yang hitam-pekat. Hidungnya halus dan merata dengan barisan gigi yang
bercelah-celah. Cambangnya lebar sekali, berleher panjang dan indah. Dadanya
lebar dengan kedua bahu yang bidang. Warna kulitnya terang dan jernih dengan
kedua telapak tangan dan kakinya yang tebal.
Bila berjalan badannya agak
condong kedepan, melangkah cepat-cepat dan pasti. Air mukanya membayangkan
renungan dan penuh pikiran, pandangan matanya menunjukkan kewibawaan, membuat
orang patuh kepadanya.
Dengan sifatnya yang demikian itu tidak heran bila
Khadijah cinta dan patuh kepadanya, dan tidak pula mengherankan bila Muhammad
dibebaskan mengurus hartanya dan dia sendiri yang memegangnya seperti keadaannya
semula dan membiarkannya menggunakan waktu untuk berpikir dan
berenung.
Muhammad yang telah mendapat kurnia Tuhan dalam perkawinannya
dengan Khadijah itu berada dalam kedudukan yang tinggi dan harta yang cukup.
Seluruh penduduk Mekah memandangnya dengan rasa gembira dan hormat. Mereka
melihat karunia Tuhan yang diberikan kepadanya serta harapan akan membawa
turunan yang baik dengan Khadijah. Tetapi semua itu tidak mengurangi
pergaulannya dengan mereka. Dalam hidup hari-hari dengan mereka partisipasinya
tetap seperti sediakala. Bahkan ia lebih dihormati lagi di tengah-tengah mereka
itu. Sifatnya yang sangat rendah hati lebih kentara lagi. Bila ada yang
mengajaknya bicara ia mendengarkan hati-hati sekali tanpa menoleh kepada orang
lain. Tidak saja mendengarkan kepada yang mengajaknya bicara, bahkan ia
rnemutarkan seluruh badannya. Bicaranya sedikit sekali, lebih banyak ia
mendengarkan. Bila bicara selalu bersungguh-sungguh, tapi sungguhpun begitu
iapun tidak melupakan ikut membuat humor dan bersenda-gurau, tapi yang
dikatakannya itu selalu yang sebenarnya. Kadang ia tertawa sampai terlihat
gerahamnya. Bila ia marah tidak pernah sampai tampak kemarahannya, hanya antara
kedua keningnya tampak sedikit berkeringat. Ini disebabkan ia menahan rasa
amarah dan tidak mau menampakkannya keluar. Semua itu terbawa oleh kodratnya
yang selalu lapang dada, berkemauan baik dan menghargai orang lain. Bijaksana
ia, murah hati dan mudah bergaul. Tapi juga ia mempunyai tujuan pasti,
berkemauan keras, tegas dan tak pernah ragu-ragu dalam tujuannya. Sifat-sifat
demikian ini berpadu dalam dirinya dan meninggalkan pengaruh yang dalam sekali
pada orang-orang yang bergaul dengan dia. Bagi orang yang melihatnya tiba-tiba,
sekaligus akan timbul rasa hormat, dan bagi orang yang bergaul dengan dia akan
timbul rasa cinta kepadanya.
Alangkah besarnya pengaruh yang terjalin
dalam hidup kasih-sayang antara dia dengan Khadijah sebagai isteri yang sungguh
setia itu.
Pergaulan Muhammad dengan penduduk Mekah tidak terputus, juga
partisipasinya dalam kehidupan masyarakat hari-hari. Pada waktu itu masyarakat
sedang sibuk karena bencana banjir besar yang turun dari gunung, pernah menimpa
dan meretakkan dinding-dinding Ka’bah yang memang sudah rapuk. Sebelum itupun
pihak Quraisy memang sudah memikirkannya. Tempat yang tidak beratap itu menjadi
sasaran pencuri mengambil barang-barang berharga di dalamnya. Hanya saja Quraisy
merasa takut; kalau bangunannya diperkuat, pintunya ditinggikan dan diberi
beratap, dewa Ka’bah yang suci itu akan menurunkan bencana kepada mereka.
Sepanjang zaman Jahiliah keadaan mereka diliputi oleh pelbagai macam legenda
yang mengancam barangsiapa yang berani mengadakan sesuatu perubahan. Dengan
demikian perbuatan itu dianggap tidak umum.
Tetapi sesudah mengalami
bencana banjir tindakan demikian itu adalah suatu keharusan, walaupun masih
serba takut-takut dan ragu-ragu. Suatu peristiwa kebetulan telah terjadi sebuah
kapal milik seorang pedagang Rumawi bernama Baqum2 yang
datang dari Mesir terhempas di laut dan pecah. Sebenarnya Baqum ini seorang ahli
bangunan yang mengetahui juga soal-soal perdagangan. Sesudah Quraisy mengetahui
hal ini, maka berangkatlah al-Walid bin’l-Mughira dengan beberapa orang dari
Quraisy ke Jidah. Kapal itu dibelinya dari pemiliknya, yang sekalian diajaknya
berunding supaya sama-sama datang ke Mekah guna membantu mereka membangun Ka’bah
kembali. Baqum menyetujui permintaan itu. Pada waktu itu di Mekah ada seorang
Kopti yang mempunyai keahlian sebagai tukang kayu. Persetujuan tercapai bahwa
diapun akan bekerja dengan mendapat bantuan Baqum.
Sudut-sudut Ka’bah itu
oleh Quraisy dibagi empat bagian tiap kabilah mendapat satu sudut yang harus
dirombak dan dibangun kembali. Sebelum bertindak melakukan perombakan itu mereka
masih ragu-ragu, kuatir akan mendapat bencana. Kemudian al-Walid bin’l-Mughira
tampil ke depan dengan sedikit takut-takut. Setelah ia berdoa kepada
dewa-dewanya mulai ia merombak bagian sudut selatan.3 Tinggal
lagi orang menunggu-nunggu apa yang akan dilakukan Tuhan nanti terhadap
al-Walid. Tetapi setelah ternyata sampai pagi tak terjadi apa-apa, merekapun
ramai-ramai merombaknya dan memindahkan batu-batu yang ada. Dan Muhammad ikut
pula membawa batu itu.
Setelah mereka berusaha membongkar batu hijau yang
terdapat di situ dengan pacul tidak berhasil, dibiarkannya batu itu sebagai
fondasi bangunan. Dan gunung-gunung sekitar tempat itu sekarang orang-orang
Quraisy mulai mengangkuti batu-batu granit berwarna biru, dan pembangunanpun
segera dimulai. Sesudah bangunan itu setinggi orang berdiri dan tiba saatnya
meletakkan Hajar Aswad yang disucikan di tempatnya semula di sudut timur, maka
timbullah perselisihan di kalangan Quraisy, siapa yang seharusnya mendapat
kehormatan meletakkan batu itu di tempatnya. Demikian memuncaknya perselisihan
itu sehingga hampir saja timbul perang saudara karenanya. Keluarga Abd’d-Dar dan
keluarga ‘Adi bersepakat takkan membiarkan kabilah yang manapun campur tangan
dalam kehormatan yang besar ini. Untuk itu mereka mengangkat sumpah bersama.
Keluarga Abd’d-Dar membawa sebuah baki berisi darah. Tangan mereka dimasukkan ke
dalam baki itu guna memperkuat sumpah mereka. Karena itu lalu diberi nama
La’aqat’d-Dam, yakni ‘jilatan darah.’
Abu Umayya bin’l-Mughira dari Banu
Makhzum, adalah orang yang tertua di antara mereka, dihormati dan dipatuhi.
Setelah melihat keadaan serupa itu ia berkata kepada mereka:
“Serahkanlah
putusan kamu ini di tangan orang yang pertama sekali memasuki pintu Shafa
ini.”
Tatkala mereka melihat Muhammad adalah orang pertama memasuki
tempat itu, mereka berseru: “Ini al-Amin; kami dapat menerima
keputusannya.”
Lalu mereka menceritakan peristiwa itu kepadanya. Iapun
mendengarkan dan sudah melihat di mata mereka betapa berkobarnya api permusuhan
itu. Ia berpikir sebentar, lalu katanya: “Kemarikan sehelai kain,” katanya.
Setelah kain dibawakan dihamparkannya dan diambilnya batu itu lalu diletakkannya
dengan tangannya sendiri, kemudian katanya; “Hendaknya setiap ketua kabilah
memegang ujung kain ini.”
Mereka bersama-sama membawa kain tersebut ke
tempat batu itu akan diletakkan. Lalu Muhammad mengeluarkan batu itu dari kain
dan meletakkannya di tempatnya. Dengan demikian perselisihan itu berakhir dan
bencana dapat dihindarkan.
Quraisy menyelesaikan bangunan Ka’bah sampai
setinggi delapanbelas hasta (± 11 meter), dan ditinggikan dari tanah sedemikian
rupa, sehingga mereka dapat menyuruh atau melarang orang masuk. Di dalam itu
mereka membuat enam batang tiang dalam dua deretan dan di sudut barat sebelah
dalam dipasang sebuah tangga naik sampai ke teras di atas lalu meletakkan Hubal
di dalam Ka’bah. Juga di tempat itu diletakkan barang-barang berharga lainnya,
yang sebelum dibangun dan diberi beratap menjadi sasaran
pencurian.
Mengenai umur Muhammad waktu membina Ka’bah dan memberikan
keputusannya tentang batu itu, masih terdapat perbedaan pendapat. Ada yang
mengatakan berumur duapuluh lima tahun. Ibn Ishaq berpendapat umurnya tigapuluh
lima tahun. Kedua pendapat itu baik yang pertama atau yang kemudian, sama saja;
tapi yang jelas cepatnya Quraisy menerima ketentuan orang yang pertama memasuki
pintu Shafa, disusul dengan tindakannya mengambil batu dan diletakkan di atas
kain lalu mengambilnya dari kain dan diletakkan di tempatnya dalam Ka’bah,
menunjukkan betapa tingginya kedudukannya dimata penduduk Mekah, betapa besarnya
penghargaan mereka kepadanya sebagai orang yang berjiwa besar.
Adanya
pertentangan antar-kabilah, adanya persepakatan La’aqat’d-Dam (‘Jilatan Darah’),
dan menyerahkan putusan kepada barangsiapa mula-mula memasuki pintu Shafa,
menunjukkan bahwa kekuasaan di Mekah sebenarnya sudah jatuh.
Kekuasaan
yang dulu ada pada Qushayy, Hasyim dan Abd’l-Muttalib sekarang sudah tak ada
lagi. Adanya pertentangan kekuasaan antara keluarga Hasyim dan keluarga Umayya
sesudah matinya Abd’l-Muttalib besar sekali pengaruhnya.
Dengan jatuhnya
kekuasaan demikian itu sudah wajar sekali akan membawa akibat buruk terhadap
Mekah, kalau saja tidak karena adanya rasa kudus dalam hati semua orang Arab
terhadap Rumah Purba itu. Dan jatuhnya kekuasaan itupun membawa akibat secara
wajar pula, yakni menambah adanya kemerdekaan berpikir dan kebebasan menyatakan
pendapat, dan menimbulkan keberanian pihak Yahudi dan kaum Nasrani mencela
orang-orang Arab yang masih menyembah berhala itu - suatu hal yang tidak akan
berani mereka lakukan sewaktu masih ada kekuasaan. Hal ini berakhir dengan
hilangnya pemujaan berhala-berhala itu dalam hati penduduk Mekah dan orang-orang
Quraisy sendiri, meskipun pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin Mekah masih
memperlihatkan adanya pemujaan dan penyembahan demikian itu. Sikap mereka ini
sebenamya berasalan sekali; sebab mereka melihat, bahwa agama yang berlaku itu
adalah salah satu alat yang akan menjaga ketertiban serta menghindarkan adanya
kekacauan berpikir. Dengan adanya penyembahan-penyembahan berhala dalam Ka’bah,
ini merupakan jaminan bagi Mekah sebagai pusat keagamaan dan perdagangan. Dan
memang demikianlah sebenarnya, dibalik kedudukan ini Mekah dapat juga menikmati
kemakmuran dan hubungan dagangnya. Akan tetapi itu tidak akan mengubah hilangnya
pemujaan berhala-berhala dalam hati penduduk Mekah.
Ada beberapa
keterangan yang menyebutkan, bahwa pada suatu hari masyarakat Quraisy sedang
berkumpul di Nakhla merayakan berhala ‘Uzza; empat orang di antara mereka
diam-diam meninggalkan upacara itu. Mereka itu ialah: Zaid b. ‘Amr, Usman
bin’l-Huwairith, ‘Ubaidullah b. Jahsy dan Waraqa b. Naufal.
Mereka satu
sama lain berkata: “Ketahuilah bahwa masyarakatmu ini tidak punya tujuan; mereka
dalam kesesatan. Apa artinya kita mengelilingi batu itu: memdengar tidak,
melihat tidak, merugikan tidak, menguntungkanpun juga tidak. Hanya darah korban
yang mengalir di atas batu itu. Saudara-saudara, marilah kita mencari agama
lain, bukan ini.”
Dari antara mereka itu kemudian Waraqa menganut agama
Nasrani. Konon katanya dia yang menyalin Kitab Injil ke dalam bahasa Arab.
‘Ubaidullah b. Jahsy masih tetap kabur pendiriannya. Kemudian masuk Islam dan
ikut hijrah ke Abisinia. Di sana ia pindah menganut agama Nasrani sampai
matinya. Tetapi isterinya - Umm Habiba bint Abi Sufyan - tetap dalam Islam,
sampai kemudian ia menjadi salah seorang isteri Nabi dan
Umm’l-Mu’minin.
Zaid b. ‘Amr malah pergi meninggalkan isteri dan
al-Khattab pamannya. Ia menjelajahi Syam dan Irak, kemudian kembali lagi. Tetapi
dia tidak mau menganut salah satu agama, baik Yahudi atau Nasrani. Juga dia
meninggalkan agama masyarakatnya dan menjauhi berhala. Dialah yang berkata,
sambil bersandar ke dinding Ka’bah: “Ya Allah, kalau aku mengetahui, dengan cara
bagaimana yang lebih Kausukai aku menyembahMu, tentu akan kulakukan. Tetapi aku
tidak me ngetahuinya.”
Usman bin’l-Huwairith, yang masih berkerabat
dengan Khadijah, pergi ke Rumawi Timur dan memeluk agama Nasrani. Ia mendapat
kedudukan yang baik pada Kaisar Rumawi itu. Disebutkan juga, bahwa ia
mengharapkan Mekah akan berada di bawah kekuasaan Rumawi dan dia berambisi ingin
menjadi Gubernurnya. Tetapi penduduk Mekah mengusirnya. Ia pergi minta
perlindungan Banu Ghassan di Syam. Ia bermaksud memotong perdagangan ke Mekah.
Tetapi hadiah-hadiah penduduk Mekah sampai juga kepada Banu Ghassan. Akhirnya ia
mati di tempat itu karena diracun.
Selama bertahun-tahun Muhammad tetap
bersama-sama penduduk Mekah dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Ia menemukan
dalam diri Khadijah teladan wanita terbaik; wanita yang subur dan penuh kasih,
menyerahkan seluruh dirinya kepadanya, dan telah melahirkan anak-anak seperti:
al-Qasim dan Abdullah yang dijuluki at-Tahir dan at-Tayyib, serta puteri-puteri
seperti Zainab, Ruqayya, Umm Kulthum dan Fatimah. Tentang al-Qasim dan Abdullah
tidak banyak yang diketahui, kecuali disebutkan bahwa mereka mati kecil pada
zaman Jahiliah dan tak ada meninggalkan sesuatu yang patut dicatat. Tetapi yang
pasti kematian itu meninggalkan bekas yang dalam pada orangtua mereka. Demikian
juga pada diri Khadijah terasa sangat memedihkan hatinya.
Pada tiap
kematian itu dalam zaman Jahiliah tentu Khadijah pergi menghadap sang berhala
menanyakannya: kenapa berhalanya itu tidak memberikan kasih-sayangnya, kenapa
berhala itu tidak melimpahkan rasa kasihan, sehingga dia mendapat kemalangan,
ditimpa kesedihan berulang-ulang!? Perasaan sedih karena kematian anak demikian
sudah tentu dirasakan juga oleh suaminya. Rasa sedih ini selalu melecut hatinya,
yang hidup terbayang pada istennya, terlihat setiap ia pulang ke rumah
duduk-duduk di sampingnya
Tidak begitu sulit bagi kita akan menduga
betapa dalamnya rasa sedih demikian itu, pada suatu zaman yang membenarkan
anak-anak perempuan dikubur hidup-hidup dan menjaga keturunan laki-laki sama
dengan menjaga suatu keharusan hidup, bahkan lebih lagi dan itu. Cukuplah jadi
contoh betapa besarnya kesedihan itu, Muhammad tak dapat menahan diri atas
kehilangan tersebut, sehingga ketika Zaid b. Haritha didatangkan dimintanya
kepada Khadijah supaya dibelinya kemudian dimerdekakannya. Waktu itu orang
menyebutnya Zaid bin Muhammad. Keadaan ini tetap demikian hingga akhirnya ia
menjadi pengikut dan sahabatnya yang terpilih. Juga Muhammad merasa sedih sekali
ketika kemudian anaknya, Ibrahim meninggal pula. Kesedihan demikian ini timbul
juga sesudah Islam mengharamkan menguburkan anak perempuan hidup-hidup, dan
sesudah menentukan bahwa sorga berada di bawah telapak kaki ibu.
[
Sudah
tentu malapetaka yang menimpa Muhammad dengan kematian kedua anaknya berpengaruh
juga dalam kehidupan dan pemikirannya. Sudah tentu pula pikiran dan perhatiannya
tertuju pada kemalangan yang datang satu demi satu itu menimpa, yang oleh
Khadijah dilakukan dengan membawakan sesajen buat berhala-berhala dalam Ka’bah,
menyembelih hewan buat Hubal, Lat, ‘Uzza dan Manat, ketiga yang terakhir.4
Ia ingn menebus bencana kesedihan yang menimpanya. Akan
tetapi, semua kurban-kurban dan penyembelihan itu tidak berguna sama
sekali.
Terhadap anak-anaknya yang perempuan juga Muhammad memberikan
perhatian, dengan mengawinkan mereka kepada yang dianggapnya memenuhi syarat
(kufu’). Zainab yang sulung dikawinkan dengan Abu’l-‘Ash bin’r-Rabi’ b.’Abd
Syams - ibunya masih bersaudara dengan Khadijah - seorang pemuda yang dihargai
masyarakat karena kejujuran dan suksesnya dalam dunia perdagangan. Perkawinan
ini serasi juga, sekalipun kemudian sesudah datangnya Islam - ketika Zainab akan
hijrah dan Mekah ke Medinah - mereka terpisah, seperti yang akan kita lihat
lebih terperinci nanti. Ruqayya dan Umm Kulthum dikawinkan dengan ‘Utba dan
‘Utaiba anak-anak Abu Lahab, pamannya. Kedua isteri ini sesudah Islam terpisah
dari suami mereka, karena Abu Lahab menyuruh kedua anaknya itu menceraikan
isteri mereka, yang kemudian berturut-turut menjadi isteri Usman.5
Ketika itu Fatimah masih kecil dan perkawinannya dengan Ali
baru sesudah datangnya Islam.
Catatan kaki:
1 Berdasarkan pada sebagian besar ahli genekologi,
bahwa putera-putera Nabi s.a.w. dari Khadijah dua orang: al-Qasim dan Abdullah,
yang diberi julukan at-Tahir dan at-Tayyib. Ada juga yang mengatakan tiga, ada
pula yang mengatakan empat orang.
2 Mungkin nama ini sudah diarabkan
(A)
3
Bangunan itu terdiri dari empat sudut dikenal dengan nama-nama sudut utara,
ar-rukn’l-iraqi (Irak), sudut selatan, ar-rukn’l-yamani, sudut barat,
ar-rukn’l-syami dan sudut timur, ar-rukn’l-aswad (A)
4 Hubal, Lat, ‘Uzza dan Manat
adalah berhala-berhala sembahan Arab pagan. Konon kabarnya Hubal berhala
terbesar yang tinggal dalam Ka’bah, dibuat dari batu akik dalam bentuk manusia
(lihat halaman 21-22). Keterangan tentang tuhan-tuhan wanita Lat. ‘Uzza dan
Manat berbeda-beda mengenai bentuknya. Katanya Lat dalam bentuk manusia juga,
‘Uzza berhala kaum Thaqif. ‘Uzza pada mulanya adalah pohon suci, terletak di
antara Mekah dengan Ta’if. Manat merupakan batu putih, berhala kaum Hudhail dan
Khuza’a. Ketiga-tiganya itu berbentuk wanita. (A)
5 Usman b. ‘Affan, Khalifah
ketiga. Setelah Ruqayya diceraikan oleh ‘Utba diambil isteri oleh Usman b.
‘Affan. Setelah Umm Kulthum dewasa kawin dengan ‘Utaiba, lalu diceraikan pula.
Sesudah dalam tahun ke-2 H. Ruqayya wafat, Usman kawin dcngan Umm Kulthum. Ia
meninggal dalam tahun ke-9 H. di Medinah (A).
Kehidupan Muhammad
dalam usia demikian itu ternyata tenteram adanya. Kalau tidak karena kehilangan
kedua anaknya itu tentu itulah hidup yang sungguh nikmat dirasakan bersama
Khadijah, yang setia dan penuh kasih, hidup sebagai ayah-bunda yang bahagia dan
rela. Oleh karena itu wajar sekali apabila Muhammad membiarkan dirinya berjalan
sesuai dengan bawaannya, bawaan berpikir dan bermenung, dengan mendengarkan
percakapan masyarakatnya tentang berhala-berhala, serta apa pula yang dikatakan
orang-orang Nasrani dan Yahudi tentang diri mereka itu. Ia berpikir dan
merenungkan. Di kalangan masyarakatnya dialah orang yang paling banyak berpikir
dan merenung. Jiwa yang kuat dan berbakat ini, jiwa yang sudah mempunyai
persiapan kelak akan menyampaikan risalah Tuhan kepada umat manusia, serta
mengantarkannya kepada kehidupan rohani yang hakiki, jiwa demikian tidak mungkin
berdiam diri saja melihat manusia yang sudah hanyut ke dalam lembah kesesatan.
Sudah seharusnya ia mencari petunjuk dalam alam semesta ini, sehingga Tuhan
nanti menentukannya sebagai orang yang akan menerima risalahNya. Begitu besar
dan kuatnya kecenderungan rohani yang ada padanya, ia tidak ingin menjadikan
dirinya sebangsa dukun atau ingin menempatkan diri sebagai ahli pikir seperti ,
dilakukan oleh Waraqa b. Naufal dan sebangsanya. Yang dicarinya hanyalah
kebenaran semata. Pikirannya penuh untuk itu, banyak sekali ia bermenung.
Pikiran dan renungan yang berkecamuk dalam hatinya itu sedikit sekali dinyatakan
kepada orang lain.
Sudah menjadi kebiasaan orang-orang Arab masa itu
bahwa golongan berpikir mereka selama beberapa waktu tiap tahun menjauhkan diri
dari keramaian orang, berkhalwat dan mendekatkan diri kepada tuhan-tuhan mereka
dengan bertapa dan berdoa, mengharapkan diberi rejeki dan pengetahuan.
Pengasingan untuk beribadat semacam ini mereka namakan tahannuf dan
tahannuth.6
Di tempat ini
rupanya Muhammad mendapat tempat yang paling baik guna mendalami pikiran dan
renungan yang berkecamuk dalam dirinya. Juga di tempat ini ia mendapatkan
ketenangan dalam dinnya serta obat penawar hasrat hati yang ingin menyendiri,
ingin mencari jalan memenuhi kerinduannya yang selalu makin besar, ingin
mencapai ma’rifat serta mengetahui rahasia alam semesta.
Di puncak Gunung
Hira, - sejauh dua farsakh7 sebelah utara Mekah -terletak
sebuah gua yang baik sekali buat tempat menyendiri dan tahannuth. Sepanjang
bulan Ramadan tiap tahun ia pergi ke sana dan berdiam di tempat itu, cukup hanya
dengan bekal sedikit yang dibawanya. Ia tekun dalam renungan dan ibadat, jauh
dari segala kesibukan hidup dan keributan manusia. Ia mencari Kebenaran, dan
hanya kebenaran semata.
Demikian kuatnya ia merenung mencari hakikat
kebenaran itu, sehingga lupa ia akan dirinya, lupa makan, lupa segala yang ada
dalam hidup ini. Sebab, segala yang dilihatnya dalam kehidupan manusia
sekitarnya, bukanlah suatu kebenaran. Di situ ia mengungkapkan dalam kesadaran
batinnya segala yang disadarinya. Tambah tidak suka lagi ia akan segala
prasangka yang pernah dikejar-kejar orang.
Ia tidak berharap kebenaran
yang dicarinya itu akan terdapat dalam kisah-kisah lama atau dalam
tulisan-tulisan para pendeta, melainkan dalam alam sekitarnya: dalam luasan
langit dan bintang-bintang, dalam bulan dan matahari, dalam padang pasir di kala
panas membakar di bawah sinar matahari yang berkilauan. Atau di kala langit yang
jernih dan indah, bermandikan cahaya bulan dan bintang yang sedap dan lembut,
atau dalam laut dan deburan ombak, dan dalam segala yang ada di balik itu, yang
ada hubungannya dengan wujud ini, serta diliputi seluruh kesatuan wujud. Dalam
alam itulah ia mencari Hakekat Tertinggi. Dalam usaha mencapai itu, pada
saat-saat ia menyendiri demikian jiwanya membubung tinggi akan mencapai hubungan
dengan alam semesta ini, menembusi tabir yang menyimpan semua rahasia. Ia tidak
memerlukan permenungan yang panjang guna mengetahui bahwa apa yang oleh
masyarakatnya dipraktekkan dalam soal-soal hidup dan apa yang disajikan sebagai
kurban-kurban untuk tuhan-tuhan mereka itu, tidak membawa kebenaran samasekali.
Berhala-berhala yang tidak berguna, tidak menciptakan dan tidak pula
mendatangkan rejeki, tak dapat memberi perlindungan kepada siapapun yang ditimpa
bahaya. Hubal, Lat dan ‘Uzza, dan semua patung-patung dan berhala-berhala yang
terpancang di dalam dan di sekitar Ka’bah, tak pernah menciptakan, sekalipun
seekor lalat, atau akan mendatangkan suatu kebaikan bagi Mekah.
Tetapi!
Ah, di mana gerangan kebenaran itu! Gerangan di mana kebenaran dalam alam
semesta yang luas ini, luas dengan buminya, dengan lapisan-lapisan langit dan
bintang-bintangnya? Adakah barangkali dalam bintang yang berkelip-kelip, yang
memancarkan cahaya dan kehangatan kepada manusia, dari sana pula hujan
diturunkan, sehingga karenanya manusia dan semua makhluk yang ada di muka bumi
ini hidup dari air, dari cahaya dan kehangatan udara? Tidak! Bintang-bintang itu
tidak lain adalah benda-benda langit seperti bumi ini juga. Atau barangkali di
balik benda-benda itu terdapat eter yang tak terbatas, tak
berkesudahan?
Tetapi apa eter itu? Apa hidup yamg kita alami sekarang,
dan besok akan berkesudahan? Apa asalnya, dan apa sumbernya? Kebetulan sajakah
bumi ini dijadikan dan dijadikan pula kita di dalamnya? Tetapi, baik bumi atau
hidup ini sudah mempunyai ketentuan yang pasti yang tak berubah-ubah, dan tidak
mungkin bila dasarnya hanya kebetulan saja. Apa yang dialami manusia, kebaikan
atau keburukan, datang atas kehendak manusia sendiri, ataukah itu sudah
bawaannya sendiri pula sehingga tak kuasa ia memilih yang
lain?
Masalah-masalah kejiwaan dan kerohanian serupa itu, itu juga yang
dipikirkan Muhammad selama ia mengasingkan diri dan bertekun dalam Gua Hira’. Ia
ingin melihat Kebenaran itu dan melihat hidup itu seluruhnya. Pemikirannya itu
memenuhi jiwanya, memenuhi jantungnya, pribadinya dan seluruh wujudnya. Siang
dan malam hal ini menderanya terus menerus. Bilamana bulan Ramadan sudah berlalu
dan ia kembali kepada Khadijah, pengaruh pikiran yang masih membekas padanya
membuat Khadijah menanyakannya selalu, karena diapun ingin lega hatinya bila
sudah diketahuinya ia dalam sehat dan afiat.
Dalam melakukan ibadat
selama dalam tahannuth itu adakah Muhammad menganut sesuatu syariat tertentu?
Dalam hal ini ulama-ulama berlainan pendapat. Dalam Tarikh-nya Ibn Kathir
menceritakan sedikit tentang pendapat-pendapat mereka mengenai syariat yang
digunakannya melakukan ibadat itu: Ada yang mengatakan menurut syariat Nuh, ada
yang mengatakan menurut Ibrahim, yang lain berkata menurut syariat Musa, ada
yang mengatakan menurut Isa dan ada pula yang mengatakan, yang lebih dapat
dipastikan, bahwa ia menganut sesuatu syariat dan diamalkannya. Barangkali
pendapat yang terakhir ini lebih tepat daripada yang sebelumnya. Ini adalah
sesuai dengan dasar renungan dan pemikiran yang menjadi kedambaan
Muhammad.
Tahun telah berganti tahun dan kini telah tiba pula bulan
Ramadan. Ia pergi ke Hira’, ia kembali bermenung, sedikit demi sedikit ia
bertambah matang, jiwanyapun semakin penuh. Sesudah beberapa tahun jiwa yang
terbawa oleh Kebenaran Tertinggi itu dalam tidurnya bertemu dengan mimpi hakiki
yang memancarkan cahaya kebenaran yang selama ini dicarinya Bersamaan dengan itu
pula dilihatnya hidup yang sia-sia, hidup tipu-daya dengan segala macam
kemewahan yang tiada berguna.
Ketika itulah ia percaya bahwa
masyarakatnya telah sesat dari jalan yang benar, dan hidup kerohanian mereka
telah rusak karena tunduk kepada khayal berhala-berhala serta
kepercayaan-kepercayaan semacamnya yang tidak kurang pula sesatnya. Semua yang
sudah pernah disebutkan oleh kaum Yahudi dan kaum Nasrani tak dapat menolong
mereka dari kesesatan itu. Apa yang disebutkan mereka itu masing masing memang
benar; tapi masih mengandung bermacam-macam takhayul dan pelbagai macam cara
paganisma, yang tidak mungkin sejalan dengan kebenaran sejati, kebenaran mutlak
yang sederhana, tidak mengenal segala macam spekulasi perdebatan kosong, yang
menjadi pusat perhatian kedua golongan Ahli Kitab itu. Dan Kebenaran itu ialah
Allah, Khalik seluruh alam, tak ada tuhan selain Dia. Kebenaran itu ialah Allah
Pemelihara semesta alam. Dialah Maha Rahman dan Maha Rahim. Kebenaran itu ialah
bahwa manusia dinilai berdasarkan perbuatannya. “Barangsiapa mengerjakan
kebaikan seberat atompun akan dilihatNya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan
seberat atompun akan dilihatNya pula.” (Qur’an,
99:7-8) Dan bahwa surga itu benar adanya dan nerakapun benar adanya.
Mereka yang menyembah tuhan selain Allah mereka itulah menghuni neraka, tempat
tinggal dan kediaman yang paling durhaka.
Muhammad sudah menjelang usia
empatpuluh tahun. Pergi ia ke Hira’ melakukan tahannuth. Jiwanya sudah penuh
iman atas segala apa yang telah dilihatnya dalam mimpi hakiki itu. Ia telah
membebaskan diri dari segala kebatilan. Tuhan telah mendidiknya, dan didikannya
baik sekali. Dengan sepenuh kalbu ia menghadapkan diri ke jalan lurus, kepada
Kebenaran yang Abadi. Ia telah menghadapkan diri kepada Allah dengan seluruh
jiwanya agar dapat memberikan hidayah dan bimbingan kepada masyarakatnya yang
sedang hanyut dalam lembah kesesatan.
Dalam hasratnya menghadapkan diri
itu ia bangun tengah malam, kalbu dan kesadarannya dinyalakan. Lama sekali ia
berpuasa, dengan begitu renungannya dihidupkan. Kemudian ia turun dari gua itu,
melangkah ke jalan-jalan di sahara. Lalu ia kembali ke tempatnya berkhalwat,
hendak menguji apa gerangan yang berkecamuk dalam perasaannya itu, apa gerangan
yang terlihat dalam mimpi itu? Hal serupa itu berjalan selama enam bulan,
sampai-sampai ia merasa kuatir akan membawa akibat lain terhadap dirinya. Oleh
karena itu ia menyatakan rasa kekuatirannya itu kepada Khadijah dan menceritakan
apa yang telah dilihatnya. Ia kuatir kalau-kalau itu adalah gangguan
jin.
Tetapi isteri yang setia itu dapat menenteramkan hatinya.
dikatakannya bahwa dia adalah al-Amin, tidak mungkin jin akan mendekatinya,
sekalipun memang tidak terlintas dalam pikiran isteri atau dalam pikiran suami
itu, bahwa Allah telah mempersiapkan pilihanNya itu dengan memberikan latihan
rohani sedemikian rupa guna menghadapi saat yang dahsyat, berita yang dahsyat,
yaitu saat datangnya wahyu pertama. Dengan itu ia dipersiapkan untuk membawakan
pesan dan risalah yang besar.
Tatkala ia sedang dalam keadaan tidur dalam
gua itu, ketika itulah datang malaikat membawa sehelai lembaran seraya berkata
kepadanya: “Bacalah!” Dengan terkejut Muhammad menjawab: “Saya tak dapat
membaca”. Ia merasa seolah malaikat itu mencekiknya, kemudian dilepaskan lagi
seraya katanya lagi:
“Bacalah!” Masih dalam ketakutan akan dicekik lagi
Muhammad menjawab: “Apa yang akan saya baca.” Seterusnya malaikat itu berkata:
“Bacalah! Dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan. Menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah. Dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan Pena.
Mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya ...” (Qur’an 96:1-5)
Lalu ia mengucapkan bacaan
itu. Malaikatpun pergi, setelah kata-kata itu terpateri dalam kalbunya.8
Tetapi kemudian ia terbangun ketakutan, sambil bertanya-tanya
kepada dirinya: Gerangan apakah yang dilihatnya?! Ataukah kesurupan yang
ditakutinya itu kini telah menimpanya?! Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi
tak melihat apa-apa. Ia diam sebentar, gemetar ketakutan. Kuatir ia akan apa
yang terjadi dalam gua itu. Ia lari dari tempat itu. Semuanya serba
membingungkan. Tak dapat ia menafsirkan apa yang telah dilihatnya
itu.
Cepat-cepat ia pergi menyusuri celah-celah gunung, sambil
bertanya-tanya dalam hatinya: siapa gerangan yang menyuruhnya membaca itu?! Yang
pernah dilihatnya sampai saat itu sementara dia dalam tahannuth, ialah mimpi
hakiki yang memancar dari sela-sela renungannya, memenuhi dadanya, membuat jalan
yang di hadapannya jadi terang-benderang, menunjukkan kepadanya, di mana
kebenaran itu. Tirai gelap yang selama itu menjerumuskan masyarakat Quraisy ke
dalam lembah paganisma dan penyembahan berhala, jadi terbuka.
Sinar
terang-benderang yang memancar di hadapannya dan kebenaran yang telah
menunjukkan jalan kepadanya itu, ialah Yang Tunggal Maha Esa. Tetapi siapakah
yang telah memberi peringatan tentang itu, dan bahwa Dia yang menicptakan
manusia dan bahwa Dia Yang Maha Pemurah, Yang mengajarkan kepada manusia dengan
pena, mengajarkan apa yang belum diketahuinya?
Ia memasuki pegunungan itu
masih dalam ketakutan, masih bertanya-tanya. Tiba-tiba ia mendengar ada suara
memanggilnya. Dahsyat sekali terasa. Ia melihat ke permukaan langit. Tiba-tiba
yang terlihat adalah malaikat dalam bentuk manusia. Dialah yang memanggilnya. Ia
makin ketakutan sehingga tertegun ia di tempatnya. Ia memalingkan muka dari yang
dilihatnya itu. Tetapi dia masih juga melihatnya di seluruh ufuk langit.
Sebentar melangkah maju ia, sebentar mundur, tapi rupa malaikat yang sangat
indah itu tidak juga lalu dari depannya. Seketika lamanya ia dalam keadaan
demikian. Dalam pada itu Khadijah telah mengutus orang mencarinya ke dalam gua
tapi tidak menjumpainya.
Setelah rupa malaikat itu menghilang Muhammad
pulang sudah berisi wahyu yang disampaikan kepadanya. Jantungnya berdenyut,
hatinya berdebar-debar ketakutan. Dijumpainya Khadijah sambil ia berkata:
“Selimuti aku!” Ia segera diselimuti. Tubuhnya menggigil seperti dalam demam.
Setelah rasa ketakutan itu berangsur reda dipandangnya isterinya dengan
pandangan mata ingin mendapat kekuatan.
“Khadijah, kenapa aku?” katanya.
Kemudian diceritakannya apa yang telah dilihatnya, dan dinyatakannya rasa
kekuatirannya akan teperdaya oleh kata hatinya atau akan jadi seperti juru nujum
saja.
Seperti juga ketika dalam suasana tahannuth dan dalam suasana
ketakutannya akan kesurupan Khadijah yang penuh rasa kasih-sayang, adalah tempat
ia melimpahkan rasa damai dan tenteram kedalam hati yang besar itu, hati yang
sedang dalam kekuatiran dan dalam gelisah. Ia tidak memperlihatkan rasa kuatir
atau rasa curiga. Bahkan dilihatnya ia dengan pandangan penuh hormat, seraya
berkata:
“O putera pamanku.9 Bergembiralah, dan
tabahkan hatimu. Demi Dia Yang memegang hidup Khadijah,10 aku berharap kiranya
engkau akan menjadi Nabi atas umat ini. Samasekali Allah takkan mencemoohkan
kau; sebab engkaulah yang mempererat tali kekeluargaan, jujur dalam kata-kata,
kau yang mau memikul beban orang lain dan menghormati tamu dan menolong mereka
yang dalam kesulitan atas jalan yang benar.”
Muhammad sudah merasa tenang
kembali. Dipandangnya Khadijah dengan mata penuh terimakasih dan rasa kasih.
Sekujur badannya sekarang terasa sangat letih dan perlu sekali ia tidur. Ia pun
tidur, tidur untuk kemudian bangun kembali membawa suatu kehidupan rohani yang
kuat, yang luarbiasa kuatnya. Suatu kellidupan yang sungguh dahsyat dan
mempesonakan. Tetapi kehidupan yang penuh pengorbanan, yang tulus-ikhlas semata
untuk Allah, untuk kebenaran dan untuk perikemanusiaan. Itulah Risalah Tuhan
yang akan diteruskan dan disampaikan kepada umat manusia dengan cara yang lebih
baik, sehingga sempurnalah cahaya Allah, sekalipun oleh orang-orang kafir tidak
disukai.
Catatan kaki:
6 Tahannuf atau tahannafa, mungkin asal katanya seakar
dengan hanif, yang berarti ‘cenderung kepada kebenaran’ ‘meninggalkan berhala
dan beribadat kepada Allah’ (LA) atau sebaliknya dari perbuatan syirik.
(Bandingkan Qur’an, 2: 135; 10: 105). Tahannuth atau tahannatha, beribadat dan
menjauhi dosa; mendekatkan diri kepada Tuhan’ (N). ‘Beribadat dan menjauhi
berhala, seperti tahannatha (LA). Dalam terjemahan selanjutnya kedua kata ini
tidak diterjemahkan (A).
7 Bahasa Persia, parsang, ukuran panjang dahulu kala,
kira-kira 3.5 mil atau hampir 6 km. (A).
8 Demikian buku-buku sejarah yang
mula-mula menceritakan. Ibn Ishaq juga ke sana dasarnya. Demikian juga yang
datang kemudian banyak yang menceritakan begitu. Hanya saja sebagian mereka
berpendapat bahwa permulaan wahyu itu datang ia dalam keadaan jaga dan di waktu
siang, dengan menyebutkan sebuah keterangan melalui Jibril yang menenteramkan
hati Muhammad ketika dilihatnya dalam ketakutan. Ibn Kathir dalam Tarikh-nya
menyebutkan sumber yang dibawa oleh al-Hafiz Abu Na’im al-Ashbahani dalam
bukunya Dala’il’n-Nubawa dari ‘Alqama bin Qais, bahwa “Yang mula-mula
didatangkan kepada para nabi itu mereka dalam keadaan tidur (dengan maksud)
supaya hati mereka tenteram. Sesudah itu kemudian wahyu turun. Dan ditambahkan:
“Ini yang dikatakan ‘Alqama ibn Qais sendiri, suatu keterangan yang baik,
diperkuat oleh yang datang sebelum dan sesudahnya.”
9 Suatu kebiasaan orang Arab
memanggil orang yang dianggap seturunan. Muhammad dan Khadijah dari nenek moyang
yang sama, yakni Qushayy (A).
10 Suatu pernyataan sumpah yang biasa
diucapkan pada masa itu, maksudnya “Demi Allah” (A)
MUHAMMAD sedang
tidur. Khadijah menatapnya dengan hati penuh kasih dan harapan, kasih dan
harapan terhadap orang yang tadi mengajaknya bicara itu.
Setelah
dilihatnya ia tidur nyenyak, nyenyak dan tenang sekali, ditinggalkannya orang
itu perlahan-lahan. Ia keluar, dengan pikiran masih pada orang itu, orang yang
pernah menggoncangkan hatinya. Pikirannya pada hari esok, pada hari yang akan
memberikan harapan baik kepadanya. Harapannya, suami itu akan menjadi nabi atas
umat, yang kini tengah hanyut dalam kesesatan. Ia akan membimbing mereka dengan
ajaran agama yang benar serta akan membawa mereka ke jalan yang lurus. Tetapi,
sungguhpun begitu, menghadapi masa yang akan datang, ia merasa kuatir sekali,
kuatir akan nasib suami yang setia dan penuh kasih-sayang itu. Dibayangkannya
dalam hatinya apa yang telah diceritakan kepadanya itu. Dibayangkannya itu
malaikat yang begitu indah, yang memperlihatkan diri di angkasa, setelah
menyampaikan wahyu Tuhan kepadanya dan yang kemudian memenuhi seluruh ruangan
itu. Selalu ia melihat malaikat itu kemana saja ia mengalihkan muka. Khadijah
masih mengulangi kata-kata yang dibacakan dan sudah terpateri dalam dada
Muhammad itu.
Semua itu dibentangkan kembali oleh Khadijah di depan mata
hatinya Kadang terkembang senyum di bibir, karena suatu harapan; kadang kecut
juga rasanya, karena takut akan nasib yang mungkin akan menimpa diri al-Amin
kelak.
Tidak tahan ia tinggal seorang diri lama-lama. Pikirannya
berpindah-pindah dari harapan yang manis sedap kepada kesangsian dan harap-harap
cemas. Terpikir olehnya akan mencurahkan segala isi hatinya itu kepada orang
yang sudah dikenalnya bijaksana dan akan dapat memberikan nasehat.
Untuk
itu, kemudian ia pergi menjumpai saudara sepupunya (anak paman), Waraqa b.
Naufal. Seperti sudah disebutkan, Waraqa adalah seorang penganut agama Nasrani
yang sudah mengenal Bible dan sudah pula menterjemahkannya sebagian ke dalam
bahasa Arab. Ia menceritakan apa yang pernah dilihat dan didengar Muhammad dan
menceritakan pula apa yang dikatakan Muhammad kepadanya, dengan menyebutkan juga
rasa kasih dan harapan yang ada dalam dirinya. Waraqa menekur sebentar, kemudian
katanya: “Maha Kudus Ia, Maha Kudus. Demi Dia yang memegang hidup Waraqa.
Khadijah, percayalah, dia telah menerima Namus Besar1 seperti yang pernah diterima
Musa. Dan sungguh dia adalah Nabi umat ini. Katakan kepadanya supaya tetap
tabah.”
Khadijah pulang. Dilihatnya Muhammad masih tidur. Dipandangnya
suaminya itu dengan rasa kasih dan penuh ikhlas, bercampur harap dan cemas.
Dalam tidur yang demikian itu, tiba-tiba ia menggigil, napasnya terasa sesak
dengan keringat yang sudah membasahi wajahnya. Ia terbangun, manakala
didengarnya malaikat datang membawakan wahyu kepadanya:
“Orang yang berselimut! Bangunlah
dan sampaikan peringatan. Dan agungkan Tuhanmu. Pakaianmupun bersihkan. Dan
hindarkan perbuatan dosa. Jangan kau memberi, karena ingin menerima lebih
banyak. Dan demi Tuhanmu, tabahkan hatimu.” (Qur’an 74:
1-7)
Dipandangnya ia
oleh Khadijah, dengan rasa kasih yang lebih besar. Didekatinya ia perlahan-lahan
seraya dimintanya, supaya kembali ia tidur dan beristirahat.
“Waktu tidur
dan istirahat sudah tak ada lagi, Khadijah,” jawabnya. “Jibril membawa perintah
supaya aku memberi peringatan kepada umat manusia, mengajak mereka, dan supaya
mereka beribadat hanya kepada Allah. Tapi siapa yang akan kuajak? Dan siapa pula
yang akan mendengarkan?”
Khadijah berusaha menenteramkan hatinya.
Cepat-cepat ia menceritakan apa yang didengarnya dari Waraqa tadi. Dengan penuh
gairah dan bersemangat sekali kemudian ia menyatakan dirinya beriman atas
kenabiannya itu. Sudah sewajarnya apabila Khadijah cepat-cepat percaya
kepadanya. Ia sudah mengenalnya benar. Selama hidupnya laki-laki itu selalu
jujur, orang berjiwa besar ia dan selalu berbuat kebaikan dengan penuh rasa
kasih-sayang. Selama dalam tahannuth, dilihatnya betapa besar kecenderungannya
kepada kebenaran, dan hanya kebenaran semata-mata. Ia mencari kebenaran itu
dengan persiapan jiwa, kalbu dan pikiran yang sudah begitu tinggi, membubung
melampaui jangkauan yang akan dapat dibayangkan manusia, manusia yang menyembah
patung dan membawakan kurban-kurban ke sana; mereka yang menganggap bahwa itu
adalah tuhan yang dapat mendatangkan bencana dan keuntungan. Mereka
membayangkan, bahwa itu patut disembah dan diagungkan. Wanita itu sudah
melihatnya betapa benar ia pada tahun-tahun masa tahannuth itu. Juga ia
melihatnya betapa benar keadaannya tatkala pertama kali ia kembali dari gua
Hira’, sesudah kerasulannya. Ia bingung sekali. Dimintanya oleh Khadijah,
apabila malaikat itu nanti datang supaya diberitahukan
kepadanya.
Bilamana kemudian Muhammad melihat malaikat itu datang,
didudukannya ia oleh Khadijah di paha kirinya, kemudian di paha kanan dan di
pangkuannya. Malaikat itupun masih juga dilihatnya. Khadijah menghalau dan
mencampakkan tutup mukanya. Waktu itu tiba-tiba Muhammad tidak lagi melihatnya.
Khadijah tidak ragu lagi bahwa itu adalah malaikat, bukan setan.
Sesudah
peristiwa itu, pada suatu hari Muhammad pergi akan mengelilingi Ka’bah. Di
tempat itu Waraqa b. Naufal menjumpainya. Sesudah Muhammad menceritakan
keadaannya, Waraqa berkata: “Demi Dia Yang memegang hidup Waraqa. Engkau adalah
Nabi atas umat ini. Engkau telah menerima Namus Besar seperti yang pernah
disampaikan kepada Musa. Pastilah kau akan didustakan orang, akan disiksa, akan
diusir dan akan diperangi. Kalau sampai pada waktu itu aku masih hidup, pasti
aku akan membela yang di pihak Allah dengan pembelaan yang sudah diketahuiNya
pula.” Lalu Waraqa mendekatkan kepalanya dan mencium ubun-ubun Muhammad.
Muhammadpun segera merasakan adanya kejujuran dalam kata-kata Waraqa itu, dan
merasakan pula betapa beratnya beban yang harus menjadi
tanggungannya.
Sekarang ia jadi memikirkan, bagaimana akan mengajak
Quraisy supaya turut beriman; padahal ia tahu benar mereka sangat kuat
mempertahankan kebatilan itu. Mereka bersedia berperang dan mati untuk itu.
Ditambah lagi mereka masih sekeluarga dan sanak famili yang
dekat.
Sungguhpun begitu, tetapi mereka dalam kesesatan. Sedang apa yang
dianjurkannya kepada mereka, itulah yang benar. Ia mengajak mereka, agar jiwa
dan hati nurani mereka dapat lebih tinggi sehingga dapat berhubungan dengan
Allah Yang telah menciptakan mereka dan menciptakan nenek-moyang mereka; agar
mereka beribadat hanya kepadaNya, dengan penuh ikhlas, dengan jiwa yang bersih,
untuk agama. Ia mengajak mereka supaya mereka mendekatkan diri kepada Allah
dengan perbuatan yang baik, dengan memberikan kepada orang berdekatan, hak-hak
mereka, begitu juga kepada orang yang dalam perjalanan; agar mereka menjauhkan
diri dari menyembah batu-batu yang mereka buat jadi berhala yang menurut dugaan
mereka akan mengampuni segala dosa mereka dari perbuatan angkara-murka yang
mereka lakukan, dari menjalankan riba dan memakan harta anak piatu. Penyembahan
mereka demikian itu membuat jiwa dan hati mereka lebih keras dan lebih membatu
dari patung-patung itu. Ia memperingatkan mereka agar mereka mau melihat ciptaan
Tuhan yang ada di langit dan di bumi; supaya semua itu menjadi tamsil dalam jiwa
mereka serta kemudian menyadari betapa dahsyat dan agungnya semua itu. Dengan
kesadaran demikian mereka akan memahami kebesaran undang-undang Ilahi yang
berlaku di langit dan di bumi. Selanjutnya, dengan ibadatnya itu akan memahami
pula kebesaran Al Khalik Pencipta alam semesta ini, Yang Tunggal, tiada
bersekutu. Dengan demikian mereka akan lebih tinggi, akan lebih luhur Mereka
akan diisi oleh rasa kasih-sayang terhadap mereka yang belum mendapat petunjuk
Tuhan, dan akan berusaha ke arah itu. Mereka akan berlaku baik terhadap semua
anak piatu, terhadap semua orang yang malang dan lemah. Ya! Ke arah itulah Tuhan
memerintahkannya, supaya ia mengajak mereka.
Akan tetapi, itu jantung
yang sudah begitu keras, jiwa yang sudah begitu kaku, sudah jadi kering dalam
menyembah berhala seperti yang dilakukan oleh nenek-moyang mereka dahulu. Di
tempat itu mereka berdagang, dan membuat Mekah menjadi pusat kunjungan penyembah
berhala! Akan mereka tinggalkankah agama nenek-moyang mereka dan mereka lepaskan
kedudukan kota mereka yang berarti suatu bahaya bilamana sudah tak ada lagi
orang yang akan menyembah berhala? Lalu bagaimana pula akan membersihkan jiwa
serupa itu dan melepaskan diri dari noda hawa-nafsu, hawa-nafsu yang akan
menjerumuskan mereka, sampai kepada nafsu kebinatangannya, padahal dia sudah
memperingatkan manusia supaya mengatasi nafsunya, menempatkan diri di atas
berhala-berhala itu? Kalau mereka sudah tidak mau percaya kepadanya, apalagi
yang harus ia lakukan? Inilah yang menjadi masalah besar itu.
Ia sedang
menantikan bimbingan wahyu dalam menghadapi masalahnya itu, menantikan adanya
penyuluh yang akan menerangi jalannya. Tetapi, wahyu itu sekarang terputus!
Jibrilpun tidak datang lagi kepadanya. Tempat di sekitarnya jadi sunyi, bisu. Ia
merasa terasing dari orang, dan dari dirinya. Kembali ia merasa dalam ketakutan
seperti sebelum turunnya wahyu. Konon Khadijah pernah mengatakan kepadanya:
“Mungkin Tuhan tidak menyukai engkau.”
Ia masih dalam ketakutan. Perasaan
ini juga yang mendorongnya lagi akan pergi ke bukit-bukit dan menyendiri lagi
dalam gua Hira’. Ia ingin membubung tinggi dengan seluruh jiwanya, menghadapkan
diri kepada Tuhan, akan menanyakan: Kenapa ia lalu ditinggalkan sesudah
dipilihNya? Kecemasan Khadijahpun tidak pula kurang rasanya.
Ia
mengharap mati benar-benar kalau tidak karena merasakan adanya perintah yang
telah diberikan kepadanya. Kembali lagi ia kepada dirinya, kemudian kepada
Tuhannya. Konon katanya:
Pernah terpikir olehnya akan membuang diri dari atas
Hira’ atau dari atas puncak gunung Abu Qubais. Apa gunanya lagi hidup kalau
harapannya yang besar ini jadi kering lalu berakhir?
Sementara ia sedang
dalam kekuatiran demikian itu - sesudah sekian lama terhenti - tiba-tiba datang
wahyu membawa firman Tuhan:
“Demi pagi cerah yang gemilang.
Dan demi malam bila senyap kelam. Tuhanmu tidak meninggalkan kau, juga tidak
merasa benci. Dan sungguh, hari kemudian itu lebih baik buat kau daripada yang
sekarang. Dan akan segera ada pemberian dari Tuhan kepadamu. Maka engkaupun akan
bersenang hati. Bukankah Ia mendapati kau seorang piatu, lalu diberiNya tempat
berlindung? Dan Ia mendapati kau tak tahu jalan, lalu diberiNya kau petunjuk?
Karena itu, terhadap anak piatu, jangan kau bersikap bengis. Dan tentang orang
yang meminta, jangan kau tolak. Dan tentang kurnia Tuhanmu, hendaklah kau
sebarkan.” (Qur’an, 93: 1-11)
Maha Mulia Allah.
Betapa damainya itu dalam jiwa. Betapa gembira dalam hati! Rasa cemas dan takut
dalam diri Muhammad semuanya hilang sudah. Terbayang senyum di wajahnya.
Bibirnyapun mengucapkan kata-kata syukur, kata-kata kudus dan penuh khidmat.
Tidak lagi Khadijah merasa takut, bahwa Tuhan sudah tidak menyukai Muhammad dan
iapun tidak lagi merasa takut dan gelisah. Bahkan Tuhan telah melindungi mereka
berdua dengan rahmatNya. Segala rasa takut dan keraguan-raguan hilang sama
sekali dari hatinya. Tak ada lagi bunuh diri.
Yang ada sekarang ialah
hidup dan ajakan kepada Allah, dan hanya kepada Allah semata. Hanya kepada Allah
Yang Maha Besar menundukkan kepala. Segala yang ada di langit dan di bumi
bersujud belaka kepadaNya. Hanya Dialah Yang Hak, dan yang selain itu batil
adanya. Hanya kepadaNya hati manusia dihadapkan, seluruh hidup kesana juga
bergantung dan kepadaNya pula ruh akan kembali. “Sungguh, hari kemudian itu
lebih baik buat kau daripada yang sekarang.”
Ya, hari kemudian tempat
berkumpulnya jiwa dengan segala bentuknya yang penuh, yang tidak lagi kenal
ruang dan waktu, dan semua cara hidup pertama yang rendah ini akan terlupakan
adanya. Hari kemudian yang akan disinari cahaya pagi, berkilauan, dan malam yang
gelap dan kelam. Bintang-bintang di langit, bumi dan gunung-gunung, semua akan
dihubungi oleh jiwa yang pasrah menyerah. Kehidupan inilah yang akan menjadi
tujuan. Inilah kebenaran yang sesungguhnya. Di luar itu hanya bayangan belaka,
yang tiada berguna. Kebenaran inilah yang cahayanya disinari oleh jiwa Muhammad,
dan yang baru akan dipantulkan kembali guna memikirkan bagaimana mengajak orang
ingat kepada Tuhan. Dan guna mengajak orang kepada Tuhan, ia harus membersihkan
pakaiannya serta menjauhi perbuatan mungkar. Ia harus tabah menghadapi segala
gangguan demi menjaga dakwah kepada Kebenaran. Ia harus menuntun umat kepada
ilmu yang belum mereka ketahui; jangan menolak orang meminta, jangan berlaku
bengis terhadap anak piatu. Cukuplah Tuhan telah memilihnya sebagai pengemban
amanat. Maka katakanlah itu. Cukup sudah, bahwa Tuhan telah menemukannya sebagai
seorang piatu, lalu dilindungiNya di bawah asuhan kakeknya Abd’l-Muttalib, dan
pamannya, Abu Talib. Ia yang hidup miskin, telah diberi kekayaan dengan amanat
Tuhan kepadanya. Dipermudah pula dengan Khadijah sebagai kawan semasa mudanya,
kawan semasa dalam tahannuth, kawan semasa kerasulannya, kawan yang penuh cinta
kasih, yang memberi nasehat dengan rasa kasih-sayangnya. Tuhan telah
mendapatinya tak tahu jalan, lalu diberiNya petunjuk berupa risalah. Cukuplah
semua itu. Hendaklah ia mengajak orang kepada Kebenaran, berusaha sedapat
mungkin.
Begitulah ketentuan Tuhan terhadap seorang nabi yang telah
dipilihNya. Ia tidak ditinggalkanNya, juga tidak dibenciNya.
Tuhan telah
mengajarkan Nabi bersembahyang, maka iapun bersembahyang, begitu juga Khadijah
ikut pula sembahyang. Selain puteri-puterinya, tinggal bersama keluarga itu Ali
bin Abi Talib sebagai anak muda yang belum balig. Pada waktu itu suku Quraisy
sedang mengalami suatu krisis yang luarbiasa. Abu Talib adalah keluarga yang
banyak anaknya. Muhammad sekali berkata kepada Abbas, pamannya - yang pada masa
itu adalah yang paling mampu di antara Keluarga Hasyim: “Abu Talib saudaramu
anaknya banyak. Seperti kaulihat, banyak orang yang mengalami krisis. Baiklah
kita ringankan dia dari anak-anaknya itu. Aku akan mengambilnya seorang kaupun
seorang untuk kemudian kita asuh.”
Karena itu Abbas lalu mengasuh Ja’far
dan Muhammad mengasuh Ali, yang tetap tinggal bersama sampai pada masa
kerasulannya.
Tatkala Muhammad dan Khadijah sedang sembahyang, tiba-tiba
Ali menyeruak masuk. Dilihatnya kedua orang itu sedang ruku’ dan sujud serta
membaca beberapa ayat Qur’an yang sampai pada waktu itu sudah diwahyukan
kepadanya. Anak ifu tertegun berdiri: “Kepada siapa kalian sujud?” tanyanya
setelah sembahyang selesai.
“Kami sujud kepada Allah,” jawab Muhammad,
“Yang mengutusku menjadi nabi dan memerintahkan aku mengajak manusia menyembah
Allah”
Lalu Muhammadpun mengajak sepupunya itu beribadat kepada Allah
semata tiada bersekutu serta menerima agama yang dibawa nabi utusanNya dengan
meninggalkan berhala-berhala semacam Lat dan ‘Uzza. Muhammad lalu membacakan
beberapa ayat Qur’an. Ali sangat terpesona karena ayat-ayat itu luarbiasa
indahnya.
Catatan kaki:
1. Pada umumnya kata ‘namus besar’ (an-namus’l-akbar)
oleh beberapa penulis yang datang kemudian diberi anotasi, bahwa kata namus
berarti ‘Jibnl.’ Mungkin ini didasarkan kepada (N) dan (LA) yang juga
mengartikan demikian. Mengenai kata-kata ini Dr. Haekal tidak memberikan
catatan. Demikian juga Ibn Ishaq dan ibn Hisyam. Salah seorang Orientalis -
Montgomery Watt misalnya - memberikan catatan bahwa kata namus biasanya diambil
dan bahasa Yunani nomos, dan ini berarti undang-undang atau kitab suci yang
diwahyukan, (Muhammad at Mecca, p. 51). Sebaliknya pemakaian kata namus bukan
istilah Qur’an, sebab Qur’an menggunakan kata Taurat apabila yang dimaksud
dengan namus itu undang-undang Nabi Musa (A).
Ia minta waktu akan
berunding dengan ayahnya lebih dulu. Semalaman itu ia merasa gelisah. Tetapi
besoknya ia memberi tahukan kepada suami-isteri itu, bahwa ia akan mengikuti
mereka berdua, tidak perlu minta pendapat Abu Talib. “Tuhan menjadikan saya
tanpa saya perlu berunding dengan Abu Talib. Apa gunanya saya harus berunding
dengan dia untuk menyembah Allah.”
Jadi Ali adalah anak pertama yang
menerima Islam. Kemudian Zaid b. Haritha, bekas budak Nabi. Dengan demikian
Islam masih terbatas hanya dalam lingkungan keluarga Muhammad: dia sendiri,
isterinya, kemenakannya dan bekas budaknya. Masih juga ia berpikir-pikir,
bagaimana akan mengajak kaum Quraisy itu. Tahu benar ia, betapa kerasnya mereka
itu dan betapa pula kuatnya mereka berpegang pada berhala yang disembah-sembah
nenek moyang mereka itu.
Pada waktu itu Abu Bakr b. Abi Quhafa dari
kabilah Taim adalah teman akrab Muhammad. Ia senang sekali kepadanya, karena
sudah diketahuinya benar ia sebagai orang yang bersih, jujur dan dapat
dipercaya. Oleh karena itu orang dewasa pertama yang diajaknya menyembah Allah
Yang Esa dan meninggalkan penyembahan berhala, adalah dia. Juga dia laki-laki
pertama tempat dia membukakan isi hatinya akan segala yang dilihat serta wahyu
yang diterimanya. Abu Bakr tidak ragu-ragu lagi memenuhi ajakan Muhammad dan
beriman pula akan ajakannya itu. Jiwa yang mana lagi yang memang mendambakan
kebenaran masih akan ragu-ragu meninggalkan penyembahan berhala dan untuk
kemudian menyembah Allah Yang Esa! Jiwa yang mana lagi yang masih disebut jiwa
besar di samping menyembah Allah masih mau menyembah batu yang bagaimanapun
bentuknya! Jiwa yang mana lagi yang sudah bersih masih akan ragu-ragu
membersihkan pakaian dan jiwanya, berderma kepada orang yang membutuhkan dan
berbuat kebaikan kepada anak piatu!
Keimanannya kepada Allah dan kepada
RasulNya itu segera diumumkan oleh Abu Bakr di kalangan teman-temannya. Ia
memang seorang pria yang rupawan. “Menjadi kesayangan masyarakatnya dan amikal
sekali. Dari kalangan Quraisy ia termasuk orang Quraisy yang berketurunan tinggi
dan yang banyak mengetahui segala seluk-beluk bangsa itu, yang baik dan yang
jahat. Sebagai pedagang dan orang yang berakhlak baik ia cukup terkenal.
Kalangan masyarakatnya sendiri yang terkemuka mengenalnya dalam satu bidang
saja. Mereka mengenalnya karena ilmunya, karena perdagangannya dan karena
pergaulannya yang baik.”
Dari kalangan masyarakatnya yang dipercayai oleh
Abu Bakr diajaknya mereka kepada Islam. Usman b. ‘Affan, Abdurrahman b. ‘Auf,
Talha b. ‘Ubaidillah, Sa’d b. Abi Waqqash dan Zubair bin’l-‘Awwam mengikutinya
pula menganut Islam. Kemudian menyusul pula Abu ‘Ubaida bin’l-Djarrah, dan
banyak lagi yang lain dari penduduk Mekah. Mereka yang sudah Islam itu lalu
datang kepada Nabi menyatakan Islamnya, yang selanjutnya menerima ajaran-ajaran
agama itu dari Nabi sendiri.
Mengetahui adanya permusuhan yang begitu
bengis dari pihak Quraisy terhadap segala sesuatu yang melanggar paganisma, maka
kaum Muslimin yang mula-mula masih sembunyi-sembunyi. Apabila mereka akan
melakukan salat, mereka pergi ke celah-celah gunung di Mekah. Keadaan serupa ini
berjalan selama tiga tahun, sementara Islam tambah meluas juga di kalangan
penduduk Mekah. Wahyu yang datang kepada Muhammad selama itu makin memperkuat
iman kaum Muslimin.
Yang menambah pula dakwah itu berkembang sebenarnya
karena teladan yang diberikan Muhammad sangat baik sekali: ia penuh bakti dan
penuh kasih-sayang, sangat rendah hati dan penuh kejantanan, tutur-katanya
lemah-lembut dan selalu berlaku adil; hak setiap orang masing-masing ditunaikan.
Pandangannya terhadap orang yang Iemah, terhadap piatu, orang yang sengsara dan
miskin adalah pandangan seorang bapa yang penuh kasih, lemah-lembut dan mesra.
Malam haripun, dalam ia bertahajud, malam ia tidak cepat tidur, membaca wahyu
yang disampaikan kepadanya, renungannya selalu tentang langit dan bumi, mencari
pertanda dari segenap wujud ini, permohonannya selalu dihadapkan hanya kepada
Allah. Dia. yang menyerapkan hidup semesta ini ke dalam dirinya dan kedalam
jantung kehidupannya sendiri, adalah suatu teladan yang membuat mereka yang
sudah beriman dan menyatakan diri Islam itu, makin besar cintanya kepada Islam
dan makin kukuh pula imannya. Mereka sudah berketetapan hati meninggalkan anutan
nenek-moyang mereka dengan menanggung segala siksaan kaum musyrik yang hatinya
belum lagi disentuh iman.
Saudagar-saudagar dan kaum bangsawan Mekah yang
sudah mengenal arti kesucian, sudah menyadari arti kebenaran, pengampunan dan
arti rahmat, mereka beriman kepada ajaran Muhammad. Semua kaum yang lemah, semua
orang yang sengsara dan semua orang yang tidak punya, beriman kepadanya. Ajaran
Muhammad sudah tersebar di Mekah, orang sudah berbondong-bondong memasuki Islam,
pria dan wanita.
Orang banyak bicara tentang Muhammad dan tentang
ajaran-ajarannya. Akan tetapi penduduk Mekah yang masih berhati-hati, yang masih
tertutup hatinya, pada mulanya tidak menghiraukannya. Mereka menduga, bahwa
kata-katanya tidakkan lebih dan kata-kata pendeta atau ahli-ahli pikir semacam
Quss, Umayya, Waraqa dan yang lain. Orang pasti akan kembali kepada kepercayaan
nenek-moyangnya; yang akhirnya akan menang ialah Hubal, Lat dan ‘Uzza, begitu
juga Isaf dan Na’ila yang dibawai kurban. Mereka lupa bahwa iman yang murni tak
dapat dikalahkan, dan bahwa kebenaran pasti akan mendapat
kemenangan.
Tiga tahun kemudian sesudah kerasulannya, perintah Allah
datang supaya ia mengumumkan ajaran yang masih disembunyikan itu, perintah Allah
supaya disampaikan. Ketika itu wahyu datang:
“Dan berilah peringatan kepada
keluarga-keluargamu yang dekat. Limpahkanlah kasih-sayang kepada orang-orang
beriman yang mengikut kau. Kalaupun mereka tidak mau juga mengikuti kau,
katakanlah, ‘Aku lepas tangan dari segala perbuatan kamu.’” (Qur’an 26: 214-216)
“Sampaikanlah apa yang
sudah diperintahkan kepadamu, dan tidak usah kauhiraukan orang-orang musyrik
itu.” (Qur’an 15: 94)
Muhammadpun
mengundang makan keluarga-keluarga itu ke rumahnya, dicobanya bicara dengan
mereka dan mengajak mereka kepada Allah. Tetapi Abu Talib, pamannya, lalu
menyetop pembicaraan itu. Ia mengajak orang-orang pergi meninggalkan tempat.
Keesokan harinya sekali lagi Muhammad mengundang mereka.
Selesai makan,
katanya kepada mereka: “Saya tidak melihat ada seorang manusia di kalangan Arab
ini dapat membawakan sesuatu ke tengah-tengah mereka lebih baik dari yang saya
bawakan kepada kamu sekalian ini. Kubawakan kepada kamu dunia dan akhirat yang
terbaik. Tuhan telah menyuruh aku mengajak kamu sekalian. Siapa di antara kamu
ini yang mau mendukungku dalam hal ini?”
Mereka semua menolak, dan sudah
bersiap-siap akan meninggalkannya. Tetapi tiba-tiba Ali bangkit - ketika itu ia
masih anak-anak, belum lagi balig. “Rasulullah, saya akan membantumu,” katanya.
“Saya adalah lawan siapa saja yang kautentang.”
Banu Hasyim tersenyum,
dan ada pula yang tertawa terbahak-bahak. Mata mereka berpindah-pindah dari Abu
Talib kepada anaknya. Kemudian mereka semua pergi meninggalkannya dengan
ejekan.
Sesudah itu Muhammad kemudian mengalihkan seruannya dari
keluarga-keluarganya yang dekat kepada seluruh penduduk Mekah. Suatu hari ia
naik ke Shafa2 dengan berseru: “Hai
masyarakat Quraisy.” Tetapi orang Quraisy itu lalu membalas: “Muhammad bicara
dari atas Shafa.” Mereka lalu datang berduyun-duyun sambil bertanya-tanya, “Ada
apa?”
“Bagaimana pendapatmu sekalian kalau kuberitahukan kamu, bahwa pada
permukaan bukit ini ada pasukan berkuda. Percayakah kamu?”
“Ya,” jawab
mereka. “Engkau tidak pernah disangsikan. Belum pernah kami melihat engkau
berdusta.”
“Aku mengingatkan kamu sekalian, sebelum menghadapi siksa yang
sungguh berat,” katanya, “Banu Abd’l-Muttalib, Banu Abd Manaf, Banu Zuhra, Banu
Taim, Banu Makhzum dan Banu Asad Allah memerintahkan aku memberi peringatan
kepada keluarga-keluargaku terdekat. Baik untuk kehidupan dunia atau akhirat.
Tak ada sesuatu bahagian atau keuntungan yang dapat kuberikan kepada kamu,
selain kamu ucapkan: Tak ada tuhan selain Allah.”
Atau seperti
dilaporkan: Abu Lahab - seorang laki-laki berbadan gemuk dan cepat naik darah -
kemudian berdiri sambil meneriakkan: “Celaka kau hari ini. Untuk ini kau
kumpulkan kami?”
Muhammad tak dapat bicara. Dilihatnya pamannya itu.
Tetapi kemudian sesudah itu datang wahyu membawa firman Tuhan:
“Celakalah kedua tangan Abu Lahab,
dan celakalah ia. Tak ada gunanya kekayaan dan usahanya itu. Api yang
menjilat-jilat akan menggulungnya” (Qur’an
102:1-8)
Kemarahan Abu Lahab dan sikap permusuhan
kalangan Quraisy yang lain tidak dapat merintangi tersebarnya dakwah Islam di
kalangan penduduk Mekah itu. Setiap hari niscaya akan ada saja orang yang Islam
- menyerahkan diri kepada Allah. Lebih-lebih mereka yang tidak terpesona oleh
pengaruh dunia perdagangan untuk sekedar melepaskan renungan akan apa yang telah
diserukan kepada mereka. Mereka sudah melihat Muhammad yang berkecukupan, baik
dari harta Khadijah atau hartanya sendiri. Tidak dipedulikannya harta itu, juga
tidak akan memperbanyaknya lagi. Ia mengajak orang hidup dalam kasih-sayang,
dengan lemah-lembut, dalam kemesraan dan tasamuh (lapang dada, toleransi). Ya,
bahkan dia yang menerima wahyu menyebutkan, bahwa memupuk-mupuk kekayaan adalah
suatu kutukan terhadap jiwa.
“Kamu telah dilalaikan oleh
perlombaan saling memperbanyak. Sampai nanti kamu menuju kubur. Sekali lagi,
jangan! Akan kamu ketahui juga nanti. Jangan. Kalau kamu mengetahui dengan
meyakinkan. Niscaya akan kamu lihat neraka. Kemudian, tentu akan kamu lihat itu
dengan mata yang meyakinkan. Hari itu kemudian baru kamu akan ditanyai tentang
kesenangan itu.” (Qur’an 111: 1-3)
Apalagi yang lebih
baik daripada yang dianjurkan Muhammad itu! Bukankah ia menganjurkan kebebasan?
Kebebasan mutlak yang tak ada batasnya. Kebebasan yang sungguh bernilai bagi
setiap manusia Arab itu, sama dengan nilai hidupnya sendiri! Ya! Bukankah orang
mau melepaskan diri dari belenggu dengan pengabdian yang bagaimanapun selain
pengabdiannya kepada Allah? Bukankah setiap belenggu itu harus dihancurkan? Tak
ada Hubal, tak ada Lat, ‘Uzza. Tak ada api Majusi, matahari orang Mesir, tak ada
bintang penyembah bintang, tak ada hawariyin (pengikut-pengikut Isa), tak ada
seorang manusiapun, atau malaikat ataupun jin yang akan menjadi batas antara
Allah dengan manusia. Di hadapan Allah, hanya di hadapanNya Yang Tunggal tak
bersekutu, manusia akan dimintai pertanggung-jawabannya atas perbuatannya yang
telah dilakukan, yang baik dan yang buruk. Hanya perbuatan manusia itu sajalah
yang menjadi perantaranya. Hati kecilnya yang akan menimbang semua perbuatan.
Hanya itulah yang berkuasa atas dirinya. Dengan itulah dipertanggungkan ketika
setiap jiwa mendapat balasan sesuai dengan perbuatannya. Kebebasan mana lagi
yang lebih luas daripada yang diajarkan Muhammad itu? Adakah Abu Lahab dan
kawan-kawannya mengajarkan yang semacam itu - sedikit sekalipun? Ataukah mereka
mengajarkan supaya manusia tetap dalam perhambaan, dalam perbudakan, yang sudah
ditimbuni oleh kepercayaan-kepercayaan khurafat dan takhayul, yang sudah
menutupi mereka dari segala cahaya kebenaran?
Akan tetapi Abu Lahab, Abu
Sufyan dan bangsawan-bangsawan Quraisy terkemuka lainnya, hartawan-hartawan yang
gemar bersenang-senang, mulai merasakan, bahwa ajaran Muhammad itu merupakan
bahaya besar bagi kedudukan mereka. Jadi yang mula-mula harus mereka lakukan
ialah menyerangnya dengan cara mendiskreditkannya, dan mendustakan segala apa
yang dinamakannya kenabian itu.
Langkah pertama yang mereka lakukan dalam
hal ini ialah membujuk penyair-penyair mereka: Abu Sufyan bin’l-Harith, ‘Amr
bin’l-‘Ash dan Abdullah ibn’z-Ziba’ra, supaya mengejek dan menyerangnya. Dalam
pada itu penyair-penyair Muslimin juga tampil membalas serangan mereka tanpa
Muhammad sendiri yang harus melayani.
Sementara itu, selain
penyair-penyair itu beberapa orang tampil pula meminta kepada Muhammad beberapa
mujizat yang akan dapat membuktikan kerasulannya: mujizat-mujizat seperti pada
Musa dan Isa. Kenapa bukit-bukit Shafa dan Marwa itu tidak disulapnya menjadi
emas, dan kitab yang dibicarakannya itu dalam bentuk tertulis diturunkan dari
langit? Dan kenapa Jibril yang banyak dibicarakan oleh Muhammad itu tidak muncul
di hadapan mereka? Kenapa dia tidak menghidupkan orang-orang yang sudah mati,
menghalau bukit-bukit yang selama ini membuat Mekah terkurung karenanya? Kenapa
ia tidak memancarkan mata air yang lebih sedap dari air sumur Zamzam, padahal ia
tahu betapa besar hajat penduduk negerinya itu akan air?
Tidak hanya
sampai disitu saja kaum musyrikin itu mau mengejeknya dalam soal-soal mujizat,
malahan ejekan mereka makin menjadi-jadi, dengan menanyakan: kenapa Tuhannya itu
tidak memberikan wahyu tentang harga barang-barang dagangan supaya mereka dapat
mengadakan spekulasi buat hari depan?
Debat mereka itu berkepanjangan.
Tetapi wahyu yang datang kepada Muhammad menjawab debat mereka
“Katakanlah: ‘Aku tak berkuasa
membawa kebaikan atau menolak bahaya untuk diriku sendiri, kalau tidak dengan
kehendak Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang gaib-gaib, niscaya kuperbanyak
amal kebaikan itu dan bahayapun tidak menyentuhku. Tapi aku hanya memberi
peringatan dan membawa berita gembira bagi mereka yang beriman.” (Qur’an 7: 188)
Ya, Muhammad
hanya mengingatkan dan membawa berita gembira. Bagaimana mereka akan menuntutnya
dengan hal-hal yang tak masuk akal. Sedang dia tidak mengharapkan dari mereka
kecuali yang masuk akal, bahkan yang diminta dan diharuskan oleh akal? !
Bagaimana mereka menuntutnya dengan hal-hal yang bertentangan dengan kodrat jiwa
yang tinggi padahal yang diharapkannya dari mereka agar mereka mau menerima
suara yang sesuai dengan kodrat jiwa yang tinggi itu?! Bagaimana pula mereka
masih menuntutnya dengan beberapa mujizat, padahal kitab yang diwahyukan
kepadanya itu dan yang menunjukkan jalan yang benar itu adalah mujizat dari
segala mujizat? Kenapa mereka masih menuntut supaya kerasulannya itu diperkuat
lagi dengan keanehan-keanehan yang tak masuk akal, yang sesudah itu nanti
merekapun akan ragu-ragu lagi, akan mengikutinyakah mereka atau
tidak?
Dan ini, yang mereka katakan tuhan-tuhan mereka itu, tidak lebih
adalah batu-batu atau kayu yang disangga atau berhala-berhala yang tegak di
tengah-tengah padang pasir, yang tidak dapat membawa kebaikan ataupun menolak
bahaya. Sungguhpun begitu mereka menyembahnya juga, tanpa menuntut pembuktian
sifat-sifat ketuhanannya. Dan kalaupun itu yang dituntut, pasti ia akan tetap
batu atau kayu, tanpa hidup, tanpa gerak; untuk dirinyapun ia tak dapat menolak
bahaya atau membawa kebaikan. Dan jika ada yang datang menghancurkannya iapun
takkan dapat mempertahankan diri.
Muhammadpun sudah terang-terangan
menyebut berhala-berhala mereka, yang sebelum itu tidak pernah disebut-sebutnya.
Ia mencelanya, yang juga sebelum itu tidak pernah dilakukan demikian. Hal ini
menjadi soal besar bagi Quraisy dan dirasakan menusuk hati mereka. Tentang
laki-laki itu, serta apa yang dihadapinya dari mereka dan dihadapi mereka dari
dia, sekarang mulai sungguh-sungguh menjadi perhatian mereka. Sampai sebegitu
jauh mereka baru sampai memperolok kata-katanya. Apabila mereka duduk-duduk di
Dar’n Nadwa,3 atau disekitar Ka’bah
dengan berhala-berhala yang ada, membuallah mereka dengan sikap tidak lebih dari
senyuman mengejek dan berolok-olok. Akan tetapi, jika yang dihina dan diejek itu
sekarang dewa-dewa mereka yang mereka sembah dan disembah nenek-moyang mereka,
termasuk Hubal, Lat, ‘Uzza dan semua berhala, maka tidak lagi soalnya soal
olok-olok dan cemoohan, melainkan sudah menjadi soal yang serius dan menentukan.
Atau, andaikata orang itu sampai dapat menghasut penduduk Mekah melawan mereka
dan meninggalkan berhala-berhala mereka, hasil apa yang akan diperolehnya dari
perdagangan Mekah itu? Dan bagaimana pula kedudukan mereka dalam arti
agama?
Abu Talib pamannya belum lagi menganut Islam. Tetapi tetap ia
sebagai pelindung dan penjaga kemenakannya itu. Ia sudah menyatakan kesediaannya
akan membelanya. Atas dasar itu pemuka-pemuka bangsawan Quraisy - dengan
diketahui oleh Abu Sufyan b. Harb - pergi menemui Abu Talib.
“Abu Talib,”
kata mereka, “kemenakanmu itu sudah memaki berhala-berhala kita, mencela agama
kita, tidak menghargai harapan-harapan kita dan menganggap sesat nenek-moyang
kita. Soalnya sekarang, harus kauhentikan dia; kalau tidak biarlah kami sendiri
yang akan menghadapinya. Oleh karena engkau juga seperti kami tidak sejalan,
maka cukuplah engkau dari pihak kami menghadapi dia.”
Akan tetapi Abu
Talib menjawab mereka dengan baik sekali. Sementara itu Muhammad juga tetap
gigih menjalankan tugas dakwahnya dan dakwa itupun mendapat pengikut bertambah
banyak.
Quraisy segera berkomplot menghadapi Muhammad itu. Sekali lagi
mereka pergi menemui Abu Talib. Sekali ini disertai ‘Umara bin’l-Walid
bin’l-Mughira, seorang pemuda yang montok dan rupawan, yang akan diberikan
kepadanya sebagai anak angkat, dan sebagai gantinya supaya Muhammad diserahkan
kepada mereka. Tetapi inipun ditolak. Muhammad terus juga berdakwah, dan
Quraisypun terus juga berkomplot.
Untuk ketiga kalinya mereka mendatangi
lagi Abu Talib.
“Abu Talib’” kata mereka, “Engkau sebagai orang yang
terhormat, terpandang di kalangan kami. Kami telah minta supaya menghentikan
kemenakanmu itu, tapi tidak juga kaulakukan. Kami tidak akan tinggal diam
terhadap orang yang memaki nenek-moyang kita, tidak menghargai harapan-harapan
kita dan mencela berhala-berhala kita - sebelum kausuruh dia diam atau sama-sama
kita lawan dia hingga salah satu pihak nanti binasa.”
Berat sekali bagi
Abu Talib akan berpisah atau bermusuhan dengan masyarakatnya. Juga tak sampai
hati ia menyerahkan atau membuat kemenakannya itu kecewa. Gerangan apa yang
harus dilakukannya?
Dimintanya Muhammad datang dan diceritakannya maksud
seruan Quraisy. Lalu katanya: “Jagalah aku, begitu juga dirimu. Jangan aku
dibebani hal-hal yang tak dapat kupikul.”
Muhammad menekur sejenak,
menekur berhadapan dengan sebuah sejarah alam wujud ini, sejarah yang sedang
tertegun tak tahu hendak ke mana tujuannya. Dalam kata-kata yang kemudian
menguntai dari bibir laki-laki itu adalah suatu keputusan bagi dunia: adakah
dunia ini akan dalam kesesatan selalu dan terus dijerumuskan, lalu datang Majusi
menekan Kristen yang sudah gagal dan kacau, dan dengan demikian paganisma dengan
kebatilannya itu akan mengangkat kepala yang sudah rapuk dan busuk? Atau ia
harus memancarkan terus sinar kebenaran itu, memproklamirkan kata-kata Tauhid,
membebaskan pikiran manusia dari belenggu perbudakan, membebaskannya dari rantai
ilusi dan mengangkatnya kemartabat yang lebih tinggi, sehingga jiwa manusia itu
dapat mencapai hubungan dengan Zat Maha Tinggi?
Pamannya, ini pamannya
seolah sudah tak berdaya lagi membela dan memeliharanya. Ia sudah mau
meninggalkan dan melepaskannya. Sedang kaum Muslimin masih lemah, mereka tak
berdaya akan berperang, tidak dapat mereka melawan Quraisy yang punya kekuasaan,
punya harta, punya persiapan dan jumlah rmanusia. Sebaliknya dia tidak punya
apa-apa selain kebenaran. Dan atas nama kebenaran sebagai pembelanya ia mengajak
orang. Tak punya apa-apa ia selain imannya kepada kebenaran itu sebagai
perlengkapan. Terserahlah apa jadinya! Hari kemudian itu baginya lebih baik
daripada yang sekarang. Ia akan meneruskan misinya, akan mengajak orang seperti
yang diperintahkan Tuhan kepadanya. Lebih baik mati ia membawa iman kebenaran
yang telah diwahyukan kepadanya daripada menyerah atau ragu-ragu.
Karena
itu, dengan jiwa yang penuh kekuatan dan kemauan, ia menoleh kepada pamannya
seraya berkata:
“Paman, demi Allah, kalaupun mereka meletakkan matahari
di tangan kananku dan meletakkan bulan di tangan kiriku, dengan maksud supaya
aku meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan kutinggalkan, biar nanti Allah
yang akan membuktikan kemenangan itu ditanganku, atau aku binasa
karenanya.”
Ya, demikian besarnya kebenaran itu, demikian dahsyatnya iman
itu! Gemetar orang tua ini mendengar jawaban Muhammad, tertegun ia. Ternyata ia
berdiri dihadapan tenaga kudus dan kemauan yang begitu tinggi, di atas segala
kemampuan tenaga hidup yang ada.
Muhammad berdiri. Airmatanya terasa
menyumbat karena sikap pamannya yang tiba-tiba itu, sekalipun tak terlintas
kesangsian dalam hatinya sedikitpun akan jalan yang ditempuhnya
itu.
Seketika lamanya Abu Talib masih dalam keadaan terpesona. Ia masih
dalam kebingungan antara tekanan masyarakatnya dengan sikap kemanakannya itu.
Tetapi kemudian dimintanya Muhammad datang lagi, yang lalu katanya: “Anakku,
katakanlah sekehendakmu. Aku tidak akan menyerahkan engkau bagaimanapun
juga!”
Catatan kaki:
2. ash-Shafa ialah sebuah bukit dekat Mekah (A).
3. Semacam
gedung pertemuan (A).
Sikap dan kata-kata kemenakannya itu oleh Abu Talib disampaikan
kepada Banu Hasyim dan Banu al-Muttalib. Pembicaranya tentang Muhammad itu
terpengaruh oleh suasana yang dilihat dan dirasakannya ketika itu. Dimintanya
supaya Muhammad dilindungi dari tindakan Quraisy. Mereka semua menerima usul
ini, kecuali Abu Lahab. Terang-terangan ia menyatakan permusuhannya. Ia
menggabungkan diri pada pihak lawan mereka. Permintaan mereka supaya ia
dilindungi itu sudah tentu karena terpengaruh oleh fanatisma golongan dan
permusuhan lama antara Banu Hasyim dan Banu Umayya. Tetapi bukan fanatisma itu
saya yang mendorong Quraisy bersikap demikian. Ajarannya itu sungguh berbahaya
bagi kepercayaan yang biasa dilakukan oleh leluhur mereka. Kedudukan Muhammad di
tengah-tengah mereka, pendiriannya yang teguh serta ajarannya pada kebaikan
supaya orang hanya menyembah Zat Yang Tunggal, yang pada waktu itu memang sudah
meluas juga di kalangan kabilah-kabilah Arab, bahwa agama Allah itu bukanlah
seperti yang ada pada mereka sekarang, membuat mereka dapat membenarkan juga
sikap kemenakan mereka itu, Muhammad, dalam menyatakan pendiriannya, seperti
yang pernah dilakukan oleh Umayya b. Abi’sh-Shalt dan Waraqa b. Naufal dan yang
lain. Kalau Muhammad memang benar - dan ini yang tidak dapat mereka pastikan -
maka kebenaran itu akan tampak juga dan merekapun akan merasakan pula
kemegahannya. Sebaliknya, kalau tidak atas dasar kebenaran, maka orangpun akan
meninggalkannya seperti yang sudah terjadi sebelum itu. Akhirnya ajaran demikian
ini tidak akan meninggalkan bekas dalam mengeluarkan mereka dari tradisi yang
ada dan dia sendiripun akan diserahkan kepada musuh supaya
dibunuh.
Terhadap gangguan Quraisy ia dapat berlindung kepada
goIongannya, seperti kepada Khadijah bila ia mengalami kesedihan. Baginya -
dengan imannya yang sungguh-sungguh dan cinta-kasihnya yang besar - Khadijah
adalah lambang kejujuran yang dapat menghilangkan segala kesedihan hatinya, yang
dapat menguatkan kembali setiap ciri kelemahan yang mungkin timbul karena
siksaan musuh-musuhnya yang begitu keras menentangnya serta melakukan penyiksaan
terus-menerus terhadap pengikut-pengikutnya.
Sebelum itu sebenarnya
Quraisy memang tidak pernah mengenal hidup tenteram. Bahkan setiap kabilah itu
langsung menyerbu kaum Muslimin yang ada di kalangan mereka: disiksa dan dipaksa
melepaskan agamanya; sehingga di antara mereka ada yang mencampakkan budaknya,
Bilal, ke atas pasir di bawah terik matahari yang membakar, dadanya ditindih
dengan batu dan akan dibiarkan mati. Soalnya karena ia teguh bertahan dalam
Islam! Dalam kekerasan semacam itu Bilal hanya berkata: “Ahad, Ahad, Hanya Yang
Tunggal!” Ia memikul semua siksaan itu demi agamanya.
Ketika pada suatu
hari oleh Abu Bakr dilihatnya Bilal mengalami siksaan begitu rupa, ia dibelinya
lalu dibebaskan. Tidak sedikit budak-budak yang mengalami kekerasan serupa itu
oleh Abu Bakr dibeli - diantaranya budak perempuan Umar bin’l-Khattab, dibelinya
dari Umar [sebelum masuk Islam]. Ada pula seorang wanita yang disiksa sampai
mati karena ia tidak mau meninggalkan Islam kembali kepada kepercayaan
leluhurnya.
Kaum Muslimin di luar budak-budak itu, dipukuli dan dihina
dengan berbagai cara. Muhammad juga tidak terkecuali mengalami gangguan-gangguan
- meskipun sudah dilindungi oleh Banu Hasyim dan Banu al-Muttalib. Umm Jamil,
isteri Abu Jahl, melemparkan najis ke depan rumahnya. Tetapi cukup Muhammad
hanya membuangnya saja. Dan pada waktu sembayang, Abu Jahl melemparinya dengan
isi perut kambing yang sudah disembelih untuk sesajen kepada berhala-berhala.
Ditanggungnya gangguan demikian itu dan ia pergi kepada Fatimah, puterinya,
supaya mencucikan dan membersihkannya kembali. Ditambah lagi, di samping semua
itu, kaum Muslimin harus menerima kata-kata biadab dan keji kemana saja mereka
pergi.
Cukup lama hal serupa itu berjalan. Tetapi kaum Muslimin tambah
teguh terhadap agama mereka. Dengan dada terbuka mereka menerima siksaan dan
kekerasan itu - demi akidah dan iman mereka.
Perioda yang telah dilalui
dalam hidup Muhammad a.s. ini adalah perioda yang paling dahsyat yang pernah
dialami oleh sejarah umat manusia. Baik Muhammad atau mereka yang menjadi
pengikutnya, bukanlah orang-orang yang menuntut harta kekayaan, kedudukan atau
kekuasaan, melainkan orang-orang yang menuntut kebenaran serta keyakinannya akan
kebenaran itu. Muhammad adalah orang yang mengharapkan bimbingan bagi mereka
yang mengalami penderitaan, dan membebaskan mereka dari belenggu paganisma yang
rendah, yang menyusup kedalam jiwa manusia sampai ke lembah kehinaan yang sangat
memalukan.
Demi tujuan rohani yang luhur itulah - tidak untuk tujuan yang
lain - ia mengalami siksaan. Penyair-penyair memakinya, orang-orang Quraisy
berkomplot hendak membunuhnya di Ka’bah. Rumahnya dilempari batu, keluarga dan
pengikut-pengikutnya diancam. Tetapi dengan semua itu malah ia makin tabah,
makin gigih meneruskan dakwah. Jiwa kaum mukmin yang mengikutinya itu sudah
padat oleh ucapannya: “Demi Allah, kalaupun mereka meletakkan matahari di tangan
kananku dan meletakkan bulan di tangan kiriku, dengan maksud supaya aku
meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan kutinggalkan, biar nanti Allah yang
akan membuktikan kemenangan itu; di tanganku atau aku binasa
karenanya.”
Segala pengorbanan yang besar-besar itu tak ada artinya bagi
mereka, mautpun sudah tak berarti lagi demi kebenaran, dan membimbing Quraisy ke
arah itu. Kadang orang heran, iman sudah begitu mempersonakan jiwa penduduk
Mekah pada waktu agama ini belum lengkap, pada waktu ayat-ayat Qur’an yang turun
masih sedikit. Kadang juga orang mengira, bahwa pribadi Muhammad, sifatnya yang
lemah-lembut, keindahan akhlaknya serta kejujurannya yang sudah cukup dikenal,
di samping kemauan yang keras dan pendiriannya yang teguh, adalah sebab dari
semua itu. Sudah tentu ini juga ada pengaruhnya. Akan tetapi ada sebab-sebab
lain yang juga patut diperhatikan yang tidak sedikit pula ikut memegang
peranan.
Muhammad tinggal dalam suatu daerah yang merdeka mirip-mirip
sebuah republik Dari segi keturunan ia menempati puncak yang tinggi. Hartapun
sudah cukup seperti yang dikehendakinya. Ia dari Keluarga Hasyim pula, juru
kunci Ka’bah dan penguasa urusan air. Gelar-gelar keagamaan yang tinggi-tinggi
ada pada mereka. Jadi dalam keadaan itu ia tidak lagi membutuhkan harta
kekayaan, pangkat atau sesuatu kedudukan politik atau agama. Dalam hal ini ia
berbeda pula dengan para rasul dan nabi-nabi sebelumnya. Musa yang dilahirkan di
Mesir bertemu dengan Firaun yang oleh penduduk sudah dituhankan, dan Firaun juga
yang berkata: “Aku adalah tuhanmu yang tertinggi,” yang dibantu pula oleh
pemuka-pemuka agama melakukan tekanan kepada orang dengan pelbagai macam
kekejaman, pemerasan dan pemaksaan. Revolusi yang dilakukan Musa atas perintah
Tuhan adalah revolusi dalam struktur politik dan agama sekaligus. Bukankah
keinginannya supaya Firaun dan orang yang menimba air dengan syaduf dari sungai
Nil itu dihadapan Tuhan sama sederajat? Jadi dimana ketuhanan Firaun itu dan
dimana pula ketentuan yang berlaku! Harus dihancurkan semua itu dan revolusi
itupun terlebih dulu harus bersifat politik.
Oleh karena itu, dari semula
ajaran Musa itu sudah mendapat perlawanan hebat dari Firaun. Dengan demikian,
supaya orang menerima seruannya itu, ia diperkuat oleh mujizat-mujizat. Ia
melemparkan tongkatnya, dan tongkat itu menjadi seekor ular yang bergerak-gerak,
menelan semua hasil pekerjaan tukang tukang sihir Firaun itu. Itupun tidak
memberi hasil apa-apa buat Musa. Terpaksa ia meninggalkan Mesir tanah airnya.
Dalam hijrahnya itupun diperkuat pula ia dengan sebuah mujizat yaitu terbelahnya
jalan di tengah-tengah air lautan itu.
Juga Isa, yang dilahirkan di
Nazareth di bilangan Palestina, yang pada waktu itu merupakan wilayah Rumawi
yang berada di bawah kekuasaan kaisar-kaisar dengan segala kekejamannya sebagai
pihak penjajah dan kekuasaan dewa-dewa Rumawi, mengajak orang supaya sabar
menghadapi kekejaman itu dan bertobat bagi yang menyesal dan macam-macam
perasaan belaskasih lagi, yang oleh pihak penguasa justru dianggap pemberontakan
terhadap kekuasaan mereka. Maka Isa juga diperkuat dengan mujizat-mujizat:
menghidupkan orang mati dan menyembuhkan orang sakit; dan yang lain diperkuat
oleh Ruh Kudus. Memang benar, bahwa inti ajaran-ajaran mereka itu pada dasarnya
bertemu dengan inti ajaran-ajaran Muhammad juga, lepas dari detail yang bukan
tempatnya untuk dijelaskan di sini. Akan tetapi motif yang berbagai macam ini,
dan yang terutama motif politik, adalah yang menjadi tujuannya
juga.
Sebaliknya Muhammad, keadaannya seperti yang kita sebutkan di atas,
sifat ajarannya adalah intelektual dan spiritual. Dasarnya adalah mengajak
kepada kebenaran, kebaikan dan keindahan. Suatu ajakan yang berdiri sendiri dari
mula sampai akhir. Karena jauhnya dari segala pertentangan politik, struktur
republik yang sudah ada di Mekah itu tidak pernah mengalami sesuatu
kekacauan.
Mungkin pembaca akan terkejut bila saya katakan, bahwa antara
dakwah Muhammad dengan metoda ilmiah modern mempunyai persamaan yang besar
sekali. Metoda ilmiah ini ialah mengharuskan kita - apabila kita hendak
mengadakan suatu penyelidikan - terlebih dulu membebaskan diri dari segala
prasangka, pandangan hidup dan kepercayaan yang sudah ada pada diri kita yang
berhubungan dengan penyelidikan itu. Di situlah kita memulai dengan mengadakan
observasi dan eksperimen, mengadakan perbandingan yang sistematis, kemudian baru
dengan silogisma yang sudah didasarkan kepada premisa-premisa tadi. Apabila
semua itu sudah dapat disimpulkan, maka kesimpulan demikian itu dengan
sendirinya masih perlu dibahas dan diselidiki lagi. Tetapi bagaimanapun juga ini
sudah merupakan suatu data ilmiah selama penyelidikan tersebut belum
memperlihatkan kekeliruan. Metoda ilmiah demikian ini ialah yang terbaik yang
pernah dicapai umat manusia demi kemerdekaan berpikir. Metoda dan dasar-dasar
dakwah demikian inilah pula yang menjadi pegangan Muhammad.
Bagaimana
pula mereka yang menjadi pengikutnya itu puas dan beriman sungguh-sungguh akan
ajarannya? Segala kepercayaan lama terkikis habis dari jiwa mereka, dan sekarang
mereka mulai memikirkan masa depan mereka.
Waktu itu setiap kabilah Arab
mempunyai berhala sendiri-sendiri. Mana pula gerangan berhala yang benar dan
mana yang sesat? Di negeri-negeri Arab dan negeri-negeri sekitarnya ketika itu
memang sudah ada penganut-penganut Sabian dan Majusi penyembah api, juga ada
yang menyembah matahari. Mana diantara mereka itu yang benar dan mana pula yang
sesat?
Baiklah kita kesampingkan dulu semua ini, kita hapuskan jejaknya
dari jiwa kita. Kita bebaskan dulu diri kita dari segala konsepsi dan
kepercayaan lama. Baiklah kita renungkan. Merenungkan dan meninjau pada dasarnya
sama. Yang pasti ialah bahwa seluruh alam ini satu sama lain saling berhubungan.
Manusia, puak-puak dan bangsa-bangsa saling berhubungan. Manusia berhubungan
juga dengan hewan dan dengan benda, bumi kita berhubungan dengan matahari,
dengan bulan dan tata-surya lainnya. Dan semua itupun berhubungan pula dengan
undang-undang yang sudah tali-temali, tak dapat ditukar-tukar atau diubah-ubah
lagi. Matahari tidak seharusnya akan mengejar bulan, malampun takkan dapat
mendahului siang. Andaikata di antara isi alam ini ada yang berubah atau
berganti, niscaya akan berganti pulalah segala yang ada dalam alam ini.
Andaikata matahari tidak lagi menyinari dan memanasi bumi, menurut undang-undang
yang sudah berjalan sejak jutaan tahun yang lalu, niscaya bumi dan langit ini
sudah akan berubah pula. Dan oleh karena yang demikian ini tidak terjadi, maka
atas semua itu sudah tentu ada zat yang menguasainya. Dari situ ia tumbuh,
dengan itu ia berkembang dan ke situ pula ia kembali. Hanya kepada Zat ini
sajalah semata manusia menyerah. Demikian juga, segala yang ada dalam alam ini
menyerah semata kepada Zat ini, persis seperti manusia. Baik manusia, alam,
ruang dan waktu adalah suatu kesatuan. Maka Zat itulah inti dan sumbernya. Jadi,
hanya kepada Zat itu sajalah semata ibadat dilakukan. Hanya kepada Zat itu
sajalah jantung dan jiwa manusia dihadapkan. Ke dalam alam itu juga kita harus
melihat dan merenungkan undang-undang alam yang kekal abadi itu. Jadi segala
yang disembah manusia selain Allah berupa berhala-berhala, raja-raja,
firaun-firaun, api dan matahari, hanyalah suatu ilusi batil saja, tidak sesuai
dengan martabat dan kehormatan manusia, tidak sesuai dengan akal pikiran manusia
serta dengan kemampuan yang ada dalam dirinya; yang dapat membuat kesimpulan
atas undang-undang Tuhan terhadap ciptaanNya itu, dengan jalan
merenungkannya.
Inilah rasanya esensi ajaran Muhammad seperti yang
diketahui kaum Muslimin yang mula-mula itu. Ajaran yang disampaikan wahyu kepada
mereka melalui Muhammad itu adalah puncak dari bahasa sastra yang telah menjadi
mujizat dan akan terus berlaku demikian. Terpadunya kebenaran dan cara
melukiskannya dengan keindahan yang luarbiasa itu kini tampak di hadapan mereka.
Di sini jiwa dan kalbu mereka meningkat lebih tinggi, berhubungan dengan Zat
Yang Maha Mulia. Lalu datang Muhammad menuntun mereka bahwa kebaikan itulah
jalan yang akan sampai ke tujuan. Mereka akan mendapat balasan atas kebaikan itu
bilamana mereka sudah menunaikan kewajiban dalam hidup dengan tekun. Setiap
orang akan mendapat balasan sesuai dengan perbuatannya.
“Barangsiapa berbuat kebaikan seberat atompun akan dilihatnya; dan barangsiapa berbuat kejahatan seberat atompun akan dilihatnya pula.” (Qur’an 99: 7-8)
Dalam menjunjung pikiran manusia ke tempat yang lebih tinggi
kiranya tak ada yang lebih tinggi dari ini! Juga menghancurkan belenggu yang
senantiasa mengikatnya itu! Terserah kepada manusia. Ia mau memahami ini, mau
beriman dan mengerjakannya untuk mencapai puncak ketinggian martabat manusia
itu! Demi mencapai tujuan, segala pengorbanan terasa ringan bagi orang yang
sudah beriman itu.
Karena posisi Muhammad dan pengikut-pengikutnya yang
begitu agung, Banu Hasyim dan Banu al-Muttalib tambah ketat menjaganya dari
setiap gangguan. Pada suatu hari Abu Jahl bertemu dengan Muhammad, ia
mengganggunya, memaki-makinya dan mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas
dialamatkan kepada agama ini. Tetapi Muhammad tidak melayaninya. Ditinggalkannya
ia tanpa diajak bicara. Hamzah, pamannya dan saudaranya sesusu, yang masih
berpegang pada kepercayaan Quraisy, adalah seorang laki-laki yang kuat dan
ditakuti. Ia mempunyai kegemaran berburu. Bila ia kembali dan berburu, terlebih
dulu mengelilingi Ka’bah sebelum langsung pulang ke rumahnya.
Hari
itulah, bilamana ia datang dan mengetahui bahwa kemenakannya itu mendapat
gangguan Abu Jahl, ia meluap marah. Ia pergi ke Ka’bah, tidak lagi ia memberi
salam kepada yang hadir di tempat itu seperti biasanya, melainkan terus masuk
kedalam mesjid menemui Abu Jahl. Setelah dijumpainya, diangkatnya busurnya lalu
dipukulkannya keras-keras di kepalanya. Beberapa orang dan Banu Makhzum mencoba
mau membela Abu Jahl. Tapi tidak jadi. Kuatir mereka akan timbul bencana dan
membahayakan sekali, dengan mengakui bahwa ia memang mencaci maki Muhammad
dengan tidak semena-mena.
Sesudah itulah kemudian Hamzah menyatakan masuk
Islam. Ia berjanji kepada Muhammad akan membelanya dan akan berkurban di jalan
Allah sampai akhir hayatnya.
Pihak Quraisy merasa sesak dada melihat
Muhammad dan kawan-kawannya makin hari makin kuat. Di samping itu, gangguan dan
siksaan yang dialamatkan kepada mereka, tidak dapat mengurangi iman mereka dan
menyatakannya terus-terang, tidak dapat menghalangi mereka melakukan kewajiban
agama. Terpikir oleh Quraisy akan membebaskan diri dari Muhammad, dengan cara
seperti yang mereka bayangkan, memberikan segala keinginannya. Mereka rupanya
lupa bahwa keagungan dakwah Islam, kemurnian esensi ajaran rohaninya yang begitu
tinggi, berada di atas segala pertentangan ambisi politik. ‘Utba b. Rabi’a,
seorang bangsawan Arab terkemuka, mencoba membujuk Quraisy ketika mereka dalam
tempat pertemuan dengan mengatakan bahwa ia akan bicara dengan Muhammad dan akan
menawarkan kepadanya hal-hal yang barangkali mau menerimanya. Mereka mau
memberikan apa saja kehendaknya, asal ia dapat dibungkam.
Ketika itulah
‘Utba bicara dengan Muhammad.
“Anakku,” katanya, “seperti kau ketahui,
dari segi keturunan, engkau mempunyai tempat di kalangan kami. Engkau telah
membawa soal besar ketengah-tengah masyarakatmu, sehingga mereka cerai-berai
karenanya. Sekarang, dengarkanlah, kami akan menawarkan beberapa masalah,
kalau-kalau sebagian dapat kauterima Kalau dalam hal ini yang kauinginkan adalah
harta, kamipun siap mengumpulkan harta kami, sehingga hartamu akan menjadi yang
terbanyak di antara kami. Kalau kau menghendaki pangkat, kami angkat engkau
diatas kami semua; kami takkan memutuskan suatu perkara tanpa ada persetujuanmu.
Kalau kedudukan raja yang kauinginkan, kami nobatkan kau sebagai raja kami. Jika
engkau dihinggapi penyakit saraf4 yang tak dapat kautolak sendiri,
akan kami usahakan pengobatannya dengan harta-benda kami sampai kau
sembuh.”
Selesai ia bicara, Muhammad membacakan Surah as-Sajda (41 = Ha
Mim). ‘Utba diam mendengarkan kata-kata yang begitu indah itu. Dilihatnya
sekarang yang berdiri di hadapannya itu bukanlah seorang laki-laki yang didorong
oleh ambisi harta, ingin kedudukan atau kerajaan, juga bukan orang yang sakit,
melainkan orang yang mau menunjukkan kebenaran, mengajak orang kepada kebaikan.
Ia mempertahankan sesuatu dengan cara yang baik, dengan kata-kata penuh
mujizat.
Selesai Muhammad membacakan itu ‘Utba pergi kembali kepada
Quraisy. Apa yang dilihat dan didengarnya itu sangat mempesonakan dirinya. Ia
terpesona karena kebesaran orang itu. Penjelasannya sangat menarik
sekali.
Persoalannya ‘Utba ini tidak menyenangkan pihak Quraisy, juga
pendapatnya supaya Muhammad dibiarkan saja, tidak menggembirakan mereka,
sebaliknya kalau mengikutinya, maka kebanggaannya buat mereka.
Maka
kembali lagilah mereka memusuhi Muhammad dan sahabat-sahabatnya dengan
menimpakan bermacam-macam bencana, yang selama ini dalam kedudukannya itu ia
berada dalam perlindungan golongannya dan dalam penjagaan Abu Talib, Banu Hasyim
dan Banu al-Muttalib.
Gangguan terhadap kaum Muslimin makin menjadi-jadi,
sampai-sampai ada yang dibunuh, disiksa dan semacamnya. Waktu itu Muhammad
menyarankan supaya mereka terpencar-pencar. Ketika mereka bertanya kepadanya
kemana mereka akan pergi, mereka diberi nasehat supaya pergi ke Abisinia yang
rakyatnya menganut agama Kristen. “Tempat itu diperintah seorang raja dan tak
ada orang yang dianiaya disitu. Itu bumi jujur; sampai nanti Allah membukakan
jalan buat kita semua.”
Sebagian kaum Muslimin ketika itu lalu berangkat
ke Abisinia guna menghindari fitnah dan tetap berlindung kepada Tuhan dengan
mempertahankan agama. Mereka berangkat dengan melakukan dua kali hijrah. Yang
pertama terdiri dari sebelas orang pria dan empat wanita. Dengan
sembunyi-sembunyi mereka keluar dari Mekah mencari perlindungan. Kemudian mereka
mendapat tempat yang baik di bawah Najasyi.5
Bilamana kemudian tersiar berita bahwa kaum Muslimin di Mekah
sudah selamat dari gangguan Quraisy, merekapun lalu kembali pulang, seperti yang
akan diceritakan nanti. Tetapi setelah ternyata kemudian mereka mengalami
kekerasan lagi dari Quraisy melebihi yang sudah-sudah, kembali lagi mereka ke
Abisinia. Sekali ini terdiri dari delapanpuluh orang pria tanpa kaum isteri dan
anak-anak. Mereka tinggal di Abisinia sampai sesudah hijrah Nabi ke
Yathrib.
Hijrah ke Abisinia ini adalah hijrah pertama dalam Islam.6
Sudah pada tempatnya bagi setiap penulis sejarah Muhammad
akan bertanya: Adakah tujuan hijrah yang dilakukan kaum Muslimin atas saran dan
anjurannya itu karena akan melarikan diri dari orang-orang kafir Mekah beserta
gangguan yang mereka lakukan, ataukah karena suatu tujuan politik Islam, yang di
balik itu dimaksudkan oleh Muhammad dengan tujuan yang lebih luhur? Sudah pada
tempatnya pula apabila penulis sejarah Muhammad itu akan bertanya tentang hal
ini, setelah terbukti dari sejarah Nabi berbangsa Arab ini dalam seluruh fase
kehidupannya, bahwa dia seorang politikus yang berpandangan jauh, seorang
pembawa risalah dan moral jiwa yang begitu luhur, sublim dan agung yang tak ada
taranya. Dan yang menjadi alasan dalam hal ini ialah apa yang disebutkan dalam
sejarah, bahwa penduduk Mekah tidak suka hati ada kaum Muslimin yang pergi ke
Abisinia. Bahkan mereka kemudian mengutus dua orang menemui Najasyi. Mereka
membawa hadiah-hadiah berharga guna meyakinkan raja supaya dapat mengembalikan
kaum Muslimin itu ke tanah air mereka. Pada waktu itu penduduk Abisinia dan
penguasanya adalah orang-orang Nasrani. Dari segi agama orang-orang Quraisy
tidak kuatir bahwa mereka akan ikut Muhammad.
Disebabkan oleh rasa
kegelisahan terhadap peristiwa itukah maka mereka lalu mengutus orang, meminta
supaya kaum Muslimin itu dikembalikan? Mereka menganggap, bahwa perlindungan
Najasyi terhadap mereka setelah mendengar keterangan mereka itu akan membawa
pengaruh juga kepada penduduk jazirah Arab sehingga mereka akan mau menerima
agama Muhammad dan mau menjadi pengikutnya. Ataukah mereka kuatir, kalau kaum
Muslimin menetap di Abisinia, mereka akan bertambah kuat, sehingga bila kelak
mereka pulang kembali membantu Muhammad, mereka kembali dengan kekuatan, harta
dan tenaga?
Catatan kaki:
4. Menurut kepercayaan mereka penyakit yang disebabkan
oleh gangguan jin, aslinya ra’i (A).
5. Dalam literatur Barat umumnya disebut
Negus (A)
6. Peristiwa ini terjadi dalam tahun 615 Masehi (tahun
kelima sesudah kerasulan) (A).
Kedua orang utusan itu ialah ‘Amr bin’l-‘Ash dan Abdullah bin
Abi Rabi’a. Kepada Najasyi dan kepada para pembesar istana mereka
mempersembahkan hadiah-hadiah dengan maksud supaya mereka sudi mengembalikan
orang-orang yang hijrah dari Mekah itu kepada mereka.
“Paduka Raja,” kata
mereka, “mereka datang ke negeri paduka ini adalah budak-budak kami yang tidak
punya malu. Mereka meninggalkan agama bangsanya dan tidak pula menganut agama
paduka; mereka membawa agama yang mereka ciptakan sendiri, yang tidak kami kenal
dan tidak juga paduka. Kami diutus kepada paduka oleh pemimpin-pemimpin
masyarakat mereka, oleh orang-orang tua, paman mereka dan keluarga mereka
sendiri, supaya paduka sudi mengembalikan orang-orang itu kepada mereka. Mereka
lebih mengetahui betapa orang-orang itu mencemarkan dan
memaki-maki.”
Sebenarnya kedua utusan itu telah mengadakan persetujuan
dengan pembesar-pembesar istana kerajaan, setelah mereka menerima hadiah-hadiah
dari penduduk Mekah, bahwa mereka akan membantu usaha mengembalikan kaum
Muslimin itu kepada pihak Quraisy. Pembicaraan mereka ini tidak sampai diketahui
raja. Tetapi baginda menolak sebelum mendengar sendiri keterangan dari pihak
Muslimin. Lalu dimintanya mereka itu datang menghadap
“Agama apa ini yang
sampai membuat tuan-tuan meninggalkan masyarakat tuan-tuan sendiri, tetapi tidak
juga tuan-tuan menganut agamaku, atau agama lain?” tanya Najasyi setelah mereka
datang.
Yang diajak bicara ketika itu ialah Ja’far b. Abi b.
Talib.
“Paduka Raja,” katanya, “ketika itu kami masyarakat yang bodoh,
kami menyembah berhala, bangkaipun kami makan, segala kejahatan kami lakukan,
memutuskan hubungan dengan kerabat, dengan ketanggapun kami tidak baik; yang
kuat menindas yang lemah. Demikian keadaan kami, sampai Tuhan mengutus seorang
rasul dari kalangan kami yang sudah kami kenal asal-usulnya, dia jujur, dapat
dipercaya dan bersih pula. Ia mengajak kami menyembah hanya kepada Allah Yang
Maha Esa, dan meninggalkan batu-batu dan patung-patung yang selama itu kami dan
nenek-moyang kami menyembahnya. Ia menganjurkan kami untuk tidak berdusta untuk
berlaku jujur serta mengadakan hubungan keluarga dan tetangga yang baik, serta
menyudahi pertumpahan darah dan perbuatan terlarang lainnya. Ia melarang kami
melakukan segala kejahatan dan menggunakan kata-kata dusta, memakan harta anak
piatu atau mencemarkan wanita-wanita yang bersih. Ia minta kami menyembah Allah
dan tidak mempersekutukanNya. Selanjutnya disuruhnya kami melakukan salat, zakat
dan puasa. [Lalu disebutnya beberapa ketentuan Islam]. Kami pun membenarkannya.
Kami turut segala yang diperintahkan Allah. Lalu yang kami sembah hanya Allah
Yang Tunggal, tidak mempersekutukan-Nya dengan apa dan siapa pun juga. Segala
yang diharamkan kami jauhi dan yang dihalalkan kami lakukan. Karena itulah,
masyarakat kami memusuhi kami, menyiksa kami dan menghasut supaya kami
meninggalkan agama kami dan kembali menyembah berhala; supaya kami membenarkan
segala keburukan yang pernah kami lakukan dulu. Oleh karena mereka memaksa kami,
menganiaya dan menekan kami, mereka menghalang-halangi kami dari agama kami,
maka kamipun keluar pergi ke negeri tuan ini. Tuan jugalah yang menjadi pilihan
kami. Senang sekali kami berada di dekat tuan, dengan harapan di sini takkan ada
penganiayaan.”
“Adakah ajaran Tuhan yang dibawanya itu yang dapat
tuan-tuan bacakan kepada kami?” tanya Raja itu lagi.
“Ya,” jawab Ja’far;
lalu ia membacakan Surah Mariam dari pertama sampai pada firman
Allah:
“Lalu ia memberi isyarat menunjuk kepadanya. Kata
mereka:
Bagaimana kami akan bicara dengan anak yang masih muda belia? Dia
(Isa) berkata: ‘Aku adalah hamba Allah, diberiNya aku Kitab dan dijadikanNya aku
seorang nabi. DijadikanNya aku pembawa berkah dimana saja aku berada, dan
dipesankanNya kepadaku melakukan sembahyang dan zakat selama hidupku. Dan
berbaktilah aku kepada ibuku, bukan dijadikanNya aku orang congkak yang celaka.
Bahagialah aku tatkala aku dilahirkan, tatkala aku mati dan tatkala aku hidup
kembali!’” (Qur’an 19: 29-33)
Setelah
mendengar bahwa keterangan itu membenarkan apa yang tersebut dalam Injil,
pemuka-pemuka istana itu terkejut: “Kata-kata yang keluar dari sumber yang
mengeluarkan kata-kata Yesus Kristus’” kata mereka.
Najasyi lalu
berkata: “Kata-kata ini dan yang dibawa oleh Musa, keluar dari sumber cahaya
yang sama. Tuan-tuan (kepada kedua orang utusan Quraisy) pergilah. Kami takkan
menyerahkan mereka kepada tuan-tuan!”
Keesokan harinya ‘Amr bin’l-‘Ash
kembali menghadap Raja dengan mengatakan, bahwa kaum Muslimin mengeluarkan
tuduhan yang luarbiasa terhadap Isa anak Mariam. Panggillah mereka dan tanyakan
apa yang mereka katakan itu.
Setelah mereka datang, Ja’far berkata:
Tentang dia pendapat kami seperti yang dikafakan Nabi kami: ‘Dia adalah hamba
Allah dan UtusanNya, RuhNya dan FirmanNya yang disampaikan kepada Perawan
Mariam.”
Najasyi lalu mengambil sebatang tongkat dan menggoreskannya di
tanah. Dan dengan gembira sekali baginda berkata:
“Antara agama tuan-tuan
dan agama kami sebenarnya tidak lebih dari garis ini.”
Setelah dari kedua
belah pihak itu didengarnya, ternyatalah oleh Najasyi, bahwa kaum Muslimin itu
mengakui Isa, mengenal adanya Kristen dan menyembah Allah.
Selama di
Abisinia itu kaum Muslimin merasa aman dan tenteram. Ketika kemudian disampaikan
kepada mereka, bahwa permusuhan pihak Quraisy sudah berangsur reda, mereka lalu
kembali ke Mekah untuk pertama kalinya - dan Muhammadpun masih di
Mekah.
Akan tetapi, setelah kemudian ternyata, bahwa penduduk Mekah masih
juga mengganggunya dan mengganggu sahabat-sahabatnya, merekapun kembali lagi ke
Abisinia. Mereka terdiri dari delapanpuluh orang tanpa wanita dan anak-anak.
Adakah kedua kali hijrah mereka itu hanya semata-mata melarikan diri dari
gangguan ataukah meskipun dalam perencanaan Muhammad sendiri - mereka mempunyai
tujuan politik? Sebaiknya ahli sejarah akan dapat mengungkapkan hal
ini.
Sudah pada tempatnya bagi penulis sejarah hidup Muhammad akan
bertanya: bagaimana Muhammad dapat tenang membiarkan sahabat-sahabatnya pergi ke
Abisinia, padahal agama penduduk itu adalah agama Nasrani, agama ahli kitab,
Nabi mereka Isa yang diakui kerasulannya oleh Islam? Lalu ia tidak kuatir mereka
akan tergoda seperti yang dilakukan oleh Quraisy walaupun dengan cara lain?
Bagaimana pula ia akan merasa tenang terhadap godaan itu, mengingat Abisinia
adalah negeri makmur; yang tidak sama dengan Mekah; dan lebih dapat mempengaruhi
daripada Quraisy? Kenyataannya, dari kalangan Muslimin yang pergi ke Abisinia
itu sudah ada seorang yang masuk Kristen. Kenyataan ini menunjukkan, bahwa
kekuatiran akan adanya godaan ini seharusnya selalu ada pada Muhammad mengingat
keadaannya yang masih lemah dan mereka yang menjadi pengikutnya masih
menyangsikan kemampuannya melindungi diri mereka sendiri atau akan dapat
mengalahkan musuh mereka. Besar sekali dugaan bahwa hal demikian memang sudah
terlintas dalam pikiran Muhammad, melihat tingkat kecerdasannya yang begitu
tinggi dengan ketajaman pikiran dan pandangannya yang jauh, yang semuanya itu
seimbang dengan jiwa besarnya, dengan kemurnian rohaninya, budi pekerti yang
luhur serta perasaannya yang halus sekali itu.
Tetapi sungguhpun begitu,
dari segi ini ia yakin dan tenang sekali. Pada waktu itu - dan sampai pada waktu
pembawa risalah itu wafat - inti ajaran Islam masih bersih sekali, kemurniannya
masih belum ternodakan. Seperti ajaran Nasrani di Najran, Hira dan Syam, begitu
juga paham Nasrani di Abisinia sudah dijangkiti oleh noda, perselisihan antara
mereka yang menuhankan Ibu Mariam dengan mereka yang menuhankan Isa. Disamping
ada lagi yang berlainan dengan kedua golongan itu, mereka yang masih mengambil
dari sumber ajaran yang murni, yang tidak perlu dikuatirkan.
Sebenarnya,
kebanyakan agama-agama itu sesudah beberapa generasi saja berjalan, sudah
dijangkiti oleh semacam paganisma, meskipun bukan dari jenis rendahan, yang
waktu itu berkembang di negeri-negeri Arab; tetapi bagaimanapun paganisma
juga.
Kedatangan Islam merupakan musuh berat buat paganisma dalam segala
bentuk dan coraknya. Ditambah lagi, bahwa agama Nasrani waktu itu sudah mengakui
adanya suatu golongan klas khusus di kalangan pemuka-pemuka agama - yang oleh
Islam samasekali tidak dikenal - yang pada waktu itu merupakan golongan
tertinggi dan paling suci. Juga pada waktu itu - dan dasar ini tetap berlaku -
Islam merupakan agama yang menjunjung jiwa manusia ke puncak tertinggi. Tak ada
peluang yang akan dapat menghubungkan manusia dengan Tuhannya selain daripada
baktinya dan perbuatan yang baik, dan orang harus mencintai sesamanya seperti
mencintai dirinya. Tidak ada berhala-berhala, tidak ada pendeta-pendeta, tidak
ada dukun-dukun dan tidak ada apapun yang akan merintangi jiwa manusia itu untuk
berhubungan dengan seluruh wujud ini dengan perbuatan dan kelakuan yang baik.
Allah juga yang akan membalas segala perbuatan itu dengan berlipat
ganda.
Dan ruh! Soal ruh adalah urusan Tuhan. Ruh yang berhubungan dengan
kekekalan dan keabadian zaman. Segala perbuatan baik bagi ruh ini tak ada tabir
yang akan menutupinya dari Tuhan, dan tak ada kekuasaan apapun selain Allah.
Orang-orang yang kaya, yang kuat atau yang jahat dapat saja menyiksa jasad ini,
dapat saja memisahkannya dari segala kesenangan dan hawa nafsu dan dapat saja
menghancurkan semua itu, tetapi ruh atau jiwa itu takkan dapat mereka kuasai
selama yang bersangkutan mau menempatkannya lebih tinggi di atas segala
kekuasaan materi dan waktu, dan tetap berhubungan dengan seluruh alam
ini.
Manusia itu akan mendapat balasan atas segala perbuatannya bilamana
kelak setiap jiwa menerima balasan menurut apa yang telah dikerjakannya. Ketika
itu seorang ayah takkan dapat menolong anaknya, dan seorang anak takkan pula
dapat menolong ayahnya sedikitpun. Ketika itu harta si kaya. sudah tak berguna
lagi, tidak juga si kuat dengan kekuatannya, atau ahli-ahli teologi itu dengan
ilmu ketuhanannya. Tetapi yang penting hanyalah perbuatan mereka, yang nanti
akan menjadi saksi. Ketika itulah seluruh alam wujud berpadu semua dalam
kekekalan dan keabadiannya. Tuhan tidak akan memperlakukan tidak adil terhadap
siapapun. “Dan balasan yang kamu terima hanya menurut apa yang kamu
perbuat.”
Bagaimana Muhammad akan merasa kuatir akan adanya godaan
terhadap mereka yang sudah diajarkan semua arti ini, sudah ditanamkan ke dalam
jiwa mereka dan sudah pula akidah dan iman itu terpateri dalam lubuk hati
mereka! Bagaimana pula ia akan merasa kuatir akan adanya godaan, sedang teladan
yang diberikannya itu hidup dihadapan mereka, dengan pribadinya yang begitu
dicintai, sehingga kecintaan mereka kepadanya melebihi cintanya kepada diri
sendiri kepada anak keluarganya! Pribadi, yang telah menempatkan akidah itu
diatas semua raja di muka bumi ini, di langit, dengan matahari dan bulan,
tatkala ia mengatakan kepada pamannya: “Demi Allah, kalaupun mereka meletakkan
matahari di tangan kananku dan meletakkan bulan di tangan kiriku, dengan maksud
supaya aku meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan kutinggalkan, biar nanti
Allah yang akan membuktikan kemenangan itu di tanganku, atau aku binasa
karenanya.”
Pribadi inilah, pribadi yang telah disinari cahaya iman
kebijaksanaan dan keadilan, kebaikan, kebenaran serta keindahan; di samping itu
adalah pribadi yang penuh rasa rendah hati, rasa kesetiaan serta keakraban dan
kasih-sayang.
Karena itulah, sedikitpun tidak goyah hatinya melepaskan
sahabat-sahabatnya berangkat hijrah ke Abisinia. Keadaan mereka yang sudah
merasa aman di dekat Najasyi, merasa tenang dengan agama mereka di tengah-tengah
masyarakat yang tidak punya hubungan famili atau pertalian batin itu, membuat
pihak Quraisy lebih menyadari, bahwa gangguan mereka terhadap kaum Muslimin -
sebagai masyarakat dari sesama mereka, dari keluarga mereka dan seketurunan pula
- adalah suatu penganiayaan, suatu perbuatan kekerasan dan demoralisasi yang tak
berkesudahan. Itu semua adalah suatu tekanan dengan pelbagai macam siksaan
kepada mereka yang sudah begitu kuat jiwanya untuk menerima siksaan demikian
itu. Tetapi mereka sekarang sudah tidak lagi mendapat sesuatu gangguan. Mereka
sudah menganggap, bahwa ketabahan menghadapi segala penderitaan itu adalah suatu
pendekatan kepada Tuhan, dan suatu ampunan.
Waktu itu ‘Umar ibn’l-Khattab
adalah pemuda yang gagah perkasa, berusia antara tigapuluh dan tigapuluh lima
tahun. Tubuhnya kuat dan tegap, penuh emosi dan cepat naik darah. Kesenangannya
foya-foya dan minum-minuman keras. Tetapi terhadap keluarga ia bijaksana dan
lemah-lembut. Dari kalangan Quraisy dialah yang paling keras memusuhi kaum
Muslimin.
Akan tetapi sesudah ia mengetahui, bahwa mereka sudah hijrah ke
Abisinia dan mengetahui pula rajanya memberikan perlindungan kepada mereka,
iapun merasa kesepian berpisah dengan mereka itu. Ia merasakan betapa pedihnya
hati, betapa pilunya perasaan mereka berpisah dengan tanah air.
Tatkala
itu Muhammad sedang berkumpul dengan sahabat-sahabatnya yang tidak ikut hijrah,
dalam sebuah rumah di Shafa. Di antara mereka ada Hamzah pamannya, Ali bin Abi
Talib sepupunya, Abu Bakr b. Abi Quhafa dan Muslimin yang lain. Pertemuan mereka
ini diketahui ‘Umar. Iapun pergi ketempat mereka, ia mau membunuh Muhammad.
Dengan demikian bebaslah Quraisy dan kembali mereka bersatu, setelah mengalami
perpecahan, sesudah harapan dan berhala-berhala mereka hina.
Di tengah
jalan ia bertemu dengan Nu’aim b. Abdullah. Setelah mengetahui maksudnya, Nuiaim
berkata:
[
“Umar, engkau menipu diri sendiri. Kaukira keluarga ‘Abd
Manaf. akan membiarkan kau merajalela begini sesudah engkau membunuh Muhammad?
Tidak lebih baik kau pulang saja ke rumah dan perbaiki keluargamu
sendiri?!”
Pada waktu itu Fatimah, saudaranya, beserta Sa’id b. Zaid
suami Fatimah sudah masuk Islam. Tetapi setelah mengetahui hal ini dari Nu’aim,
Umar cepat-cepat pulang dan langsung menemui mereka. Di tempat itu ia mendengar
ada orang membaca Qur’an. Setelah mereka merasa ada orang yang sedang mendekati,
orang yang membaca itu sembunyi dan Fatimah menyembunyikan kitabnya.
“Aku
mendengar suara bisik-bisik apa itu?!” tanya Umar.
Karena mereka tidak
mengakui, Umar membentak lagi dengan suara lantang: “Aku sudah mengetahui, kamu
menjadi pengikut Muhammad dan menganut agamanya!” katanya sambil menghantam
Sa’id keras-keras. Fatimah, yang berusaha hendak melindungi suaminya, juga
mendapat pukulan keras. Kedua suami isteri itu jadi panas hati.
“Ya, kami
sudah Islam! Sekarang lakukan apa saja,” kata meteka.
Tetapi Umar jadi
gelisah sendiri setelah melihat darah di muka saudaranya itu. Ketika itu juga
lalu timbul rasa iba dalam hatinya. Ia menyesal. Dimintanya kepada saudaranya
supaya kitab yang mereka baca itu diberikan kepadanya. Setelah dibacanya,
wajahnya tiba-tiba berubah. Ia merasa menyesal sekali atas perbuatannya itu.
Menggetar rasanya ia setelah membaca isi kitab itu. Ada sesuatu yang luarbiasa
dan agung dirasakan, ada suatu seruan yang begitu luhur. Sikapnya jadi lebih
bijaksana.
Ia keluar membawa hati yang sudah lembut dengan jiwa yang
tenang sekali. Ia langsung menuju ke tempat Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu
sedang berkumpul di Shafa. Ia minta ijin akan masuk, lalu menyatakan dirinya
masuk Islam. Dengan adanya Umar dan Hamzah dalam Islam, maka kaum Muslimin telah
mendapat benteng dan perisai yang lebih kuat.
Dengan Islamnya Umar ini
kedudukan Quraisy jadi lemah sekali. Sekali lagi mereka mengadakan pertemuan
guna menentukan langkah lebih lanjut. Sebenarnya peristiwa ini telah memperkuat
kedudukan kaum Muslimin, telah memberikan unsur baru berupa kekuatan yang
luarbiasa yang menyebabkan kedudukan Quraisy terhadap kaum Muslimin dan
kedudukan mereka terhadap Quraisy sudah tidak seperti dulu lagi. Keadaan kedua
belah pihak ini kemudian diteruskan oleh suatu perkembangan politik baru, penuh
dengan peristiwa-peristiwa, dengan pengorbanan-pengorbanan dan
kekerasan-kekerasan baru lagi, yang sampai menyebabkan terjadinya hijrah dan
munculnya Muhammad sebagai politikus di samping Muhammad sebagai Rasul.
KAUM Muslimin yang hijrah ke Abisinia tinggal selama tiga bulan
di sana. Sementara itu Umar ibn’l-Khattab sudah pula masuk Islam. Setelah para
pengungsi ini mengetahui bahwa pihak Quraisy sudah mulai surut dari mengganggu
Muhammad dan pengikut-pengikutnya - setelah Umar masuk Islam - menurut sebuah
sumber, banyak diantara mereka itu yang kembali, dan sumber lain mengatakan
semua mereka itu kembali ke Mekah. Tetapi setelah mereka sampai di Mekah,
ternyata pihak Quraisy kembali menyiksa kaum Muslimin, bahkan lebih keras lagi
dari pada yang pernah dialami kaum pengungsi itu dulu. Sebahagian mereka ada
yang kembali ke Abisinia, ada pula yang memasuki Mekah atau di dekat-dekatnya
dengan sembunyi-sembunyi. Konon katanya, bahwa mereka yang kembali itu membawa
pula sejumlah kaum Muslimin dan mereka ini tinggal di Abisinia sampai sesudah
Hijrah dan sesudah keadaan Muslimin di Medinah jadi lebih stabil.
Apa
pula motif yang mendorong kaum Muslimin di Abisinia itu kembali sesudah tiga
bulan mereka tinggal di sana? Di sinilah munculnya cerita gharaniq itu yang
dilangsir oleh Ibn Sa’d dalam At-Tabaqat’l-Kubra dan oleh At-Tabari dalam
Tarikh’r-Rusul-wal-Muluk, yang juga sama dilangsir oleh ahli-ahli tafsir
kalangan Muslimin dan penulis-penulis sejarah Nabi, dan lalu diambil pula oleh
sekelompok Orientalis-orientalis yang dalam sekian lama oleh mereka tetap
dipertahankan.
Adapun timbulnya cerita gharaniq itu ialah, setelah
Muhammad melihat pihak Quraisy menjauhinya dan sahabat-sahabatnya di siksa. Ia
berharap-harap sambil mengatakan: Coba aku tidak mendapat perintah apa-apa yang
kiranya akan menjauhkan mereka dari aku. Ia mengumpulkan golongannya dan mereka
bersama-sama pada suatu hari duduk-duduk dalam sebuah tempat pertemuan di
sekitar Mekah. Kepada mereka dibacakannya Surah An-Najm sampai pada firman
Allah: “Adakah kamu perhatikan Lat dan ‘Uzza. Dan itu Manat, ketiga, yang
terakhir?” (Qur’an, 53:19-20) Sesudah itu lalu
dibacakannya pula: “Itu gharaniq yang luhur, perantaraannya sungguh dapat
diharapkan.”
emudian ia meneruskan membaca Surah itu seluruhnya sampai
pada akhirnya ia sujud. Ketika itu semua orang ikut sujud, tak ada yang
ketinggalan. Pihak Quraisy menyatakan kepuasannya atas apa yang telah dibaca
Muhammad itu.
Kata mereka: “Kami tahu sudah bahwa Allah itu menghidupkan
dan mematikan, menciptakan dan memberi rejeki. Tetapi dewa kami ini menjadi
perantara kami kepadaNya. Kalau ternyata dia juga kauberi tempat, maka kamipun
setuju dengan kau.”
Dengan demikian hilanglah perselisihan dengan mereka
itu. Peristiwa tersebut lalu tersebar di kalangan umum hingga sampai juga ke
Abisinia. Pihak Muslimin lalu berkata: Di sana ada keluarga-keluarga dekat kami
yang sangat kami cintai. Lalu merekapun pulang kembali. Apabila pada tengah hari
mereka sampai ke dekat Mekah mereka bertemu dengan rombongan kafilah Kinana yang
lalu dan rombongan itupun menjawab: Ia menyebutkan dewa-dewa mereka dengan baik
dan merekapun lalu mengikutinya. Kemudian ia berbalik lagi mencela dewa-dewa
mereka itu dan merekapun lalu memusuhinya lagi. Perbuatan mereka itu dibicarakan
oleh pihak Muslimin. Tidak tahan lagi mereka ingin menemui keluarga, dan mereka
lalu memasuki Mekah.
Sebabnya maka Muhammad berbalik tidak mau
menyebutkan dewa-dewa Quraisy dengan baik - menurut beberapa sumber yang
mencatat berita ini - ialah karena ia sudah tidak tahan atas ucapan Quraisy:
“Kalau ternyata dewa-dewa kami juga kauberi tempat, maka kami pun setuju dengan
kau,” dan karena ketika dia sedang duduk-duduk di rumahnya hingga sore Jibril
datang dan bertanya:
“Aku membawakan dua anak kalimat ini kepadamu?”
dengan menunjuk kepada “Itu gharaniq yang luhur, perantaraannya dapat
diharapkan.”
Muhammad pun menjawab: “Aku mengatakan sesuatu yang tidak
dikatakan oleh Allah.”
Kemudian Allah mewahyukan:
“Dan
hampir-hampir saja mereka itu menggoda kau tentang apa yang sudah Kami wahyukan
kepadamu, supaya engkau mau atas nama Kami memalsukannya dengan yang
lain.”
“Ketika itulah mereka mengambil engkau menjadi kawan mereka. Dan kalaupun tidak Kami tabahkan hatimu, niscaya engkau hampir cenderung juga kepada mereka barang sedikit. Dalam hal ini, akan Kami timpakan kepadamu hukuman berlipat ganda, dalam hidup dan mati. Selanjutnya engkau tiada akan mempunyai penolong menghadapi Kami.” (Qur’an 17:73-75)
Dengan begitu kembali ia memburuk-burukkan dewa-dewa Quraisy
itu, dan Quraisypun kembali lagi memusuhinya dan mengganggu
sahabat-sahabatnya.
Demikianlah cerita gharaniq ini, yang bukan seorang
saja dari penulis-penulis biografi Nabi yang menceritakannya, demikian juga
ahli-ahli tafsir turut menyebutkan, dan tidak sedikit pula kalangan Orientalis
yang memang sudah sekian lama mau bertahan. Jelas sekali dalam cerita ini ada
kontradiksi. Dengan sedikit pengamatan saja hal ini sudah dapat
digugurkan.
Di samping itu cerita ini berlawanan pula dengan segala sifat
kesucian setiap nabi dalam menyampaikan risalah Tuhan. Memang mengherankan
sekali apabila ada beberapa penulis sejarah Nabi dan ahli tafsir dari kalangan
Islam sendiri yang masih mau menerimanya. Oleh karena itu Ibn Ishaq tidak
ragu-ragu lagi ketika menjawab pertanyaan dengan mengatakan bahwa cerita itu
bikinan orang-orang atheis.
Akan tetapi mereka yang berpegang pada alasan
ini berusaha membenarkannya dengan berpegang pada ayat-ayat:
“Dan hampir-hampir saja mereka itu menggoda kau ...” sampai pada firman Tuhan: “Dan tiada seorang rasul atau seorang nabi yang Kami utus sebelum kau, apabila ia bercita-cita, setan lalu memasukkan gangguan ke dalam cita-citanya itu. Tetapi Allah menghapuskan apa yang dimasukkan setan itu. Kemudian Allah menguatkan keterangan-keterangaNya itu. DanAllah Maha mengetahui dan Bijaksana. Apa yang dimasukkan setan itu adalah ujian bagi mereka yang berpenyakit dalam hatinya dan berhati batu. Dan mereka yang melakukan kesalahan akan berada dalam pertentangan yang tak berkesudahan.” (Qur’an, 22: 52 - 53)
Ada orang yang menafsirkan kata “bercita-cita” itu dengan arti
“membaca,” ada pula yang menafsirkannya dengan arti “bercita-cita,” seperti yang
sudah umum dikenal. Kedua mereka ini masing-masing berpendapat - diikuti oleh
Orientalis-orientalis - bahwa Quraisy telah sampai di puncaknya menyiksa
sahabat-sahabat Nabi, ada yang mereka bunuh, ada pula yang dilemparkan ke padang
pasir, dijilat oleh terik matahari yang membakar, ditindih pula dengan batu
seperti yang dialami oleh Bilal. Karena itu terpaksa ia menyuruh mereka hijrah
ke Abisinia. Demikian juga masyarakatnya sendiripun begitu kasar terhadap
dirinya yang juga kemudian memboikotnya. Tetapi karena ia begitu menjaga
keislaman mereka yang sudah lepas dari penyembahan berhala, ia pun lalu
mendekati kaum musyrik dan membacakan Surah an-Najm dengan menambahkan lagi
cerita gharaniq. Sesudah ia sujud merekapun ikut pula sujud. Mereka lalu
memperlihatkan suatu kecenderungan hendak mengikutinya, karena ia sudah memberi
tempat kepada dewa-dewa mereka itu disamping Allah.
Atas peristiwa ini
yang juga disebutkan dalam beberapa buku biografi dan buku-buku tafsir - Sir
William Muir menganggapnya sebagai suatu argumen yang kuat tentang adanya cerita
gharaniq itu. Selanjutnya kaum Muslimin yang telah berangkat ke Abisinia itu
belum lagi selang tiga bulan sejak mereka mengungsi, yang dalam pada itu mereka
telah diberi suaka dengan baik sekali oleh pihak Najasyi. Kalau tidak karena
tersiarnya berita, bahwa antara Muhammad dengan Quraisy sudah tercapai kompromi,
tentu tak ada motif lain yang akan mendorong mereka itu kembali, ingin
berhubungan dengan keluarga dan kerabat mereka. Dan dari mana pula akan ada
kompromi antara Muhammad dengan Quraisy itu, kalau bukan Muhammad juga yang
mengusahakannya. Di Mekah ia termasuk minoritas dengan tenaga yang masih lemah.
Juga sahabat-sahabatnya masih lemah sekali untuk dapat mempertahankan diri dari
gangguan dan penyiksaan Quraisy.
Alasan-alasan yang dikemukakan mereka,
dengan mengatakan, bahwa cerita gharaniq itu benar adanya, adalah suatu alasan
yang lemah sekali dan tidak tahan uji. Baiklah kita mulai dulu dengan menolak
Muir. Kembalinya kaum Muslimin ke Mekah dari Abisinia, pada dasarnya karana dua
sebab:
Pertama, karena ‘Umar ibn’l-Khattab masuk Islam tidak lama
setelah mereka hijrah. Umar masuk Islam dengan semangat yang sama seperti ketika
ia menentang agama ini dahulu. Ia masuk Islam tidak sembunyi-sembunyi. Malah
terang-terangan ia mengumumkan di depan orang banyak dan untuk itu ia bersedia
melawan mereka. Ia tidak mau kaum Muslimin sembunyi-sembunyi dan mengendap-endap
di celah-celah pegunungan Mekah dalam melakukan ibadat, menjauhkan diri jauh
dari gangguan Quraisy. Bahkan ia terus melawan Quraisy sampai nanti dia beserta
kaum Muslimin itu dapat melakukan ibadat dalam Ka’bah.
Disinilah pihak Quraisy menyadari, bahwa penderitaan yang dialami Muhammad dan
sahabat-sahabatnya, hampir-hampir menimbulkan perang saudara, yang
akibat-akibatnya tidak akan dapat dibayangkan, dan siapa pula yang akan binasa.
Ada orang-orang dari kabilah-kabilah Quraisy dan dari keluarga-keluarga
bangsawannya yang sudah menerima Islam, mereka akan lalu berontak bila siapa
saja dari kabilahnya itu ada yang terbunuh sekalipun orang itu berlainan agama.
Jadi, dalam memerangi Muhammad ini, mereka harus memempuh suatu cara yang tidak
akan membawa akibat yang begitu berbahaya. Di samping itu supaya cara ini dapat
pula disepakati oleh Quraisy mereka mengadakan genjatan senjata dengan pihak
Muslimin, sehingga dengan demikian tiada seorangpun dari mereka itu yang boleh
diganggu. Inilah yang telah sampai kepada kaum pengungsi di Abisinia itu, dan
membuat mereka berpikir-pikir akan kembali ke Mekah
Kedua. Sungguhpun
begitu, barangkali mereka masih maju-mundur juga akan kembali, kalau tidak
karena adanya sebab kedua yang telah menguatkan niat mereka, yakni pada waktu
itu di Abisinia sedang berkecamuk suatu pemberontakan melawan Najasyi, yang
dilancarkan karena adanya suatu tuduhan yang ditujukan kepadanya. Ia
melaksanakan janjinya dan memperlihatkan rasa kasih-sayangnya kepada kaum
Muslimin. Kaum Muslimin sendiri menyatakan harapannya sekiranya Tuhan akan
memenangkan Negus terhadap lawannya itu. Tetapi mereka sendiri tidak sampai
melibatkan diri dalam pemberontakan, karena mereka adalah orang-orang asing, dan
lagi mereka belurn begitu lama tinggal di Abisinia. Bahwa yang telah sampai
kepada mereka itu berita-berita perdamaian antara Muhammad dengan Quraisy,
perdamaian yang menyelamatkan Muslimin dari gangguan yang pernah mereka alami,
maka bagi mereka akan lebih baik meninggalkan kekacauan yang ada sekarang dan
kembali bergabung kepada keluarga mereka sendiri.
Inilah yang telah
mereka lakukan semua, atau sebagian dari mereka.
Hanya saja, sebelum
mereka sampai ke Mekah, pihak Quraisy sudah berkomplot lagi terhadap Muhammad
dan sahabat-sahabatnya. Kabilah-kabilah mereka sudah mengadakan persetujuan
tertulis bersama; mereka berjanji mengadakan pemboikotan total terhadap Banu
Hasyim: tidak akan saling berjual-beli .
Dengan adanya perjanjian itu
perang yang tak berkesudahan antara kedua belah pihak itupun segera berkecamuk
lagi. Sekarang mereka yang telah pulang dari Abisinia itu kembali lagi ke sana.
Bersama mereka ikut pula orang-orang yang masih dapat pergi bersama-sama. Sekali
ini mereka menghadapi kekerasan dari Quraisy, yang berusaha hendak merintangi
mereka itu hijrah.
Jadi, bukanlah kompromi seperti yang disebutkan Muir
itu yang menyebabkan Muslimin kembali dari Abisinia, melainkan karena adanya
perjanjian perdamaian sebagai akibat Umar yang telah masuk Islam serta
semangatnya yang berapi-api hendak membela agama ini. Jadi dukungan mereka atas
adanya cerita gharaniq dengan alasan kompromi itu, adalah dukungan yang
samasekali tidak punya dasar.
Adapun alasan yang dikemukakan oleh
penulis-penulis biografi dan ahli-ahli tafsir dengan ayat-ayat: “Dan
hampir-hampir saja mereka itu menggoda kau ...,” dan “Dan tiada seorang rasul
atau seorang nabi yang Kami utus sebelum kau, apabila ia bercita-cita, setan
lalu memasukkan gangguan ke dalam cita-citanya itu ...” adalah alasan yang lebih
kacau lagi dari argumen Sir Muir. Cukup kita sebutkan ayat pertama itu saja
dalam firman Tuhan: “Dan kalaupun tidak Kami tabahkan hatimu, niscaya engkau
hampir cenderung juga kepada mereka barang sedikit,” untuk kita lihat, bahwa
setan telah memasukkan gangguan ke dalam cita-cita Rasul itu, sehingga hampir
saja ia cenderung kepada mereka sedikit-sedikit; tetapi Tuhan menguatkan hatinya
sehingga tidak sampai dilakukannya, dan kalau dilakukan juga, Tuhan akan
menimpakan hukuman berlipat-ganda dalam hidup dan mati.
Jadi, dengan
membawa ayat-ayat ini sebagai alasan, jelaslah alasan itu terbalik
adanya.
Jalan cerita gharaniq ini ialah bahwa Muhammad telah benar-benar
berpihak kepada Quraisy dan Quraisypun sudah benar-benar pula menggodanya
sehingga ia mau mengatakan sesuatu yang tidak difirmankan Tuhan. Sedang
ayat-ayat di sini menegaskan, bahwa Tuhan telah menguatkan hatinya, sehingga dia
tidak melakukan hal itu. Bilamana disebutkan demikian, bahwa buku-buku tafsir
dan sebab-sebabnya turun Qur’an membuat ayat-ayat ini dapat mengubah masalah
gharaniq, kita lihat bahwa alasan ini berlawanan sekali dengan kesucian para
rasul dalam menyampaikan tugas mereka, dan bertentangan dengan seluruh sejarah
Muhammad. Suatu alasan yang kacau, bahkan lemah samasekali.
Sedang bunyi ayat-ayat “Dan tiada seorang rasul dan seorang
nabi yang Kami utus sebelum kauÉ” sama sekali tak ada hubungannya dengan cerita
gharaniq itu. Apalagi yang menyebutkan bahwa Tuhan telah menghapuskan gangguan
yang dimasukkan setan dan akan menjadikan godaan bagi mereka yang berpenyakit
dalam hatinya dan berhati batu; kemudian Allah menguatkan
keterangan-keteranganNya. Dan Allah Maha mengetahui dan
Bijaksana.
Bilamana cerita ini diteliti dengan penyelidikan ilmiah
ternyata ia tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Yang pertama sekali sebagai
bukti ialah adanya beberapa sumber yang beraneka-ragam. Pernah diceritakan
seperti disebutkan di atas - bahwa ungkapan itu ialah “Itu gharaniq yang luhur,
perantaraannya sungguh dapat diharapkan.” Sumber lain menyebutkan: “Gharaniqa
yang luhur, perantaraannya dapat diharapkan.” Sumber selanjutnya menyebutkan:
“perantaraannya dapat diharapkan,” tanpa menyebutkan gharaniqa atau gharaniq.
Sumber keempat mengatakan: “Dan sebenarnya itulah gharaniq yang luhur.” Sumber
kelima menyebutkan: “Dan sebenamya mereka itulah gharaniq yang luhur, dan
perantaraan mereka bagi mereka yang diharapkan.”1 Dalam
beberapa buku hadis disebutkan adanya sumber-sumber lain di samping yang lima
tadi. Adanya keaneka-ragaman dalam sumber-sumber tersebut menunjukkan, bahwa
hadis itu palsu adanya, dan bikinan golongan atheis, seperti kata Ibn Ishaq, dan
tujuannya ialah hendak menanamkan kesangsian tentang kebenaran ajakan Muhammad
dan risalah Tuhan itu
Bukti lain yang lebih kuat dan pasti, ialah konteks
atau susunan Surah an-Najm yang sama sekali tidak menyinggung soal gharaniq ini.
Konteks itu seperti dalam firman Tuhan;
“Sungguh dia telah melihat keterangan-keterangan yang amat besar dan Tuhan. Adakah kamu perhatikan Lat dan ‘Uzza? Dan Manat ketiga, yang terakhir? Adakah untuk kamu itu yang laki-laki dan untuk Dia yang perempuan? Kalau begitu ini adalah pembagian yang tak seimbang. Ini hanyalah nama-nama yang kamu buat sendiri, kamu dan nenek-moyang kamu. Allah tidak memberikan kekuasaan karenanya; yang mereka turuti hanyalah prasangka dan kehendak nafsu belaka. Dan pada mereka pimpinan yang benar dari Tuhan sudah pernah ada.” (Qur’an, 53:18-23)
Susunan ini jelas sekali, bahwa Lat dan ‘Uzza adalah nama-nama
yang dibuat-buat oleh kaum musyrik, mereka dan nenek-moyang mereka, sedang Allah
tidak memberikan kekuasaan untuk itu. Bagaimana mungkin susunan itu akan
berjalan sebagai berikut: “Adakah kamu perhatikan Lat dan ‘Uzza. Dan Manat
ketiga, yang terakhir. Itu gharaniq yang luhur, perantaraannya dapat diharapkan.
Adakah untuk kamu itu yang laki-laki dan untuk Dia yang perempuan? Kalau begitu
ini adalah pembagian yang tak seimbang. Ini hanyalah nama-nama yang kamu buat
sendiri, kamu dan nenek-moyang kamu. Allah tidak memberikan kekuasaan
karenanya.”
Susunan ini rusak, kacau dan bertentangan satu sama lain. Dan
pujian kepada Lat, ‘Uzza dan Manat ketiga yang terakhir dan celaan dalam empat
ayat berturut-turut tak dapat diterima akal dan tak tak ada orang yang akan
berpendapat begitu.
Yang demikian ini sudah tak dapat diragukan lagi, dan
bahwa hadis tentang gharaniq itu adalah palsu dan bikinan golongan atheis dengan
maksud-maksud tertentu. Orang yang suka pada yang aneh-aneh dan tidak berpikir
logis, tentu percaya akan hadis ini.
Argumen lain ialah seperti yang
dikemukakan oleh almarhum Syaikh Muhammad Abduh dalam tulisannya yang jelas
membantah cerita gharaniq ini, yaitu bahwa belum pernah ada orang Arab menamakan
dewa-dewa mereka dengan gharaniq, baik dalam sajak-sajak atau dalam
pidato-pidato mereka. Juga tak ada berita yang dibawa orang mengatakan, bahwa
nama demikian itu pernah dipakai dalam percakapan mereka. Tetapi yang ada ialah
sebutan ghurnuq dan ghirniq sebagai nama sejenis burung air, entah hitam atau
putih, dan sebutan untuk pemuda yang putih dan tampan. Dari semua itu, tak ada
yang cocok untuk diberi arti dewa, juga orang-orang Arab dahulu tak ada yang
menamakannya demikian.
Tinggal lagi sebuah argumen yang dapat kita
kemukakan sebagai bukti bahwa cerita gharaniq ini mustahil akan ada dalam
sejarah hidup Muhammad sendiri. Sejak kecilnya, semasa anak-anak dan semasa
mudanya, belum pernah terbukti ia berdusta, sehingga ia diberi gelar Al-Amin,
“yang dapat dipercaya,” pada waktu usianya belum lagi mencapai duapuluh lima
tahun. Kejujurannya sudah merupakan hal yang tak perlu diperbantahkan lagi di
kalangan umum, sehingga ketika suatu hari sesudah kerasulannya ia bertanya
kepada Quraisy:
“Bagaimana pendapatmu sekalian kalau kukatakan, bahwa pada
permukaan bukit ini ada pasukan berkuda. Percayakah kamu?” Jawab mereka: “Ya,
engkau tidak pernah disangsikan. Belum pernah kami melihat kau
berdusta.”
Catatan kaki:
1. Sekedar gambaran terjemahan ini hanya dari segi
ungkapan sedang perbedaan atau persamaan yang lebih jelas hanya dari segi
semantik menurut bahasa aslinya (A).
Jadi orang yang sudah dikenal sejak kecil hingga tuanya begitu
jujur, bagaimana orang akan percaya bahwa ia mengatakan sesuatu yang tidak
dikatakan oleh Allah, ia akan takut kepada orang dan bukan kepada Allah! Hal ini
tidak mungkin. Mereka yang sudah mempelajari jiwanya yang begitu kuat, begitu
cemerlang, jiwa yang begitu membenteng mempertahankan kebenaran dan tidak pula
pernah mencari muka dalam soal apapun, akan mengetahui ketidak mungkinan cerita
itu. Betapa kita melihat Muhammad berkata: Kalau Quraisy meletakkan matahari di
sebelah kanannya, dan meletakkan bulan di sebelah kirinya dengan maksud supaya
ia melepaskan tugasnya, akan mati sekalipun dia tidak akan melakukan hal itu -
bagaimana pula akan mengatakan sesuatu yang tidak diwahyukan Allah kepadanya,
dan mengatakan itu untuk meruntuhkan sendi agama yang oleh karenanya ia diutus
Allah sebagai petunjuk dan berita gembira bagi seluruh umat manusia!
Dan
kapan pula ia kembali kepada Quraisy guna memuji-muji dewa-dewa mereka? Ataukah
sesudah sepuluh tahun atau sekian tahun dari kerasulannya, demi tugas yang besar
itu ia sanggup memikul pelbagai macam siksaan, berupa-rupa pengorbanan, sesudah
Allah memperkuat Islam dengan Hamzah dan Umar dan sesudah kaum Muslimin mulai
menjadi kuat di Mekah, dengan berita yang sudah meluas pula ke seluruh jazirah,
ke Abisinia dan semua penjuru?! Pendapat demikian ini adalah suatu legenda,
suatu kebohongan yang sudah tak berlaku.
Mereka yang menciptakan cerita
ini sebenarnya sudah merasakan bahwa hal ini akan mudah terbongkar. Mereka lalu
berusaha menutupinya dengan mengatakan, bahwa begitu Muhammad mendengar
kata-kata Quraisy bahwa dewa-dewa mereka sudah mendapat tempat sebagai
perantara, hal itu berat sekali dirasanya, sehingga ia kembali kepada Tuhan
bertobat, dan begitu ia pulang ke rumah sore itu Jibrilpun datang. Tetapi tabir
ini akan terbuka juga kiranya. Kalau hal itu oleh Muhammad sudah sangat luar
biasa, ketika ia mendengar kata-kata Quraisy itu, apalagi ia sampai akan
mengoreksi wahyu pada waktu itu juga.
Jadi masalah gharaniq ini memang
tidak punya dasar, selain sebagai karangan yang dibikin-bikin oleh suatu
golongan yang mau melakukan tipu muslihat terhadap Islam, yang terjadi sesudah
permulaan sejarah Islam. Yang lebih mengherankan lagi ialah karena kecerobohan
mereka yang telah melakukan pemalsuan-pemalsuan itu melemparkan pemalsuan mereka
justru ke dalam jantung Islam, yaitu ke dalam Tauhid! Yang justru karena itu
pulalah Muhammad diutus, supaya meneruskannya kepada umat manusia sejak dari
semula, dan yang sejak itu pula tidak kenal arti mengalah. Juga segala yang
ditawarkan kepadanya oleh Quraisy apa saja yang dikehendakinya berupa harta,
bahkan akan dijadikannya ia raja atas mereka, tidak sampai membuatnya jadi
berpaling. Semua itu ditawarkan kepadanya, pada waktu penduduk Mekah yang
menjadi pengikutnya masih sedikit sekali jumlahnya. Waktu itu gangguan-gangguan
Quraisy kepada sahabat-sahabatnya tidak sampai membuat ia surut dari dakwah yang
diperintahkan Tuhan kepadanya, yaitu supaya diteruskan kepada umat manusia. Jadi
sasaran mereka yang telah melakukan pemalsuan terhadap masalah yang begitu teguh
menjadi pegangan Muhammad yang tak ada taranya itu, hanya menunjukkan suatu
kecerobohan yang tidak rasional, dan yang sekaligus menunjukkan pula, bahwa
mereka yang masih cenderung mau mempercayainya ternyata telah tertipu; suatu hal
yang sebenarnya tidak perlu sampai ada orang akan tertipu
karenanya.
Jadi masalah gharaniq ini memang samasekali tidak punya
dasar, dan samasekali tak ada hubungannya pula dengan kembalinya Muslimin dari
Abisinia. Seperti disebutkan di atas, mereka kembali karena Umar sudah masuk
Islam dan dengan semangatnya yang sama seperti sebelum itu ia membela Islam,
sampai menyebabkan Quraisy terpaksa mengadakan perjanjian perdamaian dengan
Muslimin. Juga mereka kembali pulang ketika di Abisinia sedang berkecamuk
pemberontakan. Mereka kuatir akan akibatnya. Tetapi setelah Quraisy mengetahui
mereka kembali, kekuatirannya makin bertambah akan besarnya pengaruh Muhammad di
kalangan mereka. Quraisypun lalu membuat rencana mengatur langkah berikutnya,
yang berakhir dengan dibuatnya piagam yang menentukan diantaranya tidak akan
saling mengawinkan, berjual-beli dan bergaul dengan Banu Hasyim, dan yang juga
sudah sepakat diantara mereka, akan membunuh Muhammad jika dapat.
ISLAMNYA Umar telah membawa kelemahan ke dalam tubuh Quraisy
karena ia masuk agama ini dengan semangat yang sama seperti ketika ia
menentangnya dahulu. Ia masuk Islam tidak sembunyi-sembunyi, malah
terang-terangan diumumkan di depan orang banyak dan untuk itu ia bersedia
melawan mereka. Ia tidak mau kaum Muslimin sembunyi-sembunyi dan mengendap-endap
di celah-celah pegunungan Mekah, mau melakukan ibadat jauh dari gangguan
Quraisy. Bahkan ia terus melawan Quraisy, sampai nanti dia beserta Muslimin itu
dapat melakukan ibadat dalam Ka’bah. Disini pihak Quraisy menyadari, bahwa
penderitaan yang dialami Muhammad dan sahabat-sahabatnya, takkan mengubah
kehendak orang menerima agama Allah, untuk kemudian berlindung kepada Umar dan
Hamzah, atau ke Abisinia atau kepada siapa saja yang mampu melindungi
mereka.
Quraisy lalu membuat rencana lagi mengatur langkah berikutnya.
Setelah sepakat, mereka membuat ketentuan tertulis dengan persetujuan bersama
mengadakan pemboikotan total terhadap Banu Hasyim dan Banu Abd’l-Muttalib: untuk
tidak saling kawin-mengawinkan, tidak saling berjual-beli apapun. Piagam
persetujuan ini kemudian digantungkan di dalam Ka’bah sebagai suatu pengukuhan
dan registrasi bagi Ka’bah. Menurut perkiraan mereka, politik yang negatif,
politik membiarkan orang kelaparan dan melakukan pemboikotan begini akan memberi
hasil yang lebih efektif daripada politik kekerasan dan penyiksaan, sekalipun
kekerasan dan penyiksaan itu tidak mereka hentikan. Blokade-blokade yang
dilakukan Quraisy terhadap kaum Muslimin dan terhadap Banu Hasyim dan Banu Abd’l
Muttalib sudah berjalan selama dua atau tiga tahun, dengan harapan sementara itu
Muhammadpun akan ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri. Dengan demikian dia
dan ajarannya itu tidak lagi berbahaya.
Akan tetapi ternyata Muhammad
sendiri malah makin teguh berpegang pada tuntunan Allah, juga keluarganya, dan
mereka yang sudah berimanpun makin gigih mempertahankannya dan mempertahankan
agama Allah. Menyebarkan seruan Islam sampai keluar perbatasan Mekah itu pun tak
dapat pula dihalang-halangi. Maka tersiarlah dakwah itu ke tengah-tengah
masyarakat Arab dan kabilah-kabilah, sehingga membuat agama yang baru ini, yang
tadinya hanya terkurung ditengah-tengah lingkaran gunung-gunung Mekah, kini
berkumandang gemanya ke seluruh jazirah. Orang-orang Quraisy makin tekun
memikirkan bagaimana caranya memerangi orang yang sudah melanggar adat
kebiasaannya dan menista dewa-dewanya itu, bagaimana caranya menghentikan
tersiarnya ajarannya itu di kalangan kabilah-kabilah Arab, kabilah-kabilah yang
tak dapat hidup tanpa Mekah dan juga Mekah tak dapat hidup tanpa mereka dalam
perdagangan, dalam kegiatan impor dan ekspor dari dan ke Ibukota
itu.
Quraisy mencurahkan semua kegiatannya dalam memerangi orang yang
dianggapnya sudah melanggar kebiasaan mereka, melanggar kepercayaan mereka dan
kepercayaan leluhur mereka itu. Dengan tabah dan secara terus-menerus selama
bertahun-tahun, apa yang telah mereka lakukan untuk menghancurkan ajaran baru
ini, sungguh di luar yang dapat kita bayangkan. Muhammad diancam, keluarga dan
ninik-mamaknya, diancam. Ia diejek, ajarannya diejek. Ia diperolok, dan orang
yang jadi pengikutnya juga diperolok. Penyair-penyair mereka didatangkan supaya
mengejeknya, supaya memburuk-burukkannya. Ia diganggu, dan orang yang jadi
pengikutnya dinista dan disiksa. Ia mau disuap, ditawari kerajaan, ditawari
segala yang menjadi kedambaan orang. Kawan-kawan seperjuangannya diusir dari
tanah air, perdagangan dan pintu rejeki mereka dibekukan. Ia dan
sahabat-sahabatnya diancam dengan perang serta segala akibatnya yang
mengerikan.
Akhirnya blokade, akan dibiarkan mati kelaparan jika
mungkin.
Tetapi, sungguhpun begitu, Muhammad tetap tabah. Dengan cara
yang amat baik tetap ia mengajak orang menerima kebenaran, yang hanya karena itu
ia diutus Tuhan kepada umat manusia, sebagai pembawa berita gembira, dan
peringatan. Bukankah sudah tiba waktunya Quraisy meletakkan senjatanya, dan
mempercayai Al-Amin, orang yang dikenalnya sejak masa anak-anak, sejak masa muda
belia, sebagai orang yang jujur, tak pernah berdusta!? Ataukah mereka sudah
mencari alat lain selain senjata perang seperti disebutkan, dan lalu terbayang
oleh mereka, bahwa dengan demikian mereka akan menang perang, lalu kedudukan
berhala-berhala mereka akan dapat dipertahankan sebagai pusat ketuhanan mereka
seperti yang mereka duga, dan Mekahpun akan dapat dipertahankan sebagai museum
berhala-berhala dan tempat yang disucikan karena berhala-berhala itu akan tetap
berada di Mekah?!
Tidak! Belum tiba saatnya bagi Quraisy akan tunduk dan
menyerah. Mereka sekarang sedang dalam puncak kekuatirannya bila seruan Muhammad
ini nanti akan tersebar di kalangan kabilah-kabilah Arab sesudah terlebih dulu
tersebar di Mekah.
Tinggal satu senjata lagi pada mereka sekarang yang
sejak semula sudah menjadi pegangan dan kekuatan mereka, yaitu senjata
propaganda: propaganda dengan segala implikasinya berupa perdebatan,
argumentasi-argumentasi, caci maki, penyebaran desas-desus serta sifat
merendahkan argumen lawan dengan menganggap alasan-alasannya sendiri yang lebih
baik. Propaganda melawan akidah dan pembawa akidah disertai tuduhan-tuduhan yang
dialamatkan kepadanya. Propaganda yang tidak hanya terbatas pada Mekah saja -
sebenarnya buat Mekah ini sudah tidak lagi diperlukan dibandingkan dengan daerah
pedalaman lain serta kabilah-kabilahnya, semenanjung jazirah serta semua
penduduknya. Dengan mengadakan ancaman bujukan, teror dan penyiksaan, propaganda
tidak diperlukan lagi buat Mekah. Tapi buat ribuan orang yang datang ke Mekah
tiap tahun masih tetap diperlukan. Mereka datang dalam urusan perdagangan dan
berziarah. Mereka berkumpul di pasar-pasar ‘Ukaz, Majanna dan Dhul-Majaz, yang
kemudian berziarah sambil menyembelih kurban, mengharapkan berkah dan
ampunan.
Oleh karena itu, sejak memuncaknya permusuhan antara Quraisy
dengan Muhammad terpikir oleh mereka akan menyusun suatu alat propaganda anti
Muhammad. Lebih gigih lagi mereka memikirkan hal ini sesudah orang-orang yang
berziarah itu diajaknya supaya beribadat hanya kepada Allah yang Esa dan tidak
bersekutu. Hal ini sudah terpikir olehnya sejak tahun-tahun pertama dari
kerasulannya itu. Pada mulanya, sejak masa kerasulannya, ia adalah seorang nabi,
sampai datangnya wahyu menyuruh ia memperingatkan keluarga-keluarganya yang
dekat. Setelah ia memperingatkan keluarga-keluarga Quraisy dan ada di antara
mereka yang menerima Islam, di samping banyak juga yang masih kepala batu dan
mau berpikir-pikir dulu, ia masih berkewajiban mengajak bangsanya sendiri,
seluruh masyarakat Arab, untuk kemudian meneruskan kewajibannya itu mengajak
seluruh umat manusia.
Setelah terpikir akan mengajak orang yang datang
berziarah dari berbagai macam kabilah Arab itu beribadat kepada Allah, beberapa
orang dari kalangan Quraisy datang berunding dan mengadakan pertemuan di rumah
Walid bin’l-Mughira: Maksudnya supaya dalam menghadapi persoalan Muhammad itu
satu sama lain mereka tidak bertentangan, dan tidak saling mendustakan mengenai
apa yang harus mereka katakan kepada orang-orang Arab yang datang musim ziarah
itu. Ada yang mengusulkan, supaya dikatakan saja, bahwa Muhammad itu dukun.
Tetapi al-Walid menolak pendapat ini, sebab apa yang dikatakan Muhammad bukan
kumat-kamit seorang dukun. Yang lain mengusulkan lagi, bahwa Muhammad itu orang
gila. Walidpun menolak pendapat ini, sebab gejala atas tuduhan demikian tidak
tampak. Ada lagi yang menyarankan supaya Muhammad dikatakan sebagai tukang
sihir. Juga di sini Walid menolak, sebab Muhammad tidak mengerjakan rahasia juru
tenung atau sesuatu pekerjaan tukang-tukang sihir.
Sesudah terjadi
diskusi akhirnya Walid mengusulkan supaya kepada peziarah-peziarah orang-orang
Arab itu dikatakan bahwa dia (Muhammad) seorang juru penerang yang
mempesonakan,1 apa yang dikatakannya merupakan pesona yang akan memecah-belah orang
dengan orangtuanya, dengan saudaranya, dengan isteri dan keluarganya. Dan apa
yang dituduhkan itu pada orang-orang Arab pendatang itu merupakan bukti, sebab
penduduk Mekah sudah ditimpa perpecahan dan permusuhan. Padahal sebelum itu
penduduk Mekah merupakan suatu contoh solidaritas dan ikatan yang paling
kuat
Pihak Quraisy pada musim ziarah itu segera menyongsong orang-orang
yang datang berziarah dengan memperingatkan mereka jangan mendengarkan orang itu
dan pesona bahasanya. Jangan sampai mereka itu mengalami bencana seperti yang
dialami penduduk Mekah dan menjadi api fitnah yang akan membakar seluruh jazirah
Arab.
Akan tetapi propaganda begini tidak dapat berdiri sendiri, juga
tidak dapat melawan penerangan yang mempesonakan yang sudah dipercayai orang
itu. Kalau memanglah kebenaran yang dibawa oleh penerangan yang mempesonakan
itu, apa salahnya orang mempercayainya? Adakah bila sewaktu-waktu orang mengakui
kelemahannya dan menyatakan perlawanannya merupakan suatu propaganda yang ampuh?
Di samping propaganda itu Quraisy harus punya propaganda lain lagi. Untuk
propaganda itu Quraisy akan mendapatkannya pada Nadzr b. Harith. Manusia Nadzr
ini adalah setannya Quraisy, orang yang pernah pergi ke Hira dan mempelajari
cerita raja-raja Persia, peraturan-peraturan agamanya, ajaran-ajarannya tentang
kebaikan dan kejahatan serta tentang asal-usul alam semesta. Setiap dalam suatu
pertemuan Muhammad mengajak orang kepada Allah, serta memperingatkan mereka
tentang akibat-akibat yang telah menimpa bangsa-bangsa sebelumnya yang menentang
peribadatan kepada Allah, ia lalu datang menggantikan tempat Muhammad dalam
pertemuan itu. Maka berceritalah ia kepada Quraisy tentang sejarah dan agamanya,
lalu katanya: Dengan cara apa Muhammad membawakan ceritanya lebih baik daripada
aku? Bukankah Muhammad membacakan cerita-cerita orang dahulu seperti yang
kubacakan juga? Quraisypun lalu menyebarkan kisah-kisah Nadzr itu dengan jalan
bercerita lagi sebagai propaganda atas peringatan dan ajakan Muhammad kepada
mereka itu.
[
Dalam pada itu di Marwa Muhammad sering duduk-duduk dengan
seorang budak Nasrani yang konon bernama Jabr. Orang-orang Quraisy menuduh,
bahwa sebagian besar apa yang dibawa Muhammad itu, Jabr inilah yang mengajarnya.
Apabila ada orang yang mau meninggalkan kepercayaan nenek-moyangnya, maka agama
Nasrani inilah yang lebih utama. Jadi tuduhan inilah yang di desas-desuskan oleh
Quraisy. Untuk itulah datang Firman Tuhan:
“Kami sungguh mengetahui bahwa mereka berkata; yang mengajarkan itu adalah seorang manusia. Bahasa orang yang mereka tuduhkan itu bahasa asing, sedang ini adalah bahasa Arab yang jelas sekali.” (Qur’an: 16: 103)
Dengan propaganda semacam itu dan sebangsanya Quraisy memerangi
Muhammad lagi dengan harapan akan lebih ampuh daripada gangguan yang dialaminya
dan siksaan yang dialami pengikut-pengikutnya. Akan tetapi kuatnya kebenaran
dalam bentuk yang jelas dan sederhana yang dilukiskan melalui ucapan Muhammad,
lebih tinggi dari yang mereka katakan. Makin sehari makin tersebar juga itu di
kalangan orang-orang Arab. Tufail b. ‘Amr ad-Dausi, seorang bangsawan dan
penyair cendikiawan, ketika datang di Mekah segera dihubungi oleh Quraisy dengan
memperingatkannya dari Muhammad dan kata-katanya yang mempesonakan itu, yang
hendak memecah-belah orang dengan keluarganya, bahkan dengan dirinya sendiri.
Mereka kuatir kalau peristiwa seperti Mekah itu akan menimpa mereka juga. Jadi
sebaiknya jangan mengajak dan jangan mendengarkan dia bicara.
Hari itu
Tufail pergi ke Ka’bah. Muhammad sedang di sana. Ketika ia mendengarkan
kata-kata Muhammad, ternyata itu kata-kata yang baik sekali. “Biar aku mati, aku
seorang cendekiawan, penyair,” katanya dalam hati. “Aku dapat mengenal mana yang
baik dan mana pula yang buruk. Apa salahnya kalau aku mendengarkan sendiri apa
yang akan dikatakan orang itu! Jika ternyata baik akan kuterima, kalau buruk
akan kutinggalkan.”
Diikutinya Muhammad sampai di rumah. Lalu
dikatakannya apa yang terlintas dalam hatinya itu. Muhammad menawarkan Islam
kepadanya dan dibacakannya ayat-ayat Quran. Laki-laki itu segera menerima Islam
dan dinyatakannya kebenaran itu dengan mengucapkan kalimat Syahadat.
Catatan kaki:
1. Juru penerang yang mempesonakan, Juru pesona
bahasa
atau pesona bahasa hampir merupakan terjemahan harfiah dari ungkapan
Sahir’-bayan atau Sihr’l-bayan, yang sukar diterjemahkan, yakni suatu retorika,
yang karena kefasihan dan keindahan bahasanya, orang yang mendengarnya terpesona
seperti kena sihir lalu cepat sekali menerima (A).
Bilamana kemudian
ia kembali lagi kepada masyarakatnya sendiri diajaknya mereka itu menerima
Islam. Merekapun ada yang segera menerima, tapi ada juga yang masih
lambat-lambat. Dalam pada itu, beberapa tahun berikutnya sebagian besar mereka
sudah pula menerima Islam. Setelah pembebasan Mekah dan sesudah susunan politik
dengan bentuk tertentu sudah mulai terarah, merekapun menggabungkan diri kepada
Nabi.
Peristiwa Tufail ad-Dausi ini tidak lebih adalah sebuah contoh saja
dari sekian-banyak peristiwa. Yang telah menerima ajakan Muhammad ini bukan
terdiri dari hanya penyembah-penyembah berhala saja. Sewaktu dia di Mekah dulu
pernah datang kepadanya duapuluh orang Nasrani, setelah mereka mendengar berita
itu. Lalu mereka menanyainya, mendengarkan kata-katanya. Merekapun
menerima,mereka beriman dan mempercayainya. Inilah pula yang membuat Quraisy
makin geram, sehingga mereka juga dimaki-maki.
“Kamu utusan yang gagal.
Kamu sekalian disuruh oleh masyarakat seagamamu mencari berita tentang orang
itu. Sebelum kamu kenal benar-benar siapa dia agama kamu sudah kamu tinggalkan
dan lalu percaya saja apa yang dikatakannya.”
Tetapi kata-kata Quraisy
itu tidak membuat utusan itu mundur menjadi pengikut Muhammad, juga tidak lalu
meninggalkan Islam. Bahkan imannya kepada Allah lebih kuat daripada ketika
mereka masih dalam agama Nasrani. Mereka sudah menyerahkan diri kepada Tuhan
sebelum mereka mendengarkan Muhammad.
Tetapi apa yang terjadi terhadap
diri Muhammad lebih hebat lagi dari itu. Orang Quraisy yang paling keras
memusuhinya sudah mulai bertanya-tanya kepada diri sendiri: benarkah ia mengajak
orang kepada agama yang benar? Dan apa yang dijanjikan dan diperingatkan kepada
mereka, itu pula yang benar?
Abu Sufyan b. Harb, Abu Jahl b. Hisyam dan
al-Akhnas b. Syariq malam itu pergi ingin mendengarkan Muhammad ketika sedang
membaca Qur’an di rumahnya. Mereka masing-masing mengambil tempat
sendiri-sendiri untuk mendengarkan, dan tempat satu sama lain tidak saling
diketahui. Muhammad yang biasa bangun tengah malam, malam itu juga ia sedang
membaca Qur’an dengan tenang dan damai. Dengan suaranya yang sedap itu ayat-ayat
suci bergema ke dalam telinga dan kalbu.
Tetapi sesudah fajar tiba,
mereka yang mendengarkan itu terpencar pulang ke rumah masing-masing. Di tengah
jalan, ketika mereka bertemu, masing-masing mau saling menyalahkan:
Jangan
terulang lagi. Kalau kita dilihat oleh orang-orang yang masih bodoh, ini akan
melemahkan kedudukan kita dan mereka akan berpihak kepada
Muhammad.
Tetapi pada malam kedua, masing-masing mereka membawa perasaan
yang sama seperti pada malam kemarin. Tanpa dapat menolak, seolah kakinya
membawanya kembali ke tempat yang semalam itu juga, untuk mendengarkan lagi
Muhammad membaca Qur’an. Hampir fajar, ketika mereka pulang, bertemu lagi mereka
satu sama lain dan saling menyalahkan pula. Tetapi sikap mereka demikian itu
tidak mengalangi mereka untuk pergi lagi pada malam ketiga.
Setelah
kemudian mereka menyadari, bahwa dalam menghadapi dakwah Muhammad itu mereka
merasa lemah, berjanjilah mereka untuk tidak saling mengulangi lagi perbuatan
mereka demikian itu. Apa yang sudah mereka dengar dari Muhammad itu, dalam jiwa
mereka tertanam suatu kesan, sehingga mereka satu sama lain saling menanyakan
pendapat mengenai yang sudah mereka dengar itu. Dalam hati mereka timbul rasa
takut. Mereka kuatir akan jadi lemah, mengingat masing-masing adalah pemimpin
masyarakat, sehingga dikuatirkan masyarakatnyapun akan jadi lemah pula dan
menjadi pengikut Muhammad juga.
Gerangan apa keberatan mereka menjadi
pengikut-pengikut Muhammad? Padahal ia tidak mengharapkan harta dari mereka,
tidak ingin menjadi pemimpin mereka, menjadi raja mereka atau penguasa di atas
mereka? Disamping itu dia adalah laki-laki yang sungguh rendah hati, sangat
mencintai masyarakatnya, setia kepada mereka dan ingin sekali membimbing mereka.
Sangat halus perasaannya, sehingga kalau akan merugikan orang miskin atau yang
lemahpun ia merasa takut. Setiap ia mengalami penderitaan, hatinya baru merasa
tenang bila ia sudah merasa mendapat pengampunan. Bukankah tatkala suatu hari ia
sedang dengan al-Walid bin’l-Mughira, salah seorang pemimpin Quraisy yang
diharapkan keislamannya, tiba-tiba lewat Ibn Umm Maktum yang buta, dan minta
diajarkan Qur’an kepadanya. Begitu mendesak ia, sehingga Muhammad merasa kesal
karenanya, mengingat ia sedang sibuk menghadapi Walid. Ditinggalkannya orang
buta itu dengan muka masam.
Tetapi setelah ia kembali seorang diri hati
kecilnya memperhitungkan perbuatannya tadi itu sambil bertanya-tanya kepada
dirinya sendiri: Salahkah aku? Tiba-tiba datang wahyu dengan ayat-ayat
berikut:
“Bermasam dan membuang muka ia. Tatkala si buta mendatanginya. Dan apa yang memberitahukan kau, barangkali ia orang yang bersih? Atau ia dapat menerima teguran dan teguran itu berguna baginya. Tetapi kepada orang yang serba cukup itu. Engkau menghadapkan diri. Padahal itu bukan urusanmu kalau dia tidak bersih hati. Tetapi orang yang bersungguh-sungguh datang kepadamu. Dengan rasa penuh takut. Kau abaikan dia. Tidak. Itu adalah sebuah peringatan. Barangsiapa yang sudi, biarlah memperhatikan peringatan itu. Dalam kitab-kitab yang dimuliakan. Dijunjung tinggi dan disucikan. Yang ditulis dengan tangan. Orang-orang terhormat, orang-orang yang bersih.” (Qur’an: 80: 1-16)
Kalau memang
itu soalnya, apalagi yang mengalangi Quraisy menjadi pengikutnya dan mendukung
dakwahnya? Terutama sesudah hati mereka jadi lembut, sesudah mereka melupakan
masa masa silam dengan bertahan pada warisan lapuk yang membuat jiwa mereka jadi
beku, dan sesudah mereka melihat bahwa ajaran Muhammad itu sempurna, dan penuh
keagungan?
Tetapi! Benarkah masa yang sudah bertahun-tahun itu membuat
orang lupa akan kebekuan jiwanya, akan sikapnya yang konservatif terhadap masa
lampau yang sudah lapuk? Ini dapat terjadi pada orang-orang istimewa, yang dalam
hatinya selalu terdapat kerinduan pada yang sempurna. Dalam hidup mereka, mereka
masih mau mempelajari adanya kebenaran yang sebelumnya sudah mereka percayai
untuk kemudian membuang segala kepalsuan yang masih melekat, betapapun tingginya
tingkat kebudayaan orang itu. Hati dan pikiran mereka sudah seperti kuali tempat
melebur logam yang selalu mendidih, menerima setiap pendapat baru yang
dilemparkan kedalamnya, lalu dilebur dan disaring. Mana yang bernoda dibuang,
dan tinggal yang baik, yang benar dan yang indah. Mereka itu mencari kebenaran
tentang apa saja, di mana saja dan dari siapa saja. Oleh karena pada setiap
bangsa, setiap zaman, mereka ini merupakan inti yang terpilih, maka jumlah
mereka selalu sedikit. Mereka selalu mendapat perlawanan, yang datangnya
terutama dari orang-orang kaya, orang orang berkedudukan dan orang-orang
berkuasa. Mereka takut setiap corak pembaruan itu akan menelan harta mereka,
akan menghilangkan kedudukan dan kekuasaan mereka. Selain dengan cara hidup
mereka yang demikian itu, kenyataan lain yang sudah begitu jelas tidak mereka
kenal. Semua itu bagi mereka adalah benar apabila ia dapat menambah kekuatan
mereka, dan tidak benar apabila ia dapat menimbulkan kesangsian, sedikit
sekalipun. Pemilik harta menganggap, bahwa moral itu benar adanya bilamana ia
dapat memberikan tambahan ke dalam hartanya, dan tidak benar bilamana ia
merintanginya. Agama adalah benar, bilamana ia dapat membukakan jalan buat
hawa-nafsunya, dan tidak benar kalau ia menjadi penghalang hawa-nafsu itu. Yang
memiliki kedudukan, yang memiliki kekuasaan dalam hal ini sama saja seperti
pemilik harta itu.
Dalam perlawanan mereka terhadap segala pembaharuan
yang mereka takuti itu, mereka menghasut orang awam yang rejekinya tergantung
kepada mereka, supaya memusuhi penganjur pembaharuan itu. Mereka minta bantuan
awam supaya menyucikan bangunan-bangunan kuno yang sudah dimakan kutu setelah
minggat ruh yang ada di dalamnya. Benteng-benteng itu mereka jadikan kuil-kuil
dari batu, untuk menimbulkan kesan kepada awam yang tak bersalah itu, bahwa ruh
suci yang mereka bungkus dengan kain putih, masih dalam keagungannya dalam
kurungan kuil-kuil itu. Pada umumnya awam itu membela mereka, sebab, yang
penting ia melihat pencariannya. Baginya tidak mudah akan dapat memahami, bahwa
kebenaran itu tidak akan tahan tinggal terkurung dalam tembok-tembok kuil
betapapun indah dan agungnya tempat itu, dan bahwa sifat kebenaran itu akan
selalu bebas menyerbu dan mengisi jiwa orang. Baginya tidak beda jiwa seorang
tuan atau jiwa seorang budak. Juga tak ada sebuah peraturan betapapun kerasnya
yang dapat merintangi hal itu.
Bagaimana orang dapat mengharapkan dari
mereka, mereka yang pernah datang sembunyi-sembunyi mendengarkan pembacaan
Qur’an itu, akan mau beriman kepadanya, karena ia menegur mereka yang banyak
melakukan pelanggaran itu, karena ia tidak membeda-bedakan si buta miskin dengan
orang yang hartanya berlimpah-limpah, kecuali dari kebersihan jiwanya. Kepada
seluruh umat manusia diserukannya, bahwa:
“Yang paling mulia di antara kamu
dalam pandangan Allah ialah yang paling dapat menjaga diri (yang paling takwa).”
(Qur’ an, 49: 13)
Kalaupun Abu Sufyan
dan kawan-kawannya masih bertahan dengan kepercayaan leluhur mereka, bukanlah
hal itu karena dilandasi oleh iman atau kebenaran yang ada, tapi karena mereka
sudah terlalu mencintai pada cara lama yang mereka adakan itu. Kemudian nasib
membantu mereka pula. Mereka bertahan hanya karena kedudukan dan harta yang
sudah berlimpah-limpah, dan untuk itu pula mereka bertempur
mati-matian.
Di samping kecenderungan ini juga karena rasa dengki dan
persaingan yang keras membuat Quraisy tidak mau menjadi pengikut Nabi. Sebelum
kedatangan Muhammad, Umayya b. Abi’sh-Shalt memang termasuk salah seorang yang
pernah bicara tentang seorang nabi yang akan tampil di tengah-tengah masyarakat
Arab itu, dan dia sendiri berhasrat sekali ingin jadi nabi. Perasaan dengki itu
rasa membakar jantungnya tatkala ternyata kemudian wahyu tidak datang kepadanya.
Jadi dia tidak mau menjadi pengikut orang yang dianggapnya saingannya. Apalagi,
karena (sebagai penyair) sajak-sajaknya penuh berisi pikiran, sehingga pernah
suatu hari Nabi .a.s. menyatakan ketika sajaknya dibacakan di hadapannya:
“Umayya, sajaknya sudah beriman, tapi hatinya ingkar.”
Atau seperti kata
al-Walid bin’l-Mughira: “Wahyu didatangkan kepada Muhammad, bukan kepadaku,
padahal aku kepala dan pemimpin Quraisy. Juga tidak kepada Abu Mas’ud ‘Amr b.
‘Umair ath-Thaqafi sebagai pemimpin Thaqif. Kami adalah pembesar-pembesar dua
kota.”
Untuk itulah firman Tuhan memberi isyarat:
“Dan mereka berkata: ‘Kenapa
Qur’an ini tidak diturunkan kepada orang besar dari dua kota itu?’ Adakah mereka
membagi-bagikan kurnia Tuhanmu? Kamilah yang membagikan penghidupan mereka itu,
dalam hidup dunia ini.” (Qur’an 43: 13-32)
Setelah Abu
Sufyan, Abu Jahl dan Akhnas selama tiga malam berturut-turut mendengarkan
pembacaan Qur’an, seperti dalam cerita di atas, Akhnas lalu pergi menemui Abu
Jahl di rumahnya. “Abu’l-Hakam,2 bagaimana pendapatmu
tentang yang kita dengar dari Muhammad?” tanyanya kepada Abu Jahl.
“Apa
yang kaudengar?” kata Abu Jahl. “Kami sudah saling memperebutkan kehormatan itu
dengan Keluarga ‘Abd Manaf. Mereka memberi makan, kamipun memberi makan, mereka
menanggung kamipun begitu, mereka memberi kami juga memberi sehingga kami dapat
sejajar dan sama tangkas dalam perlumbaan itu. Tiba-tiba kata mereka: “Di
kalangan kami ada seorang nabi yang menerima “wahyu dari langit.” Kapan kita
akan menjumpai yang semacam itu? Tidak! Kami sama sekali tidak akan percaya dan
tidak akan membenarkannya.”
Jadi yang dalam sekali berpengaruh dalam jiwa
orang-orang badui itu ialah rasa dengki, saling bersaing dan saling
bertentangan. Dalam hal ini salah sekali bila orang mencoba mau menutup mata
atau tidak menilainya sebagaimana mestinya. Cukup kalau kita sebutkan saja
adanya kekuasaan nafsu yang begitu besar dalam jiwa tiap orang. Untuk dapat
mengatasi pengaruh ini memang diperlukan suatu latihan yang cukup panjang,
latihan jiwa dengan mengutamakan hukum akal diatas dorongan nafsu, jiwa dan
pikiran kita harus cukup tinggi sehingga dapat ia melihat bahwa kebenaran yang
datang dari lawan bahkan dari musuh itu, itu jugalah kebenaran yang datang dari
kawan karibnya. Ia harus yakin, bahwa dengan kebenaran yang dimilikinya itu
kekayaannya sudah lebih besar dari harta karun, dari kebesaran Iskandar (Agung)
dan dari kerajaan seorang kaisar. Tidak banyak orang yang dapat mencapai tingkat
ini kalau tidak karena Tuhan sudah membukakan hatinya untuk kebenaran
itu.
Catatan kaki:
2. Nama panggilan Abu Jahl (A).
Diluar itu, untuk
mencapai tingkat pengertian yang lebih tinggi, orang sudah dibutakan oleh harta
benda duniawi, oleh kenikmatan hidup sejenak yang dirasakannya. Untuk
kepentingan duniawi itu, untuk memburu saat sejenak itu, mereka berperang dan
bertempur. Tak ada sesuatu yang akan dapat menghambat mereka menancapkan kuku
dan gigi mereka ke batang leher kebenaran, kebaikan dan pengertian moral yang
tinggi itu. Lalu, kesempurnaan yang paling suci artinya itu oleh mereka akan
diinjak-injak di bawah telapak kaki yang sudah kotor.
Bagaimana pendapat
kita tentang orang-orang Arab Quraisy itu yang melihat Muhammad makin sehari
makin banyak pengikutnya? Mereka kuatir, kebenaran yang sudah diproklamirkan itu
suatu ketika akan menguasai mereka, akan menguasai orang-orang yang sudah setia
kepada mereka, yang lalu akan menjalar sampai kepada orang-orang Arab di seluruh
jazirah. Sebelum melakukan itu mereka harus memotong leher orang itu dulu jika
dapat mereka lakukan. Lebih dulu mereka harus melakukan propaganda, pemboikotan,
blokade, penyiksaan dan kekerasan terhadap musuh-musuh besar mereka
itu.
Sebab ketiga keberatan mereka menjadi pengikut Muhammad ialah mereka
takut sekali pada hari kebangkitan serta siksa neraka pada Hari Perhitungan
kelak. Kita sudah melihat masyarakat yang begitu hanyut dalam hidup
bersenang-senang dengan cara yang berlebih-lebihan. Mereka menganggap
perdagangan dan riba itu wajar. Bagi orang kaya di kalangan mereka itu tak ada
sesuatu yang dipandang hina, yang harus dijauhi. Disamping itu, dengan
membawakan sesajen segala kejahatan dan dosa mereka itu sudah dapat ditebus.
Seseorang cukup mengadu nasibnya dengan qidh (anak panah) di depan Hubal,
sebelum ia melakukan sesuatu tindakan. Tanda yang diberikan oleh anak panah,
itulah perintah yang datang dari Hubal. Supaya kejahatan-kejahatan dan
dosa-dosanya itu diampuni oleh berhala-berhala, cukup ia menyembelih binatang
untuk berhala-berhala itu. Ia dapat dibenarkan melakukan pembunuhan, perampokan,
melakukan kejahatan, ia tidak dilarang menjalankan pelacuran selama ia mampu
memberi suap kepada dewa-dewa itu berupa kurban-kurban dan
penyembelihan-penyembelihan.
Sekarang datang Muhammad membawakan
ayat-ayat yang begitu menakutkan, membuat jantung mereka rasakan pecah karena
ngerinya, sebab Tuhan selalu mengawasi mereka. Pada Hari Kemudian mereka akan
dibangkitkan kembali sebagai kejadian baru, dan bahwa yang akan menjadi penolong
mereka hanyalah perbuatan mereka sendiri.
“Apabila datang suara dahsyat yang
memekakkan. Tatkala seseorang lari meninggalkan saudaranya. Ibunya dan bapanya.
Isterinya dan anak-anaknya. Setiap orang hari itu dengan urusannya sendiri.
Wajah-wajah pada hari itu ada yang berseri. Tertawa dan bergembira. Dan ada pula
wajah-wajah kelabu pada hari itu. Tertutup kegelapan. Mereka itulah orang-orang
yang ingkar, orang-orang yang sudah rusak.” (Qur’an, 80:
33-42)
Dan suara
dahsyat itu datang.
“Apabila langit sudah bagaikan
hancuran logam. Dan gunung-gunung bagaikan gumpalan bulu. Dan tak akan ada kawan
akrab menanyakan kawannya. Padahal mereka menampakkan diri kepada mereka. Ingin
sekali orang jahat itu akan dapat menebus diri dari siksaan hari itu dengan
memberikan anak-anaknya. Isterinya, saudaranya. Dan keluarganya yang
melindunginya. Dan semua yang ada di bumi; kemudian ia hendak menyelamatkan
diri. Tidak sekali-kali. Itu adalah api menyala. Lapisan kepalapun tercabut.
Dipanggilnya orang yang telah pergi membelakangi dan yang berpaling. Yang telah
menyimpan kekayaan dan menyembunyikannya.” (Qur’an, 70:
8-18)
“Hari itulah kamu dihadapkan akan diadili. Perbuatanmu
takkan ada yang tersembunyi. Barangsiapa yang suratnya diberikan kepadanya
dengan tangan kanan, ia akan berkata ini dia! Bacakan suratku. Sudah percaya
benar aku bahwa aku akan nmenemui perhitungan. Lalu ia berada dalam kenikmatan
hidup. Dalam taman yang tinggi. Buah-buahannyapun dekat sekali. Makanlah, dan
minumlah sepuas hati, sesuai dengan amalmu yang kamu sediakan masa lampau.
Tetapi, barangsiapa yang suratnya diberikan dengan tangan kiri, ia akan berkata:
Ah, coba aku tidak diberi surat! Dan tidak lagi aku mengetahui, bagaimana
perhitunganku! Ah, sekiranya aku mati saja. Kekayaanku tidak dapat menolong aku.
Hancurlah sudah kekuasaanku. Sekarang bawalah dia dan belenggukan. Sesudah itu,
campakkan ia kedalam api neraka. Lalu masukkan ia ke dalam mata rantai,
panjangnya tujuhpuluh hasta. Tadinya ia tiada beriman kepada Tuhan yang Maha
Agung. Dan tiada pula mendorong memberikan makanan kepada orang miskin. Maka,
sekarang disini tak ada lagi kawan setianya. Tiada makanan baginya selain
daripada kotoran. Yang hanya dimakan oleh mereka yang penuh dosa.” (Qur’an, 69: 18-37)
Sudahkah orang
membacanya? Sudahkah mendengarnya? Tidakkah merasa ngeri, merasa takut? Ini
hanya sebahagian kecil dari yang pernah diperingatkan Muhammad kepada
masyarakatnya. Kita membacanya sekarang, dan sebelum itupun sudah pula
membacanya, mendengarnya, berulang kali. Segala gambaran neraka yang terdapat
dalam Qur’an hidup lagi dalam pikiran kita, ketika kita membacanya kembali.
“... Setiap kulit-kulit mereka itu
sudah matang, Kami ganti dengan kulit lain lagi, supaya siksaan itu mereka
rasakan.” (Qur’an, 4: 56)
Dengan
merasakan adanya kengerian itu, orang akan mudah memperkirakan betapa sebenarnya
perasaan Quraisy dan terutama orang-orang kayanya, tatkala mendengarkan
kata-kata semacam itu, sebab sebelum mereka mendapat peringatan tentang siksa,
mereka sudah merasa dirinya jauh dan aman dari itu, dalam lindungan dewa-dewa
dan berhala-berhala mereka.
Juga sesudah itu orang akan mudah pula
memperkirakan betapa meluapnya semangat mereka mendustakan Muhammad, mengadakan
tantangan dan penghinaan. Mereka memang tidak pernah mengenal arti Hari
Kebangkitan, juga mereka tidak pernah mengakui apa yang didengarnya itu. Tidak
ada diantara mereka itu yang membayangkan, bahwa setelah orang meninggalkan
hidup ini, ia akan mendapat balasan atas segala perbuatan selama hidupnya.
Tetapi apa yang mereka takutkan dalam hidup mereka pada hari kemudian itu, ialah
mereka takut akan penyakit, takut akan mengalami bencana pada harta benda, pada
turunan, kedudukan dan kekuasaannya. Hidup sekarang ini bagi mereka ialah
seluruh tujuan hidupnya. Seluruh perhatian mereka hanya tertuju untuk memupuk
segala macam kesenangan dan menolak segala macam yang mereka takuti. Bagi mereka
hari kemudian ialah masalah gaib yang masih tertutup. Dalam hati mereka sudah
merasa bahwa apabila perbuatan mereka itu jahat dunia gaib itu boleh jadi akan
mendatangkan bencana kepada mereka. Lalu mereka menantikan adanya alamat baik
atau alamat buruk. Segera mereka mengadukan nasib itu dengan permainan anak
panah, dengan mengocok batu-batu kerikil dan menolak burung3 serta menyembelih
kurban. Semua itu merupakan penangkal terhadap segala yang mereka takuti dalam
hidup mereka di kemudian hari.
Sebaliknya, segala yang mengenai adanya
balasan sesudah mati, mengenai hari kebangkitan tatkala sangkakala ditiup,
mengenai surga yang disediakan untuk mereka yang takwa, neraka untuk mereka yang
aniaya, mengenai semua itu memang tak pernah terlintas dalam pikiran
mereka.
Pada dasarnya mereka sudah pernah mendengar semua itu dalam agama
Yahudi dan Nasrani. Tetapi mereka belum pernah mendengar dengan gambaran yang
begitu kuat dan menakutkan seperti yang mereka dengar melalui wahyu kepada
Muhammad itu, dan yang memberi peringatan kepada mereka - akan siksa abadi dalam
perut neraka, yang sangat menggamakkan hati karena rasa takut hanya dengan
mendengar gambarannya saja - kalau mereka masih juga seperti keadaan itu,
bersukaria dan berlumba-lumba memperbanyak harta dengan melakukan penindasan
terhadap si lemah, makan harta anak piatu, membiarkan kemiskinan dan melakukan
riba secara berlebih-lebihan. Apalagi kalau orang dapat melihat dengan hati
nuraninya jalan yang ditempuh manusia dengan langkah yang begitu sempit selama
hidupnya menuju mati, sesudah kebangkitan kembali kelak dengan segala suka dan
dukanya.
Sebaliknya surga yang dijanjikan Tuhan yang luasnya seperti
langit dan bumi, disitu takkan terdengar cakap kosong, juga tak ada perbuatan
dosa. Yang ada hanyalah ucapan “selamat.” Segala yang menyenangkan hati,
menyedapkan mata itulah yang ada. Tetapi Quraisy menyangsikan semua itu. Dan
yang menambah lagi kesangsian mereka karena mereka menginginkan segala yang
segera. Mereka ingin melihat kenikmatan itu nyata dalam kehidupan dunia ini.
Mereka tidak betah menunggu sampai hari pembalasan, sebab mereka memang tidak
percaya pada hari pembalasan itu.
Boleh jadi orang akan merasa heran
bagaimana jantung orang-orang Arab itu sampai begitu rapat tertutup tidak mau
menerima persepsi hidup akhirat serta balasan yang ada. Padahal perjuangan
antara yang baik dengan yang jahat itu sudah berkecamuk dalam sejarah manusia
sejak dunia ini berkembang, tak pernah berhenti dan tak pernah diam. Orang-orang
Mesir purbakala, ribuan tahun sebelum kerasulan Muhammad melengkapi mayat mereka
dengan segala perbekalan untuk keperluan akhirat, dalam kafannya diletakkan pula
“Kitab Orang Mati” lengkap dengan nyanyian-nyanyian dan peringatan-peringatan.
Pada kuil-kuil mereka dilukiskan pula gambar-gambar timbangan, perhitungan,
taubat dan siksaan. Orang-orang India menggambarkan jiwa bahagia itu dalam
Nirwana. Sedang penitisan ruh jahat dilukiskan dalam bentuk makhluk-makhluk yang
sejak ribuan dan jutaan tahun tersiksa sampai ia ditelan oleh kebenaran, supaya
menjadi suci. Kemudian ia kembali lagi melakukan kebaikan, karena ingin mencapai
Nirwana.
Juga orang-orang Majusi di Persia. Mereka tidak menolak adanya
perjuangan yang baik dan yang jahat, Dewa Gelap dan Dewa Cahaya. Juga agama yang
dibawa Musa, agama yang dibawa Kristus, sama-sama melukiskan adanya kehidupan
yang kekal, adanya kesukaan Tuhan dan kemurkaanNya. Sekarang orang-orang Arab.
Tidakkah semua itu pernah sampai kepada mereka? Mereka adalah pedagang-pedagang
yang dalam perjalanan mereka pernah mengadakan hubungan dengan agama-agama itu
semua. Bagaimana mereka tidak mengenalnya? Bagaimana tidak mungkin itu akan
menimbulkan suatu persepsi khusus pada mereka? Mereka adalah orang-orang
pedalaman yang banyak sekali berhubungan dengan alam lepas tak terbatas. Lebih
mudah bagi mereka melukiskan ruh-ruh yang terdapat dalam wujud ini, menjelma
pada siang hari yang terang menyala atau pada senja menjelang malam gulita.
Ruh-ruh yang baik dan yang jahat, ruh-ruh yang mereka anggap bersemayam dalam
diri berhala-berhala yang akan mendekatkan mereka kepada Tuhan itu.
Jadi
sudah tentu mereka juga mempunyai konsep tentang alam gaib yang ada di sekitar
mereka. Akan tetapi, mereka sebagai masyarakat pedagang, jiwa mereka lebih
cenderung pada yang nyata saja. Juga karena kegemaran mereka hidup
bersenang-senang, minum minuman keras, sama sekali mereka menolak adanya balasan
hari kemudian. Apa yang diperoleh orang dalam hidupnya, menurut anggapan mereka,
baik atau buruk adalah balasan atas perbuatannya. Dan tak ada balasan lagi
sesudah hidup ini. Oleh karena itu wahyu yang berisi peringatan dan berita
gembira pada mula kerasulan itu kebanyakannya turun di Mekah; karena ia ingin
menyelamatkan ruh mereka, tempat Muhammad diutus itu. Sudah sepatutnya pula bila
ia mengingatkan mereka atas dosa dan kesesatan yang telah mereka lakukan itu.
Sudah sepatutnya pula bila ia ingin mengangkat mereka dari lembah penyembahan
berhala kepada penyembahan Allah Yang Tunggal, Maka Kuasa.
Demi
keselamatan rohani keluarga dan umat manusia seluruhnya, Muhammad serta
orang-orang yang beriman sudi memikul segala macam siksaan dan pengorbanan,
memikul penderitaan rohani dan jasmani, dan kemudian pergi meninggalkan tanah
tumpah darah, menjauhi permusuhan sanak-keluarga, yang sepintas-lalu sudah kita
lihat di atas. Dan seolah cinta Muhammad makin dalam kepada mereka, makin besar
hasratnya ingin menyelamatkan mereka, setiap ia mengalami penderitaan dan
siksaan yang lebih besar lagi dari mereka itu. Hari Kebangkitan dan Hari
Perhitungan adalah ayat-ayat yang harus diperingatkan kepada mereka guna
menolong mereka dari penyakit paganisma dan gelimang dosa yang.menimpa mereka
itu. Pada tahun-tahun permulaan itu tiada henti-hentinya wahyu memperingatkan
dan membukakan mata mereka.
Sungguhpun begitu mereka tetap gigih tidak
mau mengakui, tetap menolak, sampai-sampai mereka terdorong mengobarkan perang
mati-matian. Bahaya dan bencana peperangan itu baru padam sesudah Islam mendapat
kemenangan, sesudah Allah menempatkannya diatas segala agama.
Catatan kaki:
3. Menolak burung artinya melempari burung dengan
batu
kerikil atau mengusirnya dengan suara. Kalau burung terbang ke arah
kanan, maka itu alamat buruk.
SELAMA tiga tahun berturut-turut piagam yang dibuat pihak Quraisy untuk memboikot Muhammad dan mengepung Muslimin itu tetap berlaku. Dalam pada itu Muhammad dan keluarga serta sahabat-sahabatnya sudah mengungsi ke celah-celah gunung di luar kota Mekah, dengan mengalami pelbagai macam penderitaan, sehingga untuk mendapatkan bahan makanan sekadar menahan rasa laparpun tidak ada. Baik kepada Muhammad atau kaum Muslimin tidak diberikan kesempatan bergaul dan bercakap-cakap dengan orang, kecuali dalam bulan-bulan suci. Pada waktu itu orang-orang Arab berdatangan ke Mekah berziarah, segala permusuhan dihentikan - tak ada pembunuhan, tak ada penganiayaan, tak ada permusuhan, tak ada balas dendam.
Pada bulan-bulan itu Muhammad turun, mengajak orang-orang Arab
itu kepada agama Allah, diberitahukannya kepada mereka arti pahala dan arti
siksa. Segala penderitaan yang dialami Muhammad demi dakwah itu justru telah
menjadi penolongnya dari kalangan orang banyak. Mereka yang telah mendengar
tentang itu lebih bersimpati kepadanya, lebih suka mereka menerima ajakannya.
Blokade yang dilakukan Quraisy kepadanya, kesabaran dan ketabahan hatinya
memikul semua itu demi risalahnya, telah dapat memikat hati orang banyak, hati
yang tidak begitu membatu, tidak begitu kaku seperti hati Abu Jahl, Abu Lahab
dan yang sebangsanya.
Akan tetapi, penderitaan yang begitu lama, begitu
banyak dialami kaum Muslimin karena kekerasan pihak Quraisy - padahal mereka
masih sekeluarga: saudara, ipar. sepupu - banyak diantara mereka itu yang
merasakan betapa beratnya kekerasan dan kekejaman yang mereka lakukan itu. Dan
sekiranya tidak ada dari penduduk yang merasa simpati kepada kaum Muslimin,
membawakan makanan ke celah-celah gunung1 tempat
mereka mengungsi itu, niscaya mereka akan mati kelaparan. Dalam hal ini Hisyam
ibn ‘Amr termasuk salah seorang dari kalangan Quraisy yang paling simpati kepada
Muslimin.
Tengah malam ia datang membawa unta yang sudah dimuati makanan
atau gandum. Bilamana ia sudah sampai di depan celah gunung itu, dilepaskannya
tali untanya lalu dipacunya supaya terus masuk ke tempat mereka dalam celah
itu.
Merasa kesal melihat Muhammad dan sahabat-sahabatnya dianiaya
demikian rupa, ia pergi menemui Zuhair b. Abi Umayya (Banu Makhzum). Ibu Zuhair
ini adalah Atika bint Abd’l-Muttalib (Banu Hasyim).
“Zuhair,” kata Hisyam
“Kau sudi menikmati makanan, pakaian dan wanita-wanita, padahal, seperti kau
ketahui, keluarga ibumu demikian rupa tidak boleh berhubungan dengan orang,
berjual-beli, tidak boleh saling mengawinkan? Aku bersumpah, bahwa kalau mereka
itu keluargaku dari pihak ibu, keluarga Abu’l-Hakam ibn Hisyam, lalu aku diajak
seperti mengajak kau, tentu akan kutolak.”
Keduanya kemudian sepakat akan
sama-sama membatalkan piagam itu. Tapi meskipun begitu harus mendapat dukungan
juga dari yang lain, dan secara rahasia mereka harus diyakinkan. Pendirian kedua
orang itu kemudian disetujui oleh Mut’im b. ‘Adi (Naufal), Abu’l-Bakhtari b.
Hisyam dan Zamia bin’l-Aswad (keduanya dari Asad). Kelima mereka lalu sepakat
akan mengatasi persoalan piagam itu dan akan membatalkannya.
Dengan tujuh
kali mengelilingi Ka’bah keesokannya pagi-pagi Zuhair b. Umayya berseru kepada
orang banyak: “Hai penduduk Mekah! Kamu sekalian enak-enak makan dan berpakaian
padahal Banu Hasyim binasa tidak dapat mengadakan hubungan dagang! Demi Allah
saya tidak akan duduk sebelum piagam yang kejam ini dirobek!”
Tetapi Abu
Jahl, begitu mendengar ucapan itu, iapun berteriak:
“Bohong! Tidak akan kita
robek!”
Saat itu juga terdengar suara-suara Zam’a, Abu’l-Bakhtari, Mut’im
dan ‘Amr ibn Hisyam mendustakan Abu Jahl dan mendukung Zuhair.
Abu Jahl
segera menyadari bahwa peristiwa ini akan terselesaikan juga malam itu dan
orangpun sudah menyetujui. Kalau dia menentang mereka juga, tentu akan timbul
bencana. Merasa kuatir, lalu cepat-cepat ia pergi. Waktu itu, ketika Mut’im
bersiap akan merobek piagam tersebut, dilihatnya sudah mulai dimakan rayap,
kecuali pada bagian pembukaannya yang berbunyi: “Atas namaMu ya
Allah...”
Dengan demikian terdapat kesempatan pada Muhammad dan
sahabat-sahabat pergi meninggalkan celah bukit yang curam itu dan kembali ke
Mekah. Kesempatan berjual-beli dengan Quraisy juga terbuka, sekalipun hubungan
antara keduanya seperti dulu juga, masing-masing siap-siaga bila permusuhan itu
kelak sewaktu-waktu memuncak lagi.
Beberapa penulis biografi dalam hal
ini berpendapat, bahwa diantara mereka yang bertindak menghapuskan piagam itu
terdapat orang-orang yang masih menyembah berhala. Untuk menghindarkan timbulnya
bencana, mereka mendatangi Muhammad dengan permintaan supaya ia mau saling
mengulurkan tangan dengan Quraisy dengan misalnya memberi hormat kepada
dewa-dewa mereka sekalipun cukup hanya dengan jari-jarinya saja dikelilingkan.
Agak cenderung juga hatinya atas usul itu, sebagai pengharapan atas kebaikan
hati mereka. Dalam hatinya seolah ia berkata: “Tidak apa kalau saya lakukan itu.
Allah mengetahui bahwa saya tetap taat.”
Atau karena mereka yang telah
menghapuskan piagam dan beberapa orang lagi itu, pada suatu malam mengadakan
pertemuan dengan Muhammad sampai pagi. Dalam perbicaraan itu mereka sangat
menghormatinya, menempatkannya sebagai yang dipertuan atas mereka, mengajaknya
kompromi, seraya kata mereka:
“Tuan adalah pemimpin kami
...”
Sementara mereka masih mengajaknya bicara itu, sampai-sampai hampir
saja ia mengalah atas beberapa hal menurut kehendak mereka. Ini adalah dua
sumber hadis, yang pertama sebagian diceritakan oleh Sa’id b. Jubair, sedang
yang kedua oleh Qatada. Kata mereka kemudian Allah melindungi Muhammad dari
kesalahan, dengan firmanNya:
“Dan hampir-hampir saja mereka itu
menggoda kau tentang yang sudah Kami wahyukan kepadamu, supaya engkau mau atas
nama Kami memalsukan dengan yang lain. Ketika itulah mereka mengambil engkau
menjadi kawan mereka. Dan kalaupun tidak Kami tabahkan hatimu, niscaya engkau
hampir cenderung juga kepada mereka barang sedikit. Dalam hal ini, akan Kami
timpakan kepadamu hukuman berlipat ganda, dalam hidup dan mati. Selanjutnya
engkau tiada mempunyai penolong menghadapi Kami.”
(Qur’an, 17: 73-75)
Ayat-ayat ini turun
- menurut dugaan mereka yang membawa cerita gharaniq - sehubungan dengan cerita
bohong itu seperti yang sudah kita lihat. Sedang kedua ahli hadis ini
menghubungkannya pada cerita pembatalan piagam. Sebaliknya menurut hadis ‘Ata,
lewat Ibn ‘Abbas, ayat-ayat ini turun sehubungan dengan delegasi Thaqif, yang
datang meminta kepada Muhammad supaya lembah mereka dianggap suci seperti pohon,
burung dan binatang di Mekah. Dalam hal ini Nabi a.s. masih maju-mundur sebelum
ayat-ayat tersebut turun.
Apapun juga yang sebenarnya terjadi, terhadap
peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat-ayat itu sumber-sumber tersebut tidak
berbeda, yaitu melukiskan salah satu segi kebesaran jiwa Muhammad, di samping
kejujuran dan keikhlasannya dengan suatu lukisan yang sungguh kuat sekali. Segi
ini yang juga dilukiskan oleh ayat-ayat yang sudah kita kutipkan dari Surah
“Abasa” (80) dan pula seluruh sejarah kehidupan Muhammad membuktikannya pula.
Secara terus-terang dikatakan, bahwa dia adalah manusia biasa seperti yang lain,
tapi yang telah mendapat wahyu Tuhan guna memberikan bimbingan, dan bahwa dia,
sebagai manusia biasa, tidak luput dari kesalahan kalau tidak karena mendapat
perlindungan Tuhan. Ia telah bersalah ketika bermuka masam dan berpaling dari
Ibn Umm Maktum, dan hampir pula salah sehubungan dengan turunnya Surah “Isra”
(17), juga hampir pula ia tergoda tentang apa yang telah diwahyukan kepadanya
untuk dipalsukan dengan yang lain.
Apabila wahyu turun kepadanya memberi
peringatan atas perbuatannya terhadap orang buta itu, dan terhadap godaan
Quraisy yang hampir menjerumuskannya, maka kejujurannya dalam menyampaikan wahyu
itu kepada orang sama pula seperti ketika menyampaikan amanat Tuhan itu. Tak ada
sesuatu yang akan menghalanginya ia menyatakan apa yang sebenarnya tentang
dirinya itu. Tak ada sikap sombong dan congkak, tidak ada rasa tinggi
hati.
Jadi kebenaranlah, dan hanya kebenaran semata yang ada dalam
-risalahnya itu. Apabila dalam menanggung siksaan orang lain demi idea yang
diyakininya, orang yang berjiwa besar masih sanggup memikulnya, maka pengakuan
orang besar itu bahwa ia hampir-hampir tergoda, tidaklah menjadi kebiasaan,
sekalipun oleh orang-orang besar sendiri. Hal-hal semacam itu biasanya oleh
mereka disembunyikan dan yang diperhitungkan hanya harga dirinya, meskipun
dengan susah payah. Inilah kebesaran yang tak ada taranya, lebih besar dari
orang besar. Itulah sebenarnya kebesaran jiwa yang dapat memperlihatkan
kebenaran secara keseluruhan. Itulah yang juga lebih luhur dari segala
kebesaran, dan lebih besar dari segala yang besar, yakni sifat kenabian yang
menyertai Rasul itu dengan segala keikhlasan dan kejujurannya meneruskan Risalah
Kebenaran Tertinggi.
Sesudah piagam disobek, Muhammad dan
pengikut-pengikutnyapun keluar dari lembah bukit-bukit itu. Seruannya
dikumandangkan lagi kepada penduduk Mekah dan kepada kabilah-kabilah yang pada
bulan-bulan suci itu datang berziarah ke Mekah. Meskipun ajakan Muhammad sudah
tersiar kepada seluruh kabilah Arab di samping banyaknya mereka yang sudah
menjadi pengikutnya, tapi sahabat-sahabat itu tidak selamat dari siksaan
Quraisy, juga dia tidak dapat mencegahnya.
Beberapa bulan kemudian
sesudah penghapusan piagam itu, secara tiba-tiba sekali dalam satu tahun saja
Muhammad mengalami dukacita yang sangat menekan perasaan, yakni kematian Abu
Talib dan Khadijah secara berturut-turut. Waktu itu Abu Talib sudah berusia
delapanpuluh tahun lebih. Setelah Quraisy mengetahui ia dalam keadaan sakit yang
akan merupakan akhir hayatnya, mereka merasa kuatir apa yang akan terjadi nanti
antara mereka dengan Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Apalagi sesudah ada Hamzah
dan Umar yang terkenal garang dan keras. Karena itu pemuka-pemuka Quraisy segera
mendatangi Abu Talib, untuk kemudian mengatakan:
“Abu Talib, seperti kau
ketahui, kau adalah dari keluarga kami juga. Keadaan sekarang seperti kau
ketahui sendiri, sangat mencemaskan kami. Engkau juga sudah mengetahui keadaan
kami dengan kemenakanmu itu. Panggillah dia. Kami akan saling memberi dan saling
menerima. Dia angkat tangan dari kami, kamipun akan demikian. Biarlah kami
dengan agama kami dan dia dengan agamanya sendiri pula.”
Muhammad datang
tatkala mereka masih berada di tempat pamannya itu. Setelah diketahuinya maksud
kedatangan mereka, iapun berkata:
“Sepatah kata saja saya minta, yang
akan membuat mereka merajai semua orang Arab dan bukan Arab.”
“Ya, demi
bapamu,” jawab Abu Jahl. “Sepuluh kata sekalipun silakan!”
Kata Muhammad:
“Katakan, tak ada tuhan selain Allah, dan tinggalkan segala penyembahan yang
selain Allah.”
“Muhammad, maksudmu supaya tuhan-tuhan itu dijadikan satu
Tuhan saja?” kata mereka.
Kemudian mereka berkata satu sama lain: “Orang
ini tidak akan memberikan apa-apa seperti yang kamu kehendaki. Pergilah
kalian!”
Ketika Abu Talib meninggal hubungan Muhammad dengan pihak
Quraisy lebih buruk lagi dari yang sudah-sudah.
Dan sesudah Abu Talib,
disusul pula dengan kematian Khadijah, Khadijah yang menjadi sandaran Muhammad,
Khadijah yang telah mencurahkan segala rasa cinta dan kesetiaannya, dengan
perasaan yang lemah-lembut, dengan hati yang bersih, dengan kekuatan iman yang
ada padanya. Khadijah, yang dulu menghiburnya bila ia mendapat kesedihan,
mendapat tekanan dan yang menghilangkan rasa takut dalam hatinya. Ia adalah
bidadari yang penuh kasih sayang. Pada kedua mata dan bibirnya Muhammad melihat
arti yang penuh percaya kepadanya, sehingga ia sendiripun tambah percaya kepada
dirinya. Abu Talibpun meninggal, orang yang menjadi pelindung dan perisai
terhadap segala tindakan musuh. Pengaruh apakah yang begitu sedih, begitu pedih
menusuk jiwa Muhammad ‘alaihissalam?! Yang pasti, dua peristiwa itu akan
meninggalkan luka parah dalam jiwa orang - yang bagaimanapun kuatnya - akan
menusukkan racun putus asa kedalam hatinya. Ia akan dikuasai perasaan sedih dan
duka, akan dirundung kepiluan dan akan membuatnya jadi lemah, tak dapat berpikir
lain diluar dua peristiwa yang sangat mengharukan itu.
Sesudah kehilangan
dua orang yang selalu membelanya itu Muhammad melihat Quraisy makin keras
mengganggunya. Yang paling ringan diantaranya ialah ketika seorang pandir
Quraisy mencegatnya di tengah jalan lalu menyiramkan tanah ke atas kepalanya.
Tahukah orang apa yang dilakukan Muhammad? Ia pulang ke rumah dengan tanah yang
masih diatas kepala. Fatimah puterinya lalu datang mencucikan tanah yang di
kepala itu. Ia membersihkannya sambil menangis. Tak ada yang lebih pilu rasanya
dalam hati seorang ayah dari pada mendengar tangis anaknya, lebih-lebih anak
perempuan. Setitik air mata kesedihan yang mengalir dari kelopak mata seorang
puteri adalah sepercik api yang membakar jantung, membuatnya kaku karena pilu,
dan karena pilunya ia akan menangis kesakitan. Juga secercah duka yang
menyelinap kedalam hati adalah rintihan jiwa yang sungguh keras, terasa mencekik
leher dan hampir pula menggenangi mata.
Sebenarnya Muhammad adalah
seorang ayah yang sungguh bijaksana dan penuh kasih kepada puteri-puterinya.
Apakah yang kita lihat ia lakukan terhadap tangisan anak perempuan yang baru
saja kehilangan ibunya itu? Yang menangis hanya karena malapetaka yang menimpa
ayahnya? Tidak lebih dan semua itu ia hanya menghadapkan hatinya kepada Allah
dengan penuh iman akan segala pertolonganNya.
“Jangan menangis anakku,”
katanya kepada puterinya yang sedang berlinang air mata itu. “Tuhan akan
melindungi ayahmu.”
Kemudian diulangnya: “Sebelum wafat Abu Talib
orang-orang Quraisy itu tidak seberapa mengganggu saya.”
Sesudah
peristiwa itu gangguan Quraisy kepada Muhammad makin menjadi-jadi. Ia merasa
tertekan sekali.
Catatan kaki:
1 Biasanya tempat ini dinamai ‘Syi’b Abi Talib’
(A).
Terasing seorang diri, ia pergi ke Ta’if,2 dengan tiada orang yang
mengetahuinya. Ia pergi ingin mendapatkan dukungan dan suaka dari Thaqif
terhadap masyarakatnya sendiri, dengan harapan merekapun akan dapat menerima
Islam. Tetapi ternyata mereka juga menolaknya secara kejam sekali. Kalaupun
sudah begitu, ia masih mengharapkan mereka jangan memberitahukan kedatangannya
minta pertolongan itu, supaya jangan ia disoraki oleh masyarakatnya sendiri.
Tetapi permintaannya itupun tidak didengar. Bahkan mereka menghasut orang-orang
pandir agar bersorak-sorai dan memakinya.
Ia pergi lagi dari sana,
berlindung pada sebuah kebun kepunyaan ‘Utba dan Syaiba anak-anak Rabi’a.
Orang-orang yang pandir itu kembali pulang. Ia lalu duduk di bawah naungan pohon
anggur. Ketika itu keluarga Rabi’a sedang memperhatikannya dan melihat pula
kemalangan yang dideritanya. Sesudah agak reda, ia mengangkat kepala menengadah
ke atas, ia hanyut dalam suatu doa yang berisi pengaduan yang sangat
mengharukan:
“Allahumma yang Allah, kepadaMu juga aku mengadukan
kelemahanku, kurangnya kemampuanku serta kehinaan diriku di hadapan manusia. O
Tuhan Maha Pengasih, Maha Penyayang. Engkaulah yang melindungi si lemah, dan
Engkaulah Pelindungku. Kepada siapa hendak Kauserahkan daku? Kepada orang yang
jauhkah yang berwajah muram kepadaku, atau kepada musuh yang akan menguasai
diriku? Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli, sebab sungguh
luas kenikmatan yang Kaulimpahkan kepadaku. Aku berlindung kepada Nur Wajah-Mu
yang menyinari kegelapan, dan karenanya membawakan kebaikan bagi dunia dan
akhirat - daripada kemurkaanMu yang akan Kautimpakan kepadaku. Engkaulah yang
berhak menegur hingga berkenan pada-Mu. Dan tiada daya upaya selain dengan
Engkau juga.”3
Dalam memperhatikan keadaan itu hati kedua orang anak Rabi’a
itu merasa tersentak. Mereka merasa iba dan kasihan melihat nasib buruk yang
dialaminya itu. Budak mereka, seorang beragama Nasrani bernama ‘Addas, diutus
kepadanya membawakan buah anggur dari kebun itu. Sambil meletakkan tangan di
atas buah-buahan itu Muhammad berkata: “Bismillah!” Lalu buah itu
dimakannya.
‘Addas memandangnya keheranan.
“Kata-kata ini tak pernah
diucapkan oleh penduduk negeri ini,” kata ‘Addas.
Lalu Muhammad
menanyakan negeri asal dan agama orang itu. Setelah diketahui bahwa orang
tersebut beragama Nasrani dari Nineveh, katanya:
“Dari negeri orang
baik-baik, Yunus anak Matta.”
“Dari mana tuan kenal nama Yunus anak Matta!”
tanya ‘Addas.
“Dia saudaraku. Dia seorang nabi, dan aku juga Nabi,” jawab
Muhammad.
Saat itu ‘Addas lalu membungkuk mencium kepala, tangan dan kaki
Muhammad. Sudah tentu kejadian ini menimbulkan keheranan keluarga Rabi’a yang
melihatnya. Sungguhpun begitu mereka tidak sampai akan meninggalkan kepercayaan
mereka. Dan tatkala ‘Addas sudah kembali mereka berkata:
“’Addas, jangan
sampai orang itu memalingkan kau dari agamamu, yang masih lebih baik daripada
agamanya.”
Gangguan orang yang pernah dialami Muhammad seolah dapat
meringankan perbuatan buruk yang dilakukan Thaqif itu, meskipun mereka tetap
kaku tidak mau mengikutinya. Keadaan itu sudah diketahui pula oleh Quraisy
sehingga gangguan mereka kepada Muhammad makin menjadi-jadi. Tetapi hal ini
tidak mengurangi kemauan Muhammad menyampaikan dakwah Islam. Kepada
kabilah-kabilah Arab pada musim ziarah, itu ia memperkenalkan diri, mengajak
mereka mengenal arti kebenaran. Diberitahukannya kepada mereka, bahwa ia adalah
Nabi yang diutus, dan dimintanya mereka mempercayainya.
Namun sungguhpun
begitu, Abu Lahab pamannya tidak membiarkannya, bahkan dibuntutinya ke mana ia
pergi. Dihasutnya orang supaya jangan mau mendengarkan.
Muhammad sendiri
tidak cukup hanya memperkenalkan diri kepada kabilah-kabilah Arab pada musim
ziarah di Mekah saja, bahkan ia mendatangi Banu Kinda4 ke
rumah-rumah mereka, mendatangi Banu Kalb,5 juga ke
rumah-rumah mereka, Banu Hanifa6 dan Banu ‘Amir bin
Sha’sha’a.7 Tapi tak seorangpun dari
mereka yang mau mendengarkan. Banu Hanifa bahkan menolak dengan cara yang buruk
sekali. Sedang Banu ‘Amir menunjukkan ambisinya, bahwa kalau Muhammad mendapat
kemenangan, maka sebagai penggantinya, segala persoalan nanti harus berada di
tangan mereka. Tetapi setelah dijawab, bahwa masalah itu berada di tangan Tuhan,
merekapun lalu membuang muka dan menolaknya seperti yang
lain-lain.
Adakah kegigihan kabilah-kabilah yang mengadakan oposisi
terhadap Muhammad itu karena sebab-sebab yang sama seperti yang dilakukan oleh
Quraisy? Kita sudah melihat, bahwa Banu ‘Amir ini mempunyai ambisi ingin
memegang kekuasaan bila bersama-sama mereka nanti ia mendapat kemenangan.
Sebaliknya kabilah Thaqif pandangannya lain lagi. Ta’if di samping sebagai
tempat musim panas bagi penduduk Mekah karena udaranya yang sejuk dan buah
anggurnya yang manis-manis, juga kota ini merupakan pusat tempat penyembahan
Lat. Ke tempat itu orang berziarah dan menyembah berhala. Kalau Thaqif ini
sampai menjadi pengikut Muhammad, maka kedudukan Lat akan hilang. Permusuhan
mereka dengan Quraisypun akan timbul, yang sudah tentu akibatnya akan
mempengaruhi perekonomian mereka pada musim dingin. Begitu juga halnya dengan
yang lain, setiap kabilah mempunyai penyakit sendiri yang disebabkan oleh
keadaan perekonomian setempat. Dalam menentang Islam itu, pengaruh ini lebih
besar terhadap mereka daripada pengaruh kepercayaan mereka dan kepercayaan
nenek-moyang mereka, termasuk penyembahan berhala-berhala.
Makin besar
oposisi yang dilakukan kabilah-kabilah itu, Muhammad makin mau menyendiri. Makin
gigih pihak Quraisy melakukan gangguan kepada sahabat-sahabatnya, makin pula ia
merasakan pedihnya.
Masa berkabung terhadap Khadijah itupun sudah pula
berlalu. Terpikir olehnya akan beristeri, kalau-kalau isterinya itu kelak akan
dapat juga menghiburnya, dapat mengobati luka dalam hatinya, seperti dilakukan
Khadijah dulu. Tetapi dalam hal ini ia melihat pertaliannya dengan orang-orang
Islam yang mula-mula itu harus makin dekat dan perlu dipererat lagi. Itu
sebabnya ia segera melamar puteri Abu Bakr, Aisyah. Oleh karena waktu itu ia
masih gadis kecil yang baru berusia tujuh tahun, maka yang sudah dilangsungkan
baru akad nikah, sedang perkawinan berlangsung dua tahun kemudian, ketika
usianya mencapai sembilan tahun.
Sementara itu ia kawin pula dengan
Sauda, seorang janda yang suaminya pernah ikut mengungsi ke Abisinia dan
kemudian meninggal setelah kembali ke Mekah. Saya rasa pembacapun akan dapat
menangkap arti kedua ikatan ini. Arti pertalian perkawinan dan semenda yang
dilakukan oleh Muhammad itu, nanti akan lebih jelas.
Pada masa itulah
Isra’ dan Mi’raj terjadi. Malam itu Muhammad sedang berada di rumah saudara
sepupunya, Hindun puteri Abu Talib yang mendapat nama panggilan Umm Hani’.
Ketika itu Hindun mengatakan:
“Malam itu Rasulullah bermalam di rumah
saya. Selesai salat akhir malam, ia tidur dan kamipun tidur. Pada waktu sebelum
fajar Rasulullah sudah membangunkan kami. Sesudah melakukan ibadat pagi
bersama-sama kami, ia berkata: ‘Umm Hani’, saya sudah salat akhir malam bersama
kamu sekalian seperti yang kaulihat di lembah ini. Kemudian saya ke
Bait’l-Maqdis (Yerusalem) dan bersembahyang di sana. Sekarang saya sembahyang
siang bersama-sama kamu seperti kaulihat.”
Kataku: “Rasulullah, janganlah
menceritakan ini kepada orang lain. Orang akan mendustakan dan mengganggumu
lagi!”
“Tapi harus saya ceritakan kepada mereka,” jawabnya.
Orang
yang mengatakan, bahwa Isra’ dan Mi’raj Muhammad ‘alaihissalam dengan ruh itu
berpegang kepada keterangan Umm Hani’ ini, dan juga kepada yang pernah dikatakan
oleh Aisyah:
“Jasad Rasulullah s.a.w. tidak hilang, tetapi Allah menjadikan
isra’8 itu dengan ruhnya.” Juga Mu’awiya b. Abi Sufyan ketika ditanya
tentang isra’ Rasul menyatakan: Itu adalah mimpi yang benar dari Tuhan. Di
samping semua itu orang berpegang kepada firman Tuhan: “Tidak lain mimpi yang
Kami perlihatkan kepadamu adalah sebagai ujian bagi manusia.” (Qur’an, 17:60)
Sebaliknya orang yang
berpendapat, bahwa isra’ dari Mekah ke Bait’l-Maqdis itu dengan jasad,
landasannya ialah apa yang pernah dikatakan oleh Muhammad, bahwa dalam isra’ itu
ia berada di pedalaman, seperti yang akan disebutkan ceritanya nanti. Sedang
mi’raj ke langit adalah dengan ruh. Disamping mereka itu ada lagi pendapat bahwa
isra’ dan mi’raj itu keduanya dengan jasad. Polemik sekitar perbedaan pendapat
ini di kalangan ahli-ahli iImu kalam banyak sekali dan ribuan pula
tulisan-tulisan sudah dikemukakan orang. Sekitar arti isra’ ini kami sendiri
sudah mempunyai pendapat yang ingin kami kemukakan juga. Kita belum mengetahui,
sudah adakah orang yang mengemukakannya sebelum kita, atau belum. Tetapi,
sebelum pendapat ini kita kemukakan - dan supaya dapat kita kemukakan - perlu
sekali kita menyampaikan kisah isra, dan mi’raj ini seperti yang terdapat dalam
buku-buku sejarah hidup Nabi.
Dengan indah sekali Dermenghem melukiskan
kisah ini yang disarikannya dari pelbagai buku sejarah hidup Nabi, yang
terjemahannya sebagai berikut:
“Pada tengah malam yang sunyi dan hening,
burung-burung malampun diam membisu, binatang-binatang buas sudah berdiam diri,
gemercik air dan siulan angin juga sudah tak terdengar lagi, ketika itu Muhammad
terbangun oleh suara yang memanggilnya: “Hai orang yang sedang tidur,
bangunlah!” Dan bila ia bangun, dihadapannya sudah berdiri Malaikat Jibril
dengan wajah yang putih berseri dan berkilauan seperti salju, melepaskan
rambutnya yang pirang terurai, dengan mengenakan pakaian berumbaikan mutiara dan
emas. Dan dari sekelilingnya sayap-sayap yang beraneka warna bergeleparan.
Tangannya memegang seekor hewan yang ajaib, yaitu buraq yang bersayap seperti
sayap garuda. Hewan itu membungkuk di hadapan Rasul, dan Rasulpun
naik.
“Maka meluncurlah buraq itu seperti anak panah membubung di atas
pegunungan Mekah, di atas pasir-pasir sahara menuju arah ke utara. Dalam
perjalanan itu ia ditemani oleh malaikat. Lalu berhenti di gunung Sinai di
tempat Tuhan berbicara dengan Musa. Kemudian berhenti lagi di Bethlehem tempat
Isa dilahirkan. Sesudah itu kemudian meluncur di udara.
“Sementara itu
ada suara-suara misterius mencoba menghentikan Nabi, orang yang begitu ikhlas
menjalankan risalahnya. Ia melihat, bahwa hanya Tuhanlah yang dapat menghentikan
hewan itu di mana saja dikehendakiNya.
“Seterusnya mereka sampai ke
Bait’l-Maqdis. Muhammad mengikatkan hewan kendaraannya itu. Di puing-puing kuil
Sulaiman ia bersembahyang bersama-sama Ibrahim, Musa dan Isa. Kemudian dibawakan
tangga, yang lalu dipancangkan diatas batu Ya’qub. Dengan tangga itu Muhammad
cepat-cepat naik ke langit.
“Langit pertama terbuat dari perak murni
dengan bintang-bintang yang digantungkan dengan rantai-rantai emas. Tiap langit
itu dijaga oleh malaikat, supaya jangan ada setan-setan yang bisa naik ke atas
atau akan ada jin yang akan mendengarkan rahasia-rahasia langit. Di langit
inilah Muhammad memberi hormat kepada Adam. Di tempat ini pula semua makhluk
memuja dan memuji Tuhan. Pada keenam langit berikutnya Muhammad bertemu dengan
Nuh, Harun, Musa, Ibrahim, Daud, Sulaiman, Idris, Yahya dan Isa. Juga di tempat
itu ia melihat Malaikat maut Izrail, yang karena besarnya jarak antara kedua
matanya adalah sejauh tujuh ribu hari perjalanan. Dan karena kekuasaanNya, maka
yang berada di bawah perintahnya adalah seratus ribu kelompok. Ia sedang
mencatat nama-nama mereka yang lahir dan mereka yang mati, dalam sebuah buku
besar. Ia melihat juga Malaikat Airmata, yang menangis karena dosa-dosa orang,
Malaikat Dendam yang berwajah tembaga yang menguasai anasir api dan sedang duduk
di atas singgasana dari nyala api. Dan dilihatnya juga ada malaikat yang besar
luar biasa, separo dari api dan separo lagi dari salju, dikelilingi oleh
malaikat-malaikat yang merupakan kelompok yang tiada hentinya menyebut-nyebut
nama Tuhan: O Tuhan, Engkau telah menyatukan salju dengan api, telah menyatukan
semua hambaMu setia menurut ketentuan Mu.
“Langit ketujuh adalah tempat
orang-orang yang adil, dengan malaikat yang lebih besar dari bumi ini
seluruhnya. Ia mempunyai tujuhpuluh ribu kepala, tiap kepala tujuhpuluh ribu
mulut, tiap mulut tujuhpuluh ribu lidah, tiap lidah dapat berbicara dalam tujuh
puluh ribu bahasa, tiap bahasa dengan tujuhpuluh ribu dialek. Semua itu memuja
dan memuji serta mengkuduskan Tuhan.
“Sementara ia sedang merenungkan
makhluk-makhluk ajaib itu, tiba-tiba ia membubung lagi sampai di
Sidrat’l-Muntaha yang terletak di sebelah kanan ‘Arsy, menaungi berjuta-juta ruh
malaikat. Sesudah melangkah, tidak sampai sekejap matapun ia sudah menyeberangi
lautan-lautan yang begitu luas dan daerah-daerah cahaya yang terang-benderang,
lalu bagian yang gelap gulita disertai berjuta juta tabir kegelapan, api, air,
udara dan angkasa. Tiap macam dipisahkan oleh jarak 500 tahun perjalanan. Ia
melintasi tabir-tabir keindahan, kesempurnaan, rahasia, keagungan dan kesatuan.
Dibalik itu terdapat tujuhpuluh ribu kelompok malaikat yang bersujud tidak
bergerak dan tidak pula diperkenankan meninggalkan tempat.
“Kemudian
terasa lagi ia membubung ke atas ke tempat Yang Maha Tinggi. Terpesona sekali
ia. Tiba-tiba bumi dan langit menjadi satu, hampir-hampir tak dapat lagi ia
melihatnya, seolah-olah sudah hilang tertelan. Keduanya tampak hanya sebesar
biji-bijian di tengah-tengah ladang yang membentang luas.
“Begitu
seharusnya manusia itu, di hadapan Raja semesta alam.
“Kemudian lagi ia
sudah berada di hadapan ‘Arsy, sudah dekat sekali. Ia sudah dapat melihat Tuhan
dengan persepsinya, dan melihat segalanya yang tidak dapat dilukiskan dengan
lidah, di luar jangkauan otak manusia akan dapat menangkapnya. Maha Agung Tuhan
mengulurkan sebelah tanganNya di dada Muhammad dan yang sebelah lagi di bahunya.
Ketika itu Nabi merasakan kesejukan di tulang punggungnya. Kemudian rasa tenang,
damai, lalu fana ke dalam Diri Tuhan yang terasa membawa
kenikmatan.
“Sesudah berbicara... Tuhan memerintahkan hambaNya itu supaya
setiap Muslim setiap hari sembahyang limapuluh kali. Begitu Muhammad kembali
turun dari langit, ia bertemu dengan Musa.
Musa berkata
kepadanya:
“Bagaimana kauharapkan pengikut-pengikutmu akan dapat
melakukan salat limapuluh kali tiap hari? Sebelum engkau aku sudah punya
pengalaman, sudah kucoba terhadap anak-anak Israil sejauh yang dapat kulakukan.
Percayalah dan kembali kepada Tuhan, minta supaya dikurangi jumlah sembahyang
itu.
“Muhammadpun kembali. Jumlah sembahyang juga lalu dikurangi menjadi
empatpuluh. Tetapi Musa menganggap itu masih di luar kemampuan orang. Disuruhnya
lagi Nabi penggantinya itu berkali-kali kembali kepada Tuhan sehingga berakhir
dengan ketentuan yang lima kali.
“Sekarang Jibril membawa Nabi
mengunjungi surga yang sudah disediakan sesudah hari kebangkitan, bagi mereka
yang teguh iman. Kemudian Muhammad kembali dengan tangga itu ke bumi. Buraqpun
dilepaskan. Lalu ia kembali dari Bait’l-Maqdis ke Mekah naik hewan
bersayap.”
Catatan kaki:
2 At-Ta’if sebuah kota dan pusat musim panas
dengan
ketinggian 1520 m, dari permukaan laut, lebih kurang 60 km timur laut
Mekah (A).
3 Doa ini dikenal dengan nama “Doa Ta’if”
(A).
4
Sebuah Kabilah Arab dari bagian Selatan (A).
5 Kabilah Arab yang berdekatan dengah
Suria (A).
6 Kabilah Arab di dekat Irak (A).
7 Kabilah Arab
yang terpencar-pencar (A).
8 Asra, sura dan isra’, harfiah berarti
“perjalanan
malam hari” (LA). ‘Araja berarti naik atau memanjat.
Mi’raj
harfiah tangga (N) (A).
Demikian cerita Dermenghem tentang Isra’ dan Mi’raj. Kitapun dapat melihat, apa
yang diceritakannya itu memang tersebar luas dalam buku-buku sejarah hidup Nabi,
sekalipun akan kita lihat juga bahwa semua itu berbeda-beda. Di sana-sini
dilebihi atau dikurangi.
Salah satu contoh misalnya cerita Ibn Hisyam
melalui ucapan Nabi ‘alaihissalam sesudah berjumpa dengan Adam di langit
pertama, ketika mengatakan: “Kemudian kulihat orang-orang bermoncong seperti
moncong unta, tangan mereka memegang segumpal api seperti batu-batu, lalu
dilemparkan ke dalam mulut mereka dan keluar dari dubur. Aku bertanya: “Siapa
mereka itu, Jibril?”. “Mereka yang memakan harta anak-anak yatim secara tidak
sah,” jawab Jibril. Kemudian kulihat orang-orang dengan perut yang belum pernah
kulihat dengan cara keluarga Fir’aun menyeberangi mereka seperti unta yang kena
penyakit dalam kepalanya, ketika dibawa ke dalam api. Mereka diinjak-injak tak
dapat beranjak dari tempat mereka. Aku bertanya: “Siapa mereka itu, Jibril?”.
“Mereka itu tukang-tukang riba,” jawabnya. Kemudian kulihat orang-orang, di
hadapan mereka ada daging yang gemuk dan baik, di samping ada daging yang buruk
dan busuk. Mereka makan daging yang buruk dan busuk itu dan meninggalkan yang
gemuk dan baik. Aku bertanya: “Siapakah mereka itu, Jibril”? “Mereka orang-orang
yang meninggalkan wanita yang dihalalkan Tuhan dan mencari wanita yang
diharamkan,” jawabnya. Kemudian aku melihat wanita-wanita yang digantungkan pada
buah dadanya. Lalu aku bertanya: “Siapa mereka itu, Jibril?” “Mereka itu wanita
yang memasukkan laki-laki lain bukan dari keluarga mereka ...” Kemudian aku
dibawa ke surga. Di sana kulihat seorang budak perempuan, bibirnya merah.
Kutanya dia: “Kepunyaan siapa engkau?”-Aku tertarik sekali waktu kulihat. “Aku
kepunyaan Zaid ibn Haritha,” jawabnya. Maka Rasulullah s.a.w. lalu memberi
selamat kepada Zaid ibn Haritha.”
Selain dari buku Ibn Hisyam ini, dalam
buku-buku sejarah hidup Nabi yang lain dan dalam buku-buku tafsir orang akan
melihat bermacam-macam hal lagi di samping itu. Sudah menjadi hak setiap penulis
sejarah bila akan bertanya-tanya, sampai di mana benar ketelitian dan
penyelidikan yang mereka adakan dalam hal ini semua; mana yang boleh dijadikan
pegangan (askripsi) sampai kepada Nabi sesuai dengan pegangan yang sahih
(otentik), dan mana pula yang hanya berupa buah khayal orang-orang tasauf dan
sebangsanya.
Kalau di sini tidak cukup ruangan untuk mengadakan ketentuan
atau penyelidikan dalam bidang tersebut, dan kalau bukan pula di sini tempatnya
untuk menyatakan apakah isra’ dan mi’raj itu keduanya dengan jasad, ataukah
mi’raj dengan ruh dan isra’ dengan jasad, ataukah isra’ dan mi’raj itu semuanya
dengan ruh - maka sudah tentu bahwa tiap pendapat itu akan ada dasarnya pada
ahli-ahli ilmu kalam dan tak ada salahnya, kalau atas pendapat-pendapat itu
orang menyatakan pendiriannya sendiri, yang akan berbeda pula satu dari yang
lain.
Jadi barangsiapa yang mau menyatakan pendapatnya, bahwa isra’ dan
mi’raj itu keduanya dengan ruh, maka dasarnya adalah seperti yang kita kemukakan
tadi dan sudah berulang-ulang pula disebutkan dalam Qur’an dan diucapkan
Rasul.
“Sungguh aku ini manusia seperti
kamu juga yang diberikan wahyu kepadaku. Tetapi Tuhanmu adalah Tuhan Yang Esa,”
(Qur’an. 18: 110)
dan bahwa
satu-satunya mujizat Muhammad ialah Qur’an, dan
“Bahwasanya Allah tidak akan
mengampuni dosa orang yang mempersekutukanNya, tetapi Dia mengampuni segala dosa
selain (syirik) itu, siapa saja yang dikehendakiNya.” (Qur’an, 4:48)
Orang yang
berpendapat demikian ini -sebenarnya melebihi yang lain- ia akan bertanya, apa
sebenarnya arti isra’ dan mi’raj itu. Di sinilah letak pendapat yang ingin kita
kemukakan. Kita belum mengetahui, sudah adakah orang mengemukakan hal ini
sebelum kita, atau belum.
Isra’ dan mi’raj ini dalam hidup kerohanian
Muhammad mempunyai arti yang tinggi dan agung sekali, suatu arti yang lebih
besar dari yang biasa mereka lukiskan itu, yang kadang tidak sedikit dikacau dan
dirusak oleh imajinasi ahli-ahli ilmu kalam yang subur itu. Jiwa yang sungguh
kuat itu, tatkala terjadi isra’ dan mi’raj, telah dipersatukan oleh kesatuan
wujud ini, yang sudah sampai pada puncak kesempurnaannya. Pada saat itu tak ada
sesuatu tabir ruang dan waktu atau sesuatu yang dapat mengalangi intelek dan
jiwa Muhammad, yang akan membuat penilaian kita tentang hidup ini menjadi nisbi,
terbatas oleh kekuatan-kekuatan kita yang sensasional, yang dapat diarahkan
menurut akal pikiran. Pada saat itu semua batas jadi hanyut di depan hati nurani
Muhammad. Seluruh alam semesta ini sudah bersatu ke dalam jiwanya, yang lalu
disadarinya, sejak dari awal yang azali sampai pada akhir yang abadi -sejak
dunia mulai berkembang sampai ke akhir zaman. Digambarkannya dalam perkembangan
kesunyian dirinya dalam mencapai kesempurnaan itu, dengan jalan kebaikan dan
keindahan dan kebenaran, dalam mengatasi dan mengalahkan segala kejahatan,
kekurangan, keburukan dan kebatilan, dengan karunia dan ampunan Tuhan juga.
Orang tidak akan mencapai keluhuran demikian itu, kalau tidak dengan suatu
kekuatan yang berada di atas kodrat manusia yang pernah
dikenalnya.
Apabila sesudah itu kemudian datang orang-orang yang menjadi
pengikut Muhammad yang tidak sanggup mengikuti jejak pikirannya yang begitu
tinggi, dengan kesadaran yang begitu kuat tentang kesatuan alam, kesempurnaan
serta perjuangannya mencapai kesempurnaan itu, maka hal ini tidak mengherankan
dan bukan pula aib tentunya. Orang-orang yang piawai dan jenial memang
bertingkat-tingkat. Dalam kita mencapai kebenaran inipun selalu terbentur pada
batas-batas ini; tenaga kita sudah tidak mampu mengatasinya.
Apabila kita
mau menyebutkan sebagai contoh -dengan sedikit perbedaan tentunya, sehubungan
dengan apa yang kita hadapi sekarang ini- cerita orang-orang buta yang ingin
mengetahui gajah itu apa, maka salah seorang dari mereka itu akan berkata, bahwa
gajah itu ialah seutas tali yang panjang, sebab kebetulan yang terpegang adalah
buntutnya; yang seorang lagi berkata, bahwa gajah itu sebatang pohon, sebab
kebetulan yang dijumpainya adalah kakinya; yang ketiga berkata, bahwa gajah itu
runcing seperti anak panah, sebab kebetulan yang dijumpainya adalah taringnya;
yang keempat berkata, bahwa gajah itu bulat panjang dan bengkok, banyak
bergerak-gerak, sebab kebetulan yang dipegangnya adalah
belalainya.
Contoh ini sebenarnya masih sejalan dengan gambaran yang
terbayang ketika orang yang tidak buta itu melihat gajah untuk pertama kalinya.
Boleh juga kiranya kita mengambil perbandingan antara persepsi (kesadaran)
Muhammad menangkap esensi kesatuan alam ini serta penggambarannya kedalam
isra’dan mi’raj yang berhubungan dengan waktu pertama sejak sebelum Adam sampai
pada akhir hari kebangkitan dan yang akan menghilangkan pula kesudahan ruang
ini, ketika ia melihat dengan mata batin dari Sidrat’l Muntaha ke alam semesta
ini, yang ada sekarang di hadapannya dan sudah seperti kabut -dengan persepsi
(kesadaran) kebanyakan orang yang dapat menangkap arti isra’-mi’raj itu. Tatkala
itu ia berhadapan dengan bagian-bagian yang tidak termasuk kesatuan alam, sedang
hidupnya hanya seperti partikel-partikel tubuh, bahkan seperti partikel-partikel
yang melekat pada tubuh itu dengan susunannya yang tidak terpengaruh karenanya.
Dari mana pula partikel-partikel daripada hidup tubuh itu, dari denyutan
jantungnya, pancaran jiwanya, pikirannya yang penuh dengan enersi yang tak kenal
batas; sebab, dari wujud hidup itulah ia berhubungan dengan segala kehidupan
alam ini.
Isra’ dengan ruh dalam pengertiannya adalah seperti isra’ dan
mi’raj juga yang semuanya dengan ruh. Ini adalah begitu luhur, begitu indah dan
agung. Ia merupakan suatu gambaran yang kuat sekali dalam arti kesatuan rohani
sejak dari awal yang azali sampai pada akhir yang abadi. Ini adalah suatu
pendakian ke atas Gunung Sinai, tatkala Tuhan berbicara dengan Musa, dan ke
Bethlehem, tempat Isa dilahirkan. Pertemuan rohani demikian ini sudah mengandung
selawat bagi Muhammad, Isa, Musa dan Ibrahim, suatu manifestasi yang kuat sekali
dalam arti kesatuan hidup agama sebagai suatu sendi kesatuan alam dalam
edarannya yang terus-menerus menuju kepada kesempurnaan.
Ilmu pengetahuan
pada masa kita sekarang ini mengakui isra’ dengan ruh dan mengakui pula mi’raj
dengan ruh. Apabila tenaga-tenaga yang bersih itu bertemu, maka sinar yang
benarpun akan memancar. Dalam bentuk tertentu sama pula halnya dengan
tenaga-tenaga alam ini, yang telah membukakan jalan kepada Marconi ketika ia
menemukan suatu arus listrik tertentu dari kapalnya yang sedang berlabuh di
Venesia. Dengan suatu kekuatan gelombang ether arus listrik itu telah dapat
menerangi kota Sydney di Australia.
IImu pengetahuan zaman kita sekarang
ini membenarkan pula teori telepati serta pengetahuan lain yang bersangkutan
dengan itu. Demikian juga transmisi suara di atas gelombang ether dengan radio,
telephotography (facsimile transmisi) dan teleprinter lainnya, suatu hal yang
tadinya masih dianggap suatu pekerjaan khayal belaka. Tenaga-tenaga yang masih
tersimpan dalam alam semesta ini setiap hari masih selalu memperlihatkan yang
baru kepada alam kita. Apabila jiwa sudah mencapai kekuatan dan kemampuan yang
begitu tinggi seperti yang sudah dicapai oleh jiwa Muhammad itu, lalu Allah
memperjalankan dia pada suatu malam dari Masjid’l-Haram ke al-Masjid’l-Aqsha,
yang disekelilingnya sudah diberi berkah guna memperlihatkan tanda-tanda
kebesaranNya, maka itupun oleh ilmu pengetahuan dapat pula dibenarkan. Arti
semua ini ialah pengertian-pengertian yang begitu kuat dan luhur, begitu indah
dan agung, dan telah pula membayangkan kesatuan rohani dan kesatuan alam semesta
ini begitu jelas dan tegas dalam jiwa Muhammad. Orang akan dapat memahami arti
semua ini apabila ia dapat berusaha menempatkan diri lebih tinggi dari bayangan
hidup yang singkat ini. Ia berusaha mencapai esensi kebenaran tertinggi itu guna
memahami kedudukannya yang sebenarnya dan kedudukan alam ini
seluruhnya.
Orang-orang Arab penduduk Mekah tidak dapat memahami semua
pengertian ini. Itulah pula sebabnya, tatkala soal isra’ itu oleh Muhammad
disampaikan kepada mereka, merekapun lalu menanggapinya dari bentuk materi -
mungkin atau tidaknya isra’ itu. Apa yang dikatakannya itu kemudian menimbulkan
kesangsian juga pada beberapa orang pengikutnya, pada orang-orang yang tadinya
sudah percaya. Mereka banyak yang mengatakan: Masalah ini sudah jelas.
Perjalanan kafilah yang terus-meneruspun antara Mekah-Syam memakan waktu sebulan
pergi dan sebulan pulang. Mana boleh jadi Muhammad hanya satu malam saja
pergi-pulang ke Mekah?!
Tidak sedikit mereka yang sudah Islam itu
kemudian berbalik murtad. Mereka yang masih menyangsikan hal ini lalu mendatangi
Abu Bakr dan keterangan yang diberikan Muhammad itu dijadikan bahan
pembicaraan.
“Kalian berdusta,” kata Abu Bakr.
“Sungguh,” kata
mereka. “Dia di mesjid sedang bicara dengan orang banyak.”
“Dan kalaupun
itu yang dikatakannya,” kata Abu Bakr lagi, “tentu dia bicara yang sebenarnya.
Dia mengatakan kepadaku, bahwa ada berita dari Tuhan, dari langit ke bumi, pada
waktu malam atau siang, aku percaya. Ini lebih lagi dari yang kamu
herankan.”
Abu Bakr lalu mendatangi Nabi dan mendengarkan ia melukiskan
Bait’l-Maqdis. Abu Bakr sudah pernah berkunjung ke kota itu.
Selesai Nabi
melukiskan keadaan mesjidnya, Abu Bakr berkata:
“Rasulullah, saya
percaya.”
Sejak itu Muhammad memanggil Abu Bakr dengan
“AshShiddiq.”9
Alasan mereka yang berpendapat bahwa isra’ itu dengan jasad
ialah karena ketika Quraisy mendengar tentang kejadian Suraqa mereka
menanyakannya dan mereka yang sudah beriman juga menanyakan tentang peristiwa
yang luar biasa itu. Mereka memang belum pernah mendengar hal semacam itu. Lalu
diceritakannya tentang adanya kafilah yang pernah dilaluinya di tengah jalan.
Ketika ada seekor unta dari kafilah tersesat, dialah yang menunjukkan. Pernah ia
minum dari sebuah kafilah lain dan sesudah minum lalu ditutupnya bejana itu.
Pihak Quraisy menanyakan hal tersebut. Kedua kafilah itupun membenarkan apa yang
telah diceritakan Muhammad itu.
Saya kira, kalau dalam hal ini orang
bertanya kepada mereka yang berpendapat tentang isra’ dengan ruh itu, tentu
mereka tidak akan merasa heran sesudah ternyata ilmu masa kita sekarang ini
dapat mengetahui mungkinnya hypnotisma menceritakan hal-hal yang terjadi di
tempat-tempat yang jauh. Apalagi dengan ruh yang dapat menghimpun kehidupan
rohani dalam seluruh alam ini. Dengan tenaga yang diberikan Tuhan kepadanya ia
dapat mengadakan komunikasi dengan rahasia hidup ini dari awal alam azali sampai
pada akhirnya yang abadi.
Catatan kaki:
9 Yang tulus hati, yang sangat jujur (A).
ORANG-ORANG Quraisy tidak dapat memahami arti isra’, juga mereka yang sudah Islam banyak yang tidak memahami artinya seperti sudah disebutkan tadi. Itu sebabnya, ada kelompok yang lalu meninggalkan Muhammad yang tadinya sudah sekian lama menjadi pengikutnya. Permusuhan Quraisy terhadap Muhammad dan terhadap kaum Muslimin makin keras juga, sehingga mereka sudah merasa sungguh kesal karenanya. Rasanya tak ada lagi harapan bagi Muhammad akan mendapat dukungan kabilah-kabilah sesudah ternyata Thaqif dari Ta’if menolaknya dengan cara yang tidak baik. Demikian juga kemudian kabilah-kabilah Kinda, Kalb, Banu ‘Amir dan Banu Hanifa semua menolaknya, ketika ia datang mengenalkan diri kepada mereka pada musim ziarah.
Sesudah itu Muhammad merasa, bahwa tiada seorangpun
dari Quraisy itu nampaknya yang dapat diharapkan diajak kepada kebenaran.
Kabilah-kabilah lain di luar Quraisy yang berada di sekitar Mekah dan yang
datang berziarah ke tempat itu dari segenap penjuru daerah Arab, melihat
keadaannya yang dikucilkan itu dan melihat sikap permusuhan Quraisy kepadanya
demikian rupa, membuat setiap orang yang mendukungnya jadi memusuhi mereka.
Sekarang sikap Quraisy tambah keras pula menentangnya.
Meskipun Muhammad
sudah merasa berbesar hati karena adanya Hamzah dan ‘Umar, dan meskipun ia sudah
yakin, bahwa Quraisy tidak akan terlalu membahayakan melebihi yang sudah-sudah
mengingat adanya pertahanan pihak keluarganya dari Banu Hasyim dan Banu
Abd’l-Muttalib, tapi ia melihat -sampai pada waktu itu- bahwa risalah Tuhan itu
akan terhenti hanya pada suatu lingkaran pengikutnya saja. Mereka yang terdiri
dari orang-orang yang masih lemah dan sedikit sekali jumlahnya, hampir-hampir
saja punah atau tergoda meninggalkan agamanya kalau tidak segera datang
kemenangan dan pertolongan Tuhan. Hal ini berjalan cukup lama. Muhammad makin
dikucilkan di tengah-tengah keluarganya, kedengkian Quraisy juga bertambah
besar.
Adakah pengasingan yang demikian ini telah melemahkan jiwanya dan
dapat mematahkan semangatnya? Sekali-kali tidak! Bahkan kepercayaannya akan
kebenaran yang datang dari Tuhan itu lebih luhur daripada sekedar
pertimbangan-pertimbangan yang akan dapat melemahkan jiwa biasa. Bagi orang yang
berjiwa luar biasa hal ini justru akan lebih memperkuat
kepercayaannya.
Dalam keadaan terasing itu - dengan sahabat-sahabat di
sekelilingnya - Muhammad yakin sekali Tuhan akan memberikan pertolongan
kepadanya dan agamanyapun akan mengatasi semua agama. Badai kedengkian tidak
sampai menggoyangkan hatinya. Bahkan tetap ia tinggal di Mekah selama beberapa
tahun. Tidak peduli ia harta Khadijah dan hartanya sendiri akan habis.
Keadaannya yang sangat miskin tidak sampai melemahkan hatinya. Jiwanya tak
pernah gandrung kepada apapun selain dari pertolongan Tuhan yang sudah pasti
akan diberikan kepadanya.
Apabila musim ziarah sudah tiba, orang-orang
dari segenap jazirah Arab sudah berkumpul lagi di Mekah, iapun mulai menemui
kabilah-kabilah itu. Diajaknya mereka memahami kebenaran agama yang dibawanya
itu. Tidak peduli ia apakah kabilah-kabilah tidak mau menerima ajakannya, atau
akan mengusirnya secara kasar. Beberapa orang pandir dari Quraisy berusaha
menghasut ketika diketahui ia terus menyampaikan amanat Tuhan itu kepada orang
ramai. Mereka memperlakukannya dengan segala kejahatan. Tetapi semua itu tidak
mengubah ketenangan jiwanya dan ia yakin sekali akan hari esok. Allah Maha Agung
telah mengutusnya demi kebenaran. Sudah tentu Dialah Pembela dan Pendukung
kebenaran itu. Tuhan juga Yang telah mewahyukan kepadanya, supaya dalam berdebat
hendaknya dilakukan dengan cara yang sebaik-baiknya.
“Sehingga permusuhan
antara engkau dengan dia itu sudah seperti persahabatan yang erat sekali. (Qur’an, 41: 34) Dan supaya bicara dengan mereka
dengan lemah-lembut, kalau-kalau mereka mau sadar dan merasa gentar. Jadi,
tabahkanlah hati menghadapi siksaan mereka. Tuhan bersama mereka yang tabah
hati.
Tidak selang berapa tahun kemudian Muhammad menunggu tiba-tiba
tampak tanda permulaan kemenangan itu datang dari arah Yathrib. Bagi Muhammad
Yathrib mempunyai arti hubungan bukan hubungan dagang, tetapi suatu hubungan
yang dekat sekali. Di tempat itu ada sebuah kuburan, dan sebelum wafat, sekali
setahun ibunya berziarah ke tempat itu. Sedang famili-familinya, dari pihak Banu
Najjar, ialah keluarga kakeknya Abd’l-Muttalib dari pihak ibu. Kuburan itu ialah
makam ayahnya, Abdullah b. Abd’l-Muttalib. Ke makam inilah Aminah sebagai isteri
yang setia berziarah. Dulu Abd’l-Muttalib juga sebagai ayah yang kehilangan anak
yang sedang muda belia dan tegap, pernah berziarah. Ketika berusia enam tahun,
Muhammad juga pernah ke Yathrib menemani ibunya. Jadi bersama ibunya ia juga
ziarah ke makam ayahnya itu. Kemudian mereka berdua kembali pulang. Aminah jatuh
sakit di tengah perjalanan, sampai wafat. Lalu dikuburkan di Abwa’ - pertengahan
jalan antara Yathrib dengan Mekah.
Jadi tidak heranlah apabila
tanda-tanda kemenangan bagi Muhammad itu dimulai dari jurusan sebuah kota yang
mempunyai hubungan sedemikian rupa. Ke arah ini jugalah dulu ia menghadap,
tatkala dalam sembahyang itu al-Masjid’l-Aqsha di Bait’l-Maqdis dijadikan
kiblatnya, tempat sesepuhnya Musa dan Isa. Tidak heran apabila nasib baik itu
akan jatuh di Yathrib. Di tempat ini Muhammad akan beroleh kemenangan, di tempat
ini Islam akan beroleh kemenangan, di tempat ini pula Islam akan memperoleh
sukses dan berkembang.
Nasib baik telah jatuh di Yathrib, suatu hal yang
tidak terjadi pada kota yang lain. Waktu itu dua kabilah Aus dan Khazraj adalah
penyembah berhala di Yathrib. Mereka saling bertetangga dengan orang-orang
Yahudi. Sering pula timbul kebencian antara mereka itu dan dari kebencian ini
sampai timbul pula peperangan.
Sejarah memperlihatkan bahwa orang-orang
Masehi di Syam, yang berada di bawah pengaruh Rumawi Timur (Bizantium) sangat
membenci orang-orang Yahudi, sebab mereka percaya bahwa mereka inilah yang telah
menyiksa dan menyalib Isa al-Masih. Mereka menyerbu Yathrib guna memerangi
orang-orang Yahudi. Akan tetapi karena tidak berhasil mereka lalu membujuk dan
meminta bantuan Aus dan Khazraj. Tidak sedikit jumlah orang-orang Yahudi itu
kemudian yang mereka bunuh. Dengan demikian kedudukan orang-orang Yahudi sebagai
yang dipertuan dijatuhkan, dan orang-orang Arab kabilah Aus dan Khazraj yang
tadinya terbatas hanya sebagai kuli telah dinaikkan. Sesudah itu orang-orang
Arab itu berusaha lagi akan menghantam orang-orang Yahudi supaya kekuasaan
mereka atas kota yang makmur dan subur dengan pertanian dan air itu lebih besar
lagi. Siasat mereka ini berhasil baik sekali.
Tetapi pihak Yahudi
sendiri kemudian menyadari akan bencana yang menimpa diri mereka itu. Permusuhan
dan kebencian pihak Yahudi Yathrib terhadap Aus dan Khazraj makin mendalam, Aus
dan Khazrajpun demikian juga terhadap Yahudi.
Sekarang pengikut-pengikut
Musa ini melihat, bahwa pertempuran yang dilawan dengan pertempuran berarti akan
menghabiskan mereka sama sekali, apalagi kalau Aus dan Khazraj sampai bersahabat
baik2 dengan orang-orang
Arab, yang seagama dengan Ahli Kitab. Maka dalam siasat mereka, mereka menempuh
suatu cara bukan mencari kemenangan dalam pertempuran, melainkan dengan
menggunakan siasat memecah-belah. Mereka melakukan intrik di kalangan Aus dengan
Khazraj, menyebarkan provokasi permusuhan dan kebencian di kalangan mereka,
supaya masing-masing pihak selalu bersiap-siap akan saling
bertempur.
Dengan demikian selamatlah propaganda mereka itu. Mereka
sekarang dapat memperbesar perdagangan dan kekayaan mereka. Kekuasaan mereka
yang sudah hilang dapat mereka rebut kembali, termasuk rumah-rumah dan harta
tidak bergerak lainnya.
Di samping konflik karena berebut kedaulatan dan
kekuasaan dalam hidup bertetangga Yahudi-Arab Yathrib itu, masih ada pengaruh
lain yang lebih dalam pada pihak Aus dan Khazraj melebihi penduduk jazirah Arab
yang manapun juga - yaitu dalam arti pengaruh rohani.
Orang-orang Yahudi
sebagai Ahli Kitab dan penganjur monotheisma sangat mencela tetangga-tetangga
mereka yang terdiri dari kaum pagan dengan penyembah berhala sebagai pendekatan
kepada Tuhan.
Mereka diperingatkan bahwa kelak akan ada seorang nabi yang
akan menghabiskan mereka dan mendukung Yahudi. Tetapi propaganda ini tidak
sampai membuat orang-orang Arab itu mau menganut agama Yahudi. Soalnya karena
dua sebab: pertama karena selalu ada perang antara kaum Nasrani dan kaum Yahudi,
yang lalu membuat Yahudi Yathrib hanya hidup cari selamat, yang berarti akan
menjamin lancarnya perdagangan mereka. Kedua, orang-orang Yahudi beranggapan,
bahwa mereka adalah bangsa pilihan Tuhan, dan mereka tidak mau ada bangsa lain
memegang kedudukan ini. Disamping itu mereka memang tidak pernah mengajak orang
lain menganut agamanya dan merekapun tidak pula keluar dari lingkungan Keluarga
Israil. Atas dasar ke dua sebab tersebut, hubungan tetangga dan hubungan dagang
antara Yahudi dengan Arab -Aus dan Khazraj - membuat lebih banyak mengetahui
cerita-cerita kerohanian dan masalah-masalah agama lainnya di banding dengan
golongan Arab yang lain. Ini menunjukkan bahwa tak ada suatu golongan dari
kalangan Arab yang dapat menerima ajakan Muhammad dalam arti spiritual seperti
yang dilakukan oleh penduduk Yathrib itu.
Suwaid bin’sh-Shamit adalah
seorang bangsawan terkemuka di Yathrib. Karena ketabahannya, pengetahuannya,
kebangsawanan dan keturunannya, masyarakatnya sendiri menamakannya al-Ramil
(yang sempurna). Pada waktu membicarakan ini Suwaid sedang berada di Mekah
berziarah. Muhammad lalu menemuinya dan diajaknya ia mengenal Tuhan dan menganut
Islam.
“Barangkali yang ada padamu itu sama dengan yang ada padaku,” kata
Suwaid.
“Apa yang ada padamu?” tanya Muhammad.
“Kata-kata mutiara oleh
Luqman.”
Lalu Muhammad minta supaya hal itu dikemukakan.
“Memang
itu kata-kata yang baik,” kata Muhammad setelah oleh Suwaid dikemukakan. “Tapi
yang ada padaku lebih utama tentunya, yaitu Qur’an sebagai bimbingan dan
cahaya.”
Lalu dibacakannya ayat-ayat Qur’an itu kepadanya disertai ajakan
agar ia sudi menerima Islam. Gembira sekali Suwaid mendengar ini.
“Memang
baik sekali ini,” katanya. Lalu ia pergi hendak memikirkan hal tersebut. Ada
sementara orang yang berkata ketika ia dibunuh oleh Khazraj, bahwa ia mati
sebagai Muslim.
Peristiwa Suwaid b. Shamit ini bukan contoh satu-satunya
yang menunjukkan adanya pengaruh Yahudi dan Arab di Yathrib yang bertetangga
itu, dari segi rohani.
Keadaan Aus dan Khazraj yang begitu bermusuhan
sebagai akibat provokasi pihak Yahudi seperti yang sudah kita ketahui, satu sama
lain mencari sekutu di kalangan kabilah-kabilah Arab untuk memerangi lawannya.
Dalam hal ini kedatangan Abu’l Haisar Ans b. Rafi’ ke Mekah disertai
pemuda-pemuda dari Banu Abd’l-Asyhal - termasuk Iyas b. Mu’adh - adalah dalam
rangka mencari persekutuan dengan pihak Quraisy dan golongannya sendiri dari
pihak Khazraj. Muhammad mengetahui hal ini. Ditemuinya mereka itu, dan
diperkenalkannya Islam kepada mereka. Lalu dibacanya ayat-ayat Qur’an kepada
mereka.
Pada waktu itu, Iyas b.Mu’adh sebagai pemuda remaja mengatakan:
“Kawan-kawan, ini adalah lebih baik daripada apa yang ada pada kita
semua.”
Mereka kemudian kembali pulang ke Yathrib. Tak ada yang masuk
Islam diantara mereka itu, selain Iyas. Mereka semua sedang sibuk mencari sekutu
sebagai suatu persiapan karena adanya insiden Bu’ath yang telah melibatkan Aus
dan Khazraj ke dalam api perang saudara itu, tidak lama sesudah Abu’l Haisar dan
rombongannya kembali dari Mekah. Akan tetapi kata-kata Muhammad ‘alaihissalam
telah meninggalkan bekas yang dalam ke dalam jiwa mereka setelah terjadinya
insiden itu, yang lalu membuat Aus dan Khazraj menantikan Muhammad sebagai Nabi,
sebagai Rasul, sebagai wakil dan pemuka mereka.
Memang, terjadinya
insiden Bu’ath itu tidak lama sesudah Abu’l-Haisar kembali ke Yathrib. Pada
waktu itulah pertempuran sengit antara Aus dan Khazraj terjadi, yang membawa
akibat timbulnya permusuhan yang berakar dalam sekali. Setiap golongan lalu
bertanya-tanya kalau-kalau mereka itu yang menang: akan tetapkah mereka dengan
kawan-kawan mereka itu, ataukah akan dikikis habis. Abu Usaid Hudzair sebagai
pemuka Aus, sangat dendam sekali kepada Khazraj.
Tatkala pertempuran
sudah dimulai, pihak Aus mengalami suatu kekacauan. Mereka lari
tunggang-langgang ke arah Najd, yang oleh pihak Khazraj lalu diejek. Hudzair
yang mendengarkan ejekan itu menetakkan ujung lembingnya ke pahanya; lalu turun
dengan mengatakan:
“Sungguh luarbiasa! Tidak akan tinggal diam sebelum
aku mati terbunuh. Wahai masyarakat Aus, kalau kamu mau menyerahkan aku,
lakukanlah!”
Pihak Aus sekarang mau bertempur lagi. Pengalaman pahit
yang telah menimpa mereka menyebabkan mereka kini berjuang mati-matian. Khazraj
dapat mereka hancurkan. Rumah-rumah dan kebun kurma Khazraj oleh Aus dibakar.
Kemudian Sa’d b. Mu’adh al-Asyhadi bertindak melindungi Khazraj. Sementara itu
Hudzair bermaksud akan mendatangi rumah demi rumah, membunuhi satu-satu mereka
sampai tak ada yang hidup lagi, kalau tidak segera Abu Qais ibn’l-Aslat kemudian
datang mencegahnya guna menjaga solidaritas kepercayaan mereka. “Bertetangga
dengan mereka lebih baik daripada bertetangga dengan rubah.”
Sejak itu
orang-orang Yahudi dapat mengembalikan kedudukannya di Yathrib. Baik yang menang
maupun yang kalah dari kalangan Aus dan Khazraj sama-sama berpendapat tentang
akibat buruk yang telah mereka lakukan itu. Hal ini yang sekarang terpikir oleh
mereka, dan mereka sudah mempertimbangkan pula akan mengangkat seorang raja atas
mereka itu. Untuk itu mereka lalu memilih Abdullah b. Muhammad dari pihak
Khazraj yang sudah kalah, mengingat kedudukan dan pandangannya yang baik. Akan
tetapi karena perkembangan situasi yang begitu pesat, keinginan mereka itu tidak
sampai terlaksana. Soalnya ialah karena ada beberapa orang dari Khazraj pergi ke
Mekah pada musim ziarah.
Di tempat ini Muhammad menemui mereka dan
menanyakan keadaan mereka, yang kemudian diketahuinya, bahwa mereka adalah
kawan-kawan orang-orang Yahudi. Ketika itu orang-orang Yahudi di Yathrib
mengatakan apabila mereka saling berselisih.
“Sekarang akan ada seorang
nabi utusan Tuhan yang sudah dekat waktunya. Kami akan jadi pengikutnya dan kami
dengan dia akan memerangi kamu seperti dalam perang ‘Ad dan
Iram.”
Setelah Nabi bicara dengan mereka dan diajaknya mereka bertauhid
kepada Allah, satu sama lain mereka saling berpandang-pandangan.
“Sungguh
inilah Nabi yang pernah dijanjikan orang-orang Yahudi kepada kita,” kata mereka.
“Jangan sampai mereka mendahului kita.”
Seruan Muhammad mereka sambut
dengan baik dan menyatakan diri mereka masuk Islam. Lalu kata
mereka:
“Kami telah meninggalkan golongan kami - yakni Aus dan Khazraj -
dan tidak ada lagi golongan yang saling bermusuhan dan saling mengancam.
Mudah-mudahan Tuhan mempersatukan mereka dengan tuan. Bila mereka itu sudah
dapat dipertemukan dengan tuan, maka tak adalah orang yang lebih mulia dari
tuan.”
Orang-orang itu lalu kembali ke Medinah. Dua orang diantara mereka
itu dari Banu’n-Najjar, keluarga Abd’l-Muttalib dari pihak ibu - kakek Muhammad
yang telah mengasuhnya sejak kecil. Kepada masyarakatnya itu mereka menyatakan
sudah menganut Islam. Ternyata merekapun menyambut pula dengan senang hati agama
ini, yang berarti akan membuat mereka menjadi golongan monotheis seperti
orang-orang Yahudi. Bahkan membuat lebih baik dari mereka. Dengan demikian tiada
suatu keluargapun, baik Aus atau Khazraj, yang tidak menyebut nama Muhammad
‘alaihissalam.
Tiba giliran tahun berikutnya, bulan-bulan sucipun datang
lagi bersama datangnya musim ziarah ke Mekah, dan ke tempat itu datang pula
duabelas orang penduduk Yathrib. Mereka ini bertemu dengan Nabi di ‘Aqaba. Di
tempat inilah mereka menyatakan ikrar atau berjanji kepada Nabi (yang kemudian
dikenal dengan nama) Ikrar ‘Aqaba pertama. Mereka berikrar kepadanya untuk tidak
menyekutukan Tuhan, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak,
tidak mengumpat dan memfitnah, baik di depannya atau di belakang. Jangan menolak
berbuat kebaikan. Barangsiapa mematuhi semua itu ia mendapat pahala surga, dan
kalau ada yang mengecoh, maka soalnya kembali kepada Tuhan. Tuhan berkuasa
menyiksa, juga berkuasa mengampuni segala dosa.
Dalam hal ini Muhammad
menugaskan kepada Mush’ab bin ‘Umair supaya membacakan Qur’an kepada mereka,
mengajarkan Islam serta seluk-beluk hukum agama.
Setelah adanya ikrar ini
Islam makin tersebar di Yathrib. Mush’ab bertugas memberikan pelajaran agama di
kalangan Muslimin Aus dan Khazraj. Gembira sekali ia melihat kaum Anshar itu
makin teguh kepercayaannya kepada Allah dan kepada kebenaran. Menjelang
bulan-bulan suci akan tiba, ia datang lagi ke Mekah dan kepada Muhammad
diceritakannya keadaan Muslimin di Yathrib itu; tentang ketahanan dan kekuatan
mereka, dan bahwa pada musim haji tahun ini mereka akan datang lagi ke Mekah
dalam jumlah yang lebih besar dengan iman kepada Tuhan yang sudah lebih
kuat.
Berita-berita yang disampaikan oleh Mush’ab ini membuat Muhammad
berpikir lebih lama lagi. Pengikut-pengikutnya di Yathrib kini makin sehari
makin berkuasa dan bertambah kuat juga. Dari orang-orang Yahudi dan orang-orang
musyrik mereka tidak mendapat gangguan seperti yang dialami oleh kawan-kawannya
di Mekah karena gangguan Quraisy. Di samping itu Yathrib lebih makmur daripada
Mekah - ada pertanian, ada kebun kurma, ada anggur. Bukankah lebih baik sekali
apabila Muslimin Mekah itu hijrah saja ke tempat saudara-saudara mereka di sana,
yang akan terasa lebih aman? Mereka akan bebas dari Quraisy yang selalu
memfitnah agama mereka.
Selama Muhammad berpikir-pikir itu teringat
olehnya akan orang-orang dari Yathrib, mereka yang mula-mula masuk Islam itu,
dan yang menceritakan adanya permusuhan antara golongan Aus dan Khazraj. Apabila
dengan perantaraannya mereka itu sudah dapat dipersatukan Tuhan, maka tak ada
orang yang lebih mulia dari Muhammad. Sekarang mereka sudah dipertemukan Allah
bersama dia, bukankah lebih baik apabila dia juga hijrah? Ia tidak ingin
membalas kejahatan Quraisy itu. Iapun sadar bahwa ia lebih lemah dari mereka.
Kalaupun Keluarga Hasyim dan Keluarga Muttalib melindunginya dari penganiayaan,
mereka tidak akan membelanya dalam melakukan penganiayaan. Dan mereka yang sudah
menjadi pengikutnya juga takkan dapat melindungi diri dari penganiayaan Quraisy
dan segala macam kejahatannya.
Catatan kaki:
1 Bai’at’l-‘Aqaba, secara harfiah berarti pernyataan
dan sumpah setia yang diadakan di bukit ‘Aqaba (A).
2 Hilf (amak ahlaf) pernyataan
sumpah setia-kawan atau bersahabat baik antar kabilah bersangkutan yang biasa
berlaku dalam tradisi masyarakat Arab pada masa itu. Halif (jamak hulafa’),
yakni pihak yang mengadakan persahabatan, kawan-kawan sepersekutuan (A).
Apabila iman itu merupakan landasan yang paling kuat, yang akan membuat
segalanya di hadapan kita menjadi kecil, dan untuk itu dengan segala senang hati
orang mengorbankan harta bendanya, kesenangan, kebebasan dan seluruh hidupnya,
apabila penganiayaan itu dengan sendirinya akan membuat iman seseorang bertambah
dalam, maka penganiayaan dan pengorbanan yang terus-menerus itu bagi seorang
mukmin akan membuatnya ia merenungkan lebih dalam lagi, akan memberinya ruangan
yang lebih luas serta pengertian tentang kebenaran yang lebih dalam dan kuat.
Dahulu Muhammad pernah menganjurkan kepada pengikut-pengikutnya supaya mereka
mengungsi ke Abisinia daerah Kristen, karena di situ ada kebenaran, ada seorang
raja yang adil. Maka akan lebih baiklah bila sekarang kaum Muslimin itu
mengungsi ke Yathrib, dapat saling memperkuat diri dengan sahabat-sahabat kaum
Muslimin di sana, dapat saling tolong-menolong dalam menahan bahaya yang mungkin
menimpa mereka. Dengan begitu mereka akan mendapat kebebasan dalam merenungkan
agama serta berterang-terang pula guna mengangkat martabat mereka, sebagai
jaminan suksesnya dakwah agama ini, suatu dakwah yang tidak mengenal paksaan,
melainkan dasarnya adalah kasih-sayang, dapat meyakinkan dan bertukar pikiran
dengan cara yang baik.
Tahun ini - 622 M - jemaah haji dari Yathrib
praktis jumlahnya banyak sekali, terdiri dari tujuhpuluh lima orang, tujuhpuluh
tiga pria dan dua wanita. Mengetahui kedatangan mereka ini, terpikir oleh
Muhammad akan mengadakan suatu ikrar lagi, tidak terbatas hanya pada seruan
kepada Islam seperti selama ini, yang selama tigabelas tahun ini terus-menerus
dilakukannya, dengan lemah-lembut, dengan segala kesabaran menang gung pelbagai
macam pengorbanan dan kesakitan - melainkan kini lebih jauh lagi dari itu. Ikrar
itu hendaknya menjadi suatu pakta persekutuan, yang dengan demikian kaum
Muslimin dapat mempertahankan diri: pukulan dibalas dengan pukulan, serangan
dengan serangan. Muhammad lalu mengadakan pertemuan rahasia dengan
pemimpin-pemimpin mereka.
Setelah ada kesediaan mereka, dijanjikannya
pertemuan itu akan diadakan di ‘Aqaba pada tengah malam pada hari-hari
Tasyriq.3 Peristiwa ini oleh Muslimin Yathrib tetap dirahasiakan dari kaum
musyrik yang datang bersama-sama mereka. Menunggu sampai lewat sepertiga malam
dari janji mereka dengan Nabi, mereka keluar meninggalkan kemah, pergi
mengendap-endap seperti burung ayam-ayam, sembunyi-sembunyi jangan sampai
rahasia itu terbongkar.
Sesampai mereka di gunung ‘Aqaba, mereka semua
memanjati lereng-lereng gunung tersebut, demikian juga kedua wanita itu. Mereka
tinggal di tempat ini menunggu kedatangan Rasul.
Kemudian Muhammad pun
datang, bersama pamannya ‘Abbas b. Abd’l-Muttalib - yang pada waktu itu masih
menganut kepercayaan golongannya sendiri. Akan tetapi sejak sebelum itu ia sudah
mengetahui dari kemenakannya ini akan adanya suatu pakta persekutuan; dan
adakalanya hal ini dapat mengakibatkan perang. Disebutkan juga, bahwa dia sudah
mengadakan perjanjian dengan Keluarga Muttalib dan Keluarga Hasyim untuk
melindungi Muhammad. Maka dimintanya ketegasan kemanakannya itu dan ketegasan
golongannya sendiri, supaya jangan kelak timbul bencana yang akan menimpa
Keluarga Hasyim dan Keluarga Muttalib, dan dengan demikian berarti orang-orang
Yathrib itu akan kehilangan pembela. Atas dasar itulah, maka ‘Abbas yang pertama
kali bicara.
“Saudara-saudara dari Khazraj!” kata ‘Abbas. “Posisi
Muhammad di tengah-tengah kami sudah sama-sama tuan-tuan ketahui. Kami dan
mereka yang sepaham dengan kami telah melindunginya dari gangguan masyarakat
kami sendiri. Dia adalah orang yang terhormat di kalangan masyarakatnya dan
mempunyai kekuatan di negerinya sendiri. Tetapi dia ingin bergabung dengan
tuan-tuan juga. Jadi kalau memang tuan-tuan merasa dapat menepati janji seperti
yang tuan-tuan berikan kepadanya itu dan dapat melindunginya dari mereka yang
menentangnya, maka silakanlah tuan-tuan laksanakan. Akan tetapi, kalau tuan-tuan
akan menyerahkan dia dan membiarkannya terlantar sesudah berada di tempat
tuan-tuan, maka dari sekarang lebih baik tinggalkan sajalah.”
Setelah
mendengar keterangan ‘Abbas pihak Yathrib menjawab: “Sudah kami dengar apa yang
tuan katakan. Sekarang silakan Rasulullah bicara. Kemukakanlah apa yang tuan
senangi dan disenangi Tuhan.”
Setelah membacakan ayat-ayat Qur’an dan
memberi semangat Islam, Muhammad menjawab:
“Saya minta ikrar tuan-tuan
akan membela saya seperti membela isteri-isteri dan anak-anak tuan-tuan
sendiri.”
Ketika itu Al-Bara’ b. Ma’rur hadir. Dia seorang pemimpin
masyarakat dan yang tertua di antara mereka. Sejak ikrar ‘Aqaba pertama ia sudah
Islam, dan menjalankan semua kewajiban agama, kecuali dalam sembahyang ia
berkiblat ke Ka’bah, sedang Muhammad dan seluruh kaum Muslimin waktu itu masih
berkiblat ke al-Masjid’l-Aqsha. Oleh karena ia berselisih pendapat dengan
masyarakatnya sendiri, begitu mereka sampai di Mekah segera mereka minta
pertimbangan Nabi. Muhammad melarang Al-Bara’ berkiblat ke
Ka’bah.
Setelah tadi Muhammad minta kepada Muslimin Yathrib supaya
membelanya seperti mereka membela isteri dan anak-anak mereka sendiri, Al-Bara’
segera mengulurkan tangan menyatakan ikrarnya seraya berkata: “Rasulullah, kami
sudah berikrar. Kami adalah orang peperangan dan ahli bertempur yang sudah kami
warisi dari leluhur kami.”
Tetapi sebelum Al-Bara’ selesai bicara,
Abu’l-Haitham ibn’t-Tayyihan datang menyela:
“Rasulullah, kami dengan
orang-orang itu - yakni orang-orang Yahudi - terikat oleh perjanjian, yang sudah
akan kami putuskan. Tetapi apa jadinya kalau kami lakukan ini lalu kelak Tuhan
memberikan kemenangan kepada tuan, tuan akan kembali kepada masyarakat tuan dan
meninggalkan kami?”
Muhammad tersenyum, dan katanya: “Tidak, saya sehidup
semati dengan tuan-tuan. Tuan-tuan adalah saya dan saya adalah tuan-tuan. Saya
akan memerangi siapa saja yang tuan-tuan perangi, dan saya akan berdamai dengan
siapa saja yang tuan-tuan ajak berdamai.”
Tatkala mereka siap akan
mengadakan ikrar itu, ‘Abbas b. ‘Ubada datang menyela dengan mengatakan:
“Saudara-saudara dari Khazraj. Untuk apakah kalian memberikan ikrar kepada orang
ini? Kamu menyatakan ikrar dengan dia tidak melakukan perang terhadap yang hitam
dan yang merah4 melawan orang-orang itu.5 Kalau tuan-tuan merasa,
bahwa jika harta benda tuan-tuan habis binasa dan pemuka-pemuka tuan-tuan mati
terbunuh, tuan-tuan akan menyerahkan dia (kepada musuh), maka (lebih baik) dari
sekarang tinggalkan saja dia. Kalaupun itu juga yang tuan-tuan lakukan, ini
adalah suatu perbuatan hina dunia akhirat. Sebaliknya, bila tuan-tuan memang
dapat menepati janji seperti yang tuan-tuan berikan kepadanya itu, sekalipun
harta-benda tuan-tuan akan habis dan bangsawan-bangsawan akan mati terbunuh,
maka silakan saja tuan-tuan terima dia. Itulah suatu perbuatan yang baik, dunia
akhirat.”
Orang ramai itu menjawab:
“Akan kami terima, sekalipun
harta-benda kami habis, bangsawan-bangsawan kami terbunuh. Tetapi, Rasulullah,
kalau dapat kami tepati semua ini, apa yang akan kami peroleh?”
“Surga,”
jawab Muhammad dengan tenang dan pasti.
Mereka lalu mengulurkan tangan
dan dia juga membentangkan tangannya. Ketika itu mereka menyatakan ikrar
kepadanya.
Selesai ikrar itu, Nabi berkata kepada
mereka:
“Pilihkan dua belas orang pemimpin dari kalangan tuan-tuan yang
akan menjadi penanggung-jawab masyarakatnya.”
Mereka lalu memilih
sembilan orang dari Khazraj dan tiga orang dari Aus. Kemudian kepada
pemimpin-pemimpin itu Nabi berkata:
“Tuan-tuan adalah penanggung-jawab
masyarakat tuan-tuan seperti pertanggung-jawaban pengikut-pengikut Isa bin
Mariam. Terhadap masyarakat saya, sayalah yang bertanggungjawab.”
Dalam
ikrar kedua ini mereka berkata:
“Kami berikrar mendengar dan setia di
waktu suka dan duka, di waktu bahagia dan sengsara, kami hanya akan berkata yang
benar di mana saja kami berada, dan kami tidak takut kritik siapapun atas jalan
Allah ini.”
Peristiwa ini selesai pada tengah malam di celah gunung
‘Aqaba, jauh dari masyarakat ramai, atas dasar kepercayaan, bahwa hanya Allah
Yang mengetahui keadaan mereka. Akan tetapi, begitu peristiwa itu selesai,
tiba-tiba mereka mendengar ada suara berteriak yang ditujukan kepada Quraisy:
“Muhammad dan orang-orang yang pindah kepercayaan itu sudah berkumpul akan
memerangi kamu!”
Suara itu datangnya dari seseorang yang keluar untuk
urusannya sendiri. Mengetahui keadaan mereka itu sedikit dengan melalui
pendengarannya yang selintas, ia lalu bermaksud hendak mengacaukan rencana itu
dan mau menanamkan kegelisahan dalam hati mereka, bahwa rencana mereka malam itu
diketahui. Akan tetapi pihak Khazraj dan Aus tetap pada janji mereka. Bahkan
‘Abbas b. ‘Ubada - setelah mendengar suara simata-mata itu - berkata kepada
Muhammad:
“Demi Allah Yang telah mengutus tuan atas dasar kebenaran,
kalau sekiranya tuan sudi, penduduk Mina itu besok akan kami habiskan dengan
pedang kami.”
Ketika itu Muhammad menjawab:
“Kami tidak
diperintahkan untuk itu. Kembalilah ke kemah tuan-tuan.”
Merekapun
kembali ke tempat mereka bermalam, lalu tidur. Keesokan harinya pagi-pagi baru
mereka bangun.
Akan tetapi pagi itu juga Quraisy sudah mengetahui berita
adanya ikrar itu. Mereka terkejut sekali. Pagi itu pemuka-pemuka Quraisy
mendatangi Khazraj di tempatnya masing-masing. Mereka menyesalkan Khazraj dan
mengatakan, bahwa mereka tidak ingin berperang dengan Khazraj. Tetapi kenapa mau
bersekutu dengan Muhammad memerangi mereka. Ketika itu juga orang-orang musyrik
dari kalangan Khazraj bersumpah-sumpah bahwa hal semacam itu tidak ada sama
sekali. Sedang Muslimin malah diam saja setelah dilihatnya Quraisy lagaknya akan
mempercayai keterangan orang-orang yang seagama dengan mereka
itu.
Sekarang Quraisy kembali tanpa dapat mengiakan atau meniadakan
berita tersebut. Tetapi mereka terus menyelidiki, kalau-kalau dapat
mengungkapkan keadaan yang sebenarnya. Sementara itu orang-orang Yathrib sudah
mengangkat perbekalan mereka dan kembali menuju negeri mereka sebelum pihak
Quraisy mengetahui benar apa yang mereka lakukan itu.
Setelah kemudian
Quraisy mengetahui, bahwa berita itu memang benar, mereka berangkat mencari
orang-orang Yathrib itu. Tetapi sudah tak ada lagi yang akan dapat mereka jumpai
selain Sa’d b. ‘Ubada, yang lalu diambil dan dibawanya ke Mekah. Ia disiksa.
Tetapi kemudian Jubair b. Mut’im b. ‘Adi dan al-Harith b. Umayya datang
menolongnya. Dulu orang ini pernah menolong mereka ketika mereka dalam
perjalanan perdagangan ke Syam lewat Yathrib.
Kalau begitu kekuatiran
Quraisy kiranya tidak berlebih-lebihan, begitu juga dalam mengejar jejak mereka
yang telah ikrar kepada Muhammad akan memerangi mereka itu. Mereka telah
mengenalnya selama tigabelas tahun terus-menerus, sejak permulaan kenabiannya.
Mereka sudah berusaha mati-matian melancarkan perang pasif itu kepadanya, dan
masing-masing sudah pula menghadapinya. Mereka mengetahui itu adalah karena
keyakinannya kepada Tuhan, karena teguhnya ia berpegang pada ajaran yang benar.
Ia sudah tak dapat dilunakkan dan tak dapat pula dibujuk. Ia tak pernah gentar
menghadapi gangguan, menghadapi siksaan, menghadapi pembunuhan. Sesudah ia dan
pengikut-pengikutnya disakiti dengan pelbagai macam gangguan, sesudah ia
dikepung di celah-celah bukit, seluruh penduduk Mekah diteror dengan
bermacam-macam ketakutan supaya jangan jadi pengikutnya, terbayang oleh Quraisy
bahwa mereka sudah hampir mengalahkannya, kegiatannya hanya akan terbatas dalam
lingkaran sempit pengikut-pengikutnya yang masih berpegang pada agama itu saja.
Dia dan sahabat-sahabatnya tidak lama lagi sudah akan jemu dalam pengasingan,
dan akan kembali tunduk menyerah di bawah kekuasaan mereka.
Tetapi
sekarang, dengan adanya perjanjian persekutuan baru ini, pintu harapan akan
menang jadi terbuka didepan Muhammad dan pengikut-pengikutnya. Setidak-tidaknya
harapan kebebasan menyebarkan agama, serta menyerang berhala-berhala dan
penyembah-penyembahnya. Siapa tahu apa yang akan terjadi kelak terhadap
masyarakat seluruh jazirah Arab itu, bila sudah mendapat bantuan Yathrib berikut
Aus dan Khazrajnya, dan sesudah mendapat perlindungan dari serangan musuh,
disertai adanya kebebasan melakukan upacara agama serta mengajak pihak lain
turut bergabung. Kalau Quraisy tidak dapat mengikis gerakan ini di tanah tumpah
darahnya sendiri maka kekuatiran mereka pada hari kemudiannya tetap selalu
membayang, dan kemenangan Muhammad terhadap mereka masih tetap menggelisahkan
mereka.
Oleh karena itu sungguh-sungguh mereka memikirkan apa yang harus
mereka lakukan guna menggagalkan usaha Muhammad itu, serta menghancurkan gerakan
barunya. Demikian juga dia sendiri tidak kurang dari Quraisy dalam memikirkan
hal ini. Pintu yang telah dibukakan Tuhan di hadapannya itu ialah pintu
kehormatan bagi agama Allah, pintu yang akan memberi tempat pada arti kebenaran.
Perjuangan yang sekarang berkecamuk antara dia dengan pihak Quraisy, adalah
suatu peristiwa yang paling hebat terjadi sejak masa kerasulannya, yakni suatu
perjuangan hidup atau mati bagi kedua belah pihak. Sudah tentu, kemenangan itu
ada pada pihak yang benar. Keputusannya sudah bulat. Bolehlah ia minta pertolong
an Tuhan. Biarlah, segala tipu-daya yang sudah dilakukan Quraisy itu akan
bersifat lebih menghina mereka sendiri melebihi yang sudah-sudah. Ia akan terus
maju, tapi dengan sikap bijaksana, tenang dan hati-hati. Masalahnya adalah
masalah kecekatan politik dan kecerdikan seorang pemimpin yang
saksama.
Dimintanya sahabat-sahabatnya supaya menyusul kaum Anshar ke
Yathrib. Hanya saja dalam meninggalkan Mekah hendaknya mereka terpencar-pencar,
supaya jangan sampai menimbulkan kepanikan pihak Quraisy terhadap
mereka.
Mulailah kaum Muslimin melakukan hijrah secara sendiri-sendiri
atau kelompok-kelompok kecil. Akan tetapi hal itu rupanya sudah diketahui oleh
pihak Quraisy. Mereka segera bertindak, berusaha mengembalikan yang masih dapat
dikembalikan itu ke Mekah untuk kemudian dibujuk supaya kembali kepada
kepercayaan mereka, kalau tidak akan disiksa dan dianiaya. Sampai-sampai
tindakan itu ialah dengan cara memisahkan suami dari isteri; kalau si isteri
dari pihak Quraisy ia tidak dibolehkan pergi ikut suami. Yang tidak menurut,
isterinya yang masih dapat mereka kurung, dikurung.
Akan tetapi mereka
takkan dapat berbuat lebih dari itu. Mereka kuatir akan pecah perang saudara
antar-kabilah jika mereka mencoba membunuh salah seorang dari kabilah
itu.
Berturut-turut kaum Muslimin hijrah ke Yathrib, sedang Muhammad
tetap berada di posnya. Tak ada orang yang mengetahui, dia akan tetap tinggal di
tempatnya itu atau sudah mengambil keputusan akan hijrah juga. Dahulu juga
mereka tidak mengetahui, ketika sahabat-sahabatnya diijinkan hijrah ke Abisinia,
sedang dia sendiri tetap di Mekah menyerukan anggota-anggota keluarganya yang
lain ke dalam Islam. Bahkan Abu Bakrpun, ketika minta ijin akan turut hijrah ke
Yathrib, ia hanya berkata: “Jangan tergesa-gesa; kalau-kalau Tuhan menyertakan
seorang kawan.” Dan tidak lebih dari itu.
Sungguhpun begitu pihak Quraisy
sendiri sudah seribu kali memperhitungkan hijrah Nabi ke Yahtrib itu. Jumlah
kaum Muslimin di sana sudah begitu banyak sehingga hampir-hampir mereka itu
menjadi pihak yang menentukan. Sekarang datang pula mereka yang hijrah dari
Mekah menggabungkan diri, sehingga mereka jadi bertambah kuat juga adanya. Dalam
pada itu, apabila Muhammad - orang yang sudah mereka kenal berpendirian teguh
dengan pendapatnya yang tepat dan berpandangan jauh - sampai menyusul ke
Yathrib, mereka kuatir penduduk Yathrib itu kelak akan menyerbu Mekah, atau akan
menutup jalur perjalanan perdagangan mereka ke Syam atau akan membuat mereka
mati kelaparan seperti yang pernah mereka lakukan dulu terhadap Muhammad dan
sahabat-sahabatnya tatkala mereka membuat piagam pemboikotan dan memaksa mereka
tinggal di celah-celah gunung selama tigapuluh bulan.
Apabila Muhammad
masih tinggal di Mekah dan berusaha akan meninggalkan tempat itu, maka mereka
masih merasa terancam oleh adanya tindakan pihak Yathrib dalam membela Nabi dan
Rasul. Jadi tak ada jalan keluar bagi mereka selain dengan membunuhya. Dengan
begitu mereka lepas dari malapetaka yang terus-menerus itu. Tetapi kalau juga
mereka membunuhnya, tentu Keluarga Hasyim dan Keluarga Muttalib akan menuntut
balas. Maka pecahlah perang saudara di Mekah, dan suatu bencana yang sangat
mereka takuti juga akan datang dari pihak Yathrib.
Sekarang mereka
mengadakan pertemuan di Dar’n-Nadwa membahas semua persoalan itu serta cara-cara
pencegahannya. Salah seorang dari mereka mengusulkan:
“Masukkan dia dalam
kurungan besi dan tutup pintunya rapat-rapat kemudian awasi biar dia mengalami
nasib seperti penyair-penyair semacamnya sebelum dia; seperti Zuhair dan
Nabigha.”
Tetapi pendapat ini tidak mendapat suara.
“Kita
keluarkan dia dari lingkungan kita, kita buang dari negeri kita. Sesudah itu
tidak perlu kita pedulikan lagi urusannya,” demikian terdengar suara yang lain.
Tetapi mereka kuatir ia akan terus menyusul ke Medinah dan apa yang mereka
takuti justru akan menimpa mereka.
Akhirnya mereka memutuskan, dari
setiap kabilah akan diambil seorang pemuda yang tegap, dan setiap pemuda itu
akan dipersenjatai dengan sebilah pedang yang tajam, yang secara bersama-sama
sekaligus mereka akan menghantamnya, dan darahnya dapat dipencarkan
antar-kabilah. Dengan demikian Banu ‘Abd Manaf takkan dapat memerangi mereka
semua. Mereka akan menebus darah itu kemudian dengan harta. Maka terlepaslah
Quraisy dan orang yang membuat porak-poranda dan mencerai-beraikan
kabilah-kabilah mereka itu.
Mereka menyetujui pendapat ini dan merasa
cukup puas. Mereka mengadakan seleksi di kalangan pemuda-pemuda mereka. Mereka
menganggap bahwa soal Muhammad akan sudah selesai. Beberapa hari lagi ia akan
terkubur habis ke dalam tanah, bersama ajarannya, dan mereka yang sudah hijrah
ke Yathrib akan kembali ke tengah-tengah masyarakat, akan kembali kepada
kepercayaan dan kepada dewa-dewa mereka. Quraisy dan negeri Arab yang sudah
dipecah-belah, kedudukannya yang sudah mulai lemah, dengan demikian akan kembali
bersatu.
Catatan kaki:
3 Hari-hari Tasyriq ialah tiga hari berturut-turut
setelah hari Raya Kurban (lebaran Haji) (A).
4 Yakni berperang habis-habisan melawan
semua orang (A).
5 Yakni Quraisy (A).
RENCANA Quraisy akan membunuh Muhammad pada malam hari, karena dikuatirkan ia akan hijrah ke Medinah dan memperkuat diri di sana serta segala bencana yang mungkin menimpa Mekah dan menimpa perdagangan mereka dengan Syam sebagai akibatnya, beritanya sudah sampai kepada Muhammad. Memang tak ada orang yang menyangsikan, bahwa Muhammad akan menggunakan kesempatan itu untuk hijrah. Akan tetapi, karena begitu kuat ia dapat menyimpan rahasia itu, sehingga tiada seorangpun yang mengetahui, juga Abu Bakr, orang yang pernah menyiapkan dua ekor unta kendaraan tatkala ia meminta ijin kepada Nabi akan hijrah, yang lalu ditangguhkan, hanya sedikit mengetahui soalnya. Muhammad sendiri memang masih tinggal di Mekah ketika ia sudah mengetahui keadaan Quraisy itu dan ketika kaum Muslimin sudah tak ada lagi yang tinggal kecuali sebagian kecil. Dalam ia menantikan perintah Tuhan yang akan mewahyukan kepadanya supaya hijrah, ketika itulah ia pergi ke rumah Abu Bakr dan memberitahukan, bahwa Allah telah mengijinkan ia hijrah. Dimintanya Abu Bakr supaya menemaninya dalam hijrahnya itu, yang lalu diterima baik oleh Abu Bakr.
Di sinilah dimulainya kisah
yang paling cemerlang dan indah yang pernah dikenal manusia dalam sejarah
pengejaran yang penuh bahaya, demi kebenaran, keyakinan dan iman. Sebelum itu
Abu Bakr memang sudah menyiapkan dua ekor untanya yang diserahkan
pemeliharaannya kepada Abdullah b. Uraiqiz sampai nanti tiba waktunya
diperlukan. Tatkala kedua orang itu sudah siap-siap akan meninggalkan Mekah
mereka sudah yakin sekali, bahwa Quraisy pasti akan membuntuti mereka. Oleh
karena itu Muhammad memutuskan akan menempuh jalan lain dari yang biasa, Juga
akan berangkat bukan pada waktu yang biasa.
Pemuda-pemuda yang sudah
disiapkan Quraisy untuk membunuhnya malam itu sudah mengepung rumahnya, karena
dikuatirkan ia akan lari. Pada malam akan hijrah itu pula Muhammad membisikkan
kepada Ali b. Abi Talib supaya memakai mantelnya yang hijau dari Hadzramaut dan
supaya berbaring di tempat tidurnya. Dimintanya supaya sepeninggalnya nanti ia
tinggal dulu di Mekah menyelesaikan barang-barang amanat orang yang dititipkan
kepadanya. Dalam pada itu pemuda-pemuda yang sudah disiapkan Quraisy, dari
sebuah celah mengintip ke tempat tidur Nabi. Mereka melihat ada sesosok tubuh di
tempat tidur itu dan merekapun puas bahwa dia belum lari.
Tetapi,
menjelang larut malam waktu itu, dengan tidak setahu mereka Muhammad sudah
keluar menuju ke rumah Abu Bakr. Kedua orang itu kemudian keluar dari jendela
pintu belakang, dan terus bertolak ke arah selatan menuju gua Thaur. Bahwa
tujuan kedua orang itu melalui jalan sebelah kanan adalah di luar
dugaan.
Tiada seorang yang mengetahui tempat persembunyian mereka dalam
gua itu selain Abdullah b. Abu Bakr, dan kedua orang puterinya Aisyah dan Asma,
serta pembantu mereka ‘Amir b. Fuhaira. Tugas Abdullah hari-hari berada di
tengah-tengah Quraisy sambil mendengar-dengarkan permufakatan mereka terhadap
Muhammad, yang pada malam harinya kemudian disampaikannya kepada Nabi dan kepada
ayahnya. Sedang ‘Amir tugasnya menggembalakan kambing Abu Bakr’ sorenya
diistirahatkan, kemudian mereka memerah susu dan menyiapkan daging. Apabila
Abdullah b. Abi Bakr keluar kembali dari tempat mereka, datang ‘Amir
mengikutinya dengan kambingnya guna menghapus jejaknya.
Kedua orang itu
tinggal dalam gua selama tiga hari. Sementara itu pihak Quraisy berusaha
sungguh-sungguh mencari mereka tanpa mengenal lelah. Betapa tidak. Mereka
melihat bahaya sangat mengancam mereka kalau mereka tidak berhasil menyusul
Muhammad dan mencegahnya berhubungan dengan pihak Yathrib. Selama kedua orang
itu berada dalam gua, tiada hentinya Muhammad menyebut nama Allah. KepadaNya ia
menyerahkan nasibnya itu dan memang kepadaNya pula segala persoalan akan
kembali. Dalam pada itu Abu Bakr memasang telinga. Ia ingin mengetahui adakah
orang-orang yang sedang mengikuti jejak mereka itu sudah berhasil
juga.
Kemudian pemuda-pemuda Quraisy - yang dari setiap kelompok di ambil
seorang itu - datang. Mereka membawa pedang dan tongkat sambil mundar-mandir
mencari ke segenap penjuru. Tidak jauh dari gua Thaur itu mereka bertemu dengan
seorang gembala, yang lalu ditanya.
“Mungkin saja mereka dalam gua itu,
tapi saya tidak melihat ada orang yang menuju ke sana.”
Ketika mendengar
jawaban gembala itu Abu Bakr keringatan. Kuatir ia, mereka akan menyerbu ke
dalam gua. Dia menahan napas tidak bergerak, dan hanya menyerahkan nasibnya
kepada Tuhan. Lalu orang-orang Quraisy datang menaiki gua itu, tapi kemudian ada
yang turun lagi.
“Kenapa kau tidak menjenguk ke dalam gua?” tanya
kawan-kawannya.
“Ada sarang laba-laba di tempat itu, yang memang sudah
ada sejak sebelum Muhammad lahir,” jawabnya. “Saya melihat ada dua ekor burung
dara hutan di lubang gua itu. Jadi saya mengetahui tak ada orang di
sana.”
Muhammad makin sungguh-sungguh berdoa dan Abu Bakr juga makin
ketakutan. Ia merapatkan diri kepada kawannya itu dan Muhammad berbisik di
telinganya:
“Jangan bersedih hati. Tuhan bersama kita.”
Dalam
buku-buku hadis ada juga sumber yang menyebutkan, bahwa setelah terasa oleh Abu
Bakr bahwa mereka yang mencari itu sudah mendekat ia berkata dengan
berbisik:
“Kalau mereka ada yang menengok ke bawah pasti akan melihat
kita.”
“Abu Bakr, kalau kau menduga bahwa kita hanya berdua, ketiganya
adalah Tuhan,” kata Muhammad.
Orang-orang Quraisy makin yakin bahwa dalam
gua itu tak ada manusia tatkala dilihatnya ada cabang pohon yang terkulai di
mulut gua. Tak ada jalan orang akan dapat masuk ke dalamnya tanpa menghalau
dahan-dahan itu. Ketika itulah mereka lalu surut kembali. Kedua orang
bersembunyi itu mendengar seruan mereka supaya kembali ke tempat semula.
Kepercayaan dan iman Abu Bakr bertambah besar kepada Allah dan kepada
Rasul.
“Alhamdulillah, Allahuakbar!” kata Muhammad
kemudian.
Sarang laba-laba, dua ekor burung dara dan pohon. Inilah
mujizat yang diceritakan oleh buku-buku sejarah hidup Nabi mengenai masalah
persembunyian dalam gua Thaur itu. Dan pokok mujizatnya ialah karena segalanya
itu tadinya tidak ada. Tetapi sesudah Nabi dan sahabatnya bersembunyi dalam gua,
maka cepat-cepatlah laba-laba menganyam sarangnya guna menutup orang yang dalam
gua itu dari penglihatan. Dua ekor burung dara datang pula lalu bertelur di
jalan masuk. Sebatang pohonpun tumbuh di tempat yang tadinya belum ditumbuhi.
Sehubungan dengan mujizat ini Dermenghem mengatakan:
“Tiga peristiwa itu
sajalah mujizat yang diceritakan oleh sejarah Islam yang benar-benar: sarang
laba-laba, hinggapnya burung dara dan tumbuhnya pohon-pohonan. Dan ketiga
keajaiban ini setiap hari persamaannya selalu ada di muka bumi.”
Akan
tetapi mujizat begini ini tidak disebutkan dalam Sirat Ibn Hisyam ketika
menyinggung cerita gua itu. Paling banyak oleh ahli sejarah ini disebutkan
sebagai berikut:
“Mereka berdua menuju ke sebuah gua di Gunung Thaur
sebuah gunung di bawah Mekah - lalu masuk ke dalamnya. Abu Bakr meminta anaknya
Abdullah supaya mendengar-dengarkan apa yang dikatakan orang tentang mereka itu
siang hari, lalu sorenya supaya kembali membawakan berita yang terjadi hari itu.
Sedang ‘Amir b. Fuhaira supaya menggembalakan kambingnya siang hari dan
diistirahatkan kembali bila sorenya ia kembali ke dalam gua. Ketika itu, bila
hari sudah sore Asma, datang membawakan makanan yang cocok buat mereka ...
Rasulullah s.a.w. tinggal dalam gua selama tiga hari tiga malam. Ketika ia
menghilang Quraisy menyediakan seratus ekor unta bagi barangsiapa yang dapat
mengembalikannya kepada mereka. Sedang Abdullah b. Abi Bakr siangnya berada di
tengah-tengah Quraisy mendengarkan permufakatan mereka dan apa yang mereka
percakapkan tentang Rasulullah s.aw. dan Abu Bakr, sorenya ia kembali dan
menyampaikan berita itu kepada mereka.
‘Amir b. Fuhaira - pembantu Abu
Bakr - waktu itu menggembalakan ternaknya di tengah-tengah para gembala Mekah,
sorenya kambing Abu Bakr itu diistirahatkan, lalu mereka memerah susu dan
menyiapkan daging. Kalau paginya Abdullah b. Abi Bakr bertolak dari tempat itu
ke Mekah, ‘Amir b. Fuhaira mengikuti jejaknya dengan membawa kambing supaya
jejak itu terhapus. Sesudah berlalu tiga hari dan orangpun mulai tenang, aman
mereka, orang yang disewa datang membawa unta kedua orang itu serta untanya
sendiri... dan seterusnya.”
Demikian Ibn Hisyam menerangkan mengenai
cerita gua itu yang kami nukilkan sampai pada waktu Muhammad dan sahabatnya
keluar dari sana.
Tentang pengejaran Quraisy terhadap Muhammad untuk
dibunuh itu serta tentang cerita gua ini datang firman Tuhan demikian:
“Ingatlah tatkala orang-orang
kafir (Quraisy) itu berkomplot membuat rencana terhadap kau, hendak menangkap
kau, atau membunuh kau, atau mengusir kau. Mereka membuat rencana dan Allah
membuat rencana pula. Allah adalah Perencana terbaik.” (Qur’an, 8: 30)
“Kalau kamu tak dapat
menolongnya, maka Allah juga Yang telah menolongnya tatkala dia diusir oleh
orang-orang kafir (Quraisy). Dia salah seorang dari dua orang itu, ketika
keduanya berada dalam gua. Waktu itu ia berkata kepada temannya itu: ‘Jangan
bersedih hati, Tuhan bersama kita!’ Maka Tuhan lalu memberikan ketenangan
kepadanya dan dikuatkanNya dengan pasukan yang tidak kamu lihat. Dan Allah
menjadikan seruan orang-orang kafir itu juga yang rendah dan kalam Allah itulah
yang tinggi. Dan Allah Maha Kuasa dan Bijaksana.” (Qur’an, 9: 40)
Pada hari
ketiga, bila mereka berdua sudah mengetahui, bahwa orang sudah tenang kembali
mengenai diri mereka, orang yang disewa tadi datang membawakan unta kedua orang
itu serta untanya sendiri. Juga Asma, puteri Abu Bakr datang membawakan makanan.
Oleh karena ketika mereka akan berangkat tak ada sesuatu yang dapat dipakai
menggantungkan makanan dan minuman pada pelana barang, Asma, merobek ikat
pinggangnya lalu sebelahnya dipakai menggantungkan makanan dan yang sebelah lagi
diikatkan. Karena itu ia lalu diberi nama “dhat’n-nitaqain” (yang bersabuk
dua).
Mereka berangkat. Setiap orang mengendarai untanya sendiri-sendiri
dengan membawa bekal makanan. Abu Bakr membawa limaribu dirham dan itu adalah
seluruh hartanya yang ada. Mereka bersembunyi dalam gua itu begitu ketat. Karena
mereka mengetahui pihak Quraisy sangat gigih dan hati-hati sekali membuntuti,
maka dalam perjalanan ke Yathrib itu mereka mengambil jalan yang tidak biasa
ditempuh orang. Abdullah b. ‘Uraiqit - dari Banu Du’il - sebagai penunjuk jalan,
membawa mereka hati-hati sekali ke arah selatan di bawahan Mekah, kemudian
menuju Tihama di dekat pantai Laut Merah. Oleh karena mereka melalui jalan yang
tidak biasa ditempuh orang, di bawanya mereka ke sebelah utara di seberang
pantai itu, dengan agak menjauhinya, mengambil jalan yang paling sedikit dilalui
orang.
Kedua orang itu beserta penunjuk jalannya sepanjang malam dan di
waktu siang berada di atas kendaraan. Tidak lagi mereka pedulikan kesulitan,
tidak lagi mereka mengenal lelah. Ya, kesulitan mana yang lebih mereka takuti
daripada tindakan Quraisy yang akan merintangi mereka mencapai tujuan yang
hendak mereka capai demi jalan Allah dan kebenaran itu! Memang, Muhammad sendiri
tidak pernah mengalami kesangsian, bahwa Tuhan akan menolongnya, tetapi “jangan
kamu mencampakkan diri ke dalam bencana.” Allah menolong hambaNya selama hamba
menolong dirinya dan menolong sesamanya. Mereka telah melangkah dengan selamat
selama dalam gua.
Akan tetapi apa yang dilakukan Quraisy bagi barangsiapa
yang dapat mengembalikan mereka berdua atau dapat menunjukkan tempat mereka,
wajar sekali akan menarik hati orang yang hanya tertarik pada hasil materi
meskipun akan diperoleh dengan jalan kejahatan. Apalagi jika kita ingat
orang-orang Arab Quraisy itu memang sudah menganggap Muhammad musuh mereka.
Dalam jiwa mereka terdapat suatu watak tipu-muslihat, bahwa membunuh orang yang
tidak bersenjata dan menyerang pihak yang tak dapat mempertahankan diri, bukan
suatu hal yang hina. Jadi, dua orang itu harus benar-benar waspada, harus
membuka mata, memasang telinga dan penuh kesadaran selalu.
Dugaan kedua
orang itu tidak meleset. Sudah ada orang yang datang kepada Quraisy membawa
kabar, bahwa ia melihat serombongan kendaraan unta terdiri dari tiga orang
lewat.
Mereka yakin itu
adalah Muhammad dan beberapa orang sahabatnya. Waktu itu Suraqa b. Malik b.
Ju’syum hadir.
“Ah, mereka itu Keluarga sianu,” katanya dengan maksud
mengelabui orang itu, sebab dia sendiri ingin memperoleh hadiah seratus ekor
unta. Sebentar ia masih tinggal bersama orang-orang itu. Tetapi kemudian ia
segera pulang ke rumahnya. Disiapkannya senjatanya dan disuruhnya orang
membawakan kudanya ke tengah-tengah wadi supaya waktu ia keluar nanti tidak
dilihat orang. Selanjutnya dikendarainya kudanya dan dipacunya ke arah yang
disebutkan orang itu tadi.
Sementara itu Muhammad dan kedua temannya
sudah mengaso di bawah naungan sebuah batu besar, sekadar beristirahat dan
menghilangkan rasa lelah sambil makan-makan dan minum, dan sekadar mengembalikan
tenaga dan kekuatan baru.
Matahari sudah mulai bergelincir, Muhammad dan
Abu Bakr pun sudah pula mulai memikirkan akan menaiki untanya mengingat bahwa
jaraknya dengan Suraqa sudah makin dekat. Dan sebelum itu kuda Suraqa sudah dua
kali tersungkur karena terlampau dikerahkan. Tetapi setelah penunggang kuda itu
melihat bahwa ia sudah hampir berhasil dan menyusul kedua orang itu - lalu akan
membawa mereka kembali ke Mekah atau membunuh mereka bila mencoba membela diri -
ia lupa kudanya yang sudah dua kali tersungkur itu, karena saat kemenangan
rasanya sudah di tangan. Akan tetapi kuda itu tersungkur sekali lagi dengan
keras sekali, sehingga penunggangnya terpelanting dari punggung binatang itu dan
jatuh terhuyung-huyung dengan senjatanya. Lalu diramalkan oleh Suraqa bahwa itu
suatu alamat buruk dan dia percaya bahwa sangdewa telah melarangnya mengejar
sasarannya itu dan bahwa dia akan berada dalam bahaya besarapabila sampai
keempat kalinya ia terus berusaha juga. Sampai di situ ia berhenti dan hanya
memanggil-manggil:
“Saya Suraqa bin Ju’syum! Tunggulah, saya mau bicara.
Demi Allah, tuan-tuan jangan menyangsikan saya. Saya tidak akan melakukan
sesuatu yang akan merugikan tuan-tuan.”
Setelah kedua orang itu berhenti
melihat kepadanya, dimintanya kepada Muhammad supaya menulis sepucuk surat
kepadanya sebagai bukti bagi kedua belah pihak. Dengan permintaan Nabi, Abu Bakr
lalu menulis surat itu di atas tulang atau tembikar yang lalu dilemparkannya
kepada Suraqa.
Setelah diambilnya oleh Suraqa surat itu ia kembali
pulang. Sekarang, bila ada orang mau mengejar Muhajir Besar itu olehnya
dikaburkan, sesudah tadinya ia sendiri yang mengejarnya.
Muhammad dan
kawannya itu kini berangkat lagi melalui pedalaman Tihama dalam panas terik yang
dibakar oleh pasir sahara. Mereka melintasi batu-batu karang dan lembah-lembah
curam. Dan sering pula mereka tidak mendapatkan sesuatu yang akan menaungi diri
mereka dari letupan panas tengah hari tak ada tempat berlindung dari kekerasan
alam yang ada di sekitarnya, tak ada keamanan dari apa yang mereka takuti atau
dari yang akan menyerbu mereka tiba-tiba, selain dari ketabahan hati dan iman
yang begitu mendalam kepada Tuhan. Keyakinan mereka besar sekali akan kebenaran
yang telah diberikan Tuhan kepada RasulNya itu.
Selama tujuh hari
terus-menerus mereka dalam keadaan serupa itu. Mengaso di bawah panas membara
musim kemarau dan berjalan lagi sepanjang malam mengarungi lautan padang pasir.
Hanya karena adanya ketenangan hati kepada Tuhan dan adanya kedip
bintang-bintang yang berkilauan dalam gelap malam itu, membuat hati dan perasaan
mereka terasa lebih aman.
Bilamana kedua orang itu sudah memasuki daerah
kabilah Banu Sahm dan datang pula Buraida kepala kabilah itu menyambut mereka,
barulah perasaan kuatir dalam hatinya mulai hilang. Yakin sekali mereka
pertolongan Tuhan itu ada.
Jarak mereka dengan Yathrib kini sudah dekat
sekali.
Selama mereka dalam perjalanan yang sungguh meletihkan itu,
berita-berita tentang hijrah Nabi dan sahabatnya yang akan menyusul kawan-kawan
yang lain, sudah tersiar di Yathrib. Penduduk kota ini sudah mengetahui, betapa
kedua orang ini mengalami kekerasan dari Quraisy yang terus-menerus membuntuti.
Oleh karena itu semua kaum Muslimin tetap tinggal di tempat itu menantikan
kedatangan Rasulullah dengan hati penuh rindu ingin melihatnya, ingin
mendengarkan tutur katanya. Banyak di antara mereka itu yang belum pernah
melihatnya, meskipun sudah mendengar tentang keadaannya dan mengetahui pesona
bahasanya serta keteguhan pendiriannya. Semua itu membuat mereka rindu sekali
ingin bertemu, ingin melihatnya. Orangpun sudah akan dapat mengira-ngirakan,
betapa dalamnya hati mereka itu terangsang tatkala mengetahui, bahwa orang-orang
terkemuka Yathrib yang sebelum itu belum pernah melihat Muhammad sudah menjadi
pengikutnya hanya karena mendengar dari sahabat-sahabatnya saja, kaum Muslimin
yang gigih melakukan dakwah Islam dan sangat mencintai Rasulullah
itu.
Sa’id b. Zurara dan Mush’ab b. ‘Umair sedang duduk-duduk dalam salah
sebuah kebun Banu Zafar. Beberapa orang yang sudah menganut Islam juga berkumpul
di sana. Berita ini kemudian sampai kepada Sa’d b. Mu’adh dan ‘Usaid b. Hudzair,
yang pada waktu itu merupakan pemimpin-pemimpin golongannya
masing-masing.
“Temui dua orang itu,” kata Said kepada ‘Usaid, “yang
datang ke daerah kita ini dengan maksud supaya orang-orang yang hina-dina di
kalangan kita dapat merendahkan keluarga kita. Tegur mereka itu dan cegah.
Sebenarnya Said b. Zurara itu masih sepupuku dari pihak ibu, jadi saya tidak
dapat mendatanginya.”
‘Usaidpun pergi menegur kedua orang itu. Tapi
Mush’ab menjawab:
“Maukah kau duduk dulu dan mendengarkan?” katanya.
“Kalau hal ini kau setujui dapatlah kauterima, tapi kalau tidak kausukai maukah
kau lepas tangan?”
“Adil kau,” kata ‘Usaid, seraya menancapkan tombaknya
di tanah. Ia duduk dengan mereka sambil mendengarkan keterangan Mush’ab, yang
ternyata sekarang ia sudah menjadi seorang Muslim. Bila ia kembali kepada Sa’d
wajahnya sudah tidak lagi seperti ketika berangkat. Hal ini membuat Sa’d jadi
marah. Dia sendiri lalu pergi menemui dua orang itu. Tetapi kenyataannya ia
seperti temannya juga.
Karena pengaruh kejadian itu Sa’d lalu pergi
menemui golongannya dan berkata kepada mereka:
“Hai Banu ‘Abd’l-Asyhal.
Apa yang kamu ketahui tentang diriku di tengah-tengah kamu
sekalian?”
“Pemimpin kami, yang paling dekat kepada kami, dengan
pandangan dan pengalaman yang terpuji,” jawab mereka.
“Maka kata-katamu,
baik wanita maupun pria bagiku adalah suci selama kamu beriman kepada Allah dan
RasulNya.”
Sejak itu seluruh suku ‘Abd’l-Asyhal, pria dan wanita masuk
Islam.
Tersebarnya Islam di Yathrib dan keberanian kaum Muslimin di kota
itu sebelum hijrah Nabi ke tempat tersebut sama sekali di luar dugaan kaum
Muslimin Mekah. Beberapa pemuda Muslimin dengan tidak ragu-ragu mempermainkan
berhala-berhala kaum musyrik di sana. Seseorang yang bernama ‘Amr bin’l-Jamuh
mempunyai sebuah patung berhala terbuat daripada kayu yang dinamainya Manat,
diletakkan di daerah lingkungannya seperti biasa dilakukan oleh kaum bangsawan.
‘Amr ini adalah seorang pemimpin Banu Salima dan dari kalangan bangsawan mereka
pula. Sesudah pemuda-pemuda golongannya itu masuk Islam malam-malam mereka
mendatangi berhala itu lalu di bawanya dan ditangkupkan kepalanya ke dalam
sebuah lubang yang oleh penduduk Yathrib biasa dipakai tempat buang
air.
Bila pagi-pagi berhala itu tidak ada ‘Amr mencarinya sampai
diketemukan lagi, kemudian dicucinya dan dibersihkan lalu diletakkannya kembali
di tempat semula, sambil ia menuduh-nuduh dan mengancam. Tetapi pemuda-pemuda
itu mengulangi lagi perbuatannya mempermainkan Manat ‘Amr itu, dan diapun setiap
hari mencuci dan membersihkannya. Setelah ia merasa kesal karenanya, diambilnya
pedangnya dan digantungkannya pada berhala itu seraya ia berkata: “Kalau kau
memang berguna, bertahanlah, dan ini pedang bersama kau.”
Tetapi keesokan
harinya ia sudah kehilangan lagi, dan baru diketemukannya kembali dalam sebuah
sumur tercampur dengan bangkai anjing. Pedangnya sudah tak ada
lagi.
Sesudah kemudian ia diajak bicara oleh beberapa orang pemuka-pemuka
masyarakatnya dan sesudah melihat dengan mata kepala sendiri betapa sesatnya
hidup dalam syirik dan paganisma itu, yang hakekatnya akan mencampakkan jiwa
manusia ke dalam jurang yang tak patut lagi bagi seorang manusia, iapun masuk
Islam.
Melihat Islam yang sudah mencapai martabat begitu tinggi di
Yathrib, akan mudah sekali orang menilai, betapa memuncaknya kerinduan penduduk
kota itu ingin menyambut kedatangan Muhammad, setelah mereka mengetahui ia sudah
hijrah dari Mekah. Setiap hari selesai sembahyang Subuh mereka pergi ke luar
kota menanti-nantikan kedatangannya sampai pada waktu matahari terbenam dalam
hari-hari musim panas bulan Juli.
Dalam pada itu ia sudah di Quba’ - dua
farsakh jauhnya dari Medinah. Empat hari ia tinggal di tempat itu, ditemani oleh
Abu Bakr. Selama masa empat hari itu mesjid Quba’ dibangunnya. Sementara itu
datang pula Ali b. Abi-Talib ke tempat itu setelah mengembalikan barang-barang
amanat - yang dititipkan kepada Muhammad - kepada pemilik-pemiliknya di Mekah.
Setelah itu ia sendiri meninggalkan Mekah, menempuh perjalanannya ke Yathrib
dengan berjalan kaki. Malam hari ia berjalan, siangnya bersembunyi. Perjuangan
yang sangat meletihkan itu ditanggungnya selama dua minggu penuh, yaitu untuk
menyusul saudara-saudaranya seagama.
Sementara kaum Muslimin Yathrib pada
suatu hari sedang menanti-nantikan seperti biasa tiba-tiba datang seorang Yahudi
yang sudah mengetahui apa yang sedang mereka lakukan itu berteriak kepada
mereka.
“Hai, Banu Qaila1 ini dia kawan kamu
datang!”
Hari itu adalah hari Jum’at dan Muhammad berjum’at di Medinah.
Di tempat itulah, ke dalam mesjid yang terletak di perut Wadi Ranuna itulah kaum
Muslimin datang, masing-masing berusaha ingin melihat serta mendekatinya. Mereka
ingin memuaskan hati terhadap orang yang selama ini belum pernah mereka lihat,
hati yang sudah penuh cinta dan rangkuman iman akan risalahnya, dan yang selalu
namanya disebut pada setiap kali sembahyang.
Orang-orang terkemuka di
Medinah menawarkan diri supaya ia tinggal pada mereka dengan segala persediaan
dan persiapan yang ada. Tetapi ia meminta maaf kepada mereka. Kembali ia ke atas
unta betinanya, dipasangnya tali keluannya, lalu ia berangkat melalui
jalan-jalan di Yathrib, di tengah-tengah kaum Muslimin yang ramai menyambutnya
dan memberikan jalan sepanjang jalan yang diliwatinya itu. Seluruh penduduk
Yathrib, baik Yahudi maupun orang-orang pagan menyaksikan adanya hidup baru yang
bersemarak dalam kota mereka itu, menyaksikan kehadiran seorang pendatang baru,
orang besar yang telah mempersatukan Aus dan Khazraj, yang selama itu saling
bermusuhan, saling berperang. Tidak terlintas dalam pikiran mereka - pada saat
ini, saat transisi sejarah yang akan menentukan tujuannya yang baru itu - akan
memberikan kemegahan dan kebesaran bagi kota mereka, dan yang akan tetap hidup
selama sejarah ini berkembang.
Dibiarkannya unta itu berjalan.
Sesampainya ke sebuah tempat penjemuran kurma kepunyaan dua orang anak yatim
dari Banu’n-Najjar, unta itu berlutut (berhenti). Ketika itulah Rasul turun dari
untanya dan bertanya:
“Kepunyaan siapa tempat ini?”
tanyanya.
“Kepunyaan Sahl dan Suhail b. ‘Amr,” jawab Ma’adh b. ‘Afra’.
Dia adalah wali kedua anak yatim itu. Ia akan membicarakan soal tersebut dengan
kedua anak itu supaya mereka puas. Dimintanya kepada Muhammad supaya di tempat
itu didirikan mesjid.
Muhammad mengabulkan permintaan tersebut dan
dimintanya pula supaya di tempat itu didirikan mesjid dan
tempat-tinggalnya.
Catatan kaki:
1 Aus dan Khazraj (A).
BERBONDONG-BONDONG penduduk Yathrib ke luar rumah hendak menyambut kedatangan Muhammad, pria dan wanita. Mereka berangkat setelah tersiar berita tentang hijrahnya, tentang Quraisy yang hendak membunuhnya, tentang ketabahannya menempuh panas yang begitu membakar dalam perjalanan yang sangat meletihkan, mengarungi bukit pasir dan batu karang di tengah-tengah dataran Tihama, yang justru memantulkan sinar matahari yang panas dan membakar itu. Mereka keluar karena terdorong ingin mengetahui sekitar berita tentang ajakannya yang sudah tersiar di seluruh jazirah. Ajakan ini juga yang sudah mengikis kepercayaan-kepercayaan lama yang diwarisi dari nenek-moyang mereka, yang sudah dianggap begitu suci.
[
Akan tetapi mereka keluar itu bukan disebabkan
oleh dua alasan ini saja, melainkan lebih jauh lagi, yakni karena orang yang
hijrah dari Mekah ini akan menetap di Yathrib. Setiap golongan, setiap kabilah
dari penduduk Yathrib, dari segi politik dan sosial dalam hal ini memberikan
efek yang bermacam-macam. Inilah yang lebih banyak mendorong mereka menyongsong
keluar, daripada sekedar ingin melihat orang ini. Juga mereka ingin mengetahui,
benarkah hal itu akan memperkuat dugaan mereka, ataukah mereka harus menarik
diri.
Oleh karena itu, sambutan orang-orang musyrik dan Yahudi atas
kedatangan Nabi tidak kurang daripada sambutan kaum Muslimin, baik dari
Muhajirin maupun dari kalangan Anshar. Mereka semua mengerumuninya. Sesuai
dengan perasaan yang berkecamuk dalam hati masing-masing terhadappendatang orang
besar itu, denyutan jantung merekapun tidak sama pula satu sama lain. Mereka
sama-sama mengikutinya tatkala ia melepaskan kekang untanya dan membiarkannya
berjalan sekehendaknya sendiri, dengan agak kurang teratur karena masing-masing
ingin memandang wajahnya. Semua ingin mengelilinginya dengan pandangan mata
tentang orang yang gambarnya sudah terlukis dalam jiwa masing-masing, tentang
orang yang telah membuat Ikrar Aqaba kedua, bersama-sama penduduk kota ini -
guna melakukan perang mati-matian terhadap Quraisy; orang yang telah hijrah
meninggalkan tanah airnya, berpisah dengan keluarganya dengan memikul segala
tekanan permusuhan dan tindakan kekerasan dari mereka selama tigabelas tahun
terus-menerus. Ini semua demi keyakinan tauhid kepada Allah, tauhid yang
dasarnya adalah merenungkan alam semesta ini serta mengungkapkan hakekat yang
ada dengan jalan itu.
Unta yang dinaiki Nabi alaihi ssalam berlutut di
tempat penjemuran kurma milik Sahl dan Suhail b. Amr. Kemudian tempat itu
dibelinya guna dipakai tempat membangun mesjid. Sementara tempat itu dibangun ia
tinggal pada keluarga Abu Ayyub Khalid b. Zaid al-Anshari. Dalam membangun
mesjid itu Muhammad juga turut bekerja dengan tangannya sendiri. Kaum Muslimin
dari kalangan Muhajirin dan Anshar ikut pula bersama-sama membangun. Selesai
mesjid itu dibangun, di sekitarnya dibangun pula tempat-tempat tinggal Rasul.
Baik pembangunan mesjid maupun tempat-tempat tinggal itu tidak sampai memaksa
seseorang, karena segalanya serba sederhana, disesuaikan dengan
petunjuk-petunjuk Muhammad.
Mesjid itu merupakan sebuah ruangan terbuka
yang luas, keempat temboknya dibuat daripada batu bata dan tanah. Atapnya
sebagian terdiri dari daun kurma dan yang sebagian lagi dibiarkan terbuka,
dengan salah satu bagian lagi digunakan tempat orang-orang fakir-miskin yang
tidak punya tempat-tinggal. Tidak ada penerangan dalam mesjid itu pada malam
hari. Hanya pada waktu salat Isya diadakan penerangan dengan membakar jerami.
Yang demikian ini berjalan selama sembilan tahun. Sesudah itu kemudian baru
mempergunakan lampu-lampu yang dipasang pada batang-batang kurma yang dijadikan
penopang atap itu. Sebenarnya tempat-tempat tinggal Nabi sendiri tidak lebih
mewah keadaannya daripada mesjid, meskipun memang sudah sepatutnya lebih
tertutup.
Selesai Muhammad membangun mesjid dan tempat-tinggal, ia pindah
dari rumah Abu Ayyub ke tempat ini. Sekarang terpikir olehnya akan adanya hidup
baru yang harus dimulai, yang telah membawanya dan membawa dakwahnya itu harus
menginjak langkah baru lebih lebar. Ia melihat adanya suku-suku yang saling
bertentangan dalam kota ini, yang oleh Mekah tidak dikenal. Tapi juga ia melihat
kabilah-kabilah dan suku-suku itu semuanya merindukan adanya suatu kehidupan
damai dan tenteram, jauh dari segala pertentangan dan kebencian, yang pada masa
lampau telah memecah-belah mereka. Kota ini akan membawa ketenteraman pada masa
yang akan datang, yang diharapkan akan lebih kaya dan lebih terpandang daripada
Mekah. Akan tetapi, bukanlah kekayaan dan kehormatan Yathrib itu yang menjadi
tujuan Muhammad yang pertama, sekalipun ini ada juga. Segala tujuan dan
daya-upaya, yang pertama dan yang terakhir, ialah meneruskan risalah, yang
penyampaiannya telah dipercayakan Tuhan kepadanya, dengan mengajak dan
memberikan peringatan. Akan tetapi, oleh penduduk Mekah sendiri, dengan cara
kekerasan risalah ini dilawan mati-matian, sejak dari awal kerasulannya sampai
Rada waktu hijrah. Karena takut akan penganiayaan dan tindakan kekerasan pihak
Quraisy, risalah dan iman itu tidak sampai memasuki setiap kalbu. Segala
penganiayaan dan tindakan kekerasan ini menjadi perintang antara iman dengan
kalbu manusia yang belum lagi menerima iman itu.
Baik kaum Muslimin
maupun yang lain seharusnya percaya, bahwa barangsiapa menerima pimpinan Tuhan
dan sudah masuk ke dalam agama Allah, akan terlindung ia dari gangguan; bagi
orang yang sudah beriman akan tambah kuat imannya, sedang bagi yang masih
ragu-ragu, atau masih takut-takut atau yang lemah akan segera pula menerima iman
itu.
Pikiran itulah yang mula-mula meyakinkan Muhammad, ia tinggal di
Yathrib, ke arah itu politiknya ditujukan dan dengan tujuan itu pula hendaknya
sejarah hidupnya ditulis. Ia tak pernah memikirkan kerajaan, harta-benda atau
perniagaan. Seluruh tujuannya ialah memberikan ketenangan jiwa bagi mereka yang
menganut ajarannya dengan jaminan kebebasan bagi mereka dalam menganut
kepercayaan agama masing-masing. Baik bagi seorang Muslim, seorang Yahudi, atau
seorang Kristen masing-masing mempunyai kebebasan yang sama dalam menganut
kepercayaan, kebebasan yang sama menyatakan pendapat dan kebebasan yang sama
pula menjalankan propaganda agama. Hanya kebebasanlah yang akan menjamin dunia
ini mencapai kebenaran dan kemajuannya dalam menuju kesatuan yang integral dan
terhormat. Setiap tindakan menentang kebebasan berarti memperkuat kebatilan,
berarti menyebarkan kegelapan yang akhirnya akan mengikis habis percikan cahaya
yang berkedip dalam hati nurani manusia. Percikan cahaya ini yang akan
menghubungkan hati nurani manusia dengan alam semesta ini, dari awal yang azali
sampai pada akhirnya yang abadi, suatu hubungan yang menjalin rasa kasih sayang
dan persatuan, bukan rasa kebencian dan kehancuran
Dengan pemikiran
inilah wahyu itu disampaikan kepada Muhammad sejak ia hijrah. Dan karena itu
pula ia sangat mendambakan perdamaian, dan tidak menyukai perang. Dalam hal ini
selama hidupnya ia sangat cermat sekali. Ia tidak menempuh jalan itu, kalau
tidak terpaksa karena membela kebebasan, membela agama dan kepercayaan.
Bukankah, ketika mendengar ada mata-mata memanggil-manggil Quraisy, memberi
peringatan tentang mereka itu, penduduk Yathrib yang ikut mengadakan Ikrar Aqaba
kedua berkata kepadanya?
“Demi Allah yang telah mengutus tuan atas dasar
kebenaran kalau sekiranya tuan sudi, penduduk Mina itu besok akan kami habiskan
dengan pedang kami.”
Dijawabnya:
“Kami tidak diperintahkan untuk
itu.”
Bukankah ayat pertama yang datang mengenai perang berbunyi?
“Diijinkan (berperang) kepada
mereka yang diperangi, karena mereka dianiaya; dan sesungguhnya Allah Maha kuasa
menolong mereka.” (Qur’an, 8: 39)
Dan bukankah
ayat berikutnya mengenai soal perang itu Tuhan berfirman?
“Dan perangilah mereka supaya
jangan ada lagi fitnah, dan agama seluruhnya untuk Allah.” (Qur’an, 2: 193)
Jadi
pertimbangan pikiran Muhammad dalam hal ini hanya mempunyai satu tujuan yang
luhur, yaitu menjamin kebebasan beragama dan menyatakan pendapat. Hanya untuk
mempertahankan itulah perang dibenarkan, dan hanya untuk itu pula dibenarkan
menangkis serangan pihak agresor, sehingga jangan ada orang yang dapat dikacau
dari agamanya dan jangan pula ada orang yang ditindas karena kepercayaan atau
pendapatnya.
Kalau inilah tujuan Muhammad dalam pertimbangannya mengenai
masalah Yathrib serta harus menjamin adanya kebebasan, maka penduduk kota ini
pun menyambutnya dalam pikiran yang serupa, meskipun setiap golongan
pertimbangannya saling bertentangan satu sama lain. Penduduk Yathrib pada waktu
itu terdiri dari kaum Muslimin - Muhajirin dan Anshar - orang-orang musyrik dari
sisa-sisa Aus dan Khazraj - sedang hubungan kedua golongan ini sudah sama-sama
kita ketahui; kemudian orang-orang Yahudi: Banu Qainuqa di sebelah dalam, Banu
Quraiza di Fadak, Banu’n-Nadzir tidak jauh dari sana dan Yahudi Khaibar di
Utara.
Ada pun kaum Muhajirin dan Anshar, karena solidaritas agama baru
itu, mereka sudah erat sekali bersatu. Sungguhpun begitu, kekuatiran dalam hati
Muhammad belum hilang samasekali, kalau-kalau suatu waktu kebencian lama di
kalangan mereka akan kembali timbul. Sekarang terpikir olehnya bahwa setiap
keraguan semacam itu harus dihilangkan. Usaha ini akan tampak juga
pengaruhnya
Sebaliknya golongan musyrik dari sisa-sisa Aus dan Khazraj,
akibat peperangan-peperangan masa lampau, mereka merasa lemah sekali di
tengah-tengah kaum Muslimin dan Yahudi itu. Mereka mencari jalan supaya antara
keduanya itu timbul insiden. Selanjutnya golongan Yahudi dengan tiada ragu-ragu
merekapun menyambut baik kedatangan Muhammad dengan dugaan bahwa mereka akan
dapat membujuknya dan sekaligus merangkulnya ke pihak mereka, serta dapat pula
diminta bantuannya membentuk sebuah jazirah Arab. Dengan demikian mereka akan
dapat pula membendung Kristen, yang telah mengusir Yahudi, -bangsa pilihan Tuhan
- dari Palestina, Tanah yang Dijanjikan dan tanah air mereka itu.
Dengan
dasar pikiran itulah mereka masing-masing bertolak. Mereka membukakan jalan
supaya tujuan mereka masing-masing mudah tercapai.
Di sinilah fase baru
dalam hidup Muhammad itu dimulai yang sebelum itu tiada seorang nabi atau rasul
yang pernah mengalaminya. Di sini dimulainya suatu fase politik yang telah
diperlihatkan oleh Muhammad dengan segala kecakapan, kemampuan dan
pengalamannya, yang akan membuat orang jadi termangu, lalu menundukkan kepala
sebagai tanda hormat dan rasa kagum. Tujuannya yang pokok akan mencapai Yathrib
- tanah airnya yang baru - ialah meletakkan dasar kesatuan politik dan
organisasi, yang sebelum itu di seluruh wilayah Hijaz belum dikenal; sungguhpun
jauh sebelumnya di Yaman memang sudah pernah ada.
Sekarang ia
bermusyawarah dengan kedua wazirnya itu Abu Bakr dan Umar - demikianlah mereka
dinamakan. Dengan sendirinya yang menjadi pokok pikirannya yang mula-mula ialah
menyusun barisan kaum Muslimin serta mempererat persatuan mereka, guna
menghilangkan segala bayangan yang akan membangkitkan api permusuhan lama di
kalangan mereka itu. Untuk mencapai maksud ini diajaknya kaum Muslimin supaya
masing-masing dua bersaudara, demi Allah. Dia sendiri bersaudara dengan Ali b.
Abi Talib. Hamzah pamannya bersaudara dengan Zaid bekas budaknya. Abu Bakr
bersaudara dengan Kharija b. Zaid. Umar ibn’l-Khattab, bersaudara dengan ‘Itban
b. Malik al-Khazraji. Demikian juga setiap orang dari kalangan Muhajirin yang
sekarang sudah banyak jumlahnya di Yathrib - sesudah mereka yang tadinya masih
tinggal di Mekah menyusul ke Medinah setelah Rasul hijrah - dipersaudarakan pula
dengan setiap orang dari pihak Anshar, yang oleh Rasul lalu dijadikan hukum
saudara sedarah senasib. Dengan persaudaraan demikian ini persaudaraan kaum
Muslimin bertambah kukuh adanya.
Ternyata kalangan Anshar memperlihatkan
sikap keramahtamahan yang luarbiasa terhadap saudara-saudara mereka kaum
Muhajirin ini, yang sejak semula sudah mereka sambut dengan penuh gembira.
Sebabnya ialah, mereka telah meninggalkan Mekah, dan bersama itu mereka
tinggalkan pula segala yang mereka miliki, harta-benda dan semua kekayaan.
Sebagian besar ketika mereka memasuki Medinah sudah hampir tak ada lagi yang
akan dimakan disamping mereka memang bukan orang berada dan berkecukupan selain
Usman b. ‘Affan. Sedangkan yang lain sedikit sekali yang dapat membawa sesuatu
yang berguna dari Mekah.
Pada suatu hari Hamzah paman Rasul pergi
mendatanginya dengan permintaan kalau-kalau ada yang dapat dimakannya.
Abdur-Rahman b. ‘Auf yang sudah bersaudara dengan Sa’d bin’r-Rabi’ ketika di
Yathrib ia sudah tidak punya apa-apa lagi. Ketika Sa’d menawarkan hartanya akan
dibagi dua, Abdur-Rahman menolak. Ia hanya minta ditunjukkan jalan ke pasar. Dan
di sanalah ia mulai berdagang mentega dan keju. Dalam waktu tidak berapa lama,
dengan kecakapannya berdagang ia telah dapat mencapai kekayaan kembali, dan
dapat pula memberikan mas-kawin kepada salah seorang wanita Medinah. Bahkan
sudah mempunyai kafilah-kafilah yang pergi dan pulang membawa perdagangan.
Selain Abdur-Rahman, dari kalangan Muhajirin, banyak juga yang telah melakukan
hal serupa itu. Sebenarnya karena kepandaian orang-orang Mekah itu dalam bidang
perdagangan sampai ada orang mengatakan: dengan perdagangannya itu ia dapat
mengubah pasir sahara menjadi emas.
Adapun mereka yang tidak melakukan
pekerjaan berdagang, diantaranya ialah Abu Bakr, Umar, Ali b. Abi Talib dan
lain-lain. Keluarga-keluarga mereka terjun kedalam pertanian, menggarap tanah
milik orang-orang Anshar bersama-sama pemiliknya. Tetapi selain mereka ada pula
yang harus menghadapi kesulitan dan kesukaran hidup. Sungguhpun begitu, mereka
ini tidak mau hidup menjadi beban orang lain. Merekapun membanting tulang
bekerja, dan dalam bekerja itu mereka merasakan adanya ketenangan batin, yang
selama di Mekah tidak pernah mereka rasakan.
Di samping itu ada lagi
segolongan orang-orang Arab yang datang ke Medinah dan menyatakan masuk Islam,
dalam keadaan miskin dan serba kekurangan sampai-sampai ada diantara mereka yang
tidak punya tempat tinggal. Bagi mereka ini oleh Muhammad disediakan tempat di
selasar mesjid yaitu shuffa [bahagian mesjid yang beratap] sebagai tempat
tinggal mereka.
Oleh karena itu mereka diberi nama Ahl’sh-Shuffa
(Penghuni Shuffa). Belanja mereka diberikan dari harta kaum Muslimin, baik dari
kalangan Muhajirin maupun Anshar yang berkecukupun.
Dengan adanya
persatuan kaum Muslimin dengan cara persaudaraan itu Muhammad sudah merasa lebih
tenteram. Sudah tentu ini merupakan suatu langkah politik yang bijaksana sekali
dan sekaligus menunjukkan adanya suatu perhitungan yang tepat serta pandangan
jauh. Baru tampak kepada kita arti semua ini bila kita melihat segala daya-upaya
kaum Munafik yang hendak merusak dan menjerumuskan kaum Muslimin ke dalam
peperangan antara Aus dengan Khazraj dan antara Muhajirin dengan Anshar. Akan
tetapi suatu operasi politik yang begitu tinggi dan yang menunjukkan adanya
kemampuan luarbiasa, ialah apa yang telah dicapai oleh Muhammad dengan
mewujudkan persatuan Yathrib dan meletakkan dasar organisasi politiknya dengan
mengadakan persetujuan dengan pihak Yahudi atas landasan kebebasan dan
persekutuan yang kuat sekali. Orang sudah melihat betapa mereka menyambut baik
kedatangannya dengan harapan akan dapat dibujuknya ke pihak mereka. Penghormatan
mereka ini dengan segera dibalasnya pula dengan penghormatan yang sama serta
mengadakan tali silaturahmi dengan mereka. Ia bicara dengan kepala-kepala
mereka, didekatkannya pembesar-pembesar mereka dibentuknya dengan mereka itu
suatu tali persahabatan, dengan pertimbangan bahwa mereka juga Ahli Kitab dan
kaum monotheis. Lebih dari itu bahwa pada waktu mereka berpuasa iapun ikut
puasa. Pada waktu itu kiblatnya dalam sembahyang masih menghadap ke
Bait’l-Maqdis, titik perhatian mereka, tempat terkumpulnya semua Keluarga
Israil. Persahabatannya dengan pihak Yahudi dan persahabatan pihak Yahudi dengan
dia makin sehari makin bertambah erat dan dekat juga.
Catatan kaki:
1 Yathrib nama kota Medinah. Dalam terjemahan ini dua
sebutan Yathrib dan Medinah sama-sama dipakai (A).
Orang yang begitu mulia, sangat rendah hati, orang yang penuh kasih sayang,
selalu memenuhi janji, sifatnya yang pemurah, selalu terbuka bagi si miskin,
bagi orang yang hidup menderita, ini juga yang memberikan kewibawaan kepadanya
terhadap penduduk Yathrib. Dan semua ini telah sampai kepada suatu ikatan
perjanjian persahabatan dan persekutuan serta menetapkan adanya kebebasan
beragama. Perjanjian ini - menurut hemat kita - merupakan suatu dokumen politik
yang patut dikagumi sepanjang sejarah. Dan fase yang dialami dalam sejarah hidup
Rasul ini belum pernah dialami oleh seorang nabi atau rasul lain. Pernah ada
Isa, ada Musa, ada nabi-nabi yang lain sebelum itu. Mereka terbatas hanya pada
dakwah agama saja. Mereka menyampaikan itu kepada orang dengan jalan berdebat,
dengan jalan mujizat. Sesudah itu mereka tinggalkan ditangan para penguasa yang
kemudian, dan untuk menyiarkan dakwahnya itu harus dilakukan dengan kekuatan
politik dan membela kebebasan orang yang sudah beriman kepadanya itu dengan
kekuatan senjata yang disertai peperangan pula. Agama Kristen disiarkan oleh
murid-muridnya yang kemudian sesudah Isa. Mereka dan pengikut-pengikut mereka
masih selalu mengalami siksaan. Baru setelah ada raja-raja yang cenderung kepada
agama ini, ia dilindunginya dan disiarkan. Begitu juga halnya dengan agama lain,
di dunia Timur ataupun di Barat.
Sebaliknya Muhammad, tersebarnya Islam
serta menangnya misi kebenaran itu harus berada ditangannya. Ia menjadi Rasul,
menjadi negarawan, pejuang dan penakluk. Semua itu demi Allah, demi misi
kebenaran, yang oleh karenanya ia diutus. Dalam hal ini semua, sebenarnya dia
adalah orang besar, lambing kesempurnaan insani par exellence dalam arti kata
yang sebenarnya.
Antara kaum Muhajirin dan Anshar dengan orang-orang
Yahudi, Muhammad membuat suatu perjanjian tertulis yang berisi pengakuan atas
agama mereka dan harta-benda mereka, dengan syarat-syarat timbal balik, demikian
bunyinya:
“Dengan nama Allah, Pengasih dan Penyayang. Surat Perjanjian
ini dari Muhammad - Nabi; antara orang-orang beriman dan kaum Muslimin dari
kalangan Quraisy dan Yathrib serta yang mengikut mereka dan menyusul mereka dan
berjuang bersama-sama mereka; bahwa mereka adalah satu umat di luar golongan
orang lain.
“Kaum Muhajirin dari kalangan Quraisy adalah tetap menurut
adat kebiasaan baik yang berlaku2 di kalangan mereka, bersama-sama
menerima atau membayar tebusan darah3 antara sesama mereka dan
mereka menebus tawanan mereka sendiri dengan cara yang baik dan adil diantara
sesama orang-orang beriman.
“Bahwa Banu Auf adalah tetap menurut adat
kebiasaan baik mereka yang berlaku, bersama-sama membayar tebusan darah seperti
yang sudah-sudah. Dan setiap golongan harus menebus tawanan mereka sendiri
dengan cara yang baik dan adil diantara sesama orang-orang
beriman.”
Kemudian disebutnya tiap-tiap suku4 Anshar itu serta
keluarga tiap puak: Banu’l-Harith, Banu Saida, Banu Jusyam, Banu’n-Najjar, Banu
‘Amr b. ‘Auf dan Banu’n-Nabit. Selanjutnya disebutkan,
“Bahwa orang-orang
yang beriman tidak boleh membiarkan seseorang yang menanggung beban hidup dan
hutang yang berat diantara sesama mereka. Mereka harus dibantu dengan cara yang
baik dalam membayar tebusan tawanan atau membayar diat.
“Bahwa seseorang
yang beriman tidak boleh mengikat janji dalam menghadapi mukmin
lainnya.
“Bahwa orang-orang yang beriman dan bertakwa harus melawan orang
yang melakukan kejahatan diantara mereka sendiri, atau orang yang suka melakukan
perbuatan aniaya, kejahatan, permusuhan atau berbuat kerusakan diantara
orang-orang beriman sendiri, dan mereka semua harus sama-sama melawannya
walaupun terhadap anak sendiri.
“Bahwa seseorang yang beriman tidak boleh
membunuh sesama mukmin lantaran orang kafir untuk melawan orang
beriman.
“Bahwa jaminan Allah itu satu: Dia melindungi yang lemah
diantara mereka.
“Bahwa orang-orang yang beriman itu hendaknya saling
tolong-menolong satu sama lain.
“Bahwa barangsiapa dari kalangan Yahudi
yang menjadi pengikut kami, ia berhak mendapat pertolongan dan persamaan; tidak
menganiaya atau melawan mereka
“Bahwa persetujuan damai orang-orang
beriman itu satu; tidak dibenarkan seorang mukmin mengadakan perdamaian sendiri
dengan meninggalkan mukmin lainnya dalam keadaan perang di jalan Allah. Mereka
harus sama dan adil adanya.
“Bahwa setiap orang yang berperang bersama kami,
satu sama lain harus saling bergiliran.
“Bahwa orang-orang beriman itu
harus saling membela terhadap sesamanya yang telah tewas di jalan
Allah.
“Bahwa orang-orang yang beriman dan bertakwa hendaknya berada
dalam pimpinan yang baik dan lurus.
“Bahwa orang tidak dibolehkan
melindungi harta-benda atau jiwa orang Quraisy dan tidak boleh merintangi orang
beriman.
“Bahwa barangsiapa membunuh orang beriman yang tidak bersalah
dengan cukup bukti maka ia harus mendapat balasan yang setimpal kecuali bila
keluarga si terbunuh sukarela (menerima tebusan).
“Bahwa orang-orang yang
beriman harus menentangnya semua dan tidak dibenarkan mereka hanya tinggal
diam.
“Bahwa seseorang yang beriman yang telah mengakui isi piagam ini
dan percaya kepada Allah dan kepada hari kemudian, tidak dibenarkan menolong
pelaku kejahatan atau membelanya, dan bahwa barangsiapa yang menolongnya atau
melindunginya, ia akan mendapat kutukan dan murka Allah pada hari kiamat, dan
tak ada sesuatu tebusan yang dapat diterima.
“Bahwa bilamana diantara
kamu timbul perselisihan tentang sesuatu masalah yang bagaimanapun, maka
kembalikanlah itu kepada Allah dan kepada Muhammad - ‘alaihishshalatu
wassalam.
“Bahwa orang-orang Yahudi harus mengeluarkan belanja
bersama-sama orang-orang beriman selama mereka masih dalam keadaan
perang.
“Bahwa orang-orang Yahudi Banu Auf adalah satu umat dengan
orang-orang beriman. Orang-orang Yahudi hendaknya berpegang pada agama mereka,
dan orang-orang Islampun hendaknya berpegang pada agama mereka pula, termasuk
pengikut-pengikut mereka dan diri mereka sendiri, kecuali orang yang melakukan
perbuatan aniaya dan durhaka. Orang semacam ini hanyalah akan menghancurkan
dirinya dan keluarganya sendiri.
“Bahwa terhadap orang-orang Yahudi
Banu’n-Najjar, Yahudi Banu’l-Harith, Yahudi Banu Sa’ida, Yahudi Banu-Jusyam,
Yahudi Banu Aus, Yahudi Banu Tha’laba, Jafna dan Banu Syutaiba5 berlaku sama seperti
terhadap mereka sendiri.
“Bahwa tiada seorang dari mereka itu boleh
keluar kecuali dengan ijin Muhammad s.a.w.
“Bahwa seseorang tidak boleh
dirintangi menuntut haknya karena dilukai; dan barangsiapa yang diserang ia dan
keluarganya harus berjaga diri, kecuali jika ia menganiaya. Bahwa Allah juga
yang menentukan ini.
“Bahwa orang-orang Yahudi berkewajiban menanggung
nafkah mereka sendiri dan kaum Musliminpun berkewajiban menanggung nafkah mereka
sendiri pula. Antara mereka harus ada tolong menolong dalam menghadapi orang
yang hendak menyerang pihak yang mengadakan piagam perjanjian ini.
“Bahwa
mereka sama-sama berkewajiban, saling nasehat-menasehati dan saling berbuat
kebaikan dan menjauhi segala perbuatan dosa.
“Bahwa seseorang tidak
dibenarkan melakukan perbuatan salah terhadap sekutunya, dan bahwa yang harus
ditolong ialah yang teraniaya.
“Bahwa orang-orang Yahudi berkewajiban
mengeluarkan belanja bersama orang-orang beriman selama masih dalam keadaan
perang.
“Bahwa kota Yathir adalah kota yang dihormati bagi orang yang
mengakui perjanjian ini.
“Bahwa tetangga itu seperti jiwa sendiri, tidak
boleh diganggu dan diperlakukan dengan perbuatan jahat.
“Bahwa tempat
yang dihormati itu tak boleh didiami orang tanpa ijin penduduknya.
“Bahwa
bila diantara orang-orang yang mengakui perjanjian ini terjadi suatu
perselisihan yang dikuatirkan akan menimbulkan kerusakan, maka tempat kembalinya
kepada Allah dan kepada Muhammad Rasulullah -s.a.w. - dan bahwa Allah bersama
orang yang teguh dan setia memegang perjanjian ini
“Bahwa melindungi
orang-orang Quraisy atau menolong mereka tidak dibenarkan.
“Bahwa antara
mereka harus saling membantu melawan orang yang mau menyerang Yathrib ini.
Tetapi apabila telah diajak berdamai maka sambutlah ajakan perdamaian
itu.
“Bahwa apabila mereka diajak berdamai, maka orang-orang yang beriman
wajib menyambutnya, kecuali kepada orang yang memerangi agama. Bagi setiap
orang, dari pihaknya sendiri mempunyai bagiannya masing-masing.
“Bahwa
orang-orang Yahudi Aus, baik diri mereka sendiri atau pengikut-pengikut mereka
mempunyai kewajiban seperti mereka yang sudah menyetujui naskah perjanjian ini
dengan segala kewajiban sepenuhnya dari mereka yang menyetujui naskah perjanjian
ini.
“Bahwa kebaikan itu bukanlah kejahatan dan bagi orang yang
melakukannya hanya akan memikul sendiri akibatnya. Dan bahwa Allah bersama pihak
yang benar dan patuh menjalankan isi perjanjian ini
“Bahwa orang tidak
akan melanggar isi perjanjian ini, kalau ia bukan orang yang aniaya dan
jahat.
“Bahwa barangsiapa yang keluar atau tinggal dalam kota Medinah
ini, keselamatannya tetap terjamin, kecuali orang yang berbuat aniaya dan
melakukan kejahatan.
“Sesungguhnya Allah melindungi orang yang berbuat
kebaikan dan bertakwa.”
Inilah dokumen politik yang telah diletakkan
Muhammad sejak seribu tiga ratus lima puluh tahun yang lalu dan yang telah
menetapkan adanya kebebasan beragama, kebebasan menyatakan pendapat; tentang
keselamatan harta-benda dan larangan orang melakukan kejahatan. Ia telah
membukakan pintu baru dalam kehidupan politik dan peradaban dunia masa itu.
Dunia, yang selama ini hanya menjadi permainan tangan tirani, dikuasai oleh
kekejaman dan kehancuran semata. Apabila dalam penandatanganan dokumen ini
orang-orang Yahudi Banu Quraiza, Banu’n-Nadzir dan Banu Qainuqa tidak ikut
serta, namun tidak selang lama sesudah itu merekapun mengadakan perjanjian yang
serupa dengan Nabi.
Demikianlah, seluruh kota Medinah dan sekitarnya
telah benar-benar jadi terhormat bagi seluruh penduduk. Mereka berkewajiban
mempertahankan kota ini dan mengusir setiap serangan yang datang dari luar.
Mereka harus bekerja sama antara sesama mereka guna menghormati segala hak dan
segala macam kebebasan yang sudah disetujui bersama dalam dokumen
ini
Muhammad sudah cukup merasa lega dengan hasil demikian ini. Kaum
Musliminpun merasa tenteram menjalankan kewajiban agama mereka, baik dalam
berjamaah ataupun sendiri-sendiri.
Mereka tidak lagi kuatir ada gangguan
atau akan takut difitnah. Ketika itulah Muhammad menyelesaikan perkawinannya
dengan Aisyah bt. Abi Bakr, yang waktu itu baru berusia sepuluh atau sebelas
tahun. Ia adalah seorang gadis yang lemah-lembut dengan air muka yang manis dan
sangat disukai dalam pergaulan. Ketika itu ia sedang menjenjang remaja puteri,
mempunyai kegemaran bermain-main dan bersukaria. Pertumbuhan badannya baik
sekali.
Pertama ia pindah ke tempatnya yang sekarang di samping tempat
Sauda di sisi mesjid, ia melihat Muhaminad adalah seorang ayah yang penuh
kasih-sayang, seorang suami yang penuh cintakasih. Ia tidak keberatan ikut
bermain-main dengan barang-barang mainannya itu. Dengan itu Aisyah telah
menghiburnya pula dari pikiran yang berat-berat yang selalu menjadi bebannya
karena suasana politik Yathrib yang kini sudah mulai diarahkan dengan
sebaik-baiknya itu.
Dalam suasana kaum Muslimin yang sudah mulai tenteram
menjalankan tugas-tugas agama itu, pada waktu itu kewajiban zakat dan puasa
mulai pula dijalankan hukumnya. Di Yathrib inilah Islam mulai menemukan
kekuatannya. Ketika Muhammad sampai di Medinah, bila ketika itu waktu-waktu
sembahyang sudah tiba, orang berkumpul bersama-sama tanpa dipanggil. Lalu
terpikir akan memanggil orang bersembahyang dengan mempergunakan terompet
seperti orang-orang Yahudi. Tetapi dia tidak menyukai terompet itu. Lalu
dianjurkan mempergunakan genta, yang akan dipukul waktu sembahyang, seperti
dilakukan oleh orang-orang Nasrani.
Tetapi kemudian sesudah ada saran
dari Umar dan sekelompok Muslimim - menurut satu sumber, - atau dengan perintah
Tuhan melalui wahyu, menurut sumber lain - penggunaan genta inipun dibatalkan
dan diganti dengan azan. Selanjutnya diminta kepada Abdullah b. Zaid b.
Tha’laba:
“Kau pergi dengan Bilal dan bacakan kepadanya - maksudnya teks
azan - dan suruh dia menyerukan azan itu, sebab suaranya lebih merdu dari
suaramu.”
Di samping mesjid ada sebuah rumah kepunyaan seorang wanita
dari Banu’n-Najjar yang lebih tinggi dari mesjid. Bilal naik keatas rumah itu
lalu menyerukan azan. Dengan demikian, setiap hari di waktu fajar seluruh
penduduk Yathrib mendengar seruan bersembahyang itu diucapkan dengan alunan
suara yamg indah dan lembut sekali, yang ditujukan Bilal ke segenap penjuru, dan
menggema ke telinga pendengarnya:
“Allahu Ahbar! Allahu Akbar! Asyhadu an
la ilaha illa Allah Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah. Hayy ‘ala’ sh-shala hayy
‘ala’l-falah. Allahu Akbar. Allahu Akbar. La ilaha illa Allah.” (Allah Maha
Besar! Allah Maha Besar! Aku bersaksi tak ada tuhan selain Allah. Aku bersaksi
bahwa Muhammad adalah Utusan Allah. Marilah sembahyang. Marilah mencapai
kemenangan. Allah Maha Besar. Allah Maha Besar. Tak ada tuhan selain
Allah).
Dengan demikian ini rasa takut yang selama ini membayangi kaum
Muslimin telah berubah jadi aman dan tenteram. Yathrib kini telah menjadi
Madinat’r-Raslll - menjadi Kota - Rasulullah. Penduduk kota ini yang bukan Islam
sudah pula merasakan adanya kekuatan kaum Muslimin - suatu kekuatan yang
bersumber dari lubuk hati yang sudah mengenal pengorbanan, yang sudah mengalami
pelbagai macam penderitaan, demi membela iman. Kini mereka memetik buahnya, buah
kesabaran dan ketabahan hati. Mereka merasakan adanya kebebasan beragama yang
telah ditentukan Islam itu dan bahwa tidak ada kekuasaan seseorang atas manusia
lain, dan bahwa agama hanya bagi Allah semata, hanya kepadaNya adanya pengabdian
itu. Di hadapan Tuhan semua manusia itu sama. Balasan yang akan mereka terima
sesuai dengan perbuatan yang mereka lakukan dan dengan niat yang telah mendorong
perbuatan itu.
Sekarang jalan sudah terbuka di hadapan Muhammad dalam
menyebarkan ajaran-ajarannya itu. Dan biarlah pribadinya dan segala tingkah
lakunya yang akan menjadi teladan tertinggi dalam ajaran-ajarannya itu. Dan
biarlah ini pula yang akan menjadi batu pertama dalam pembinaan peradaban
Islam.
Batu pertama ini ialah persaudaraan umat manusia: persaudaraan
yang akan mengakibatkan seseorang tidak sempurna imannya sebelum ia dapat
mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri dan sebelum persaudaraan
demikian itu dapat mencapai kebaikan dan rasa kasih-sayang tanpa suatu sikap
lemah dan mudah menyerah. Ada orang yang bertanya kepada Muhammad; “Perbuatan
apakah yang baik dalam Islam?” Dijawab: “Sudi memberi makan dan memberi salam
kepada orang yang kaukenal dan yang tidak kaukenal.”
Dalam khutbah
pertama yang diucapkannya di Medinah ia berkata: “Barangsiapa yang dapat
melindungi mukanya dari api neraka sekalipun hanya dengan sebutir kurma,
lakukanlah itu. Kalau itupun tidak ada, maka dengan kata-kata yang baik. Sebab
dengan itu, kebaikan itu mendapat balasan sepuluh kali lipat.” Dan dalam
khutbahnya yang kedua dikatakannya: “Beribadatlah kamu sekalian kepada Allah dan
janganlah mempersekutukanNya dengan apapun. Benar-benar takutlah kamu kepadaNya.
Hendaklah kamu jujur terhadap Allah tentang apa yang kamu katakan baik itu; dan
dengan ruh Allah hendaklah kamu sekalian saling cinta-mencintai. Allah sangat
murka kepada orang yang melanggar janjinya sendiri.”
Dengan kata-kata ini
dan yang semacam ini ia berbicara dengan sahabat-sahabatnya itu, ia berkhutbah
di mesjid kepada orang banyak, sambil bersandar pada batang pohon kurma yang
dijadikan penopang atap mesjid itu, yang kemudian lalu disuruh buatkan mimbar
terdiri dari tiga tangga. Waktu menyampaikan khutbah ia berdiri pada tangga
pertama, dan pada tingkat tangga kedua di waktu ia duduk.
Bukan hanya
kata-katanya itu saja yang menjadi sendi ajaran adanya persaudaraan demikian
itu, yang dalam peradaban Islam merupakan bagian yang penting sekali, melainkan
juga perbuatannya serta teladan yang diberikannya adalah contoh persaudaraan
dalam bentuknya yang benar-benar sempurna. Dia adalah Rasulullah - Utusan Allah;
tapi tidak mau ia menampakkan diri dalam gaya orang berkuasa, atau sebagai raja
atau pemegang kekuasaan duniawi. Kepada sahabat-sahabatnya ia berkata: “Jangan
aku dipuja, seperti orang-orang Nasrani memuja anak Mariam. Aku adalah hamba
Allah. Sebutkan sajalah hamba Allah dan RasulNya.”
Sekali pernah ia
mendatangi sekelompok sahabat-sahabatnya sambil bertelekan pada sebatang
tongkat. Mereka berdiri menyambutnya. Tapi dia berkata: “Jangan kamu berdiri
seperti orang-orang asing yang mau saling diagungkan.
Apabila ia
mengunjungi sahabat-sahabatnya iapun duduk dimana saja ada tempat yang terluang.
Ia bergurau dengan sahabat-sahabatnya, bergaul dengan mereka, diajaknya mereka
bercakap-cakap, anak-anak merekapun diajaknya bermain-main dan didudukkannya
mereka itu dipangkuannya. Dipenuhinya undangan yang datang dari orang merdeka
atau dari si budak dan si miskin. Dikunjunginya orang yang sedang sakit, yang
jauh tinggal di sana, di ujung kota. Orang yang datang minta maaf dimaafkannya.
Dan ia yang memulai memberi salam kepada orang yang dijumpainya. Ia yang lebih
dulu mengulurkan tangan menjabat sahabat-sahabatnya. Apabila ada orang yang
menunggu ia sedang salat, dipercepatnya sembahyangnya lalu ditanyanya orang itu
akan keperluannya. Sesudah itu kembali lagi ia meneruskan ibadatnya. Baik hati
ia kepada setiap orang dan selalu senyum. Dalam rumah-tangga, ia ikut memikul
beban keluarga: ia mencuci pakaian, menambalnya dan memerah susu kambing. Ia
juga yang menjahit terompahnya, menolong dirinya sendiri dan mengurus unta. Ia
duduk makan bersama dengan bujang, ia juga mengurus keperluan orang yang lemah,
yang menderita dan orang miskin. Apabila ia melihat seseorang yang sedang dalam
kebutuhan ia dan keluarganya mengalah, sekalipun mereka sendiri dalam
kekurangan, tak ada sesuatu yang disimpannya untuk besok; sehingga tatkala ia
wafat, baju besinya sedang tergadai di tangan seorang Yahudi - karena untuk
keperluan belanja keluarganya. Sangat rendah hati ia, selalu memenuhi janji.
Tatkala ada sebuah delegasi dari pihak Najasi datang, dia sendiri yang melayani
mereka, sehingga sahabat-sahabat menegurnya:
“Sudah cukup ada yang lain,”
kata sahabat-sahabatnya itu.
“Mereka sangat menghormati sahabat-sahabat
kita,” katanya.
“Saya ingin membalas sendiri kebaikan mereka.
Catatan kaki:
4 Suku atau batn ialah anak-kabilah, lebih kecil
darikabilah (A).
5 Dalam at-Bidaya wan-Nihaya oleh ibn Kathir disebut
Syatana.
2 ‘Ala rib’atihim atau riba’atihim
menurut kebiasaan baik yang berlaku (N, LA) (A).
3 Yata’aqalun, ‘saling memberi
dan menerima diat’ (N) atau tebusan darah (A).
Begitu setianya ia,
sehingga bila ada orang menyebut nama Khadijah, selalu menimbulkan kenangan yang
indah baginya. Di sinilah Aisyah berkata: “Saya tidak pernah iri hati terhadap
seorang wanita seperti terhadap Khadijah, bilamana saja mendengar ia
mengenangkannya.” Ketika ada seorang wanita datang ia menyambutnya begitu
gembira dan ditanyainya baik-baik. Bila wanita itu sudah pergi, ia berkata:
“Ketika masih ada Khadijah ia suka mengunjungi kami.” Bahwa mengingat hubungan
baik masa lampau adalah termasuk iman. Begitu halusnya perasaannya, begitu
lembutnya hatinya, ia membiarkan cucunya bermain-main dengan dia ketika ia
sembahyang. Bahkan ia bersembahyang dengan Umama, puteri Zainab puterinya,
sambil dibawa di atas bahunya; bila ia sujud diletakkan, bila ia berdiri
dibawanya lagi.
Kebaikan dan kasih-sayang yang sudah menjadi sendi
persaudaraan itu, yang dalam peradaban dunia modern sekarang juga menjadi dasar
bagi seluruh umat manusia tidak hanya terbatas sampai di situ saja, melainkan
melampaui sampai kepada binatang juga. Dia sendiri yang bangun membukakan pintu
untuk seekor kucing yang sedang berlindung di tempat itu. Dia sendiri yang
merawat seekor ayam jantan yang sedang sakit; kudanya dielus-elusnya dengan
lengan bajunya. Bila dilihatnya Aisyah naik seekor unta, karena menemui
kesukaran lalu binatang itu ditarik-tariknya, iapun ditegurnya: “Hendaknya kau
berlaku lemah-lembut.” Kasih-sayangnya itu meliputi segala hal, dan selalu
memberi perlindungan kepada siapa saja yang memerlukannya.
Tetapi ini
bukan sikap kasih-sayang karena lemah atau mau menyerah, juga bersih dari segala
sifat mau menghitung jasa atau sikap tinggi diri. Ini adalah persaudaraan dalam
Tuhan antara Muhammad dengan semua mereka yang berhubungan dengan dia. Disinilah
dasar peradaban Islam yang berbeda dengan sebahagian besar peradaban-peradaban
lain. Islam menekankan pada keadilan disamping persaudaraan itu, dan berpendapat
bahwa tanpa adanya keadilan ini persaudaraan tidak mungkin ada.
“Barangsiapa menyerang kamu,
seranglah dengan yang seimbang, seperti mereka menyerang kamu.” (Qur’an, 2: 194)
“Dengan hukum qishash
berarti kelangsungan hidup bagi kamu, hai orang-orang yang mengerti.” (Qur’an, 2: 179)
Sifatnya harus
untuk mempertahankan jiwa semata-mata dengan kemauan yang bebas sepenuhnya dan
untuk mencari rida Tuhan tanpa ada maksud lain. Itulah sumber persaudaraan yang
meliputi segala kebaikan dan kasih-sayang. Ini harus bersumber juga dari jiwa
yang kuat, tidak mengenal menyerah selain kepada Allah, dan dengan ketaatan
kepadaNya ia tidak pula merasa lemah. Tak ada rasa takut akan menyelinap ke
dalam hatinya kecuali dari perbuatan maksiat atau dosa yang dilakukannya. Dan
jiwa itu tidak akan jadi kuat kalau ia masih di bawah kekuasaan yang lain dan
tidak akan jadi kuat kalau ia masih di bawah kekuasaan hawa-nafsunya. Muhammad
dan sahabat-sahabatnya telah hijrah dari Mekah supaya jangan berada di bawah
kekuasaan Quraisy dan jangan ada jiwa mereka yang akan jadi lemah karenanya.
Jiwa itu akan menyerah kepada kekuasaan hawa-nafsu kalau sudah jasmani yang
dapat berkuasa kedalam rohani dan akal pikiran dapat dikalahkan oleh kehendak
nafsu. Dan akhirnya kehidupan materi ini juga yang dapat menguasai hidup kita,
padahal kita sudah tidak memerlukan yang demikian, sebab ini memang sudah berada
di bawah kekuasaan kita.
Di sini Muhammad adalah contoh kekuatan jiwa
yang ideal sekali atas kehidupan ini, suatu kekuatan yang membuat dia sudah
tidak peduli lagi akan memberikan segala yang ada padanya kepada orang lain. Itu
sebabnya sampai ada orang yang mengatakan: Dalam memberi Muhammad sudah tidak
takut kekurangan. Dan supaya jangan ada sesuatu dalam hidup ini yang dapat
menguasainya, sebaliknya dia yang harus menguasai, maka ia keras sekali menahan
diri dalam arti hidup materi, sama kerasnya dengan keinginannya hendak
mengetahui segala rahasia yang ada dalam hidup materi itu, ingin mengetahui
hakekat sesungguhnya tentang semua itu. Begitu jauhnya ia menahan diri sehingga
lapik tempat dia tidur hanya terdiri dari kulit yang diisi dengan serat.
Makannya tak pernah kenyang. Tak pernah ia makan roti dari tepung sya’ir6 dua hari
berturut-turut. Sebagian besar makannya adalah bubur.7 Pada hari-hari yang lain ia makan
kurma. Jarang sekali ia dan keluarganya dapat makanan roti sop.8 Bukan sekali saja ia harus menahan lapar. Sudah pernah perutnya
diganjal dengan batu untuk menahan teriakan rongga pencernaannya
itu.
Itulah yang sudah biasa dikenal tentang makannya, meskipun ini tidak
berarti ia pantang sekali-sekali makan makanan yang enak-enak. Juga ia dikenal
suka sekali makan kaki anak kambing, labu, madu dan manisan.
Begitu juga
kesederhanaannya dalam hal pakaian sama seperti dalam makanan. Suatu hari ada
seorang wanita memberikan sehelai pakaian kepadanya yang memang diperlukan.
Tetapi kemudian diminta oleh orang lain yang juga memerlukannya guna mengkafani
mayat. Pakaian itu diberikannya. Pakaiannya yang dikenal terdiri dari sebuah
baju dalam dan baju luar, yang terbuat dari wol, katun atau sebangsa serat.
Tetapi sekali-sekali ia tidak menolak memakai pakaian dari tenunan Yaman sebagai
pakaian yang mewah sesuai dengan acara bila memang menghendaki demikian. Juga
alas kaki yang dipakainya sederhana sekali. Tak pernah ia memakai sepatu selain
waktu mendapat hadiah dari Najasyi berupa sepasang sepatu dan
seluar.
Sungguhpun begitu dalam hal menahan diri dan menjauhi masalah
duniawi bukanlah berarti ia hidup menyiksa diri. Cara ini juga tidak sesuai
dengan ajaran agama. Dalam Qur’an dapat dibaca:
“Makanlah dari makanan yang baik
yang sudah Kami berikan kepadamu.” (Qur’an, 2:
57)
“Dan tempuhlah kebahagiaan akhirat
seperti yang dianugerahkan Allah kepadamu, tapi juga jangan kaulupakan
kebahagiaan hidup duniawi. Dan berbuatlah kebaikan kepada orang lain seperti
Allah telah berbuat baik kepadamu.” (Qur’an, 28:
77)
Dan dalam
hadis: “Berbuatlah untuk duniamu seolah-olah kau akan hidup selama-lamanya, dan
berbuat pula untuk akhiratmu seolah-olah kau akan mati besok.”
Akan
tetapi Muhammad ingin memberikan teladan yang begitu tinggi kepada manusia
tentang arti kekuatan dalam menghadapi hidup itu, suatu kekuatan yang tak dapat
dipengaruhi oleh perasaan lemah, tak dapat diperbudak oleh kekayaan, oleh
harta-benda, oleh kekuasaan atau oleh apa saja yang akan menguasainya, selain
Allah. Persaudaraan yang didasarkan kepada kekuatan, yang manifestasinya telah
diberikan oleh Muhammad sebagai teladan tertinggi seperti yang sudah kita lihat
itu, adalah persaudaraan murni yang sungguh ikhlas dan mulia, suatu persaudaraan
yang bersih samasekali. Sebabnya ialah karena adanya rasa keadilan yang terjalin
dalam kasih-sayang dan karena yang bersangkutan hanya didorong oleh kemauan
sendiri yang bebas mutlak. Tetapi, oleh karena Islam menyertakan rasa keadilan
disamping rasa kasih-sayang itu, maka ia juga menyertakan maaf disamping
keadilan itu, maaf yang dapat diberikan bila mampu. Rasa kasih-sayang demikian
itu hendaklah dengan hati terbuka dan benar-benar, dan hendaklah dengan tujuan
mau mencapai perbaikan yang sungguh-sungguh.
Inilah dasar yang telah
diletakkan oleh Muhammad dalam membangun peradaban baru itu, yang dengan jelas
tersimpul dalam cerita yang diambil dari Ali bin Abi Talib ketika ia bertanya
kepada Rasulullah tentang sunahnya, dengan dijawab: “Ma’rifat adalah modalku,
akal-pikiran sumber agamaku, cinta adalah dasar hidupku, rindu kendaraanku,
berzikir kepada Allah adalah kawan dekatku, keteguhan perbendaharaanku, duka
adalah kawanku, ilmu adalah senjataku, ketabahan adalah pakaianku, kerelaan
sasaranku, faqr adalah kebanggaanku, menahan diri adalah pekerjaanku, keyakinan
makananku, kejujuran perantaraku, ketaatan adalah ukuranku, berjihad perangaiku
dan hiburanku adalah dalam sembahyang.”
Ajaran-ajaran Muhammad serta
teladan dan bimbingan yang diberikannya telah meninggalkan pengaruh yang dalam
sekali kedalam jiwa orang, sehingga tidak sedikit orang yang berdatangan
menyatakan masuk Islam, dan kaum Musliminpun makin bertambah kuat di Medinah.
Ketika itulah orang-orang Yahudi mulai memikirkan kembali posisi mereka terhadap
Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Mereka dengan dia telah mengadakan perjanjian.
Mereka bermaksud ingin merangkulnya ke pihak mereka dan supaya ketahanan mereka
bertambah kuat terhadap orang-orang Kristen. Dan dia lebih kuat dari mereka itu
semua, ajarannya bertambah kuat. Malah sekarang ia memikirkan orang-orang
Quraisy yang telah mengusirnya dan mengusir kaum Muhajirin dari Mekah serta
godaan mereka terhadap kaum Muslimin yang dapat mereka goda dari agamanya.
Adakah orang-orang Yahudi itu akan membiarkan dakwahnya terus tersebar dan
kekuasaan rohaninya makin meluas, dengan cukup puas berada disampingnya dalam
aman sentosa yang berarti akan menarnbah keuntungan dan kekayaan dalam
perdagangan mereka? Barangkali memang akan begitu kalau mereka yakin bahwa
dakwahnya itu tidak akan sampai kepada orang-orang Yahudi sendiri dan tidak akan
sampai meluas kepada orang-orang awam, sedang ajaran mereka yang berlaku ialah
tidak akan mengakui adanya seorang nabi yang bukan dari Keluarga
Israil.
Akan tetapi ada seorang rabbi yang cerdik-pandai, yaitu Abdullah
b. Sallam yang telah berhubungan dengan Nabi iapun lalu memeluk Islam; dan
dianjurkannya pula keluarganya. Lalu merekapun bersama-sama memeluk agama
Islam.
Tetapi Abdullah bin Sallam masih merasa kuatir akan ada kata-kata
yang tidak biasa yang akan dilontarkan orang-orang Yahudi jika mereka mengetahui
ia sudah menganut Islam. Maka dimintanya kepada Nabi untuk menanyai mereka
tentang dirinya itu sebelum mereka mengetahui bahwa dia sudah Islam. Ternyata
mereka berkata: dia pemimpin kami, pendeta kami dan orang cerdik-pandai kami.
Setelah Abdullah berhadapan dengan mereka dan sekarang jelas sudah sikapnya,
bahkan mengajak mereka menganut ajaran Islam, merekapun merasa kuatir akan
nasibnya itu nanti. Maka di seluruh perkampungan Yahudi itu iapun mulai difitnah
dan diumpat dengan kata-kata yang tak senonoh. Dalam hal ini mereka lalu sepakat
akan berkomplot terhadap Muhammad menolak kenabiannya. Secepat itu pula
sisa-sisa orang yang masih musyrik dari kalangan Aus dan Khazraj serta mereka
yang pura-pura masuk Islam segera menggabungkan diri dengan mereka, baik karena
mau mengejar keuntungan materi atau karena mau menyenangkan golongannya atau
pihak yang berpengaruh
Sekarang mulai terjadi suatu perang polemik antara
Muhammad dengan orang-orang Yahudi, yang ternyata lebih bengis dan lebih licik
daripada perang polemik yang dulu pernah terjadi antara dia dengan orang-orang
Quraisy di Mekah. Dalam perang yang terjadi di Yathrib ini semua orang Yahudi
berdiri dalam satu barisan menyerang Muhammad dan risalahnya, menyerang
sahabat-sahabatnya, kaum Muhajirin dan Anshar, dengan mengadakan intrik-intrik,
tindakan bermuka-muka dengan ilmu yang ada pada mereka tentang sejarah dan
peristiwa-peristiwa masa lampau mengenai para nabi dan
rasul-rasul.
Mereka mengadakan intrik melalui pendeta-pendeta mereka yang
pura-pura Islam dan yang dapat bergaul ke tengah-tengah kaum Muslimin dengan
pura-pura sangat takwa sekali, yang kemudian lalu sekali-kali memperlihatkan
kesangsian dan keraguannya. Mereka itu memajukan pertanyaan-pertanyaan kepada
Muhammad , yang mereka kira akan dapat menggoncangkan iman umat Islam kepadanya
dan kepada ajaran kebenaran yang dibawanya itu. Kemudian orang-orang Aus dan
Khazraj yang juga Islamnya pura-pura, menggabungkan diri dengan orang-orang
Yahudi dalam memajukan pertanyaan-pertanyaan dan dalam menimbulkan perselisihan
di kalangan kaum Muslimin. Begitu keras kepala mereka itu sampai ada diantara
orang Yahudi sendiri yang mengingkari isi Taurat - padahal mereka percaya kepada
Allah, baik kalangan Keluarga Israil maupun orang-orang musyrik yang
mempergunakan berhala-berhala untuk mendekatkan diri mereka kepada Tuhan.
Misalnya mereka bertanya kepada Muhammad: Kalau Allah itu sudah menciptakan
makhluk ini, lalu siapa yang menciptakan Allah? Muhammad hanya menjawab mereka
dengan firman Tuhan:
“Katakan: Allah Satu cuma. Allah
itu Abadi dan Mutlak. Tidak beranak. Dan tidak pula diperanakkan. Dan tiada satu
apapun yang menyerupaiNya.” (Qur’an, 112:
1-4)
Pihak Muslimin
sekarang menyadari keadaan musuh mereka, sudah mengetahui tujuan usaha mereka
itu. Ada terlihat pada suatu hari mereka dalam mesjid sedang berbicara antara
sesama mereka dengan berbisik-bisik. Muhammad meminta supaya mereka dikeluarkan
dari dalam mesjid itu dengan paksa. Tetapi ini tidak membuat mereka jera
melakukan tipu-muslihat dan masih terus berusaha hendak menjerumuskan kaum
Muslimin. Ketika ada beberapa orang dari golongan Aus dan Khazraj sedang
duduk-duduk bersama-sama salah seorang dari mereka [Syas b. Qais] lewat. Ia jadi
panas hati melihat dua puak ini menjadi rukun. Dalam hatinya ia berkata:
masyarakat Banu Qaila di negeri ini sudah bersatu. Kita takkan berarti apa-apa
kalau pemuka-pemuka mereka sudah sepakat. Seorang pemuda Yahudi yang pernah
dengan mereka dulu dimintanya supaya mengambil kesempatan ini dengan
menyebut-nyebut kembali peristiwa Bu’ath dahulu serta bagaimana pula pihak Aus
dapat mengalahkan Khazraj. Pemuda itu pun lalu bicara. Ternyata hal ini memang
menimbulkan ingatan masa lampau pada kedua puak itu. Mereka lalu bersitegang,
saling membanggakan diri dan hanyut dalam pertengkaran. “Kalau kamu mau kita
boleh kembali seperti dulu,” kata mereka satu sama lain.
Peristiwa ini
sampai juga kepada Muhammad. Ia pergi menemui mereka dengan beberapa orang
sahabat, dan diingatkannya mereka, bahwa Islam telah mempersatukan dan membuat
mereka benar-benar bersaudara, saling mencintai. Sementara ia masih di
tengah-tengah mereka, merekapun menangis, mereka saling berpeluk-pelukan. Mereka
semua berdoa bermohon ampun kepada Tuhan.
Polemik antara Muhammad dengan
orang-orang Yahudi itu sudah sampai dipuncaknya, sebagaimana oleh Qur’an sudah
pula diperlihatkan. Pada permulaan Surah al-Baqara (2) sampai dengan ayat 81,
dan sebahagan besar Surah an-Nisa’ (4) semua menyebutkan tentang orang-orang
Ahli Kitab itu dan betapa mereka mengingkari isi-Kitab Suci mereka sendiri.
Mereka telah mendapat kutukan keras karena pembangkangan dan pengingkaran mereka
itu:
“Dan sesungguhnyalah Kami telah
mendatangkan Al-Kitab (Taurat) kepada Musa, dan sesudah itu lalu Kami susul pula
dengan para rasul, dan Kami telah memberikan bukti-bukti kebenaran kepada Isa
anak Maryam dan Kami perkuat dia dengan Ruh Suci. Adakah setiap datang seorang
rasul kepadamu membawa sesuatu yang tak sesuai dengan kehendak hatimu, lalu kamu
bersikap sonmbong? Sebagian kamu dustakan dan yang sebagian lagi kamu bunuh? Dan
mereka berkata: ‘hati kami sudah tertutup.’ Tetapi Tuhan telah mengutuk mereka
karena keingkaran mereka juga. Karena itu, sedikit sekali mereka yang beriman.
Dan setelah kepada mereka didatangkan Kitab dari Allah, yang membenarkan apa
yang ada pada mereka, karena sebelum itu mereka minta didatangkan kemenangan
terhadap orang-orang yang masih ingkar, maka setelah yang mereka ketahui itu
berada di tengah-tengah mereka, merekapun juga tidak mempercayainya. Karena itu,
kutukan Allah menimpa oranz-orang yang ingkar itu.” (Qur’an, 2: 87-89)
Begitu
memuncaknya polemik antara orang-orang Yahudi dan kaum Muslimin itu, sehingga
acapkali - sekalipun sudah ada perjanjian antara mereka - permusuhan itu terjadi
sampai dengan main tangan. Sebagai contoh - sekedar sebagai ukuran - kita sudah
mengenal Abu Bakr, yang begitu lemah-lembut perangainya, dengan kesabarannya
yang luarbiasa. Ketika itu ia sedang bicara dengan seorang orang Yahudi yang
bernama Finhash, yang diajaknya menganut Islam. Tetapi Finhash menjawab: “Abu
Bakr, bukan kita yang membutuhkan Tuhan, tapi Dia yang butuh kepada kita. Bukan
kita yang meminta-minta kepadaNya, tetapi Dia yang meminta-minta kepada kita.
Kita tidak memerlukanNya, tapi Dia yang memerlukan kita. Kalau Dia kaya, tentu
Ia tidak akan minta dipinjami harta kita, seperti yang didakwakan oleh
pemimpinmu itu. Ia melarang kalian menjalankan riba, tapi kita akan diberi jasa.
Kalau Ia kaya, tentu Ia tidak akan menjalankan ini.”
Maksud Finhash ini
ditujukan kepada firman Tuhan:
“Siapa yang mau meminjamkan kepada
Allah suatu pinjaman yang baik, Allah akan selalu membalasnya dengan berlipat
ganda.” (Qur’an, 2: 145)
Tetapi dalam hal
ini Abu Bakr tidak tahan mendengar jawaban itu. Ia marah. Ditamparnya muka
Finhash itu keras-keras.
“Demi Allah,” kata Abu Bakr, “kalau tidak karena
adanya perjanjian antara kami dengan kamu sekalian, pasti kupukul kepalamu.
Engkaulah musuh Tuhan.”
Kemudian Finhash mengadukan peristiwa ini kepada
Nabi, tapi apa yang dikatakannya tentang Tuhan kepada Abu Bakr tidak diakuinya.
Dalam hal ini firman Tuhan menyebutkan:
“Tuhan sudah mendengar kata-kata
mereka yang menyebutkan: Tuhan itu miskin, dan kamilah yang kaya. Akan Kami
tuliskan kata-kata mereka itu, begitu juga perbuatan mereka membunuh nabi-nabi
dengan tidak sepantasnya, dan rasakanlah siksa yang membakar ini!” (Qur’an, 3: 181)
Tidak cukup dengan
maksud mau menimbulkan insiden antara Muhajirin dengan Anshar dan antara Aus
dengan Khazraj dan tidak pula cukup dengan membujuk kaum Muslimin supaya
meninggalkan agamanya dan kembali menjadi syirik tanpa mencoba-coba mengajak
mereka menganut agama Yahudi, bahkan lebih dari itu orang Yahudi itu kini
berusaha memperdaya Muhammad sendiri. Pendekar-pendekar mereka, pemuka-pemuka
dan pemimpin-pemimpin mereka datang menemuinya dengan mengatakan: “Tuhan sudah
mengetahui keadaan kami, kedudukan kami. Kalau kami mengikut tuan, orang-orang
Yahudipun akan juga ikut dan mereka tidak akan menentang kami. Sebenarnya antara
kami dengan beberapa kelompok golongan kami timbul permusuhan. Lalu kami datang
ini minta keputusan tuan. Berilah kami keputusan. Kami akan ikut tuan dan
percaya kepada tuan.”
Di sinilah firman Tuhan menyebutkan:
“Dan hendaklah engkau memutuskan
perkara diantara mereka menurut apa yang sudah diturunkan Allah, dan jangan
kauturuti hawa-nafsu mereka. Berhati-hatilah terhadap mereka. Jangan sampai
mereka memperdayakan kau dari beberapa peraturan yang sudah ditentukan Tuhan
kepadamu. Tetapi kalau mereka menyimpang, ketahuilah, Tuhan akan menurunkan
bencana kepada mereka karena beberapa dosa mereka sendiri juga. Sesungguhnya,
kebanyakan manusia itu adalah orang-orang fasik. Adakah yang mereka kehendaki
itu hukum jahiliah? Dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi
mereka yang yakin?” (Qur’an, 5:
49-50)
Catatan kaki:
6 Sya’ir termasuk famili Graminea yang mungkin lebih
dekat kepada jenis jelai daripada gandum (A).
7 Sawiq semacam bubur dibuat
dari gandum atau jelai dicampur dengan kurma (A)
.8 Tharid biasanya hidangan roti
yang dibasahi dengan kuah kaldu dan daging (A).
Orang-orang Yahudi
merasa sesak napas terhadap Muhammad. Terpikir oleh mereka akan melakukan
tipu-daya terhadapnya, akan meyakinkannya sampai ia keluar meninggalkan Medinah
seperti yang terjadi karena gangguan-gangguan Quraisy dahulu sampai ia dan
sahabat-sahabatnyapun keluar meninggalkan Mekah.
Lalu mereka mengatakan
kepadanya, bahwa para rasul sebelum dia semua pergi ke Bait’l-Maqdis dan memang
di sana tempat tinggal mereka. Jika dia juga memang benar-benar seorang rasul,
iapun akan berbuat seperti mereka, dan kota Medinah ini akan dianggapnya sebagai
kota perantara dalam hijrahnya dulu antara Mekah dengan al-Masjid’l-Aqsha. Akan
tetapi, apa yang sudah mereka kemukakan kepadanya itu bagi Muhammad tidak perlu
lama-lama berpikir untuk mengetahui, bahwa mereka sedang melakukan tipu-muslihat
terhadap dirinya. Pada saat itu Tuhan mewahyukan kepadanya, menjelang tujuhbelas
bulan ia tinggal di Medinah, untuk menghadapkan kiblatnya ke al-Masjid’l-Haram,
Rumah Ibrahim dan Ismail:
“Kami sebenarnya melihat wajahmu
yang menengadah ke langit itu. Akan Kami hadapkan mukamu ke arah kiblat yang
kausukai. Hadapkan mukamu ke arah al-Masjid’l-Haram. Dimana saja kau berada
hadapkanlah mukamu kearah itu.” (Qur’an, 2:
142-143)
Orang-orang
Yahudi ternyata menyesalkan kejadian itu. Sekali lagi mereka berusaha
memperdayakannya, dengan mengatakan, bahwa mereka akan mau jadi pengikutnya
kalau ia kembali ke kiblat semula. Di sini firman Tuhan menyebutkan:
“Dari orang-orang yang masih bodoh
akan mengatakan: Apakah yang menyebabkan mereka berpaling dari kiblat yang dulu.
Katakanlah: Timur dan Barat itu kepunyaan Allah. DipimpinNya siapa yang
disukaiNya ke jalan yang lurus. Begitu juga Kami jadikan kamu suatu umat
pertengahan, supaya kamu menjadi saksi kepada umat manusia, dan Rasulpun menjadi
saksi kepadamu. Dan Kami jadikan kiblat yang biasa kaupergunakan itu, hanyalah
untuk menguji siapa pula yang berbalik belakang. Dan itu memang berat, kecuali
bagi mereka yang telah mendapat pimpinan Tuhan.” (Qur’an,
2: 144)
Waktu sedang
sengit-sengitnya terjadi polemik antara Muhammad dengan orang-orang Yahudi itu,
delegasi pihak Nasrani dari Najran tiba di Medinah, terdiri dari enampuluh buah
kendaraan. Diantara mereka terdapat orang-orang terkemuka, orang-orang yang
sudah mempelajari dan menguasai seluk-beluk agama mereka. Pada waktu itu
penguasa-penguasa Rumawi yang juga menganut agama Nasrani sudah memberikan
kedudukan, memberikan bantuan harta, memberikan bantuan tenaga serta membuatkan
gereja-gereja dan kemakmuran buat kaum Nasrani Najran itu. Boleh jadi delegasi
ini datang ke Medinah hanya karena mereka sudah mengetahui adanya pertentangan
antara Nabi dengan orang-orang Yahudi, dengan harapan mereka akan dapat
mengobarkan pertentangan itu lebih hebat sampai menjadi permusuhan terbuka.
Dengan demikian orang-orang Nasrani yang berada di perbatasan Syam dan Yaman
dapat membebaskan diri dari intrik-intrik Yahudi dan sikap permusuhan
orang-orang Arab.
Dengan datangnya delegasi ini dan polemiknya dengan
Nabi serta dibukanya kancah pertarungan theologis yang sengit antara orang-orang
Yahudi, Nasrani dan Islam maka ketiga agama Kitab ini sekarang berkumpul. Dari
pihak Yahudi, mereka memang menolak samasekali ajaran Isa dan Muhammad, yang
dasarnya karena sikap keras kepala, seperti yang sudah kita lihat. Mereka
mendakwakan bahwa ‘Uzair itu putera Allah. Sedang pihak Nasrani, paham mereka
adalah Trinitas dan menuhankan Isa. Sebaliknya Muhammad, ia mengajak orang
kepada keesaan Tuhan dan kepada kesatuan rohani yang sudah diatur oleh alam
sejak awal yang ajali sampai pada akhir yang abadi - sejak dunia ini berkembang
sampai ke akhir zaman. Orang-orang Yahudi dan Nasrani itu bertanya kepadanya,
kepada siapa-siapa diantara para rasul itu ia beriman. Ia menjawab:
“Kami beriman kepada Allah dan apa
yang diturunkanNya kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail,
Ishaq, Ya’qub serta anak-cucunya, dan apa yang telah diberikan kepada Musa dan
Isa serta apa yang telah diberikan Tuhan kepada nabi-nabi. Kami tidak
membeda-bedakan seorangpun diantara mereka, dan kamipun patuh kepadaNya.”
(Qur’an 2: 136)
Ia sangat
menyesalkan sikap mereka yang sifatnya hendak menimbulkan keraguan dengan cara
bagaimanapun tentang keesaan Tuhan. Diingatkannya mereka, bahwa mereka telah
mengubah kata-kata dari aslinya dalam kitab-kitab mereka itu dan bahwa mereka
ternyata berlainan haluan dari apa yang telah ditempuh oleh para nabi dan
rasul-rasul yang sudah mereka akui kenabiannya, dan bahwa apa yang diajarkan
oleh Isa, oleh Musa dan oleh mereka yang sudah terdahulu, sedikitpun tidak
berbeda dari apa yang diajarkannya sekarang. Apa yang telah diajarkan mereka
itu, adalah Kebenaran Abadi yang akan tampak jelas dan sederhana sekali bagi
setiap orang yang berjiwa pantang tunduk selain kepada Tuhan Yang Mahaesa. Ia
akan melihat Alam ini sebagai suatu kesatuan yang tak terpisah-pisah. Ia akan
melihatnya dengan pandangan hati nurani yang lebih tinggi diatas segala kehendak
dan tujuan yang bersifat sementara, di atas segala dorongan materi; lepas dari
sifat tunduk buta kepada segala ilusi dan angan-angan orang awam, kepada yang
diterimanya dari nenek-moyang mereka.
Dimanakah ada suatu pertemuan yang
hakekatnya lebih besar dari pertemuan yang kini dialami oleh Yathrib? Tiga agama
bertemu di tempat ini, yang sampai sekarang saling mempengaruhi perkembangan
dunia. Di tempat ini ketiganya bertemu untuk suatu tujuan dan cita-cita yang
tinggi dan mulia. Ini bukanlah suatu pertemuan ekonomi, juga bukan dengan suatu
tujuan materi, yang sampai saat ini dikejar-kejar dunia namun tiada juga
berhasil - melainkan tujuannya adalah rohani semata-mata. Dalam hal Nasrani dan
Yahudi ini, dibelakangnya berdiri ambisi-ambisi politik serta
keinginan-keinginan orang-orang beruang dan berkuasa. Sebaliknya Muhammad,
tujuannya adalah rohaniah dan perikemanusiaan semata-mata, yang jalannya telah
ditunjukkan Tuhan kepadanya dengan bentuk kata yang dialamatkan kepada
orang-orang Yahudi dan Nasrani serta seluruh umat manusia. DikatakanNya kepada
mereka:
“Katakanlah; ‘Orang-orang Ahli Kitab!
Marilah kita menerima suatu istilah yang sama antara kami dengan kamu: bahwa tak
ada yang akan kita sembah selain Allah, dan bahwa kita takkan mempersekutukanNya
dengan apapun, dan tidak pula antara kita saling mempertuhankan satu sama lain,
selain daripada Allah.’ Tetapi kalau mereka menyimpang juga, katakanlah:
‘Saksikanlah, bahwa kami ini orang-orang Muslimin.’” (Qur’an, 3: 64)
Apa pula yang
akan dapat dikatakan oleh orang-orang Yahudi, yang akan dapat dikatakan oleh
orang-orang Nasrani atau oleh yang lain, mengenai ajakan ini: Jangan menyembah
apa dan siapapun selain Allah, jangan mempersekutukanNya dan jangan pula saling
mempertuhankan satu sama lain selain daripada Allah! Bagi jiwa yang benar-benar
jujur, jiwa manusia yang telah mendapat kehormatan dengan adanya akal pikiran
dan perasaan, tidak bisa lain tentu akan beriman kepada ini, tanpa yang lain.
Akan tetapi, dalam arti hidup manusia, disamping segi rohani, juga ada segi
materinya. Kelemahan ini yang membuat kita dapat menerima pihak lain menguasai
kita, dengan jalan membeli nyawa kita, jiwa kita, kalbu kita. Ilusi ini yang
telah membunuh kehormatan, perasaan serta cahaya hati nurani manusia. Segi
materi ini, yang tergambar dalam bentuk harta dan kekayaan, dalam kepalsuan
gelar-gelar dan pangkat, yang telah membuat Abu Haritha - salah seorang Nasrani
Najran yang paling luas ilmu dan pengetahuannya - pernah mengeluarkan isi
hatinya kepada salah seorang teman, bahwa ia yakin pada apa yang dikatakan
Muhammad itu. Setelah temannya itu bertanya:
“Apa lagi yang masih
merintangi kau menerima ajarannya, kalau kau sudah mengetahui ini?”
“Yang
masih merintangi aku ialah apa yang sudah diberikan orang kepada kami,”
jawabnya. “Kami sudah diberi kedudukan, diberi harta dan kehormatan. Dan yang
mereka kehendaki supaya kami menentangnya. Kalau kuterima ajakannya itu tentu
semua yang kaulihat ini akan dicopot dari kami.”
Kepada ajaran inilah
orang-orang Yahudi dan Nasrani itu oleh Muhammad diajak. Orang-orang Nasrani
diajaknya saling berdoa,9 sedang dengan pihak Yahudi sudah
ada perjanjian perdamaian. Dalam pada itu pihak Kristen telah pula mengadakan
permusyawaratan antara sesama mereka, yang hasilnya kemudian diberitahukan
kepadanya, bahwa mereka tidak akan saling berdoa dan akan membiarkannya ia
dengan agamanya itu dan mereka kembali kepada agama mereka. Tetapi mereka juga
melihat, betapa cenderungnya Muhammad menjalankan keadilan itu, yang juga
diikuti jejaknya oleh sahabat-sahabatnya. Oleh karena itu mereka minta supaya
ada seorang yang dapat dikirimkan bersama-sama mereka guna mengadili
masalah-masalah yang bagi mereka sendiri masih merupakan perselisihan pendapat.
Dalam hal ini Muhammad mengutus Abu ‘Ubaida ibn’l-Jarrah guna memutuskan hal-hal
yang diperselisihkan itu.
Peradaban yang batu pertamanya telah diletakkan
oleh Muhammad dengan ajaran-ajaran serta teladan yang diberikannya itu, kini
sudah makin diperkuat lagi. Terpikir olehnya sekarang dan oleh
sahabat-sahabatnya dari kalangan Muhajirin, bagaimana seharusnya sikap, dan
keadaan mereka menghadapi Quraisy itu suatu pemikiran yang tak pernah mereka
lupakan sejak mereka hijrah dari Mekah. Motif yang mendorong mereka berpikir
demikian banyak sekali. Di Mekah ini terletak Ka’bah, Rumah Ibrahim, tempat
mereka dan semua orang Arab berziarah. Dapatkah mereka melepaskan diri dari
kewajiban suci yang sejak dulu mereka jalankan sampai pada waktu mereka
dikeluarkan dari Mekah? Disana masih tinggal keluarga mereka yang mereka cintai
dan yang mereka sayangkan bila masih tetap dalam kehidupan syirik. Di sana
harta-benda dan perdagangan mereka ditinggalkan, yang telah disita oleh Quraisy
tatkala mereka hijrah. Kemudian lagi, tatkala mereka memasuki Medinah, mereka
diserang penyakit demam, sehingga bukan main penderitaan yang mereka alami.
Mereka sembahyangpun sambil duduk. Makin keras mereka merindukan Mekah. Mereka
telah dikeluarkan secara paksa dari Mekah, seolah mereka keluar sebagai pihak
yang dikalahkan. Dan tidak pula menjadi adat orang-orang Quraisy dapat bersabar
terhadap ketidakadilan serupa itu atau menyerah tanpa mengadakan pembalasan.
Disamping semua dorongan itu, dorongan naluri juga merangsang mereka, yakni
nostalgia - rindu kampung halaman, kampung halaman tempat mereka dilahirkan,
tempat mereka dibesarkan. Dengan bumi ini, dengan tanahnya yang lapang,
gunungnya, airnya, dengan semua itulah pertama kali mereka bicara, pertama kali
mereka bersahabat. Diatas secercah tanah inilah mereka dipupuk tatkala mereka
masih kecil dan di sana pula tempat-tinggal mereka sesudah mereka besar. Kesana
hati orang dan perasaannya terikat, dan untuk itu pula dengan segala kekuatan
dan hartanya ia pertahankan. Dikorbankannya semua tenaga dan hidupnya. Sesudah
mati, di tempat itu harapannya akan dikuburkan. Ia mau kembali kedalam tanah
tempat ia dijadikan itu.
[
Naluri inilah yang lebih keras mendorong hati
kaum Muhajirin daripada motif-motif lain. Selalu terpikir oleh mereka bagaimana
seharusnya sikap mereka itu menghadapi Quraisy. Tetapi yang sudah terang, sikap
itu bukanlah sikap menyerah atau sikap menghambakan diri. Sudah cukup sabar
mereka selama tigabelas tahun terus-menerus menanggung penderitaan. Agama tidak
membenarkan adanya sikap lemah, putus asa atau menyerah bagi mereka yang sudah
menanggung penderitaan dan sampai hijrah karenanya.
Apabila sikap
permusuhan itu memang dibenci dan tidak dibenarkan, sebaliknya yang diperkuat
dan dianjurkan adalah sikap persaudaraan, tapi di samping itu yang juga
diharuskan ialah membela diri, membela kehormatan, membela kebebasan beragama
dan membela tanah-air. Untuk membela inilah Muhammad mengadakan Ikrar ‘Aqaba
yang kedua dengan penduduk Yathrib. Tetapi bagaimanakah kaum Muhajirin itu akan
menunaikan kewajibannya kepada Tuhan, kepada Rumah Suci, kepada tanah air, Mekah
yang mereka cintai itu? Kearah inilah politik Muhammad dan kaum Muslimin itu
ditujukan, sampai selesai ia kelak menaklukkan Mekah, dan agama Allah serta
seruan kebenaranpun akan terjunjung tinggi.
Catatan kaki:
9 Yula’inu, sama maksudnya dengan Yabtahilu, atau
mubahala yang dalam terjemahan ini dipakai kata saling berdoa. Nabi mengusulkan
kepada pihak Kristen mengadakan suatu mubahala, suatu pertemuan khidmat, dengan
masing-masing pihak yang mempertahankan pendiriannya berdoa sungguh-sungguh
kepada Ailah, agar Tuhan menjatuhkan laknat kepada pihak yang berdusta.
“Barangsiapa membantah engkau tentang itu, sesudah datang pengetahuan padamu,
katakanlah: Marilah kita kumpulkan anak-anak kami dan anak-anak kamu,
wanita-wanita kami dan wanita-wanita kamu, diri kami sendiri dan diri kamu,
kemudian kita berdoa sungguh-sungguh kepada Allah. Kita mintakan agar laknat
Tuhan dijatuhkan kepada pihak yang dusta.” (Qur’an, 3: 61). Mereka yang
benar-benar murni dan benar-benar yakin takkan ragu-ragu dalam hal ini. Tetapi
pihak Kristen disini ternyata mengundurkan diri. (A)
SESUDAH hijrah beberapa bulan keadaan kaum Muslimin yang tinggal di Medinah sudah pula stabil. Sekarang kerinduan pihak Muhajirin ke Mekah terasa makin bertambah adanya. Terpikir oleh mereka siapa-siapa dan apa saja yang mereka tinggalkan itu, serta betapa pula pihak Quraisy menyiksa mereka dulu? Tetapi sungguhpun begitu, gerangan apa yang harus mereka lakukan? Banyak penulis-penulis sejarah yang berpendapat, bahwa mereka - dan terutama Muhammad - telah memikirkan akan mengadakan balas-dendam terhadap Quraisy serta mulai membuka permusuhan dan akan mengadakan perang. Bahkan ada yang berpendapat, bahwa sejak mereka sampai di Medinah niat mengadakan perang ini sudah terpikir oleh mereka. Hanya saja, yang masih menunda mereka mencetuskan api peperangan itu ialah karena mereka masih sibuk menyiapkan tempat-tempat tinggal serta mengatur segala keperluan hidup mereka. Sebagian mereka mengemukakan alasan ini ialah karena Muhammad sudah mengadakan Ikrar Aqaba kedua yang justru untuk memerangi siapa saja. Dan sudah wajar pula apabila ia dan sahabat-sahabatnya menjadikan Quraisy sebagai sasaran pertama, suatu hal yang telah membuat pihak Quraisy segera menyadari akibat perjanjian ‘Aqaba itu. Dalam ketakutan itu mereka pergi menanyakan Aus dan Khazraj tentang dia.
Mereka memperkuat
pendapat ini dengan apa yang telah terjadi delapan bulan sesudah Rasul dan para
Muhajirin tinggal di Medinah, yaitu ketika Muhammad mengirimkan pamannya Hamzah
b. Abd’l-Muttalib ke tepi laut (Laut Merah) di sekitar ‘Ish dengan membawa 30
orang pasukan yang terdiri dari kalangan Muhajirin tanpa orang-orang Anshar. Di
tempat ini ia bertemu dengan Abu Jahl b. Hisyam dengan 300 orang pasukan terdiri
dari penduduk Mekah; dan bahwa Hamzah sudah siap akan memerangi Quraisy tapi
lalu dilerai oleh Majdi b. ‘Amr yang bertindak sebagai pendamai kedua belah
pihak. Masing-masing kelompok itu lalu bubar tanpa terjadi suatu pertempuran.
Juga ketika Muhammad mengirimkan ‘Ubaida bin’l-Harith dengan 60 orang pasukan
terdiri dari kaum Muhajirin tanpa Anshar. Mereka pergi menuju ke suatu tempat
air di Hijaz, yang disebut Wadi Rabigh. Disini mereka bertemu dengan kelompok
Quraisy yang terdiri dari 200 orang dipimpin oleh Abu Sufyan. Tetapi mereka
bubar juga tanpa suatu pertempuran; kecuali apa yang diceritakan orang, bahwa
Said b. Abi Waqqash ketika itu telah melepaskan anak panahnya, “dan itu adalah
anak panah pertama dilepaskan dalam Islam.” Demikianlah ketika Said bin Abi
Waqqash dikirim ke daerah Hijaz dengan membawa 8 orang Muhajirin menurut satu
sumber atau 20 orang menurut sumber yang lain. Kemudian mereka kembali karena
tidak bertemu siapa-siapa.
Alasan mereka ini mereka perkuat lagi dengan
menyebutkan, bahwa Nabi telah berangkat sendiri sesudah duabelas bulan tinggal
di Medinah, dengan menyerahkan pimpinan kota kepada Sa’d b. ‘Ubada. Ia pergi ke
Abwa’,. Sesampainya di Waddan ia bermaksud mencari Quraisy dan Banu Dzamra;
tetapi Quraisy tidak dijumpainya. Lalu ia mengadakan persekutuan dengan pihak
Banu Dzamra; bahwa sebulan sesudah itu ia pergi lagi mengepalai 200 orang dari
Muhajirin dan Anshar - menuju Buwat dengan sasaran sebuah kafilah yang dipimpin
o]eh Umayya b. Khalaf yang terdiri dari 2.500 ekor unta dikawal oleh 100 orang
pasukan perang. Tapi juga sudah tidak bertemu lagi, sebab mereka sudah mengambil
haluan lain, bukan jalan kafilah yang sudah diratakan; dan bahwa dua atau tiga
bulan sesudah ia kembali dari Buwat di bilangan Radzwa setelah pimpinan Kota
Medinah diserahkan kepada Abu Salama b. Abd’l-Asad, ia berangkat lagi memimpin
kaum Muslimin yang terdiri dari dua ratus orang lebih sampai di ‘Usyaira di
pedalaman Yanbu’. Ia tinggal disana selama bulan Jumadil Awal dan beberapa malam
dalam bulan Jumadil Akhir tahun kedua Hijrah (Oktober 623 M.) sambil menunggu
kafilah Quraisy yang dikepalai oleh Abu Sufyan lewat. Tetapi ternyata mereka
sudah tidak ada. Dalam perjalanan ini ia berhasil dapat mengadakan perjanjian
perdamaian dengan Banu Mudlij serta sekutu-sekutunya dari Banu Dzamra; dan bahwa
begitu ia kembali dan akan tinggal selama sepuluh hari lagi di Medinah,
tiba-tiba Kurz b. Jabir al-Fihri, orang yang punya hubungan dengan orang-orang
Mekah dan Quraisy, datang ke Medinah merampok sejumlah unta dan kambing. Nabi
pergi mencarinya dan pimpinan Medinah diserahkan kepada Zaid b. Haritha.
Diikutinya orang itu hingga sampai ia di suatu lembah yang disebut Safawan di
daerah Badr. Tetapi Kurz sudah menghilang.
Inilah yang disebut oleh
penulis-penulis sejarah Nabi itu dengan sebutan Perang Badr
Pertama.
Bukankah semua peristiwa ini sudah dapat dijadikan bukti, bahwa
kaum Muhajirin - dan terutama Muhammad - memang sudah memikirkan akan membalas
dendam terhadap Quraisy dan memulai mengadakan permusuhan dan melakukan perang?
Setidak-tidaknya - menurut pikiran ahli-ahli sejarah itu - ini membuktikan,
bahwa dengan mengirimkan satuan-satuan dan ekspedisi-ekspedisi pendahuluan itu
tujuan mereka adalah dua:
Pertama, mengadakan pencegatan terhadap
kafilah-kafilah Quraisy dalam perjalanan mereka ke Syam atau sekembalinya dari
sana dalam perjalanan musim panas, dengan sedapat mungkin merenggut harta yang
dibawa pergi atau barang-barang dagangan yang akan dibawa pulang oleh
kafilah-kafilah itu.
Kedua, mengambil jalur kafilah Qusaisy dalam
perjalannya ke Syam itu dengan jalan mengadakan perjanjian-perjanjian perdamaian
serta persekutuan dengan kabilah-kabilah sepanjang jalan Medinah-Pantai Laut
Merah. Hal ini akan mempermudah pihak Muhajirin melakukan serangan terhadap
kafilah-kafilah Quraisy itu, tanpa ada sesuatu apa yang akan dapat melindungi
mereka dari Muhammad dan sahabat-sahabatnya, sebagai tetangga kabilah-kabilah
tersebut, yaitu suatu perlindungan yang akan mencegah kaum Muslimin - selaku
pihak yang berkuasa dan kuat -bertindak terhadap orang-orang dan harta-benda
mereka itu. Adanya satuan-satuan yang oleh Nabi a.s. pimpinannya diserahkan
masing-masing kepada Hamzah, ‘Ubaida bin’l-Harith dan Sa’d b. Abi Waqqash,
demikian juga persekutuan-persekutuan yang telah diadakan dengan Banu Dzamra,
Banu Mudlij, dan lain-lain, memperkuat maksud tujuan kedua tadi, begitu juga
pengambilan jalan penduduk Mekah ke Syam membuktikan pula sebagian tujuan kaum
Muslimin itu.
Bahwa dengan adanya satuan-satuan (sariya) yang dimulai
enam bulan sesudah mereka tinggal di Medinah dan yang hanya diikuti oleh pihak
Muhajirin saja tujuannya hendak memerangi Quraisy dan menyerbu kafilah-kafilah
mereka, ini akan membuat orang jadi sangsi dan harus berpikir lagi. Pasukan
Hamzah tidak lebih dari 30 orang dari Muhajirin, pasukan ‘Ubaida tidak lebih
dari 60 orang, demikian juga pasukan Sa’d yang menurut suatu sumber 8 orang, dan
menurut sumber yang lain 20 orang. Sedang petugas-petugas yang mengawal
kafilah-kafilah Quraisy biasanya berlipat ganda jumlahnya. Sejak Muhammad
tinggal di Medinah dan mulai mengadakan persekutuan dengan kabilah-kabilah
setempat dan dengan daerah-daerah yang berdekatan, pihak Quraisy makin
memperbanyak jumlah orang dan perlengkapannya. Baik Hamzah, ‘Ubaida ataupun
Sa’d, betapapun keberanian mereka itu sebagai kepala satuan-satuan Muhajirin,
namun persiapan yang ada pada mereka tidak cukup memberi semangat untuk
melakukan perang. Bagi mereka ini semua, kiranya cukup dengan menakut-nakuti
Quraisy saja, tanpa mengadakan perang; kecuali apa yang dilakukan orang tentang
anak panah, yang pernah dilepaskan Sa’d itu.
Disamping itu
kafilah-kafilah Quraisy ini dikawal oleh penduduk Mekah yang mempunyai hubungan
darah dan pertalian kerabat dengan sebagian besar kaum Muhajirin. Jadi tidak
mudah bagi mereka itu mau saling bunuh, atau satu sama lain mau melakukan balas
dendam, atau akan melibatkan Mekah dan Medinah bersama-sama ke dalam suatu
perang saudara, suatu hal yang selama tiga belas tahun terus-menerus, dari mulai
kerasulan Muhammad sampai pada waktu hijrahnya, kaum Muslimin dan orang-orang
pagan di Mekah sudah mampu menghindarinya. Orang-orang Islam itu sudah
mengetahui bahwa Ikrar ‘Aqaba dulu itu adalah ikrar pertahanan (defensif), pihak
Aus dan Khazraj sama-sama berjanji akan melindungi Muhammad. Mereka tidak pernah
memberikan janji kepadanya atau kepada siapapun dari sahabat-sahabatnya bahwa
mereka akan melakukan tindakan permusuhan (agresi).
Sungguhpun sudah
begitu, memang tidak mudah orang akan menyerah begitu saja kepada ahli-ahli
sejarah, yang dalam penulisan sejarah hidup Nabi yang baru dimulai hampir dua
abad kemudian sesudah wafatnya itu mengatakan, bahwa satuan-satuan dan
perjalanan-perualanan yang mula-mula itu tujuannya memang sengaja hendak
melakukan perang. Oleh karena itu, dalam hal ini seharusnya ada suatu penafsiran
yang lebih dekat diterima akal dan sesuai pula dengan politik kaum Muslimin pada
periode mula-mula mereka berada di Medinah, serta sejalan pula dengan
kebijaksanaan Rasul yang pada masa itu didasarkan pada prinsip-prinsip
persetujuan dan saling pengertian dengan pelbagai macam kabilah; di satu pihak
guna menjamin adanya kebebasan melakukan dakwah agama, di pihak lain guna
menjamin adanya kerja sama yang baik dan bertetangga baik.
Menurut hemat
saya adanya satuan-satuan yang mula-mula ini tidak lain maksudnya supaya pihak
Quraisy mengerti, bahwa kepentingan mereka sebenarnya bergantung kepada adanya
saling pengertian dengan pihak Muslimin yang juga dari keluarga mereka, yang
telah terpaksa keluar dari Mekah, karena mengalami tekanan-tekanan. Pengertian
ini berarti bahwa kedua belah pihak harus menghindari adanya bencana permusuhan
dan kebencian serta menjamin bagi pihak Islam adanya kebebasan menjalankan
dakwah agama, dan bagi pihak Mekah adanya keselamatan dan keamanan perdagangan
mereka dalam perjalanannya ke Syam.
Sebenarnya perdagangan yang
dikirimkan dari Mekah dan Ta’if dan yang didatangkan ke Mekah dari bagian
Selatan, adalah perdagangan yang cukup besar. Sebuah kafilah adakalanya
berangkat dengan 2.000 unta dengan muatan seharga lebih dan 50.000 dinar.
Menurut perkiraan Sprenger ekspor Mekah setiap tahunnya mencapai jumlah 250.000
dinar atau kira-kira 160.000 pounsterling. Apabila bagi pihak Quraisy sudah
pasti bahwa bahaya yang mengancam perdagangan ini datangnya dari anak negeri
sendiri yang kini sudah mengungsi ke Medinah, hal ini telah membuatnya
berpikir-pikir dalam hal mengadakan saling pengertian dengan mereka, suatu
saling pengertian yang memang diharapkan oleh pihak Muslimin, yakni jaminan
adanya kebebasan melakukan dakwah agama serta kebebasan memasuki Mekah dan
melakukan tawaf di Ka’bah. Tetapi saling pengertian demikian ini takkan ada
kalau Quraisy tidak dapat memperhitungkan kekuatan pihak Muhajirin dari anak
negerinya sendiri itu, yang kini akan mencegat dan menutup jalan lalu-lintas
perdagangannya.
Inilah yang menurut penafsiran saya yang menyebabkan
Hamzah dan rombongannya dari kalangan Muhajirin kembali, setelah berhadapan
dengan Abu Jahl b. Hisyam di pantai Jazirah, begitu keduanya dilerai oleh Majdi
b. ‘Amr. Selanjutnya seringnya satuan-satuan Muslimin itu menuju rute
perdagangan pihak Mekah dengan suatu jumlah yang sukar sekali dapat dibayangkan
bahwa mereka sedang menuju perang, dapat ditafsirkan demikian. Juga ini pula
yang mengartikan betapa besarnya hasrat Nabi - setelah melihat kecongkakan
Quraisy dan sikapnya dalam menghadapi kekuatan Muhajirin - ingin mengadakan
perdamaian dengan kabilah-kabilah yang tinggal di sepanjang rute perdagangan itu
serta mengadakan persekutuan dengan mereka yang beritanya tentu akan sampai juga
kepada Quraisy. Dengan itu kalau-kalau mereka mau insaf dan kembali memikirkan
perlunya ada saling pengertian dan persetujuan itu.
Pendapat ini kuat
sekali landasannya, yakni bahwa dalam perjalanan Nabi a.s. ke Buwat dan ‘Usyaira
itu tidak sedikit kalangan Anshar dari penduduk Medinah yang menyertainya.
Padahal Anshar itu hanya berikrar untuk mempertahankannya, bukan untuk melakukan
serangan bersama-sama. Hal ini akan jelas terlihat dalam Perang Besar Badr,
tatkala Muhammad kemudian kembali tanpa melakukan pertempuran, yang juga
disetujui oleh orang-orang Medinah. Apabila pihak Anshar memang tidak melihat
adanya suatu pelanggaran terhadap ikrar mereka jika Muhammad mengadakan
perjanjian dengan pihak lain, ini tidak berarti bahwa mereka juga harus ikut
memerangi penduduk Mekah. Bagi ke duanya alasan berperang yang akan dibenarkan
oleh etik Arab atau oleh tata hubungan mereka satu sama lain, tidak ada.
Meskipun dalam perjanjian-perjanjian perdamaian yang diadakan Muhammad guna
memperkuat kedudukan Medinah di samping melemahkan tujuan dagang Quraisy itu
merupakan suatu proteksi, namun hal ini samasekali tidak berarti sama dengan
suatu pengumuman perang atau sesuatu usaha lain kearah itu.
Jadi pendapat
yang mengatakan bahwa keberangkatan satuan-satuan Hamzah, ‘Ubaida bin’l-Harith
dan Sa’d bin Abi Waqqash hanya untuk memerangi Quraisy, dan menamakannya sebagai
suatu penyerbuan, sukar sekali dapat dicernakan. Juga adanya pendapat bahwa
kepergian Muhammad ke Abwa’, Buwat dan ‘Usyaira tidak lain dan suatu penyerbuan,
adalah sangat dibuat-buat, yang pada dasarnya sudah tertolak oleh
keberatan-keberatan yang kami kemukakan tadi. Penulis-penulis riwayat hidup
Muhammad yang telah mengambil alih pendapat tersebut tidak lain memperlihatkan
bahwa mereka menulis peri hidup Muhammad itu baru pada akhir-akhir abad kedua
Hijrah, dan bahwa mereka sangat terpengaruh oleh adanya peperangan-peperangan
yang terjadi kemudian sesudah Perang Besar Badr. Segala bentrokan-bentrokan yang
terjadi sebelum itu, yang tujuannya bukan untuk berperang, lalu mereka anggap
sebagai peperangan, yang dikaitkan pula pada peristiwa-peristiwa kaum Muslimin
masa Nabi.
Rupanya tidak sedikit kalangan Orientalis yang memang sudah
mengetahui adanya sanggahan demikian ini, meskipun tidak mereka sebutkan dalam
buku-buku mereka itu. Adapun yang membuat kita menduga mereka sudah mengetahui
hal ini - disamping usaha mereka menyesuaikan diri dengan ahli-ahli sejarah dari
kalangan Islam mengenai tujuan Muhajirin dan terutama Muhammad dalam menghadapi
pihak Mekah sejak mula-mula mereka tinggal di Medinah - ialah karena mereka
sudah menyebutkan, bahwa satuan-satuan yang mula-mula ini tujuannya tidak lain
ialah merampok barang-barang dagangan kafilah dan bahwa kebiasaan merampok sudah
menjadi watak orang-orang pedalaman dan bahwa penduduk Medinah hanya tertarik
pada barang rampasan dalam mengikuti Muhammad dengan melanggar janji mereka di
‘Aqaba.
Ini adalah pendapat yang terbalik, sebab penduduk Medinah -
seperti juga penduduk Mekah - bukanlah orang-orang pedalaman yang hidupnya dari
menjarah dan merampok. Disamping itu sesuai dengan watak orang yang hidup dari
hasil pertanian, merekapun lebih suka tinggal menetap dan samasekali mereka
tidak tertarik melakukan perang kecuali jika ada alasan yang
luarbiasa
Sebaliknya kaum Muhajirin, mereka berhak membebaskan
harta-benda mereka dari tangan Quraisy. Tetapi sungguhpun begitu mereka bukan
pihak yang mendahului sebelum terjadinya peristiwa Badr. Juga bukan itu pula
yang telah mendorong dikirimnya satuan-satuan dan ekspedisi-ekspedisi yang
mula-mula itu. Selanjutnya, masalah perang ini memang belum diundangkan dalam
Islam, sedang Muhammad dan sahabat-sahabatnya bertindak bukanlah dengan tujuan
ala pedalaman (badui) seperti diduga oleh kaum Orientalis, melainkan apa yang
sudah berlaku dan dilaksanakan oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya ialah jangan
sampai ada orang yang mau diperdayakan dari agamanya dan supaya ada kebebasan
berdakwah sebagaimana mestinya. Nanti penjelasan dan pembuktiannya akan kita
lihat juga. Di situ akan tampak lebih jelas di depan kita, bahwa tujuan Muhammad
dengan perjanjian-perjanjian itu ialah guna memperkuat Medinah, supaya jangan
ada jalan bagi pihak Quraisy dalam mengejar kehendaknya itu, atau mencoba
melakukan kekerasan terhadap kaum Muslimin seperti yang pernah mereka usahakan
dulu ketika hendak mengembalikan orang-orang Islam dari Abisinia. Dalam pada itu
ia pun tidak keberatan mengadakan perjanjian dengan pihak Quraisy asalkan
kebebasan berdakwah untuk agama Allah tetap dijamin, dan jangan ada lagi
kebencian. Agama hanyalah bagi Allah.
Dibalik satuan-satuan dan
ekspedisi-ekspedisi bersenjata ini barangkali masih ada tujuan lain yang
dimaksud oleh Muhammad. Barangkali maksudnya akan menakut-nakuti orang-orang
Yahudi yang tinggal di Medinah dan sekitarnya. Kita sudah menyaksikan, bahwa
ketika Muhammad baru sampai di Medinah, pihak Yahudi berhasrat hendak
merangkulnya. Akan tetapi setelah mereka mengadakan perjanjian perdamaian dan
persetujuan akan kebebasan mengadakan dakwah agama serta melaksanakan upacara
dan kewajiban agama, begitu mereka melihat keadaan Muhammad yang stabil dan
panji Islam yang megah dan menjulang tinggi, mulai mereka membalik memusuhi Nabi
dan berusaha hendak menjerumuskannya. Kalaupun dalam melakukan permusuhan ini
mereka tidak berterus-terang karena dikuatirkan kepentingan perdagangan mereka
akan jadi kacau bila sampai terjadi perang saudara antara penduduk Medinah, atau
karena masih memelihara perjanjian perdamaian dengan mereka itu, maka mereka
telah menempuh segala macam cara guna menyebarkan fitnah di kalangan orang-orang
Islam serta membangkitkan kebencian antara Muhajirin dan Anshar, membangunkan
kembali kedengkian lama antara Aus dan Khazraj dengan menyebut-nyebut sejarah
Bu’ath dan cerita yang terdapat dalam persajakan.
Kaum Muslimin sudah
mengetahui benar adanya komplotan mereka serta caranya yang berlebih-lebihan
itu, sampai-sampai mereka dimasukkan kedalam kelompok kaum munafik, malah
dianggap lebih berbahaya lagi. Mereka pernah dikeluarkan dari mesjid secara
paksa. Orang tidak mau duduk-duduk atau bicara dengan mereka. Dan akhirnya Nabi
a.s. menolak mereka sesudah diusahakannya meyakinkan mereka dengan alasan dan
bukti. Sudah tentu pula apabila orang-orang Yahudi Medinah dibiarkan berbuat
sekehendak hati, mereka akan terus menjadi-jadi dan terus berusaha mengobarkan
fitnah. Dari segi istilah kecermatan diplomasi tidak cukup hanya peringatan dan
meminta kewaspadaan terhadap kelicikan mereka itu saja, tapi harus pula supaya
mereka berasa bahwa Muslimin juga punya kekuatan yang akan dapat menumpas setiap
fitnah yang ada, membasmi jaringan-jaringan fitnah serta mengikis sampai ke
akar-akarnya. Cara yang paling baik untuk membuat mereka merasakan hal ini ialah
dengan mengirimkan satuan-satuan serta menghadapkannya pada
benterokan-benterokan senjata pada beberapa tempat, tapi jangan sampai kekuatan
Muslimin itu jadi hancur, yang oleh pihak Yahudi memang diinginkan, dan juga
diinginkan oleh pihak Quraisy.
Catatan kaki:
1 sariya suatu pasukan pilihan dalam satuan tentara,
paling banyak 400 orang.
Tipu-daya inilah yang sudah terjadi. Dan terjadinya ini terhadap orang semacam
Hamzah, orang yang cepat marah. Untuk menghentikan pertempuran tidak cukup hanya
dengan perantaraan seorang pemisah yang mengajak berdamai padahal belum terjadi
suatu kontak senjata. Kemudian berhentinya pertempuran itupun dengan terhormat,
dengan suatu siasat yang sudah teratur, dengan taktik yang jelas bermaksud
mencapai tujuan-tujuan tertentu, yakni seperti yang sudah kita sebutkan - dari
satu segi guna menakut-nakuti pihak Yahudi, dan dari segi lain suatu usaha ke
arah persetujuan dengan pihak Quraisy untuk memberikan kebebasan yang penuh
dalam menjalankan dakwah agama serta upacara-upacara keagamaan, yang sebenarnya
memang tidak perlu sampai terjadi perang.
Akan tetapi ini tidak berarti,
bahwa Islam menolak perang dalam hal membela diri dan membela keyakinan terhadap
siapa saja yang hendak memperdayanya. Sekali-kali tidak. Bahkan Islam mewajibkan
pembelaan demikian ini. Tetapi artinya, Islam masa itu, juga sekarang dan
demikian pula seterusnya, ia menolak perang permusuhan.
“Dan janganlah kamu melakukan
pelanggaran (agresi) sebab Allah tidak menyukai orang-orang yang melakukan
pelanggaran.” (Qur an, 2: 190)
Apabila kepada
Muhajirin pada waktu itu dibenarkan menuntut harta-benda mereka yang telah
ditahan oleh Quraisy ketika mereka hijrah, maka membela orang-orang beriman yang
mau diperdaya dari agama mereka lebih-lebih lagi dibenarkan. Untuk maksud inilah
pertama sekali hukum perang itu diundangkan.
Bukti terhadap hal ini ialah
adanya ayat-ayat yang diturunkan sehubungan dengan satuan Abdullah ibn Jahsy.
Dalam bulan Rajab tahun itu ia dikirimkan oleh Rasulullah bersama-sama beberapa
orang Muhajirin, dan sepucuk surat diberikan kepadanya dengan perintah untuk
tidak dibuka sebelum mencapai dua hari perjalanan. Ia menjalankan perintah itu.
Kawan-kawannyapun tak ada yang dipaksanya. Dua hari kemudian Abdullah membuka
surat itu, yang berbunyi: “Kalau sudah kaubaca surat ini, teruskan perjalananmu
sampai ke Nakhla (antara Mekah dan Ta’if) dan awasi keadaan mereka. Kemudian
beritahukan kepada kami.”
Disampaikannya hal ini kepada kawan-kawannya
dan bahwa dia tidak memaksa siapapun. Kemudian mereka semua berangkat meneruskan
perjalanan, kecuali Said b. Abi Waqqash (Banu Zuhra) dan ‘Utba b. Ghazwan yang
ketika itu sedang pergi mencari untanya yang sesat tapi oleh pihak Quraisy
mereka lalu ditawan.
Sekarang Abdullah dan rombongannya meneruskan
perjalanan sampai ke Nakhla. Di tempat inilah mereka bertemu dengan kafilah
Quraisy yang dipimpin oleh ‘Amr bin’l-Hadzrami dengan membawa barang-barang
dagangan. Waktu itu akhir Rajab. Teringat oleh Abdullah b. Jahsy dan
rombongannya dari kalangan Muhajirin akan perbuatan Quraisy dahulu serta
harta-benda mereka yang telah dirampas. Mereka berunding. “Kalau kita biarkan
mereka malam ini mereka akan sampai di Mekah dengan bersenang-senang. Tapi kalau
mereka kita gempur, berarti kita menyerang dalam bulan suci,2” kata
mereka.
Mereka maju-mundur, masih takut-takut akan maju. Tetapi kemudian
mereka memberanikan diri dan sepakat akan bertempur, siapa saja yang mampu dan
mengambil apa saja yang ada pada mereka. Salah seorang anggota rombongan itu
melepaskan panahnya dan mengenai ‘Amr bin’l-Hadzrami yang kemudian tewas. Kaum
Muslimin menawan dua orang dari Quraisy.
Sesampainya di Medinah Abdullah
b. Jahsy membawa kafilah dan kedua orang tawanannya itu kepada Rasul, dan kelima
barang rampasan itu diserahkan mereka kepada Muhammad. Tetapi setelah melihat
mereka ini ia berkata, “Aku tidak memerintahkan kamu berperang dalam bulan
suci.”
Kafilah dan kedua tawanan itu ditolaknya. Samasekali ia tidak mau
menerima. Abdullah b. Jahsy dan teman-temannya merasa kebingungan sekali.
Teman-teman sejawat mereka dari kalangan Musliminpun sangat menyalahkan tindakan
mereka itu.
Kesempatan ini oleh Quraisy sekarang dipergunakan.
Disebarkannya provokasi kesegenap penjuru, bahwa Muhammad dan kawan-kawannya
telah melanggar bulan suci, menumpahkan darah, merampas harta-benda dan menawan
orang. Karena itu orang-orang Islam yang berada di Mekahpun lalu menjawab, bahwa
saudara-saudara mereka seagama yang kini hijrah ke Medinah melakukan itu dalam
bulan Sya’ban. Lalu datang orang-orang Yahudi turut mengobarkan api fitnah.
Ketika itulah datang firman Tuhan:
“Mereka bertanya kepadamu tentang
perang dalam bulan suci. Katakanlah: “Perang selama itu adalah soal
(pelanggaran) besar. Tetapi menghalangi orang dari jalan Allah dan
mengingkari-Nya, menghalangi orang memasuki Mesjid Suci dan mengusir orang dari
sana, bagi Allah lebih besar (pelanggarannya). Fitnah itu lebih besar dan
pembunuhan. Dan mereka akan tetap memerangi kamu, sampai mereka berhasil
memalingkan kamu dari agamamu, kalau mereka sanggup.” (Qur’an, 2: 217)
Dengan adanya
keterangan Qur’an dalam soal ini hati kaum Muslimin merasa lega kembali.
Penyelesaian kafilah dan kedua orang tawanan itu kini di tangan Nabi, yang
kemudian oleh Quraisy akan ditebus kembali. Tetapi kata Nabi:
“Kami
takkan menerima penebusan kamu, sebelum kedua sahabat kami kembali - yakni Sa’d
b. Abi Waqqash dan ‘Utba ibn Ghazwan. Kami kuatirkan mereka di tangan kamu.
Kalau kamu bunuh mereka, kawan-kawanmu inipun akan kami bunuh.”
Setelah
Said dan ‘Utba kembali, Nabi mau menerima tebusan kedua tawanan itu. Tapi salah
seorang dari mereka, yaitu Al-Hakam b. Kaisan masuk Islam dan tinggal di
Medinah, sedang yang seorang lagi kembali kepada kepercayaan
nenek-moyangnya.
Pasukan Abdullah b. Jahsy ini dan ayat suci yang
diturunkan karenanya itu, patut sekali kita pelajari. Menurut hemat kami, ini
adalah suatu persimpangan jalan dalam politik Islam. Kejadian ini merupakan
peristiwa baru, yang memperlihatkan adanya jiwa yang kuat dan luhur, suatu
kekuatan yang bersifat insani, meliputi seluk-beluk kehidupan material, moral
dan spiritual. Ia begitu kuat dan luhur dalam tujuannya hendak mencapai
kesempurnaan. Quran memberikan jawaban kepada mereka yang ikut bertanya tentang
perang dalam bulan suci: adalah itu termasuk pelanggaran-pelanggaran besar, yang
diiakan bahwa itu memang masalah besar. Tetapi ada yang lebih besar dari itu.
Menghalangi orang dari jalan Allah serta mengingkari-Nya adalah lebih besar dari
perang dan pembunuhan dalam bulan suci, dan memaksa orang meninggalkan agamanya
dengan ancaman, dengan bujukan atau kekerasan adalah lebih besar daripada
membunuh orang dalam bulan suci atau bukan dalam bulan suci. Orang-orang musyrik
dan Quraisy yang telah menyalahkan kaum Muslimin karena mereka melakukan perang
dalam bulan suci mereka akan selalu memerangi umat Islam supaya berpaling dari
agamanya bila mereka sanggup. Apabila pihak Quraisy dan orang-orang musyrik itu
semua melakukan pelanggaran-pelanggaran ini, menghalangi orang dari jalan Allah
dan mengingkariNya, apabila mereka ternyata mengusir orang dari Mesjid Suci,
memperdayakan orang dari agamanya, maka jangan disalahkan orang yang menjadi
korban penindasan dan pelanggaran itu bila ia juga memerangi mereka dalam bulan
suci. Tetapi bagi orang yang tidak mengalami beban penderitaan ini, melakukan
perang dalam bulan suci memang suatu pelanggaran.
Fitnah itu lebih besar
dari pembunuhan. Memang benar. Bahkan barangsiapa melihat orang lain mencoba
membujuk atau memfitnah orang dari agamanya atau mengalangi dari jalan Allah ia
harus berjuang demi Allah melawan fitnah itu sampai agama dapat diselamatkan. Di
sinilah kalangan Orientalis dan misi-misi penginjil itu mengangkat suara
keras-keras: Lihatlah tuan-tuan! Muhammad dan agamanya itu menganjurkan orang
berperang dan berjuang demi Allah (aljihad fi sabilillah) atau memaksa orang
masuk Islam dengan pedang. Bukankah ini yang namanya fanatik? Sedang agama
Kristen tidak mengenal adanya peperangan dan membenci perang. Sebaliknya malah
menganjurkan toleransi, memperkuat tali persaudaraan antara sesama manusia,
untuk Tuhan dan untuk Jesus.
Sebenarnya saya
tidak ingin berdebat dengan mereka, kalau saya mengutip sebuah kalimat saja
dalam Injil: “Bukannya Aku datang membawa keamanan, melainkan pedang” dan
seterusnya juga tidak tentang arti yang terkandung dalam kalimat tersebut. Umat
Islam mengakui agama Isa itu seperti sudah disebutkan dalam Qur’an. Tetapi yang
terutama perlu saya sampaikan ialah menjawab kata-kata mereka: Muhammad dan
agamanya menganjurkan perang dan memaksa orang masuk Islam dengan pedang. Ini
adalah suatu kebohongan yang ditolak oleh Qur’an:
“Tak ada pemaksaan dalam agama.
Sudah jelas mana jalan yang benar, mana yang salah.” (Qur’an, 2: 256)
“Berjuanglah kamu untuk Allah
melawan mereka yang memerangi kamu. Tetapi janganlah kamu melakukan pelanggaran
(agresi) sebab Allah tidak menyukai orang-orang yang melakukan pelanggaran .”
(Qur’an, 2: 190)
Dan masih
banyak ayat-ayat lain selain dari kedua ayat suci tersebut.
Dalam arti
yang sebenarnya, berjuang demi Allah, ialah seperti disebutkan dalam ayat-ayat
yang kita kutip tadi dan yang turun sehubungan dengan pasukan Abdullah b. Jahsy,
yaitu memerangi mereka yang membuat fitnah dan membujuk si Muslim dari agamanya
atau mengalanginya dari jalan Allah. Perang dalam arti untuk kebebasan berdakwah
agama. Atau dengan kata lain menurut bahasa sekarang: Mempertahankan idea dengan
senjata yang dipergunakan oleh pihak yang memerangi idea itu. Apabila ada
seseorang yang hendak membujuk orang lain dengan jalan propaganda dan logika
tanpa memaksanya dengan atau tanpa kekerasan melalui cara-cara suap-menyuap atau
penyiksaan dengan maksud supaya orang itu meninggalkan ideanya - maka sudah
tentu ia akan menghadapi orang itu dengan jalan menggugurkan argumen dan
logikanya tadi.
Tetapi, apabila dalam usahanya menghadapi orang dan
ideanya itu ia menggunakan kekerasan senjata maka kekerasan senjata itupun harus
dilawan dengan kekerasan senjata pula, bila memang mampu ia berbuat begitu.
Tidak lain sebabnya ialah, karena harga diri manusia itu tersimpul hanya dalam
sepatah kata saja, yaitu: akidahnya. Akidah itu lebih berharga - bagi orang yang
mengenal arti kemanusiaan - daripada harta, daripada kekayaan, kekuasaan dan
daripada hidupnya sendiri; hidup materi yang sama-sama dimiliki oleh manusia dan
hewan, sama-sama makan dan minum, mengalami pertumbuhan tubuh dan enersi. Akidah
adalah suatu komunikasi moral antara manusia dengan manusia, dan komunikasi
rohani antara manusia dengan Tuhan. Nasib inilah yang telah memberikan kelebihan
kepada manusia di atas makhluk lain dalam hidup ini, yang membuat dia mencintai
sesamanya seperti mencintai dirinya sendiri. Ia mengutamakan orang yang hidup
sengsara, hidup miskin dan tidak punya, daripada keluarganya sendiri, meskipun
keluarganya itu sedang dalam kekurangan. Ia mengadakan komunikasi dengan alam
semesta supaya bekerja secara tekun, supaya dapat mengantarkannya kepada
kesempurnaan hidup seperti yang sudah diberikan Tuhan kepadanya
Apabila
akidah yang semacam ini yang ada pada manusia, lalu ada orang lain yang mau
membuat fitnah, mau menceraikannya, sedang dia tak dapat membela diri, ia harus
berbuat seperti dilakukan orang-orang Islam dulu sebelum mereka hijrah ke
Medinah. Dideritanya segala perbuatan kejam dan serba kekerasan itu, dihadapinya
segala penghinaan dan ketidakadilan, dengan hati yang tabah. Rasa lapar dan
serba kekurangan yang bagaimanapun juga tidak sampai menghalangi semangatnya
berperang terus pada akidahnya.
Inilah yang telah dilakukan oleh
orang-orang Islam dahulu, dan ini pula yang telah dilakukan oleh orang-orang
Kristen dahulu.
Akan tetapi mereka yang tabah mempertahankan akidah itu
bukanlah orang-orang kebanyakan. Mereka terdiri dari manusia-manusia terpilih,
yang telah diberi kekuatan iman oleh Tuhan, sehingga karenanya akan terasa kecil
segala siksaan dan kekejaman yang dialaminya, sehingga dapat ia meratakan
gunung-gunung, dan apa yang dikatakannya kepada gunung supaya pindah dari
tempatnya, gunung itu akan pindah - seperti kata Injil juga. Tetapi jika orang
menangkis fitnah dengan senjata yang dipakai membuat fitnah itu dan dapat
menolak pihak yang akan menghalanginya dari jalan Allah dengan cara yang
dipakainya itu pula, maka orang itu harus melakukannya. Kalau tidak ini berarti,
akidahnya masih goyah, imannyapun masih lemah.
Inilah yang telah
dilakukan oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya setelah keadaannya di Medinah
mulai stabil. Dan ini pula yang telah dilakukan oleh orang-orang Kristen setelah
kekuasaan mereka di Rumawi dan Rumawi Timur mulai stabil, dan sesudah hati
maharaja-maharaja Rumawi itu mulai pula lunak terhadap agama
Kristen.
Misi-misi penginjil itu berkata: Tetapi jiwa Kristen itu secara
mutlak menjauhkan diri dari peperangan. Di sini saya tidak bermaksud membahas
benar tidaknya kata-kata itu. Akan tetapi di hadapan kita sejarah Kristen adalah
saksi yang jujur, juga di hadapan kita sejarah Islam adalah saksi yang jujur
pula. Sejak masa permulaan agama Kristen hingga masa kita sekarang ini seluruh
penjuru bumi telah berlumuran darah atas nama Almasih. Telah dilumuri oleh
Rumawi, dilumuri oleh bangsa-bangsa Eropa semua. Perang-perang Salib terjadi
karena dikobarkan oleh orang-orang Kristen, bukan oleh orang Islam. Mengalirnya
pasukanpasukan tentara sejak ratusan tahun dari Eropa menuju daerah-daerah Islam
di Timur, adalah atas nama Salib: peperangan, pembunuhan, pertumpahan darah. Dan
setiap kali, paus-paus sebagai pengganti Jesus, memberi berkah dan restu kepada
pasukan-pasukan tentara itu, yang bergerak maju hendak menguasai Bait’l-Maqdis
(Yerusalem) dan tempat-tempat suci Kristen lainnya.
Adakah barangkali
paus-paus itu semua orang-orang yang sudah menyimpang dari agamanya (heretik)
ataukah kekristenan mereka itu yang palsu? Ataukah juga karena mereka itu
pembual-pembual yang bodoh, tidak mengetahui bahwa agama Kristen secara mutlak
menjauhkan diri dari perang? Atau akan berkata: Itu adalah Abad Pertengahan,
abad kegelapan; janganlah agama Kristen juga yang diprotes. Kalau itu juga yang
kadang mereka katakan, maka abad keduapuluh ini, masa kita hidup sekarang
inipun, yang biasa disebut abad kemajuan dan humanisma - toh dunia juga telah
mengalami nasib seperti yang dialami oleh Abad-abad Pertengahan yang gelap itu.
Sebagai wakil Sekutu - Inggeris, Perancis, Itali, Rumania dan Amerika Lord
Allenby berkata di Yerusalem, pada penutup Perang Dunia Pertama, ketika kota itu
didudukinya dalam tahun 1918: “Sekarang Perang Salib sudah
selesai.”
Apabila di kalangan orang-orang Kristen ada orang-orang suci
yang dalam berbagai zaman menolak adanya perang dan dalam arti persaudaraan
insani mereka telah mencapai puncaknya, bahkan persaudaraannya dengan
unsur-unsur alam semesta, maka di kalangan kaum Muslimin juga ada orang-orang
suci, yang jiwanya sudah begitu luhur. Mereka mengadakan komunikasi dalam arti
persaudaraan, kasih-sayang dan emanasi dengan alam semesta ini, dengan jiwa yang
sudah sarat oleh pengertian kesatuan wujud. Tetapi orang-orang suci itu - baik
dari kalangan Kristen atau Islam - kalaupun mereka sudah mencerminkan cita-cita
yang luhur, namun mereka tidak menterjemahkan kehidupan insani dalam
perkembangannya yang terus-menerus serta dalam perjuangannya mencapai
kesempurnaan, yakni kesempurnaan yang hendak kita coba mencerminkannya. Lalu
pikiran kita terhenti, imajinasi kita terhenti, tanpa dapat kita pahami
seteliti-telitinya, meskipun dalam menggambarkan itu kita sudah cukup mengambil
risiko sebagai pendahuluan usaha kita kearah itu.
Dan kini sudah lampau
masa seribu tiga ratus limapuluh tujuh tahun sejak hijrahnya Nabi dari Mekah ke
Yathrib itu. Tetapi meskipun begitu dalam berbagai zaman manusia makin hebat
juga berlumba-lumba melakukan perang, membuat senjata-senjata jahanam dan fatal.
Kata-kata mencegah perang, penghapusan persenjataan dan menunjuk badan
arbitrasi, tidak lebih dari kata-kata yang biasa diucapkan pada setiap selesai
perang, waktu bangsa-bangsa sedang mengalami kehancuran. Atau ini hanya
serangkaian propaganda yang dilontarkan ketengah-tengah kehidupan oleh
orang-orang yang sampai sekarang belum mampu - dan siapa tahu barangkali takkan
pernah mampu - mewujudkan hal ini, mewujudkan perdamaian yang sebenarnya,
perdamaian dengan rasa persaudaraan dan rasa keadilan, sebagai ganti perdamaian
bersenjata, sebagai lambang perang yang akan mengantarkan kita kepada
kehancuran.
Islam bukan agama ilusi dan khayal, juga bukan agama yang
terbatas mengajak individu saja mencapai kesempurnaan, tapi Islam adalah agama
kodrat (fitrah), yang dengan itu seluruh umat manusia, dalam arti individu dan
masyarakat, dikodratkan. Ia adalah agama yang didasarkan pada kebenaran,
kebebasan dan tata-tertib. Dan oleh karena perang adalah kodrat manusia juga,
maka membersihkan atau mengoreksi pikiran tentang perang dalam jiwa kita lalu
menempatkannya kedalam batas-batas kemampuan manusia yang maksimal, adalah cara
yang mungkin dapat dicapai oleh kodrat manusia itu, dan yang akan melahirkan
kelangsungan evolusi hidup umat manusia dalam mencapai kebaikan dan
kesempurnaannya.
Koreksi atas konsepsi perang ini yang paling baik ialah
hendaknya jangan sampai terjadi perang kecuali untuk membela diri, membela
keyakinan dan kebebasan berpikir serta berusaha kearah itu. Hendaknya rasa harga
diri umat manusia secara integral benar-benar dipelihara.
Inilah yang
sudah. menjadi ketentuan Islam seperti yang sudah kita lihat dan yang akan kita
lihat nanti. Ini pulalah yang digariskan oleh Qur’an seperti yang sudah dan yang
akan kita kemukakan kepada pembaca mengenai peristiwa-peristiwa serta
hubungannya maka Qur’an itu diturunkan.
Catatan kaki:
2 Harfiah, asy-syahr’l-haram,
bulan terlarang, bulan suci, yakni dilarang mengadakan peperangan menurut adat
Arab, yang berlaku selama bulan-bulan Zulkaidah, Zulhijah, dan Muharam, juga
dalam bulan Rajab (A).
SATUAN Abdullah b. Jahsy merupakan persimpangan jalan dalam strategi politik Islam. Ketika itulah Waqid b. Abdullah at-Tamimi melepaskan anak panahnya dan mengenai ‘Amr bin’l-Hadzrami hingga ia tewas. Ini adalah darah pertama ditumpahkan oleh Muslimin. Karena itu pula ayat yang kita sebutkan tadi turun. Sebagai kelanjutannya maka diundangkan perang terhadap mereka yang mau memfitnah dan mengalihkan kaum Muslimin dan agamanya serta menghalangi mereka dan jalan Allah. Juga satuan ini merupakan persimpangan jalan dalam strategi politik Muslimin terhadap Quraisy, karena dengan ini keduanya dapat berhadapan sama kuat. Sesudah itu kaum Muslimin jadi berpikir lebih sungguh-sungguh lagi dalam membebaskan harta-benda mereka dalam menghadapi Quraisy. Disamping itu pihak Quraisy berusaha menghasut seluruh Jazirah Arab, bahwa Muhammad dan sahabat-sahabatnya melakukan pembunuhan dalam bulan suci. Muhammadpun yakin sudah, bahwa harapan akan dapat bekerja sama dengan jalan persetujuan yang sebaik-baiknya dengan mereka sudah tak ada lagi.
Pada permulaan musim
rontok tahun kedua Hijrah, Abu Sufyan berangkat membawa perdagangan yang cukup
besar, menuju Syam. Perjalanan dagang inilah yang ingin dicegat oleh orang-orang
Islam ketika Nabi s.a.w. dulu pergi ke ‘Usyaira. Tetapi tatkala mereka sampai
kafilah Abu Sufyan sudah lewat dua hari lebih dulu sebelum ia tiba di tempat
tersebut. Sekarang kaum Muslimin bertekad menunggu mereka kembali. Sementara
Muhammad menantikan mereka kembali dari Syam itu, dikirimnya Talha b.
‘Ubaidillah dan Sa’id b. Zaid menunggu berita-berita. Mereka berdua berangkat,
dan sesampainya di tempat Kasyd al-Juhani di bilangan Haura’2, mereka
bersembunyi, menunggu hingga kafilah itu lewat. Kemudian cepat-cepat mereka
berdua menemui Muhammad guna memberitahukan keadaan mereka.
Tetapi belum
lagi selesai Muhammad menunggu kedatangan kedua utusan itu dari Haura’ beserta
kabar tentang kafilah yang akan dibawanya, lebih dulu sudah tersebar berita
tentang adanya sebuah rombongan kafilah besar, dan bahwa seluruh penduduk Mekah
punya saham di situ. Tak ada penduduk laki-laki atau wanita yang dapat
memberikan sahamnya yang tidak ikut serta, sehingga seluruhnya mencapai jumlah
50.000 dinar. Ia kuatir, kalau masih menunggu lagi kafilah itu kembali ke Mekah,
mereka akan menghilang seperti ketika berangkat ke Syam dulu. Oleh karena itu ia
segera mengutus kaum Muslimin dengan mengatakan:
“Ini adalah kafilah
Quraisy. Berangkatlah kamu ke sana. Mudah-mudahan Tuhan memberikan kelebihan
kepada kamu.”
Ada orang yang segera menyambutnya dan ada pula yang masih
merasa berat-berat. Dan ada lagi orang-orang yang belum Islam ingin bergabung
karena mereka hanya ingin mendapatkan harta rampasannya saja. Tetapi Muhammad
menolak penggabungan mereka ini sebelum mereka beriman kepada Allah dan
RasulNya.
Sementara itu Abu Sufyan sudah mengetahui pula akan kepergian
Muhammad yang akan mencegat kafilahnya dalam perjalanan ke Syam. Ia kuatir
kalau-kalau kaum Muslimin akan mencegatnya bila ia kembali dengan membawa laba
perdagangan. Sekarang ia tinggal menunggu berita tentang mereka itu, termasuk
Kasyd Juhani yang pernah dikunjungi oleh kedua utusan Muhammad di Haura’ itu, di
antara orang yang ditanyainya. Sekalipun Juhani belum mempercayai berita
tersebut, tapi berita tentang Muhammad, kaum Muhajirin dan Anshar sudah sampai
juga kepadanya seperti tersebarnya berita itu dulu kepada Muhammad. Ia merasa
kuatir juga kalau dari pihak Quraisy pengawalan kafilah hanya terdiri dari tiga
puluh atau empat puluh orang saja.
Ketika itulah ia lalu mengupah
Dzamdzam b. ‘Amr al-Ghifari supaya cepat-cepat pergi ke Mekah untuk mengerahkan
Quraisy menolong harta-benda mereka, juga diberitahukannya, bahwa Muhammad dan
sahabat-sahabatnya sedang mengancam.
Setibanya di Mekah, ketika berada di
tengah-tengah sebuah lembah, dipotongnya kedua telinga dan hidung untanya,
dibalikkannya pelananya dan dia sendiri berhenti di tempat itu sambil
berteriak-teriak memberitahukan, dengan mengenakan baju yang sudah dikoyak-koyak
bagian depan dan belakangnya:
“Hai orang-orang Quraisy! Kafilah, kafilah!
harta bendamu di tangan Abu Sufyan telah dicegat oleh Muhammad dan
sahabat-sahabatnya. Kamu sekalian harus segera menyusul. Perlu pertolongan!
Pertolongan!”
Mendengar ini Abu Jahl segera memanggil orang-orang di
sekitar Ka’bah. Mereka dikerahkan. Abu Jahl adalah seorang laki-laki berbadan
kecil, berwajah keras dengan lidah dan pandangan mata yang tajam. Sebenarnya
orang-orang Quraisy itu sudah tidak perlu lagi dikerahkan karena setiap orang
sudah punya saham sendiri-sendiri dalam kafilah itu.
Sungguhpun begitu
ada juga penduduk Mekah itu sebagian yang sudah merasakan adanya kekejaman
Quraisy terhadap kaum Muslimin sehingga menyebabkan mereka terpaksa hijrah ke
Abisinia dan kemudian hijrah ke Medinah. Mereka ini masih maju-mundur: akan
turut juga berperang mempertahankan harta-benda mereka, atau akan tinggal diam
saja dengan harapan kalau-kalau kafilah itu tidak mengalami sesuatu gangguan.
Mereka ini masih ingat bahwa dulu antara kabilah Quraisy dan kabilah Kinana ada
tuntutan darah yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Apabila mereka ini
cepat-cepat menghadapi Muhammad dalam membela kafilah itu, mereka kuatir akan
diserbu oleh Banu Bakr (dari Kinana) dari belakang. Alasan demikian ini hampir
saja memperkuat pendapat yang ingin tinggal diam saja, kalau tidak lalu datang
Malik b. Ju’syum (Mudlij), seorang pemuka Banu Kinana.
“Bagi kamu aku
adalah jaminan, bahwa Kinana tidak akan melakukan sesuatu di belakang kamu yang
akan merugikan kamu sekalian.”
Dengan demikian orang-orang semacam Abu
Jahl, ‘Amir al-Hadzrami serta penganjur-penganjur perang menentang Muhammad dan
pengikut-pengikutnya, mendapat dukungan kuat. Tak ada alasan bagi orang yang
mampu berperang itu yang akan tinggal di belakang atau akan menggantikannya
kepada orang lain. Dari pemuka-pemuka Quraisypun tak ada yang ketinggalan,
kecuali Abu Lahab yang diwakili oleh al-‘Ash b. Hisyam b. Mughira. Orang ini
punya hutang kepadanya (Abu Lahab) sebanyak 4000 dirham yang tak dibayar
sehingga ia bangkrut karenanya. Sedang Uamyya b. Khalaf sudah bertekad akan
tinggal diam. Dia sebagai orang terpandang, yang sudah tua sekali usianya,
badannya gemuk dan berat.
Ketika itu ia didatangi oleh ‘Uqba b. Abi
Mu’ait dan Abu Jahl ke mesjid. ‘Uqba membawa perapian dengan kemenyan sedang Abu
Jahl membawa tempat celak dan pemalitnya. ‘Uqba meletakkan tempat api itu di
depannya seraya berkata:
“Abu Ali,3 gunakanlah perapian dan menyan
ini, sebab kau wanita.”
“Pakailah celak ini, Abu Ali, sebab kau perempuan,”
kata Abu Jahl.
“Belikan buat aku seekor unta yang terbaik di lembah ini,”
jawab Umayya.
Lalu iapun pergi bersama mereka. Sekarang tiada seorangpun
yang mampu bertempur yang masih tinggal di Mekah.
Pada hari kedelapan
bulan Ramadan tahun kedua Hijrah, Nabi s.a.w. berangkat dengan
sahabat-sahabatnya meninggalkan Medinah. Pimpinan sembahyang diserahkan kepada
‘Amr b. Umm Maktum, sedang pimpinan Medinah kepada Abu Lubaba dari Rauha’. Dalam
perjalanan ini Muslimin didahului oleh dua bendera hitam. Mereka membawa
tujuhpuluh ekor unta, yang dinaiki dengan cara silih berganti. Setiap dua orang,
setiap tiga orang dan setiap empat orang bergantian naik seekor unta. Dalam hal
ini Muhammad juga mendapat bagian sama seperti sahabat-sahabatnya yang lain.
Dia, Ali b. Abi Talib dan Marthad b. Marthad al-Ghanawi bergantian naik seekor
unta. Abu Bakr, Umar dan Abdur-Rahman b. ‘Auf bergantian juga dengan seekor
unta. Jumlah mereka yang berangkat bersama Muhammad dalam ekspedisi ini terdiri
dari tiga ratus lima orang, delapanpuluh tiga di antaranya Muhajirin, enampuluh
satu orang Aus dan yang selebihnya dari Khazraj.
Karena dikuatirkan Abu
Sufyan akan menghilang lagi, cepat-cepat mereka berangkat sambil terus berusaha
mengikuti berita-berita tentang orang ini di mana saja mereka berada.Tatkala
sampai di ‘Irq’z-Zubya mereka bertemu dengan seorang orang Arab gunung yang
ketika ditanyai tentang rombongan itu, ternyata ia tidak mendapat berita
apa-apa. Mereka meneruskan perjalanan hingga sampai di sebuah wadi bernama
Dhafiran; di tempat itu mereka turun. Di tempat inilah mereka mendapat berita,
bahwa pihak Quraisy sudah berangkat dari Mekah, akan melindungi kafilah
mereka.
Ketika itu suasananya sudah berubah. Kini kaum Muslimin dari
kalangan Muhajirin dan Anshar bukan lagi berhadapan dengan Abu Sufyan dengan
kalifahnya serta tigapuluh atau empatpuluh orang rombongannya itu saja, yang
takkan dapat melawan Muhammad dan sahabat-sahabatnya, melainkan Mekah dengan
seluruh isinya sekarang keluar dipimpin oleh pemuka-pemuka mereka sendiri guna
membela perdagangan mereka itu.
Andaikata pihak Muslimin sudah dapat
mengejar Abu Sufyan, dan beberapa orang dari rombongan itu sudah dapat ditawan,
unta beserta muatannya sudah dapat dikuasai, pihak Quraisypun tentu akan segera
pula dapat menyusul mereka. Soalnya karena terdorong oleh rasa cintanya kepada
harta dan ingin mempertahankannya. Mereka merasa sudah didukung oleh sejumlah
orang dan perlengkapan yang cukup besar. Mereka bertekad akan bertempur dan
mengambil kembali harta mereka, atau bersedia mati untuk itu.
Tetapi
sebaliknya, apabila Muhammad kembali ke tempat semula, pihak Quraisy dan Yahudi
Medinah tentu merasa mendapat angin. Dia sendiri terpaksa akan berada dalam
situasi yang serba dibuat-buat, sahabat-sahabatnya pun terpaksa akan memikul
segala tekanan dan gangguan Yahudi Medinah, seperti gangguan yang pernah mereka
alami dari pihak Quraisy di Mekah dahulu. Ya, apabila ia menyerah kepada situasi
semacam itu, mustahil sekali kebenaran akan dapat ditegakkan dan Tuhan akan
memberikan pertolongan dalam menegakkan agama itu.
Sekarang ia
bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya. Diberitahukannya kepada mereka tentang
keadaan Quraisy menurut berita yang sudah diterimanya. Abu Bakr dan Umar juga
lalu memberikan pendapat. Kemudian Miqdad b. ‘Amr tampil
mengatakan:
“Rasulullah, teruskanlah apa yang sudah ditunjukkan Allah.
Kami akan bersama tuan. Kami tidak akan mengatakan seperti Banu Israil yang
berkata kepada Musa: “Pergilahkamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah. Kami di
sini akan tinggal menunggu. Tetapi, pergilah engkau dan Tuhanmu, dan
berperanglah, kami bersamamu akan juga turut berjuang.”
Semua orang
diam.
“Berikan pendapat kamu sekalian kepadaku,” kata Rasul lagi.
Kata-kata ini sebenarnya ditujukan kepada pihak Anshar yang telah menyatakan
Ikrar ‘Aqaba, bahwa mereka akan melindunginya seperti terhadap sanak keluarganya
sendiri, tapi mereka tidak mengadakan ikrar itu untuk mengadakan serangan keluar
Medinah.
Tatkala pihak Anshar merasa bahwa memang mereka yang dimaksud,
maka Sa’d b. Musadh yang memegang pimpinan mereka menoleh kepada
Muhammad.
“Agaknya yang dimaksud Rasulullah adalah kami,”
katanya.
“Ya,” jawab Rasul.
“Kami telah percaya kepada Rasul dan
membenarkan,” kata Sa’d pula, “Kamipun telah menyaksikan bahwa apa yang kaubawa
itu adalah benar. Kami telah memberikan janji kami dan jaminan kami, bahwa kami
akan tetap taat setia. Laksanakanlah kehendakmu, kami disampingmu. Demi yang
telah mengutus kamu, sekiranya kaubentangkan lautan di hadapan kami, lalu kau
terjun menyeberanginya, kamipun akan terjun bersamamu, dan tak seorangpun dari
kami akan tinggal di belakang. Kami takkan segan-segan menghadapi musuh kita
besok. Kami cukup tabah dalam perang, cukup setia bertempur. Semoga Tuhan
membuktikan segalanya dari kami yang akan menyenangkan hatimu. Ajaklah kami
bersama, dengan berkah Tuhan.”
Begitu Sa’d selesai bicara, wajah Muhammad
tampak berseri. Tampaknya ia puas sekali; seraya katanya:
“Berangkatlah,
dan gembirakan! Allah sudah menjanjikan kepadaku atas salah satunya dari dua
kelompok4
itu. Seolah-olah kini kehancuran mereka itu tampak di
hadapanku.”
Merekapun lalu berangkat semua. Ketika sampai pada suatu
tempat dekat Badr, Muhammad pergi lagi dengan untanya sendiri. Ia menemui
seorang orang Arab tua. Kepada orang ini ia menanyakan Quraisy dan menanyakan
Muhammad dan sahabat-sahabatnya, yang kemudian daripadanya diketahui, bahwa
kafilah Quraisy berada tidak jauh dari tempat itu.
Lalu kembali lagi ia
ke tempat sahabat-sahabatnya. Ali b. Abi Talib, Zubair bin’l-Awwam, Sa’d b. Abi
Waqqash serta beberapa orang sahabat lainnya segera ditugaskan mengumpulkan
berita-berita dari sebuah tempat di Badr. Kurir ini segera kembali dengan
membawa dua orang anak. Dari kedua orang ini Muhammad mengetahui, bahwa pihak
Quraisy kini berada di balik bukit pasir di tepi ujung Wadi.5 Ketika mereka
menjawab, bahwa mereka tidak mengetahui berapa jumlah pihak Quraisy, ditanya
lagi oleh Muhammad:
“Berapa ekor ternak yang mereka potong tiap
hari?”
“Kadang sehari sembilan, kadang sehari sepuluh ekor,” jawab
mereka.
Dengan demikian Nabi dapat mengambil kesimpulan, bahwa mereka
terdiri dari antara 900 sampai 1000 orang. Juga dari kedua anak itu dapat
diketahui bahwa bangsawan-bangsawan Quraisy ikut serta memperkuat
diri
Lalu katanya kepada sahabat-sahabatnya:
“Lihat. Sekarang
Mekah sudah menghadapkan semua bunga bangsanya kepada kita.”
Mau tidak
mau, sekarang ia dan sahabat-sahabatnya harus berhadapan dengan suatu golongan
yang jumlahnya tiga kali jauh lebih besar. Mereka harus mengerahkan seluruh
semangat, harus mengadakan persiapan mental menghadapi kekerasan itu. Mereka
harus siap menunggu suatu pertempuran sengit dan dahsyat, yang takkan dapat
dimenangkan kecuali oleh iman yang kuat memenuhi kalbu, iman dan kepercayaan
akan adanya kemenangan itu.
Bilamana Ali sudah kembali dengan kedua orang
anak yang membawa berita tentang Quraisy itu, dua orang Muslimin lainnya lalu
berangkat lagi menuju lembah Badr. Mereka berhenti di atas sebuah bukit tidak
jauh dari tempat air, dikeluarkannya tempat persediaan airnya, dan di sini
mereka mengisi air itu.
Sementara mereka berada di tempat air, terdengar
ada suara seorang budak perempuan, yang agaknya sedang menagih hutang kepada
seorang wanita lainnya, yang lalu dijawab:
“Kafilah dagang besok atau
lusa akan datang. Pekerjaan akan kuselesaikan dengan mereka dan hutang segera
akan kubayar.”
Kedua laki-laki itu kembali. Disampaikannya apa yang telah
mereka dengar itu kepada Muhammad.
Tetapi, dalam pada itu Abu Sufyan
sudah mendahului kafilahnya mencari-cari berita. Ia kuatir Muhammad akan sudah
lebih dulu ada di jalan itu. Sesampainya di tempat air ia bertemu dengan Majdi
b. ‘Amr.
“Ada kau melihat orang tadi?” tanyanya.
Majdi menjawab
bahwa ia melihat ada dua orang berhenti di bukit itu sambil ia menunjuk ke
tempat dua orang laki-laki Muslim itu tadi berhenti. Abu Sufyanpun pergi
mendatangi tempat perhentian tersebut. Dilihatnya ada kotoran dua ekor unta dan
setelah diperiksanya, diketahuinya, bahwa biji kotoran itu berasal dari makanan
ternak Yathrib.
Cepat-cepat ia kembali menemui teman-temannya dan
membatalkan perjalanannya melalui jalan semula. Dengan tergesa-gesa sekali
sekarang ia memutar haluan melalui jalan pantai laut. Jaraknya dengan Muhammad
sudah jauh, dan dia dapat meloloskan diri.
Hingga keesokan harinya kaum
Muslimin masih menantikan kafilah itu akan lewat. Tetapi setelah ada
berita-berita bahwa ia sudah lolos dan yang masih ada di dekat mereka sekarang
adalah angkatan perang Quraisy, beberapa orang yang tadinya mempunyai harapan
penuh akan beroleh harta rampasan, terbalik menjadi layu. Beberapa orang
bertukar pikiran dengan Nabi dengan maksud supaya kembali saja ke Medinah, tidak
perlu berhadapan dengan mereka yang datang dari Mekah hendak berperang. Ketika
itu datang firman Tuhan:
“Ingat! Tuhan menjanjikan kamu salah satu dari
dua keIompok (musuh) itu untuk kamu. Sedang kamu menginginkan, bahwa yang tidak
bersenjata itulah yang untuk kamu. Tetapi Allah mau membuktikan kebenaran itu
sesuai dengan ayat-ayatNya, dan akan merabut akar orang-orang yang tak beriman
itu.”6
Pada pihak Quraisy juga begitu. Perlu apa mereka berperang,
perdagangan mereka sudah selamat? Bukankah lebih baik mereka kembali ke tempat
semula, dan membiarkan pihak Islam kembali ke tempat mereka. Abu Sufyan juga
berpikir begitu. Itu sebabnya ia mengirim utusan kepada Quraisy mengatakan: Kamu
telah berangkat guna menjaga kafilah dagang, orang-orang serta harta-benda kita.
Sekarang kita sudah diselamatkan Tuhan. Kembalilah. Tidak sedikit dari pihak
Quraisy sendiri yang juga mendukung pendapat ini.
Catatan kaki:
1 Pada umumnya istilah ghazwa dan sarinya, dibedakan
dengan pengertian, bahwa ghazwa (jamak ghazawat), pasukan yang bergerak
bersama-sama dengan Nabi, sedang sariya (jamak saraya) pasukan yang bergerak
tanpa Nabi ikut serta. Kata ghazwa pada umumnya diterjemahkan dengan perang.
Dalam terjemahan ini dipergunakan tiga pengertian: perang ekspedisi dan razzia
atau pembersihan. Buku yang lebih khusus membicarakan strategi perang antara
lain: Mayor Muh. Abd’l-Fattah Ibrahim, Muhammad al-Qa’id, Cairo 1945/1964;
Muhammad Hamidullah, The Battlefields of the Prophet Muhammad, Working, England,
1952, 1953; Jenderal Mahmud Syait Khattab Ar-Rasul’l-Qa’id, Cairo, 1964. Badr
adalah sebuah desa di barat daya Medinah, sebuah pangkalan air terkenal yang
terletak antara Medinah dan Mekah, tak seberapa jauh dari pantai Laut Merah
(A).
2
Al-Haura, sebuah distrik di sebelah Mesir pada akhir perbatasan dengan Hijaz di
Laut Merah, yang merupakan pelabuhan kapal-kapal Mesir ke Medinah. Cf. Jenderal
Mahmud Syeit Khattab, ar-Rasul’l-Qa’id, hal. 90 (A).
3 Julukan Umayya b. Khalaf
(A).
4
Ihda’t-ta’ifatain, harfiah, salah satu dari dua kelompok. Dua kelompok ialah
kafilah Quraisy yang datang dari Suria membawa harta dagangan yang besar,
terdiri dari 40 orang tak bersenjata di bawah pimpinan Abu Sufyan. 2) Angkatan
bersenjata Quraisy terdiri dan 1000 orang dengan perenjataan lengkap datang dan
Mekah di bawah pimpinan Abu Jahl. (A).
5 ‘Udwa ‘tepi wadi’ (LA).
Al-‘udwat’l-qashwa ‘tepi wadi
yang lebih dekat ke arah Mekah’ sebaliknya
daripada ‘al-‘udwat’d-dunya’ ‘tepi wadi yang lebih dekat ke arah Medinah’ (L4)
(A)
6
Qur’an, 8: 7. (Lihat juga catatan bahwa halaman 268) (A).
Tetapi Abu Jahl
ketika mendengar kata-kata ini, tiba-tiba berteriak:
“Kita tidak akan
kembali sebelum kita sampai di Badr. Kita akan tinggal tiga malam di tempat itu.
Kita memotong ternak, kita makan-makan, minum-minum khamr, kita minta
biduanita-biduanita bernyanyi. Biar orang-orang Arab itu mendengar dan
mengetahui perjalanan dan persiapan kita. Biar mereka tidak lagi mau
menakut-nakuti kita.”
Soalnya pada waktu itu Badr merupakan tempat pesta
tahunan. Apabila pihak Quraisy menarik diri dari tempat itu setelah perdagangan
mereka selamat, bisa jadi akan ditafsirkan oleh orang-orang Arab - menurut
pendapat Abu Jahl - bahwa mereka takut kepada Muhammad dan teman-temannya. Dan
ini berarti kekuasaan Muhammad akan makin terasa, ajarannya akan makin tersebar,
makin kuat. Apalagi sesudah adanya satuan Abdullah b. Jahsy, terbunuhnya
Ibn’l-Hadzrami, dirampasnya dan ditawannya orang-orang Quraisy.
Mereka
jadi ragu-ragu: antara mau ikut Abu Jahl karena takut dituduh pengecut, atau
kembali saja setelah kafilah perdagangan mereka selamat. Tetapi yang ternyata
kemudian kembali pulang hanya Banu Zuhra, setelah mereka mau mendengarkan saran
Akhnas b. Syariq, orang yang cukup ditaati mereka.
Pihak Quraisy yang
lain ikut Abu Jahl. Mereka berangkat menuju ke sebuah tempat perhentian, di
tempat ini mereka mengadakan persiapan perang, kemudian mengadakan perundingan.
Lalu mereka berangkat lagi ke tepi ujung wadi, berlindung di balik sebuah bukit
pasir.
Sebaliknya pihak Muslimin, yang sudah kehilangan kesempatan
mendapatkan harta rampasan, sudah sepakat akan bertahan terhadap musuh bila
kelak diserang. Oleh karena itu merekapun segera berangkat ke tempat mata air di
Badr itu, dan perjalanan ini lebih mudah lagi karena waktu itu hujan turun.
Setelah mereka sudah mendekati mata air, Muhammad berhenti. Ada seseorang yang
bernama Hubab b. Mundhir b. Jamuh, orang yang paling banyak mengenal tempat itu,
setelah dilihatnya Nabi turun di tempat tersebut, ia
bertanya:
“Rasulullah, bagaimana pendapat tuan berhenti di tempat ini?
Kalau ini sudah wahyu Tuhan, kita takkan maju atau mundur setapakpun dari tempat
ini. Ataukah ini sekedar pendapat tuan sendiri, suatu taktik perang
belaka?”
“Sekedar pendapat saya dan sebagai taktik perang,” jawab
Muhammad.
“Rasulullah,” katanya lagi. “Kalau begitu, tidak tepat kita
berhenti di tempat ini. Mari kita pindah sampai ke tempat mata air terdekat dan
mereka, lalu sumur-sumur kering yang dibelakang itu kita timbun. Selanjutnya
kita membuat kolam, kita isi sepenuhnya. Barulah kita hadapi mereka berperang.
Kita akan mendapat air minum, mereka tidak.”
Melihat saran Hubab yang
begitu tepat itu, Muhammad dan rombongannya segera pula bersiap-siap dan
mengikuti pendapat temannya itu, sambil mengatakan kepada sahabat-sahabatnya
bahwa dia juga manusia seperti mereka, dan bahwa sesuatu pendapat itu dapat
dimusyawarahkan bersama-sama dan dia tidak akan menggunakan pendapat sendiri di
luar mereka. Dia perlu sekali mendapat konsultasi yang baik dari sesama mereka
sendiri.
Selesai kolam itu dibuat, Sa’d b. Mu’adh
mengusulkan:
“Rasulullah,”7 katanya, “kami akan membuatkan
sebuah dangau buat tempat Tuan tinggal, kendaraan Tuan kami sediakan. Kemudian
biarlah kami yang menghadapi musuh. Kalau Tuhan memberi kemenangan kepada kita
atas musuh kita, itulah yang kita harapkan. Tetapi kalaupun sebaliknya yang
terjadi; dengan kendaraan itu Tuan dapat menyusul teman-teman yang ada di
belakang kita. Rasulullah,7 masih banyak sahabat-sahabat kita yang tinggal di
belakang, dan cinta mereka kepada tuan tidak kurang dari cinta kami ini kepada
tuan. Sekiranya mereka dapat menduga bahwa tuan akan dihadapkan pada perang,
niscaya mereka tidak akan berpisah dari tuan. Dengan mereka Tuhan menjaga tuan.
Mereka benar-benar ikhlas kepada tuan, berjuang bersama tuan.”
Muhammad
sangat menghargai dan menerima baik saran Sa’d itu. Sebuah dangau buat Nabi lalu
dibangun. Jadi bila nanti kemenangan bukan di tangan Muslimin, ia takkan jatuh
ke tangan musuh, dan masih akan dapat bergabung dengan sahabat-sahabatnya di
Yathrib.
Disini orang perlu berhenti sejenak dengan penuh kekaguman,
kagum melihat kesetiaan Muslimin yang begitu dalam, rasa kecintaan mereka yang
begitu besar kepada Muhammad, serta dengan kepercayaan penuh kepada ajarannya.
Semua mereka mengetahui, bahwa kekuatan Quraisy jauh lebih besar dari kekuatan
mereka, jumlahnya tiga kali lipat banyaknya. Tetapi, sungguhpun begitu, mereka
sanggup menghadapi, mereka sanggup melawan. Dan mereka inilah yang sudah
kehilangan kesempatan mendapatkan harta rampasan. Tetapi sungguhpun begitu
karena bukan pengaruh materi itu yang mendorong mereka bertempur, mereka selalu
siap disamping Nabi, memberikan dukungan, memberikan kekuatan. Dan mereka inilah
yang juga sangsi, antara harapan akan menang, dan kecemasan akan kalah. Tetapi,
sungguhpun begitu, pikiran mereka selalu hendak melindungi Nabi, hendak
menyelamatkannya dari tangan musuh. Mereka menyiapkan jalan baginya untuk
menghubungi orang-orang yang masih tinggal di Medinah. Suasana yang bagaimana
lagi yang lebih patut dikagumi daripada ini? Iman mana lagi yang lebih menjamin
akan memberikan kemenangan seperti iman yang ada ini?
Sekarang pihak
Quraisy sudah turun ke medan perang. Mereka mengutus orang yang akan memberikan
laporan tentang keadaan kaum Muslimin. Mereka lalu mengetahui, bahwa jumlah kaum
Muslimin lebih kurang tiga ratus orang, tanpa pasukan pengintai, tanpa bala
bantuan. Tetapi mereka adalah orang-orang yang hanya berlindung pada pedang
mereka sendiri. Tiada seorang dan mereka akan rela mati terbunuh, sebelum dapat
membunuh lawan.
Mengingat bahwa gembong-gembong Quraisy telah juga ikut
serta dalam angkatan perang ini, beberapa orang dari kalangan ahli pikir mereka
merasa kuatir, kalau-kalau banyak dari mereka itu yang akan terbunuh, sehingga
Mekah sendiri nanti akan kehilangan arti. Sungguhpun begitu mereka masih takut
kepada Abu Jahl yang begitu keras, juga mereka takut dituduh pengecut dan
penakut. Tetapi tiba-tiba tampil ‘Utba b. Rabi’a ke hadapan mereka itu sambil
berkata:
“Saudara-saudara kaum Quraisy, apa yang tuan-tuan lakukan hendak
memerangi Muhammad dan kawan-kawannya itu, sebenarnya tak ada gunanya. Kalau dia
sampai binasa karena tuan-tuan, masih ada orang lain dari kalangan tuan-tuan
sendin yang akan melihat, bahwa yang terbunuh itu adalah saudara sepupunya, dari
pihak bapa atau pihak ibu, atau siapa saja dari keluarganya. Kembali sajalah dan
biarkan Muhammad dengan teman-temannya itu. Kalau dia binasa karena pihak lain,
maka itu yang tuan-tuan kehendaki. Tetapi kalau bukan itu yang terjadi, kita
tidak perlu melibatkan diri dalam hal-hal yang tidak kita
inginkan.”
Mendengar kata-kata ‘Utba itu, Abu Jahl naik darah. Ia segera
memanggil ‘Amir bin’l-Hadzrami dengan mengatakan:
“Sekutumu ini ingin
supaya orang pulang. Kau sudah melihat dengan mata kepala sendiri siapa yang
harus dituntut balas.
Sekarang, tuntutlah
pembunuhan terhadap saudaramu!”8
‘Amir segera bangkit dan
berteriak:
“O saudaraku! Tak ada jalan lain mesti perang!”
Dengan
dipercepatnya pertempuran itu Aswad b. ‘Abd’l-Asad (Makhzum) keluar dari barisan
Quraisy langsung menyerbu ke tengah-tengah barisan Muslimin dengan maksud hendak
menghancurkan kolam air yang sudah selesai dibuat. Tetapi ketika itu juga Hamzah
b. Abd’l-Muttalib segera menyambutnya dengan satu pukulan yang mengenai kakinya,
sehingga ia tersungkur dengan kaki yang sudah berlumuran darah. Sekali lagi
Hamzah memberikan pukulan, sehingga ia tewas di belakang kolam itu. Buat mata
pedang memang tak ada yang tampak lebih tajam daripada darah. Juga tak ada
sesuatu yang lebih keras membakar semangat perang dan pertempuran dalam jiwa
manusia daripada melihat orang yang mati di tangan musuh sedang teman-temannya
berdiri menyaksikan.
Begitu melihat Aswad jatuh, maka tampillah ‘Utba b.
Rabi’a didampingi oleh Syaiba saudaranya dan Walid b. ‘Utba anaknya, sambil
menyerukan mengajak duel. Seruannya itu disambut oleh pemuda-pemuda dari
Medinah. Tetapi setelah melihat mereka ini ia berkata lagi:
“Kami tidak
memerlukan kamu. Yang kami maksudkan ialah golongan kami.”
Lalu dari
mereka ada yang memanggil-manggil:
“Hai Muhammad! Suruh mereka yang
berwibawa dari asal golongan kami itu tampil!”
Ketika itu juga yang
tampil menghadapi mereka adalah Hamzah b. Abd’l-Muttalib, Ali b. Abi Talib dan
‘Ubaida bin’l-Harith. Hamzah tidak lagi memberi kesempatan kepada Syaiba, juga
Ali tidak memberi kesempatan kepada Walid, mereka itu ditewaskan. Lalu keduanya
segera membantu ‘Ubaida yang kini sedang diterkam oleh ‘Utba. Sesudah Quraisy
sekarang melihat kenyataan ini mereka semua maju menyerbu.
Pada pagi
Jum’at 17 Ramadan itulah kedua pasukan itu berhadap-hadapan
muka.
Sekarang Muhammad sendiri yang tampil memimpin Muslimin, mengatur
barisan. Tetapi ketika dilihatnya pasukan Quraisy begitu besar, sedang anak
buahnya sedikit sekali, disamping perlengkapan yang sangat lemah dibanding
dengan perlengkapan Quraisy, ia kembali ke pondoknya ditemani oleh Abu Bakr.
Sungguh cemas ia akan peristiwa yang akan terjadi hari itu, sungguh pilu hatinya
melihat nasib yang akan menimpa Islam sekiranya Muslimin tidak sampai mendapat
kemenangan.
Muhammad kini menghadapkan wajahnya ke kiblat, dengan seluruh
jiwanya ia menghadapkan diri kepada Tuhan, ia mengimbau Tuhan akan segala apa
yang telah dijanjikan kepadanya, ia membisikkan permohonan dalam hatinya agar
Tuhan memberikan pertolongan. Begitu dalam ia hanyut dalam doa, dalam
permohonan, sambil berkata:
“Allahumma ya Allah. Ini Quraisy sekarang
datang dengan segala kecongkakannya, berusaha hendak mendustakan RasulMu. Ya
Allah, pertolonganMu juga yang Kaujanjikan kepadaku. Ya Allah, jika pasukan ini
sekarang binasa tidak lagi ada ibadat kepadaMu.”
Sementara ia masih
hanyut dalam doa kepada Tuhan sambil merentangkan tangan menghadap kiblat itu,
mantelnya terjatuh. Ketika itu Abu Bakr lalu meletakkan mantel itu kembali ke
bahunya, sambil ia bermohon:
“Rasulullah, dengan doamu itu Tuhan akan
mengabulkan apa yang telah dijanjikan kepadamu.”
Tetapi sungguhpun
begitu, Muhammad makin dalam terbawa dalam doa, dalam tawajuh kepada Allah;
dengan penuh khusyu’ dan kesungguhan hati ia terus memanjatkan doa, memohonkan
isyarat dan pertolongan Tuhan dalam menghadapi peristiwa, yang oleh kaum
Muslimin sama sekali tidak diharapkan, dan untuk itu tidak pula mereka punya
persiapan. Karena yang demikian inilah akhirnya ia sampai terangguk dalam
keadaan mengantuk. Dalam pada itu tampak olehnya pertolongan Tuhan itu ada. Ia
sadar kembali, kemudian ia bangun dengan penuh rasa gembira.
Sekarang ia
keluar menemui sahabat-sahabatnya; dikerahkannya mereka sambil
berkata:
“Demi Dia Yang memegang hidup Muhammad.9 Setiap orang yang sekarang
bertempur dengan tabah, bertahan mati-matian, terus maju dan pantang mundur,
lalu ia tewas, maka Allah akan menempatkannya di dalam surga.”
Jiwanya
yang begitu kuat, yang telah diberikan Tuhan begitu tinggi melampaui segala
kekuatan, telah tertanam pula dengan ajarannya ke dalam jiwa orang-orang
beriman. Dan kekuatan mereka itu sudah melampaui semangat mereka sendiri,
sehingga setiap orang dari mereka sama dengan dua orang, bahkan sama dengan
sepuluh orang.
Akan lebih mudah orang memahami ini bila diingat arti
kekuatan moril yang begitu besar pengaruhnya dalam jiwa seseorang, dan ini akan
bertambah besar pengaruhnya apabila kekuatan moril ini ada pula dasarnya.
Semangat nasionalisma juga dapat menambah ini. Seorang prajurit yang
mempertahankan tanah air yang terancam bahaya, jiwanya penuh dengan semangat
patriotisma, akan bertambah kekuatan morilnya sesuai dengan besar cintanya
kepada tanah air serta kekuatirannya akan bahaya yang mengancam tanah air itu
dari pihak musuh.
Oleh karena itu semangat patriotisma dan pengorbanan
untuk tanah air oleh bangsa-bangsa di dunia telah ditanamkan kepada warga
negaranya sejak semasa mereka kecil. Adanya kepercayaan kepada kebenaran, kepada
keadilan, kebebasan serta arti kemanusiaan yang tinggi menambah pula kekuatan
moril dalam jiwa orang. Ini berarti melipat-gandakan kekuatan materi. Dan orang
yang masih ingat akan propaganda anti-Jerman yang begitu luas disebarkan pihak
Sekutu dalam Perang Dunia I, yang pada dasarnya mereka berperang melawan
kekuatan senjata Jerman itu karena hendak membela kebebasan dan kebenaran serta
mempersiapkan suatu perjanjian perdamaian, akan menyadari betapa sesungguhnya
propaganda itu dapat melipat-gandakan kekuatan semangat prajurit-prajurit Sekutu
di samping menimbulkan simpati sebagian besar bangsa-bangsa di dunia.
Apa
artinya nasionalisma dan masalah perdamaian, dibandingkan dengan tujuan yang
diserukan Muhammad itu! Tujuan komunikasi manusia dengan seluruh wujud, suatu
komunikasi yang akan meleburkannya dan keluar menjadi salah satu kekuatan alam
semesta, yang akan memberi arah kepadanya menuju kebaikan hidup, kenikmatan dan
kesempurnaan yang integral.
Ya! Apa artinya nasionalisma dan masalah
perdamaian disamping kewajibannya disisi Tuhan, membela orang-orang yang beriman
dari renggutan mereka yang hendak membuat fitnah dan godaan, dari mereka yang
mengalangi jalan kebenaran, mereka yang hendak menjerumuskan umat manusia ke
jurang paganisma dan syirik. Apabila dengan rasa cinta tanah air jiwa itu makin
kuat, sesuai dengan semua kekuatan tanah air yang ada, dan dengan rasa cinta
perdamaian untuk seluruh umat manusia jiwa itupun makin kuat, sesuai dengan
kekuatan semua umat manusia yang ada, maka betapa pula dahsyatnya kekuatan jiwa
yang dibawa oleh adanya iman kepada semesta wujud dan Pencipta seluruh wujud
ini! Iman itulah yang akan membuat tenaga manusia mampu memindahkan gunung,
menggerakkan isi dunia. Ia dapat mengawasi - dengan kemampuan morilnya - segala
yang masih berada di bawah taraf itu. Dan kemampuan moril ini akan berlipat
ganda pula kekuatannya.
Apabila secara integral kemampuan moril ini belum
lagi mencapai tujuannya disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat di kalangan
Muslimin sebelum terjadi perang, belum dicapainya kekuatan materi sebagaimana
yang diharapkan, maka dengan daya iman itu justru ia mempunyai kelebihannya. Hal
ini bertambah kuat lagi tatkala Muhammad dan sahabat-sahabatnya dapat
mengerahkan mereka. Maka dengan demikian, jumlah manusia dan perlengkapan yang
sangat sedikit itu telah rnendapat kompensasi. Dalam keadaan Nabi dan
sahabat-sahabatnya yang demikian inilah kedua ayat ini turun:
“O Nabi! Bangunkanlah semangat
orang-orang beriman itu dalam menghadapi perang. Bila kamu berjumlah duapuluh
orang yang tabah, mereka ini akan mengalahkan duaratus orang. Bila kamu
berjumlah seratus orang, niscaya akan mengalahkan seribu orang kafir; sebab
mereka adalah orang-orang yang tidak mengerti. Sekarang Tuhan meringankan kamu,
karena Ia mengetahui, bahwa pada kamu masih ada kelemahan. Maka, jika kamu
berjumlah seratus orang yang tabah, akan dapat mengalahkan duaratus orang, dan
jika kamu seribu orang, akan dapat mengalahkan duaribu dengan ijin Allah. Dan
Allah bersama orang-orang yang berhati tabah.” (Qur’an,
8:55-56.)
Keadaan
Muslimin ternyata bertambah kuat setelah Muhammad membangkitkan semangat mereka,
turut hadir di tengah-tengah mereka, mendorong mereka mengadakan perlawanan
terhadap musuh. Ia menyerukan kepada mereka, bahwa surga bagi mereka yang telah
teruji baik dan langsung terjun ke tengah-tengah musuh. Dalam hal ini kaum
Muslimin mengarahkan perhatiannya pada pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin
Quraisy. Mereka hendak dikikis habis sebagai balasan yang seimbang tatkala
mereka disiksa di Mekah dulu, dirintangi memasuki Mesjid Suci dan berjuang untuk
Allah. Bilal melihat Umayya b. Khalaf dan anaknya, begitu juga beberapa orang
Islam melihat mereka yang dikenalnya di Mekah dulu. Umayya ini adalah orang yang
pernah menyiksa Bilal dulu, ketika ia dibawanya ketengah-tengah padang pasir
yang paling panas di Mekah. Ditelentangkannya ia di tempat itu lalu
ditindihkannya batu besar di dadanya, dengan maksud supaya ia meninggalkan
Islam. Tetapi Bilal hanya berkata: “Ahad, Ahad.10 Yang Satu, Yang
Satu.”
Ketika dilihatnya Umayya, Bilal berkata:
“Umayya, moyang
kafir. Takkan selamat aku, kalau kau lolos!”
Beberapa orang dari kalangan
Muslimin mengelilingi Umayya dengan tujuan jangan sampai ia terbunuh dan akan
dibawanya sebagai tawanan.
Tetapi Bilal di tengah-tengah orang banyak itu
berteriak sekeras-kerasnya:
“Sekalian tentara Tuhan! Ini Umayya b. Khalaf
kepala kafir.
Takkan selamat aku kalau ia lolos.”
Orang banyak
berkumpul. Tetapi Bilal tak dapat diredakan lagi, dan Umayya dibunuhnya. Ketika
itu Mu’adh b. ‘Amr b. Jamuh juga dapat menewaskan Abu Jahl b. Hisyam. Kemudian
Hamzah, Ali dan pahlawan-pahlawan Islam yang lain menyerbu ke tengah-tengah
pertempuran sengit itu. Mereka sudah lupa akan dirinya masing-masing dan lupa
pula akan jumlah kawan-kawannya yang hanya sedikit berhadapan dengan musuh yang
begitu besar.
Debu dan pasir halus membubung dan beterbangan memenuhi
udara. Kepala-kepala ketika itu sudah lepas berjatuhan dari tubuh Quraisy.
Berkat iman yang teguh keadaan Muslimin bertambah kuat juga. Dengan gembira
mereka berseru: Ahad, Ahad. Di hadapan mereka kini terbuka tabir ruang dan
waktu, sebagai bantuan Tuhan kepada mereka dengan para malaikat yang memberikan
berita gembira, yang membuat iman mereka bertambah teguh, sehingga bila salah
seorang dari mereka mengangkat pedang dan mengayunkannya ke leher musuh,
seolah-olah tangan mereka digerakkan dengan tenaga Tuhan.
Di
tengah-tengah medan pertempuran yang sedang sibuk dikunjungi malaikat maut
memunguti leher orang-orang kafir itu, Muhammad berdiri. Diambilnya segenggam
pasir, dihadapkannya kepada Quraisy. “Celakalah wajah-wajah mereka itu!” katanya
sambil menaburkan pasir itu kearah mereka.
Sahabat-sahabatnya lalu diberi
komando:
“Serbu!”
Catatan kaki:
7 Aslinya “Ya Nabiullah” (A).
8 Maksudnya ‘Amr bin’l-Hadzami
yang tewas dalam bentrokan dengan satuan Abdullah b. Jahsy (A).
9 “Demi Allah”
(A).
10 Suatu pernyataan Tauhid (A).
Serentak pihak Muslimin menyerbu kedepan, masih dalam jumlah yang lebih kecil dari jumlah Quraisy. Tetapi jiwa mereka sudah penuh terisi oleh semangat dari Tuhan. Sudah bukan mereka lagi yang membunuh musuh, sudah bukan mereka lagi yang menawan tawanan perang. Hanya karena adanya semangat dari Tuhan yang tertanam dalam jiwa mereka itu kekuatan moril mereka bertambah, sehingga kekuatan materi merekapun bertambah pula. Dalam hal ini firman Allah turun:
“Ingat, ketika Tuhanmu mewahyukan
kepada para malaikat: ‘Aku bersama kamu.’ Teguhkanlah pendirian orang-orang
beriman itu. Akan kutanamkan rasa gentar ke dalam hati orang-orang kafir itu.
Pukullah bagian atas leher mereka dan pukul pula setiap ujung jari mereka.”
(Qur’an, 8: 12)
“Sebenarnya bukan kamu yang
membunuh mereka, melainkan Allah juga yang telah membunuh mereka. Juga ketika
kau lemparkan, sebenarnya bukan engkau yang melakukan itu, melainkan Tuhan
juga.” (Qur’an, 8: 17)
Tatkala Rasul
melihat bahwa Tuhan telah melaksanakan janjiNya dan setelah ternyata pula
kemenangan berada di pihak orang-orang Islam, ia kembali ke pondoknya.
Orang-orang Quraisy kabur. Oleh Muslimin mereka dikejar terus. Yang tidak
terbunuh dan tak berhasil melarikan diri, ditawan.
Inilah perang Badr,
yang kemudian telah memberikan tempat yang stabil kepada umat Islam di seluruh
tanah Arab, dan yang merupakan suatu pendahuluan lahirnya persatuan seluruh
semenanjung di bawah naungan Islam, juga sebagai suatu pendahuluan adanya
persekemakmuran Islam yang terbentang luas sekali. Ia telah menanamkan sebuah
peradaban besar di dunia, yang sampai sekarang masih dan akan terus mempunyai
pengaruh yang dalam di dalam jantung kehidupan dunia.
Bukan tidak
mungkin orang akan merasa kagum sekali bila mengetahui, bahwa, meskipun Muhammad
sudah begitu mengerahkan sahabat-sahabatnya dan mengharapkan terkikisnya musuh
Tuhan dan musuhnya itu, namun sejak semula terjadinya pertempuran ia sudah minta
kepada Muslimin untuk tidak membunuh Banu Hasyim dan tidak membunuh orang-orang
tertentu dari kalangan pembesar-pembesar Quraisy, sekalipun pada dasarnya mereka
akan membunuh setiap orang dari pihak Islam yang dapat mereka bunuh. Dan jangan
pula orang mengira, bahwa ia berbuat begitu karena ia mau membela keluarganya
atau siapa saja yang punya pertalian keluarga dengan dia. Jiwa Muhammad jauh
lebih besar daripada akan terpengaruh oleh hal-hal serupa itu. Apa yang menjadi
pertimbangannya ialah, ia masih ingat Banu Hasyim dulu yang telah berusaha
melindunginya selama tigabelas tahun sejak mula masa kerasulannya hingga masa
hijrahnya, sampai-sampai Abbas pamannya ikut menyertainya pada malam diadakan
ikrar ‘Aqaba. Juga jasa orang lain yang masih kafir di kalangan Quraisy di luar
Banu Hasyim yang menuntut dibatalkannya piagam pemboikotan, yang oleh Quraisy
dia dan sahabat-sahabatnya dipaksa tinggal di celah-celah gunung, setelah semua
hubungan oleh mereka itu diputuskan. Segala kebaikan yang telah diberikan oleh
mereka masing-masing oleh Muhammad dianggap sebagai suatu jasa yang harus
mendapat balasan setimpal, harus mendapat balasan sepuluh kali lipat. Oleh
karena itu oleh Muslimin ia dianggap sebagai perantara bagi mereka masing-masing
selama terjadi pertempuran, meskipun di kalangan Quraisy sendiri masih ada yang
menolak pemberian pengampunan itu seperti yang dilakukan oleh Abu’l-Bakhtari -
salah seorang yang ikut melaksanakan dicabutnya piagam. Ia menolak dan
terbunuh.
Dengan perasaan dongkol penduduk Mekah lari tunggang langgang.
Mereka sudah tak dapat mengangkat muka lagi. Bila mata mereka tertumbuk pada
salah seorang kawan sendiri, karena rasa malunya ia segera membuang muka,
mengingat nasib buruk yang telah menimpa mereka semua.
Sampai sore itu
pihak Muslimin masih tinggal di Badr. Kemudian mayat-mayat Quraisy itu mereka
kumpulkan dan setelah dibuatkan sebuah perigi besar mereka semua dikuburkan.
Malam harinya Muhammad dan sahabat-sahabatnya sibuk di garis depan menyelesaikan
barang-barang rampasan perang serta berjaga-jaga terhadap orang-orang tawanan.
Tatkala malam sudah gelap Muhammad mulai merenungkan pertolongan yang diberikan
Tuhan kepada Muslimin yang dengan jumlah yang begitu kecil telah dapat
menghancurkan kaum musyrik yang tidak mempunyai perisai kekuatan iman selain
membanggakan jumlah besarnya saja. Dalam ia merenungkan hal ini, pada waktu
larut malam itu sahabat-sahabatnya mendengar ia berkata:
“Wahai penghuni
perigi! Wahai ‘Utba b. Rabi’a! Syaiba b. Rabi’a! Umayya b. Khalaf! Wahai Abu
Jahl b. Hisyam! ...” - Seterusnya ia menyebutkan nama orang-orang yang dalam
perigi itu satu satu. “Wahai penghuni perigi! Adakah yang dijanjikan tuhanmu itu
benar-benar ada. Aku telah bertemu dengan apa yang telah dijanjikan
Tuhanku.”
“Rasulullah, kenapa bicara dengan orang-orang yang sudah
bangar?” kata kaum Muslimim kemudian bertanya.
“Apa yang saya katakan
mereka lebih mendengar daripada kamu,” jawab Rasul. “Tetapi mereka tidak dapat
menjawab.”
Ketika itu Rasulullah melihat ke dalam wajah Abu Hudhaifa ibn
‘Utba. Ia tampak sedih dan mukanya berubah.
“Barangkali ada sesuatu dalam
hatimu mengenai ayahmu, Abu Hudhaifa”? tanyanya.
“Sekali-kali tidak,
Rasulullah,” jawab Abu Hudhaifa. “Tentang ayah, saya tidak sangsi lagi, juga
tentang kematiannya. Hanya saja yang saya ketahui pikirannya baik, bijaksana dan
berjasa. Jadi saya harapkan sekali ia akan mendapat petunjuk menjadi seorang
Islam. Tetapi sesudah saya lihat apa yang teriadi, dan teringat pula hidupnya
dulu dalam kekafiran, sesudah makin jauh apa yang saya harapkan dari dia, itulah
yang membuat saya sedih.”
Tetapi Rasulullah menyebutkan yang baik tentang
dia serta mendoakan kebaikan baginya.
Keesokan harinya pagi-pagi, bila
Muslimin sudah siap-siap akan berangkat pulang menuju Medinah, mulailah timbul
pertanyaan sekitar masalah harta rampasan, buat siapa seharusnya. Kata mereka
yang melakukan serangan: kami yang mengumpulkannya; jadi itu buat kami. Lalu
kata yang mengejar musuh sampai pada waktu mereka mengalami kehancuran kalau
tidak karena kami, kamu tidak akan mendapatkannya. Dan kata mereka yang mengawal
Muhammad karena kuatir akan diserang musuh dari belakang: kamu sekalian tak ada
yang lebih berhak dari kami. Sebenarnya kami dapat memerangi musuh dan mengambil
harta mereka, ketika tak ada suatu pihakpun yang akan melindungi mereka. Tetapi
kami kuatir adanya serangan musuh kepada Rasulullah. Oleh karena itu kami lalu
menjaganya.
Tetapi kemudian Muhammad menyuruh mengembalikan semua harta
rampasan yang ada ditangan mereka itu, dan dimintanya supaya dibawa agar ia
dapat memberikan pendapat atau akan ada ketentuan Tuhan yang akan menjadi
keputusan.
Muhammad mengutus Abdullah b. Rawaha dan Zaid b. Haritha ke
Medinah guna menyampaikan berita gembira kepada penduduk tentang kemenangan yang
telah dicapai kaum Muslimin. Sedang dia sendiri dengan sahabat-sahabatnya
berangkat pula menuju Medinah dengan membawa tawanan dan rampasan perang yang
telah diperolehnya dari kaum musyrik, dan diserahkan pimpinannya kepada Abdullah
b. Ka’b.
Mereka berangkat. Sesudah menyeberangi selat Shafra’, pada
sebuah bukit pasir Muhammad berhenti. Di tempat ini rampasan perang yang sudah
ditentukan Allah bagi Muslimin itu dibagi rata. Beberapa ahli sejarah
mengatakan, bahwa pembagian kepada mereka itu sesudah dikurangi seperlimanya
sesuai dengan firman Allah:
“Dan hendaklah kamu ketahui, bahwa
rampasan perang yang kamu peroleh, seperlimanya untuk Tuhan, untuk Rasul, untuk
para kerabat dan anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang yang terlantar
dalam perjalanan, kalau kamu benar-benar beriman kepada Allah dan pada apa yang
Kami turunkan kepada hamba Kami pada hari yang menentukan itu, hari, ketika dua
golongan itu saling berhadapan. Dan atas segala sesuatu Allah Maha Kuasa.”
(Qur’an, 8: 41)
Sebahagian
besar penulis-penulis sejarah Nabi berpendapat, terutama angkatan lamanya -
bahwa ayat tersebut turun sesudah peristiwa Badr dan sesudah rampasan perang
dibagi, dan bahwa Muhammad membaginya secara merata di kalangan Muslimin, dan
bahwa untuk kuda disamakannya dengan apa yang ada pada penunggangnya, bagian
mereka yang gugur di Badr diberikan kepada ahli warisnya, mereka yang tinggal di
Medinah dan tidak ikut ke Badr karena bertugas mengurus keperluan Muslimin, dan
mereka yang dikerahkan berangkat ke Badr tapi tertinggal di belakang karena
sesuatu alasan yang dapat diterima oleh Rasul, juga mendapat bagian. Dengan
demikian rampasan perang itu dibagi secara adil. Yang ikut bersama dalam perang
dan mendapat kemenangan bukan hanya yang bertempur saja, melainkan yang ikut
bersama-sama dalam perang dan mendapat kemenangan itu ialah siapa saja yang ikut
bekerja kearah itu, baik yang di garis depan atau yang jauh dari
sana.
Sementara kaum Muslimin dalam perjalanan ke Medinah itu, dua orang
tawanan telah mati terbunuh, yakni seorang bernama Nadzr bin’l-Harith dan yang
seorang lagi bernama ‘Uqba b. Abi Mu’ait. Sampai pada waktu itu baik Muhammad
atau sahabat-sahabatnya belum lagi membuat suatu peraturan tertentu dalam
menghadapi para tawanan itu yang akan mengharuskan mereka dibunuh, ditebus atau
dijadikan budak. Tetapi Nadzr dan ‘Uqba ini keduanya merupakan bahaya yang
selalu mengancam Muslimin selama di Mekah dulu. Setiap ada kesempatan kedua
orang ini selalu mengganggu mereka.
Terbunuhnya Nadzr
ini ialah tatkala mereka sampai di Uthail para tawanan itu diperlihatkan kepada
Nabi a.s. Ditatapnya Nadzr ini dengan pandangan mata yang demikian rupa,
sehingga tawanan ini gemetar seraya berkata kepada seseorang yang berada di
sampingnya:
“Muhammad pasti akan membunuh aku,” katanya. “Ia menatapku
dengan pandangan mata yang mengandung maut.”
“Ini hanya karena kau merasa
takut saja,” jawab orang yang di sebelahnya.
Sekarang Nadzr berkata
kepada Mushiab b. ‘Umair - orang yang paling banyak punya rasa belas-kasihan di
tempat itu.
“Katakan kepada temanmu itu supaya aku dipandang sebagai
salah seorang sahabatnya. Kalau ini tidak kaulakukan pasti dia akan membunuh
aku.”
“Tetapi dulu kau mengatakan begini dan begitu tentang Kitabullah dan
tentang diri Nabi,” kata Mushiab. “Dulu kau menyiksa
sahabat-sahabatnya.”
“Sekiranya engkau yang ditawan oleh Quraisy, kau takkan
dibunuh selama aku masih hidup,” kata Nadzr lagi.
“Engkau tak dapat
dipercaya,” kata Mush’ab. “Dan lagi aku tidak seperti engkau. Janji Islam dengan
kau sudah terputus.”
Sebenarnya Nadzr adalah tawanan Miqdad, yang dalam
hal ini ia ingin memperoleh tebusan yang cukup besar dan keluarganya. Mendengar
percakapan tentang akan dibunuhnya itu ia segera berkata:
“Nadzr
tawananku,” teriaknya.
“Pukul lehernya,” kata Nabi a.s. “Ya Allah. Semoga
Miqdad mendapat karuniaMu.”
Dengan pukulan pedang kemudian ia dibunuh
oleh Ali b. Abi Talib.
Pada waktu mereka dalam perjalanan ke ‘Irq’z-Zubya
diperintahkan oleh Nabi supaya ‘Uqba b. Abi Mu’ait juga
dibunuh.
“Muhammad,” katanya, “siapa yang akan mengurus
anak-anak?”
“Api,” jawabnya.
Lalu iapun dibunuh oleh Ali b. Abi Talib
atau oleh ‘Ashim b. Thabit, sumbernya berlain-lain.
Sehari sebelum Nabi
dan Muslimin sampai di Medinah kedua utusannya Zaid b. Haritha dan Abdullah b.
Rawaha sudah lebih dulu sampai. Mereka masing-masing memasuki kota dari jurusan
yang berlain-lainan. Dan atas unta yang dikendarainya itu Abdullah mengumumkan
dan memberikan kabar gembira kepada Anshar tentang kemenangan Rasulullah dan
sahabat-sahabat, sambil menyebutkan siapa-siapa dan pihak musyrik yang terbunuh.
Begitu juga Zaid b. Haritha melakukan hal yang sama sambil ia menunggang
Al-Qashwa’, unta kendaraan Nabi. Kaum Muslimin bergembira ria. Mereka berkumpul,
dan mereka yang masih berada dalam rumah pun keluar beramai-ramai dan berangkat
menyambut berita kemenangan besar ini.
Sebaliknya orang-orang musyrik dan
orang-orang Yahudi merasa terpukul sekali dengan berita itu. Mereka berusaha
akan meyakinkan diri mereka sendiri dan meyakinkan orang-orang Islam yang
tinggal di Medinah, bahwa berita itu tidak benar.
“Muhammad sudah
terbunuh dan teman-temannya sudah ditaklukkan,” tenak mereka. “Ini untanya
seperti sudah sama-sama kita kenal. Kalau dia yang menang, niscaya unta ini
masih di sana. Apa yang dikatakan Zaid hanya mengigau saja dia, karena sudah
gugup dan ketakutan.”
Tetapi pihak Muslimin setelah mendapat kepastian
benar dari kedua utusan itu dan yakin sekali akan kebenaran berita itu,
sebenarnya mereka malah makin gembira, kalau tidak lalu terjadi suatu penstiwa
yang mengurangi rasa kegembiraan mereka itu, yakni penstiwa kematian Ruqayya
puteri Nabi. Tatkala ditinggalkan pergi ke Badr ia dalam keadaan sakit, dan
suaminya, Usman b. ‘Affan, juga ditinggalkan supaya merawatnya.
Apabila
kemudian temyata bahwa Muhammad yang menang, mereka merasa sangat terkejut.
Posisi mereka terhadap Muslimin jadi lebih rendah dan hina sekali, sampai-sampai
ada salah seorang pembesar Yahudi yang mengatakan:
“Bari kita sekarang
lebih baik berkalang tanah daripada tinggal di atas bumi ini sesudah kaum
bangsawan, pemimpinpemimpin dan pemuka-pemuka Arab serta penduduk tanah suci itu
mendapat bencana.”
Kaum Muslimin memasuki Medinah sehari sebelum
tawanan-tawanan perang sampai. Setelah mereka dibawa dan Sauda bt. Zam’a isteri
Nabi baru saja pulang melawati11 orang mati pada kabilah
Banu ‘Afra’, tempat asalnya, dilihatnya Abu Yazid Suhail b. ‘Amr, salah seorang
tawanan, yang kedua belah tangannya diikat dengan tali ke tengkuk, ia tak dapat
menahan diri. Dihampirinya orang itu seraya katanya:
“Oh Abu Yazid! Kamu
sudah menyerahkan diri. Lebih baik mati sajalah dengan
terhormat!.”
“Sauda!” Muhammad memanggilnya dan dalam rumah. “Kau
membangkitkan semangatnya melawan Allah dan RasulNya!”
“Rasulullah,”
katanya. “Demi Allah Yang telah mengutusmu dengan segala kebenaran. Saya sudah
tak dapat menahan diri ketika melihat Abu Yazid dengan tangannya terikat di
tengkuk sehingga saya berkata begitu.”
Sesudah itu kemudian Muhammad
memisah-misahkan para tawanan itu di antara sahabat-sahabatnya, sambil berkata
kepada mereka:
“Perlakukanlah mereka sebaik-baiknya.”
Hal ini
kemudian menjadi pikiran baginya, apa yang harus dilakukannya terhadap mereka
itu. Dibunuh saja atau harus meminta tebusan dari mereka? Mereka itu orang-orang
yang keras dalam perang, orang yang kuat bertempur. Hati mereka penuh rasa
dengki dan dendam setelah mereka mengalami kehancuran di Badr, serta akibatnya
yang telah membawa keaiban sebagai tawanan perang. Apabila ia mau menerima
tebusan, ini berarti mereka akan berkomplot dan akan kembali memeranginya lagi;
kalau dibunuh saja mereka itu, akan menimbulkan sesuatu dalam hati
keluarga-keluarga Quraisy, yang bila dapat ditebus barangkali akan jadi
tenang.
Ia menyerahkan masalah ini ketangan sahabat-sahabat kaum
Muslimin. Diajaknya mereka bermusyawarah dan pilihan terserah kepada mereka.
Kalangan Muslimin sendiri melihat tawanan-tawanan ini ternyata masih ingin hidup
dan akan bersedia membayar tebusan dengan harga tinggi.
“Lebih baik kita
mengirim orang kepada Abu Bakr,” kata mereka. “Dari kerabat kita ia orang
Quraisy yang pertama, dan yang paling lembut dan banyak punya rasa
belas-kasihan. Kita tidak melihat Muhammad menyukai yang lain lebih dari
dia.”
Lalu mereka mengutus orang menemui Abu Bakr.
“Abu Bakr,”
kata mereka. “Di antara kita ada yang masih pernah ayah, saudara, paman atau
mamak kita serta saudara sepupu kita. Orang yang jauh dari kitapun masih kerabat
kita. Bicarakanlah dengan sahabatmu itu supaya bermurah hati kepada kami atau
menerima penebusan kami.”
Dalam hal ini Abu Bakr berjanji akan berusaha.
Tetapi mereka kuatir Umar ibn’l-Khattab akan mempersulit urusan mereka ini. Maka
mereka mengutus beberapa orang lagi kepadanya, dengan menyatakan seperti yang
dikatakan kepada Abu Bakr. Tetapi Umar menatap mereka penuh curiga. Kemudian
kedua sahabat besar Muhammad ini berangkat menemuinya. Abu Bakr berusaha
melunakkan dan meredakan kemarahannya.
“Rasulullah,” katanya. “Demi ayah
dan ibuku. Mereka itu masih keluarga kita; ada ayah, ada anak atau paman, ada
sepupu atau saudara-saudara. Orang yang jauh dari kitapun masih kerabat kita.
Bermurah hatilah kita kepada mereka itu. Semoga Tuhan memberi kemurahan kepada
kita. Atau kita terimalah tebusan dari mereka, semoga Tuhan akan menyelamatkan
mereka dari api neraka. Maka apa yang kita ambil dari mereka akan memperkuat
kaum Muslimin juga. Semoga Allah kelak membalikkan hati mereka.”
Muhammad
diam, tidak menjawab. Kemudian ia berdiri dan pergi menyendiri. Oleh Umar ia
didekati dan duduk di sebelahnya. “Rasulullah,” katanya. “Mereka itu musuh-musuh
Tuhan. Mendustakan tuan, memerangi tuan dan mengusir tuan. Penggal sajalah leher
mereka. Mereka inilah kepala-kepala orang kafir, pemuka-pemuka orang yang sesat.
Orang-orang musyrik itu adalah orang-orang yang sudah dihinakan
Tuhan.”
Juga Muhammad tidak menjawab.
Sekarang Abu Bakr kembali ke
tempat duduknya semula. Begitu lemah-lembut ia bersikap sambil mengharapkan
sikap yang lebih lunak. Disebutnya adanya pertalian famili dan kerabat, dan
kalau para tawanan itu masih hidup, diharapkannya akan mendapat petunjuk Tuhan.
Sedang Umar kembali memperlihatkan sikapnya yang adil dan keras. Baginya
lemah-lembut atau kasihan tidak ada.
Selesai Abu Bakr dan Umar bicara,
Muhammad berdiri. Ia kembali ke kamarnya. Ia tinggal sejenak di sana. Kemudian
ia kembali keluar. Orang ramai segera melibatkan diri dalam persoalan ini. Satu
pihak mendukung pendapat Abu Bakr, yang lain memihak kepada Umar. Nabi mengajak
mereka berunding, apa yang harus dilakukannya. Lalu dibuatnya suatu perumpamaan
tentang Abu Bakr dan Umar. Abu Bakr adalah seperti Mikail, diturunkan Tuhan
dengan membawa sifat pemaaf kepada hambaNya. Dan dari kalangan nabi-nabi seperti
Ibrahim. Ia sangat lemah-lembut terhadap masyarakatnya. Oleh masyarakatnya
sendiri ia dibawa dan dicampakkan ke dalam api. Tapi tidak lebih ia hanya
berkata:
“Cih! Kenapa kamu menyembah
sesuatu selain Allah? Tidakkah kamu berakal?” (Qur’an,
21: 67)
Atau seperti
katanya:
“Yang ikut aku, dia itulah yang di
pihakku. Tapi terhadap yang membangkang kepadaku, Engkau Maha Pengampun dan
Penyayang.” (Qur’an. 14: 36)
Catatan kaki:
11 Manaha harfiah berarti ‘tempat wanita-wanita
menangisi mayat’ (LA). (A).
Contohnya lagi di kalangan para nabi seperti Isa tatkala ia berkata:
“Kalaupun mereka Engkau siksa,
mereka itu semua hambaMu; dan kalau Engkau ampuni, Engkau Maha Kuasa dan
Bijaksana.” (Qur’an, 5: 118)
Sedang Umar,
dalam malaikat contohnya seperti Jibril, diturunkan membawa kemurkaan dari Tuhan
dan bencana terhadap musuh-musuhNya. Di lingkungan para nabi ia seperti Nuh
tatkala berkata:
“Tuhan, jangan biarkan orang-orang
yang ingkar itu punya tempat-tinggal di muka bumi ini.” (Qur’an, 71: 26)
Atau seperti
Musa bila ia berkata:
“O Tuhan! Binasakanlah harta-benda mereka itu, dan tutuplah hati mereka. Mereka takkan percaya sebelum siksa yang pedih mereka rasakan.” (Qur’an, 10: 88)
Kemudian
katanya:
“Kamu semua mempunyai tanggungan. Jangan ada yang lolos mereka
itu, harus dengan ditebus atau dipenggal lehernya.”
Lalu mereka berunding
lagi dengan sesamanya. Di antara mereka itu ada seorang penyair, yaitu Abu ‘Azza
‘Amr b. Abdullah b. ‘Umair al-Jumahi. Melihat adanya pertentangan pendapat itu
cepat-cepat ia mau menyelamatkan diri.
“Muhammad,” katanya, “Saya punya
lima anak perempuan dan mereka tidak punya apa-apa. Maka sedekahkan sajalah aku
ini kepada mereka. Aku berjanji dan memberikan jaminan, bahwa aku tidak akan
memerangi kau lagi, juga sama sekali aku tidak akan memaki-maki kau
lagi.”
Orang ini mendapat jaminan Nabi dan dibebaskan tanpa membayar uang
tebusan. Hanya dialah satu-satunya tawanan yang berhasil mendapat jaminan
demikian. Tetapi kemudian ia memungkiri janjinya, dan kembali ia setahun
kemudian ikut berperang di Uhud. Ia kena tawan lagi lalu terbunuh.
Pihak
Muslimin, sesudah lama berunding akhirnya memutuskan, bahwa mereka dapat
mengabulkan cara penebusan itu. Dengan dikabulkannya itu ayat ini turun.
“Tidak sepatutnya seorang nabi itu
akan mempunyai tawanan-tawanan perang, sebelum ia selesai berjuang di dunia.
Kamu menghendaki harta-benda dunia, sedang Allah menghendaki akhirat. Allah Maha
Kuasa dan Bijaksana.” (Qur’an, 8: 67)
Menanggapi
masalah tawanan-tawanan Badr ini serta terbunuhnya Nadzr dan ‘Uqba ada beberapa
orang Orientalis yang masih bertanya-tanya: bukankah dengan demikian ini sudah
membuktikan bahwa agama baru ini sangat haus darah? Kalau tidak tentu kedua
orang itu tidak akan dibunuh. Bukankah sesudah mendapat kemenangan dalam
pertempuran akan lebih terhormat bagi kaum Muslimin jika mengembalikan saja para
tawanan itu, dan mereka sudah cukup memperoleh rampasan perang?
Maksudnya
dengan pertanyaan ini ialah hendak membangkitkan rasa simpati dalam hati orang
yang selama itu belum menjadi masalah, supaya seribu tahun kemudian sesudah
perang Badr dan peperangan-peperangan yang terjadi berikutnya akan dijadikan
alat untuk mendiskreditkan agama ini serta pembawanya
Tetapi ternyata
pertanyaan semacam ini kemudian jadi gugur sendiri apabila terbunuhnya Nadzr dan
‘Uqba ini kita bandingkan dengan apa yang terjadi dewasa ini dan akan selalu
terjadi, selama perabadan Barat, yang memakai jubah Kristen itu masih tetap
menguasai dunia. Terhadap apa yang telah terjadi di negara-negara yang dikuasai
oleh penjajah secara paksa atas nama hendak memadamkan pemberontakan itu,
dapatkah peristiwa di atas tadi - sedikit saja - dijadikan perbandingan?
Dapatkah hal itu - sedikit saja - kita bandingkan dengan penyembelihan yang
terjadi dalam Perang Dunia? Selanjutnya, dapatkah peristiwa itu kita bandingkan
pula - sedikit saja - dengan apa yang telah terjadi selama Revolusi Perancis,
dalam pelbagai revolusi yang pernah terjadi dan akan selalu terjadi pada
bangsa-bangsa Eropa lainnya?
Memang sudah tak dapat disangkal bahwa apa
yang dialami Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu adalah suatu revolusi yang
dahsyat dan Muhammad yang diutus Tuhan, berhadapan dengan paganisma dan
orang-orang musyrik sebagai penyembahnya. Suatu revolusi, yang pada mulanya
berkecamuk di Mekah, dan yang oleh karenanya, berbagai macam siksaan dan
penderitaan dialami oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya selama tigabelas tahun
terus-menerus. Kemudian kaum Muslimin pindah ke Medinah. Di tempat ini mereka
nengumpulkan tenaga dan kekuatan. Sementara itu benih-benih revolusi masih terus
tumbuh dalam hati mereka, juga dalam hati semua orang Quraisy.
Pindahnya
Muslimin ke Medinah, perjanjian mereka dengan orang-orang Yahudi setempat,
terjadinya benterokan-benterokan sebelum peristiwa Badr, lalu Perang Badr itu
sendiri - semua itu adalah suatu siasat revolusi, bukan prinsip. Kebijaksanaan
yang telah ditentukan oleh pemimpin revolusi dan sahabat-sahabatnya itu akan
disusul pula oleh adanya ketentuan prinsip-prinsip yang luhur, yang telah dibawa
oleh Rasul. Jadi, siasat revolusi itu lain dan prinsip-prinsip revolusi lain
lagi. Juga kondisi yang terjadi berikutnya kadang sama sekali berbeda dari
tujuan pokok kondisi itu. Dalam hal Islam telah menjadikan rasa persaudaraan
sebagai dasar peradaban Islam, maka untuk mencapai sukses jalan itu harus
ditempuh, sekalipun untuk itu harus berlaku suatu kekerasan kalau memang sudah
tak dapat dihindarkan lagi.
Tindakan kaum Muslimin terhadap
tawanan-tawanan perang Badr adalah suatu teladan yang baik dan penuh
kasih-sayang, dibandingkan dengan apa yang terjadi dalam beberapa revolusi yang
oleh pencetusnya diagungkan dengan arti keadilan dan kasih-sayang. Dan inipun
merupakan satu bagian saja di samping penyembelihan-penyembelihan yang banyak
terjadi atas nama Kristus, seperti penyembelihan Saint Bartholomew (Saint
Barthelemy), suatu peristiwa penyembelihan yang dapat dianggap sebagai suatu aib
besar dalam sejarah Kristen, yang dalam sejarah Islam contoh semacam itu
samasekali tidak pernah ada. Penyembelihan ini diatur pada waktu malam.
Orang-orang Katolik di Paris membantai orang-orang Protestan dengan jalan
tipu-muslihat dan penghkianatan, suatu gambaran tipu-muslihat dan penghianatan
yang sungguh rendah dan kotor.
Jadi kalau dua orang saja dari lima puluh
tawanan Badr itu yang dibunuh oleh Muslimin, karena mereka selama tiga belas
tahun memang begitu kejam terhadap kaum Muslimin, yang sampai menderita pelbagai
macam siksaan selama di Mekah, itupun karena adanya sikap kasihan yang
berlebih-lebihan dan dianggap sebagai suatu keuntungan yang terlalu pagi seperti
disebutkan dalam ayat:
“Tidak sepatutnya seorang nabi itu
akan mempunyai tawanan-tawanan perang, sebelum ia selesai berjuang di dunia.
Kamu menghendaki kekayaan duniawi, sedang Allah menghendaki akhirat. Allah Maha
Kuasa dan Bijaksana.” (Qur’an, 8: 67).
Sementara
orang-orang Islam sedang bersukaria karena dengan anugerah Tuhan mereka mendapat
kemenangan berikut harta rampasan, Haisuman b. Abdullah al-Khuza’i secara
tergesa-gesa sekali berangkat pula menuju Mekah. Dia menjadi orang yamg pertama
masuk di Mekah dan memberitahukan penduduk mengenai hancurnya pasukan Quraisy
serta bencana yang telah menimpa pembesar-pembesar, pemimpin-pemimpin dan
bangsawan-bangsawan mereka. Pada mulanya Mekah terkejut sekali, dan tidak
mempercayai berita itu. Betapa takkan terkejut mendengar berita kehancuran itu
serta terbunuhnya pemimpin-pemimpin dan bangsawan-bangsawan mereka! Tetapi
tampaknya Haisuman memang tidak mengigau, diyakinkannya sekali apa yang
dikatakannya. Dari pihak Quraisy dia sendiri memang yang merasa paling terpukul
dengan bencana itu.
Setelah ternyata berita kejadian tersebut memang
benar, seolah-olah mereka tersungkur jatuh pingsan. Abu Lahab jatuh demam, dan
tujuh hari kemudian iapun meninggal. Sekarang orang-orang mengadakan
perundingan, apa yang harus mereka lakukan. Kemudian dicapai kata sepakat untuk
tidak menyatakan
duka-cita atas kematian mereka, sebab apabila nanti ini
terdengar oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya, mereka akan diejek. Juga tidak
akan mengrim orang untuk menebus para tawanan itu, supaya jangan sampai Muhammad
dan sahabat-sahabatnya nanti memperketat mereka dan meminta
tebusan yang
terlampau tinggi.
Haripun berjalan juga. Orang-orang Quraisy sedang
menahan hati mengalami cobaan itu sambil menunggu kesempatan sampai dapat
tawanan-tawanan mereka itu nanti tertebus.
Hari itu yang datang adalah
Mikraz b. Hafz, hendak menebus Suhail b. ‘Amr. Rupanya Umar bin’l-Khattab
keberatan kalau orang itu bebas tanpa mendapat sesuatu gangguan. Maka lalu ia
berkata:
“Rasulullah. Ijinkan saya mencabut dua gigi seri Suhail b. ‘Amr
ini, supaya lidahnya menjulur keluar dan tidak lagi berpidato mencercamu di
mana-mana.”
Tapi ini dijawab oleh Nabi dengan suatu jawaban yang sungguh
agung:
“Aku tidak akan memperlakukannya secara kasar, supaya Tuhan tidak
memperlakukan aku demikian, sekalipun aku seorang nabi.”
Zainab puteri
Nabi juga lalu mengirimkan tebusan hendak membebaskan suaminya, Abu’l-‘Ash b.
Rabi’. Diantara yang dipakai penebus itu ialah sebentuk kalung pemberian
Khadijah ketika dulu ia akan dikawinkan dengan Abu’l-‘Ash.
Melihat kalung
itu, Nabi merasa sangat terharu sekali
“Kalau tuan-tuan hendak melepaskan
seorang tawanan dan mengembalikan barang tebusannya kepada sipemilik, silakan
saja,” kata Nabi.
Kemudian ia mendapat kata sepakat dengan Abu’l-‘Ash
untuk menceraikan Zainab, yang menurut hukum Islam mereka sudah bercerai. Dalam
pada itu Muhammad mengutus Zaid b. Haritha dan seorang sahabat lagi guna
menjemput Zainab dan membawanya ke Medinah.
Akan tetapi sesudah sekian
lama Abu’l-‘Ash dibebaskan sebagai tawanan, ia berangkat ke Syam membawa barang
dagangan Quraisy. Sesampainya di dekat Medinah, ia bertemu dengan satuan
Muslimin. Barang-barang bawaannya mereka ambil. Ia meneruskan perjalanan dalam
gelap malam itu hingga ke tempat Zainab. Ia minta perlindungan dari Zainab dan
Zainabpun melindunginya pula. Ketika itu barang-barang dagangannya dikembalikan
oleh Muslimin kepadanya dan dengan aman ia kembali ke Mekah. Setelah
barang-barang tersebut dikembalikan kepada pemiliknya masing-masing dari
kalangan Quraisy, ia berkata:
“Masyarakat Quraisy! masih adakah dari kamu
yang belum mengambil barangnya?”
“Tidak ada,” jawab mereka.
“Mudah-mudahan Tuhan membalas kebaikanmu. Engkau ternyata orang yang jujur dan
murah hati.”
“Saya naik saksi,” katanya lagi kemudian, “bahwa tak ada
tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan RasulNya. Sebenarnya saya
dapat saja masuk Islam di kotanya itu, tapi saya kuatir tuan-tuan akan menduga,
bahwa saya hanya ingin makan harta tuan-tuan ini. Setelah semua ini saya
kembalikan kepada tuan-tuan dan tugas saya selesai, maka sekarang saya masuk
Islam.”
Kemudian ia kembali ke Medinah. Zainab juga oleh Nabi
dikembalikan lagi kepadanya.
Dalam pada itu pihak Quraisy terus saja
menebus tawanannya. Nilai tebusan waktu itu berkisar antara seribu sampai empat
ribu dirham untuk tiap orang. Kecuali yang tidak punya apa-apa dengan kemurahan
hati Muhammad membebaskannya
Rasanya tidak ringan nasib yang menimpa
Quraisy itu, juga mereka tidak mau menghentikan permusuhan dengan Muhammad atau
melupakan kekalahan yang mereka alami. Bahkan sesudah itu kemudian wanita-wanita
Quraisy itu ramai-ramai selama sebulan penuh menangisi mayat mereka. Rambut
kepala mereka sendiri mereka gunting. Kendaraan atau kuda orang yang sudah mati
itu dibawa, lalu mereka menangis mengelilinginya.
Dalam hal ini tak ada
yang ketinggalan, kecuali Hindun bt. ‘Utba, isteri Abu Sufyan. Ketika pada suatu
hari ia didatangi oleh wanita-wanita dengan mengatakan: “Kau tidak menangisi
ayahmu, saudaramu, pamanmu dan keluargamu?”
Ia menjawab:
“Aku
menangisi mereka? Supaya kalau nanti didengar oleh Muhammad dan teman-temannya
mereka menyoraki kita? Dan wanita-wanita Khazraj juga akan menyoraki kita?
Tidak! Aku mesti menuntut balas kepada Muhammad dan teman-temannya! Haram kita
memakai minyak sebelum dapat kita memerangi Muhammad. Sungguh, kalau aku dapat
mengetahui, bahwa kesedihan itu bisa hilang dari hatiku, tentu aku menangis.
Tetapi ini baru akan hilang kalau mangsaku yang membunuh orang-orang yang
kucintai itu sudah kulihat dengan mata kepalaku sendiri!”
Memang, ia
tidak lagi memakai minyak atau mendekati tempat-tidur Abu Sufyan. Ia terus
mengerahkan orang sampai pada waktu pecah perang Uhud. Sedang Abu Sufyan,
sesudah peristiwa Badr, ia bernazar tidak akan bersuci kepala dengan air sebelum
ia memerangi Muhammad
ISI DATA BAGIAN
ISI DATA BAGIAN
ISI DATA BAGIAN
ISI DATA BAGIAN
ISI DATA BAGIAN
ISI DATA BAGIAN
ISI DATA BAGIAN