SEBAB SEBAB KEMUNDURAN PEMERINTAHAN BANI ABBAS - Sejarah Peradaban Islam [SPI - Badri Yatim]

Advertisement

Penawaran Terbatas! Paket Data 25GB Hanya Rp 90.000


Dapatkan kuota besar 25GB untuk semua nomor AS, Loop, dan simPATI hanya dengan Rp 90.000, berlaku selama 30 hari! Internet lancar tanpa khawatir kehabisan kuota, cocok untuk streaming, gaming, dan browsing sepuasnya!

Aktifkan sekarang dan nikmati kebebasan internet!

Read More Beli Paket
Advertisement
SEBAB SEBAB KEMUNDURAN PEMERINTAHAN BANI ABBAS - Sejarah Peradaban Islam [SPI - Badri Yatim] | Berakhirnya kekuasaan dinasti Seljuk atas Baghdad atau khilafah ABbasiyyah merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini, khalifah Abbassiyah tidak lagi berada diBawah  kekuasaan suatu dinasti tertentu, walaupun banyak sekali dinasti Islam berdiri. Ada di antaranya yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah dinasti kecil. Para khalifah Abbasiyah, sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit ini menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan Tatar menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancur luluhkan tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini adalah awal babak baru dalam sejarah Islam, yang disebut masa pertengahan.  

SEBAB SEBAB KEMUNDURAN PEMERINTAHAN BANI ABBAS sebutkan faktor-faktor penyebab runtuhnya bani abbasiyah  faktor eksternal penyebab runtuhnya bani abbasiyah  sebab-sebab keruntuhan dinasti abbasiyah  peta konsep faktor faktor keruntuhan dinasti abbasiyah  makalah masa kehancuran bani abbasiyah  pertanyaan tentang kemunduran bani abbasiyah  kemunduran dinasti abbasiyah pdf  sebab-sebab keruntuhan dinasti abbasiyah dengan benar

Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namun demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan. 

Di samping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masingmasing faktor tersebut saling berkaitan satu samalain. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Persaingan Antarbangsa 


Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatarbelakangi oleh persamaan nasib kedua golongan ini pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Stryzewska, ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab; 

Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu. 
Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya'ashabiyyah kesukuan. Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas ‘ashabiyah tradisional. 

Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu, bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab di dunia Islam.

Selain itu, wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki, dan India. Mereka disatukan dengan bangsa Semit. Kecuali Islam, pada waktu itu tidak ada kesadaran yang merajut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut dengan kuat. Akibatnya, di samping fanatisme kearaban, muncul Juga fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan syu 'ubiyah. . 

Fanatisme kebangsaan ini tampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Mereka diberi nasab dinasti dan mendapat gaji. Oleh Bani Abbas, mereka dianggap sebagai hamba. Sistem perbudakan ini telah mempertinggi pengaruh bangsa Persia dan Turki. Karena jumlah dan kekuatan mereka yang besar, mereka merasa bahwa negara adalah milik mereka; mereka mempunyai kekuasaan atas rakyat berdasarkan kekuasaan khalifah.

Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri.  Akan tetapi, karena para khalifah adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga. Setelah Al-Mutawakkil, seorang khalifah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara Turki tak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia, pada periode ketiga, dan selanjutnya beralih kepada dinasti Seljuk pada periode keempat, sebagaimana diuraikan terdahulu. 

2. Kemerosotan Ekonomi 


Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Bait al-Mal penuh dengan harta. Pertambahan dana yang besar diperoleh antara lain dari al-kharaj, semacam pajak hasil bumi. 

Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan negara menurun, sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, diperingannya pajak, dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan, pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah, jenis pengeluaran makin beragam, dan para pejabat melakukan korupsi.

Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah, kedua faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan. 


3. Konflik Keagamaan 


Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme, dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang  dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah. Al-Manshur berusaha keras memberantasnya. Al-Mahdi bahkan merasa perlu mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan orang-orang Zindiq dan melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bidah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti, polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu. 

Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi'ah,sehingga banyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat (ekstrem) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi'ah sendiri. Aliran Syi'ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya, sering teijadi konflik yang kadangkadang juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil, misalnya, memerintahkan agar makam Husein di Karbela dihancurkan. Namun, anaknya, Al-Muntashir (861-862 M.); kembali memperkenankan orang Syi'ah menziarahi makam Husein tersebut. 

Syi'ah pernah berkuasa di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi’ ah yang memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni. 

Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara muslim dan zindiq atau Ahlussunnah dengan Syi'ah saja, tetapi juga antaraliran dalam Islam. Mu'tazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bidah oleh golongan salaf. Perselisihan antara dua golongan ini dipertajam oleh Al-Ma’mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M.), dengan menjadikan Mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah. 

Pada masa Al-Mutawakkil (847-861), aliran Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan salaf kembali naik daun. Tidak tolerannya pengikut Hanbali itu (salaf) terhadap Mu'tazilah yang rasional telah menyempitkan horizon intelektual.

Aliran Mu'tazilah bangkit kembali pada masa dinasti Buwaih. Namun, pada masa .dinasti Seljuk yang menganut aliran Asy'ariyyah, penyingkiran golongan Mu'tazilah mulai dilakukan secara sistematis. Dengan didukung penguasa aliran Asy'ariyh tumbuh subur dan berjaya. Pikiran-pikiran Al-Ghazali yang mendukung aliran ini menjadi ciri utama paham Ahlussunnah. Pemikiran pemikiran tersebut mempunyai efek yang tidak menguntungkan bagi pengembangan kreativitas intelektual Islam, konon sampai sekarang. Berkenaan dengan konflik keagamaan itu, Syed Ameer Ali mengatakan: 

"Agama Muhammad Saw. seperti juga agama Isa as., terkeping-keping oleh perpecahan dan perselisihan dari dalam. Perbedaan pendapat mengenai soal-soal abstrak yang tidak mungkin ada kepastiannya dalam suatu kehidupan yang mempunyai akhir, selalu menimbulkan kepahitan yang lebih besar dan permusuhan yang lebih sengit dari perbedaan perbedaan mengenai hal-hal yang masih dalam lingkungan pengetahuan manusia... Soal kehendak bebas manusia... telah menyebabkan kekacauan yang rumit dalam Islam...Pendapat bahwa rakyat dan kepala agama mustahil berbuat salah.. menjadi sebab binasanya jiwa-jiwa berharga".  


4. Ancaman dari Luar 


Apa yang disebutkan di atas adalah faktor-faktor internal. Di samping itu, ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur. Pertama, Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban. Kedua, serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam. Sebagaimana telah disebutkan, orangorang Kristen Eropa terpanggil untuk ikut berperang setelah Paus Urbanus II (1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya. Perang Salib itu juga membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen yang berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun, di antara komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon yang tertarik dengan Perang Salib dan melibatkan diri dalam tentara Salib itu.

Pengaruh Salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulagu Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti-Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahl al-kitab. Tentara Mongol, setelah menghancur leburkan pusat-pusat Islam, ikut memperbaiki Yerussalem.

Advertisement

Postingan Terkait

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Iklan

Close x