PEREBUTAN KEKUASAAN DI PUSAT PEMERINTAHAN - Sejarah Peradaban Islam Badri Yatim [SPI]
Advertisement
Penawaran Terbatas! Paket Data 25GB Hanya Rp 90.000
Dapatkan kuota besar 25GB untuk semua nomor AS, Loop, dan simPATI hanya dengan Rp 90.000, berlaku selama 30 hari! Internet lancar tanpa khawatir kehabisan kuota, cocok untuk streaming, gaming, dan browsing sepuasnya!
Aktifkan sekarang dan nikmati kebebasan internet!
Read More Beli Paket
Advertisement
PEREBUTAN KEKUASAAN DI PUSAT PEMERINTAHAN - Sejarah Peradaban Islam Badri Yatim [SPI] | Faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan. Hal ini sebenamya juga terjadi pada pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya. Tetapi, apa yang terjadi pada pemerintahan Abbasiyah berbeda dengan yang terjadi sebelumnya.
Nabi Muhammad memang tidak menentukan bagaimana eara pergantian pimpinan setelah ditinggalkannya. Beliau tampaknya, menyerahkan masalah ini kepada kaum Muslimin sejalan dengan jiwa kerakyatan yang berkembang di kalangan masyarakat Arab dan ajaran demokrasi dalam Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, proses suksesi kepemimpinan politik dalam sejarah Islam berbeda-beda dari satu masa ke masa yang lain. Ada yang .berlangsung aman dan damai, tetapi sering juga melalui konflik dan pertumpahan darah akibat ambisi tak terkendali dari pihak-pihak tertentu.
Setelah nabi wafat, terjadi pertentangan pendapat antara kaum Muhajirin dan Anshar di balai kota Bani Sa’idah di Madinah. Masing-masing golongan berpendapat bahwa kepemimpinan harus~ berada di pihak mereka, atau setidak-tidaknya masing-masing golongan mempunyaj pemimpin sendiri. Akan tetapi, karena pemahaman keagamaan mereka yang baik, semangat musyawarah, ukhuwah yang tinggi, perbedaan itu dapat diselesaikan, Abu Bakar terpilih menjadi Khalifah.
Pertumpahan darah pertama dalam Islam karena perebutan kekuasaan terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Pertama-tama, Ali menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Alasan pemberontakan itu adalah Ali tidak mau menghukum para pembunuh Usman dan mereka menuntut bela terhadap darah Usman yang ditumpahkan secara zalim. Namun, dibalik alasan itu, menurut Ahmad Syalabi, Abdullah ibn Zubairlah yang menyebabkan terjadinya pemberontakan yang banyak membawa korban tersebut.
Dia berambisi besar untuk menduduki kursi khilafah. Untuk itu, ia menghasut bibi dan ibu asuhnya, Aisyah, agar memberontak terhadap Ali, dengan harapan Ali gugur dan ia dapat menggantikan posisi Ali. Dengan tujuan memdapatkan kedudukan khilafah itu pula, Muawiyah, gubernur Damaskus, memberontak Selain banyak menimbulkan korban, Muawiyah berhasil meneapai maksudnya, sementara Ali terbunuh oleh bekas pengikumya sendiri.
Pemberontakan pemberontakan yang muncul pada masa Ali ini bertujuan untuk menjatuhkannya dari kursi khilafah dan diganti oleh pemimpin pemberontak itu. Hal yang sama juga terjadi pada masa pemerintahan Bani Umayyah di Damaskus. Pemberontakan pemberontakan sering terjadi, di antaranya, pemberontakan Husein ibn Ali, Syi'ah yang dipimpin oleh Al-Mukhtar, Abdullah ibn Zubair, dan terakhir pemberomakan Bani Abbas yang untuk pertama kalinya menggunakan nama Gerakan Bani Hasyim. Pemberontakan terakhir ini berhasil dan kemudian mendirikan pemerintahan baru yang diberi nama khilafah Abbasiyah atau bani Abbas.
Pada masa pemerintahan Bani Abbas, perebutan kekuasaan seperti itu juga terjadi, terutama di awal berdirinya. Akan tetapi, pada masa-masa berikutnya, seperti terlihat pada periode kedua dan seterusnya, meskipun khalifah tidak berdaya, tidak ada usaha untuk merebut jabatan khilafah dari tangan Bani Abbas. Yang ada hanyalah usaha merebut kekuasaannya dengan membiarkan jabatan khalifah tetap dipegang Bani Abbas. Hal ini teijadi karena, khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi. Sedangkan, kekuasaan dapat didirikan di pusat maupun di daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka.
Tentara Turki berhasil merebut kekuasaan tersebut. Di tangan mereka khalifah bagaikan boneka yang tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan, merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan keinginan politik mereka.
Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki pada periode kedua, pada periode ketiga (334 H/945 447 H/ 1055 M), daulat Abbasiyah berada di bawah kekuasaan Bani Buwaih.
Kehadiran Bani Buwaih berawal dari tiga orang putra Abu Syuja' Buwaih, pencari ikan yang tinggal di daerah Dailam, yaitu Ali, Hasan; dan Ahmad. Untuk keluar dari tekanan kemiskinan, tiga bersaudara ini memasuki dinas militer yang ketika itu dipandang banyak mendatangkan rezeki. Pada mulanya, mereka bergabung dengan pasukan Makan ibn Kali, salah seorang panglima perang daerah Dailam. Setelah pamor Makan ibn Kali memudar, mereka kemudian bergabung dengan panglima Mardawij ibn Zayyar Al-Dajlamy. Karena prestasi mereka, Mardawij mengangkat Ali menjadi gubernur Al-Karaj, dan dua saudaranya diberi kedudukan penting lainnya.
Dari Al-Karaj itulah ekspansi kekuasaan Bani Buwaih bermula. Pertama-tama Ali berhasil menaklukkan daerah-daerah di Persia dan menjadikan Syiraz sebagai pusat pemerintahan. Ketika Mardawij meninggal, Bani Buwaih yang bermarkas di Syiraz itu berhasil menaklukkan beberapa daerah di Persia seperti Ray, Isfahan, dan daerah-daerah Jabal. Ali berusaha mendapat legalisasi dari khalifah Abbasiyah, Al-Radhi Billah, dan mengirimkan sejumlah uang untuk perbendaharaan negara. Ia berhasil mendapatkan legalitas itu. Kemudian, ia melakukan ekspansi ke Irak, Ahwaz, dah Wasith.
Dari sini tentara Buwaih menuju Baghdad untuk merebut kekuasaan di pusat pemerintahan. Ketika itu, Baghdad sedang dilanda kekisruhan politik, akibat perebutan jabatan amir al-umara’ antara wazir dan pemimpin militer. Para pemimpin militer meminta bantuan kepada Ahmad ibn Buwaih yang berkedudukan di Ahwaz. Permintaan itu dikabulkan. Ahmad dan pasukannya tiba di Baghdad pada tanggal ll Jumadil-ula 334 H/945 M. Ia disambut baik oleh khalifah dan langsung diangkat menjadi amiral-umara, penguasa polilik negara, dengan gelar mu’izz al-daulah, Saudaranya. Ali. yang memerintah di bagian selatan Persia dengan pusatnya di Syiraz diberikan gelar imad al-daulah dan Hasan yang memerintah di bagian utara. Isfahan dan Ray, dianugerahi gelar rukn al-daulah." Sejak itu, sebagaimana terhadap para pemimpin militer Turki sebelumnya, para khalifah tunduk kepada Bani Buwaih. Pada masa pemerintahan Bani Buwaih ini. para khalifah Abbasiyah benar-benar tinggal namanya saja. Pelaksanaan pemerintahan sepenuhnya berada di tangan amir-amir Bani Buwaih. Keadaan khalifah lebih buruk daripada masa sebelumnya, terutama karena Bani Buwaih adalah penganut aliran Syi'ah, sementara Bani Abbas adalah Sunni. Selama masa kekuasaan bani Buwaih sering terjadi kerusuhan antara kelompok Ahl Al-Sunnah dan Syi’ah. pemberontakan tentara dan sebagainya.
Setelah Baghdad dikuasai, Bani Buwaih memindahkan markas kekuasaan dari Syiraz ke Baghdad. Mereka membangun gedung tersendiri di tengah kota dengan nama Dar al-Mamlakah. Meskipun demikian, kendali politik yang sebenamya masih berada di Syiraz, tempat Ali ibn Buwaih (saudara tertua) bertahta. Dengan kekuatan militer Bani Buwaih. beberapa dinasti kecil yang sebelumnya memerdekakan diri dari Baghdad, sepeni Bani Hamdan di wilayah Syria dan Irak. Dinasti Samaniyah, dan Ikhsyidiyah, dapat dikendalikan kembali dari Baghdad.
Sebagaimana para khalifah Abbasiyah periode pertama, para penguasa Bani Buwaih mencurahkan perhatian secara"langsung dan sungguh-sungguh terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan kesusastraan. Pada masa Bani Buwaih ini banyak bermunculan ilmuwan besar di antaranya Al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina (980-1037 M), Al-Farghani, Abd Al-Rahman Al-Shuti (w. 986 M), Ibn Maskawaih (w. 1030 M), Abu Al-‘Ala Al-Ma'arri (9731057 M), dan kelompok Ikhwan Al-Shafa.
Jasa. Bani Buwaih juga terlihat dalam pembangunan kanal kanal, mesjid-mesjid, beberapa rumah sakit, dan sejumlah bangunan umum lainnya. Kemajuan tersebut diimbangi dengan laju perkembangan ekonomi; pertanian, perdagangan, dan industri, terutama permadani
Kekuatan politik Bani Buwaih tidak lama bertahan. Setelah generasi pertama, tiga bersaudara tersebut, kekuasaan menjadi ajang pertikaian di antara anak-anak mereka. Masing-masing merasa paling berhak atas kekuasaan pusat. Misalnya, pertikaian antara 'Izz Al-Daulah Bakhtiar, putera Mu’izz .Al-Daulah dan 'Adhad Al-Daulah, putra Imad Al-Daulah, dalam perebutan jabatan am'i'r al-umara. Perebutan kekuasaan di kalangan keturunan Bani Buwaih ini merupakan salah satu faktor internal yang membawa kemunduran dan kehancuran pemerintahan mereka. Faktor internal lainnya adalah pertentangan dalam tubuh militer, antara golongan yang berasal dari Dailam dengan keturunan Turki. Ketika amir al-umira dijabat oleh Mu'izz Al-Daulah persoalan itu dapat diatasi, tetapi manakala jabatan itu diduduki oleh orang-orang yang lemah, masalah tersebut muncul ke permukaan, mengganggu stabilitas dan menjatuhkan wibawa pemerintah.
Séjalan dengan makin melemahnya kekuatan politik Bani Buwaih, makin banyak pula gangguan dari luar yang membawa kepada kemunduran dan kehancuran dinasti ini. Faktor-faktor ekstemal tersebut di antaranya adalah semakin gencarnya serangan-serangan Bizantium ke dunia Islam dari semakin banyaknya dinasti-dinasti kecil yang membebaskan diri dari kekuasaan pusat di Baghdad. Dinasti-dinasti itu, antara lain, dinasti Fathimiyah yang memproklamasikan dirinya sebagai pemegang jabatan khalifah di Mesir, Ikhsyidiyah di Mesir dan Syria, Hamdan di Aleppo dan lembah Furat, Ghaznawi di Ghazna dekat kabul, dan dinasti Seljuk yang berhasil merebut kekuasaan dari tangan Bani Buwaih.
Jatuhnya kekuasaan Bani Buwaih ke tangan Seljuk bermula dari perebutan kekuasaan di dalam negeri. Ketika‘Al-Malik AlRahim memegangjabatan amir al-umara, kekuasaan itu dirampas oleh panglimanya sendiri, Arselan al-Basasiri. Dengan kekuasaan yang ada di tangannya, Al-Basasiri berbuat sewenang-wenang terhadap Al-Malik Al-Rahim dan Khalifah Al-Qaim dari Bani Abbas; bahkan dia mengundang khalifah Fathimiyah, (al-Mustanshir, untuk menguasai Baghdad). Hal ini mendorong khalifah meminta bantuan kepada Tughril Bek dari dinasti Seljuk yang berpangkalan di negeri Jabal. Pada tanggal 18 Desember 1055 M / 447 H pimpinan Seljuk itu memasuki Baghdad. Al-Malik Al-Rahim, amir al-umara Bani Buwaih yang terakhir, dipenjarakan. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Bani Buwaih dan bermulalah kekuasaan Dinasti Seljuk. Pergantian kekuasaan ini juga menandakan awal periode keempat khilafah Abbasiyah.
Dinasti Seljuk berasal dari beberapa kabilah kecil rumpun suku Ghuz di wilayah Turkistan. Pada abad kedua, ketiga, dan keempat Hijrah, mereka pergi ke arah barat menuju Transoxiana dan Khurasan. Ketika itu mereka belum bersatu. Mereka dipersatukan oleh Seljuk ibn Tuqaq. Karena itu, mereka disebut orang orang Seljuk. Pada mulanya, Seljuk ibn Tuqaq mengabdi kepada Bequ, raja daerah Turkoman yang meliputi wilayah sekitar laut Arab dan laut Kaspia. Seljuk diangkat sebagai pemimpin tentara. Pengaruh Seljuk sangat besar sehingga, Raja Bequ khawatir kedudukannya terancam. Raja bermaksud menyingkirkan Seljuk. Namun, sebelum rencana itu terlaksana, Seljuk mengetahuinya. Ia tidak mengambil sikap melawan atau memberontak, tetapi bersama pengikutnya ia bermigrasi ke daerah Jand atau disebut juga wama wara 'aAl-nahar, sebuah daerah Muslim di wilayah Transoxiana (antara sungai Ummu Driya dan Syrdarya atau Sihun).
Mereka mendiami daerah ini atas izin penguasa dinasti Samaniyah yang menguasai daerah tersebut. Mereka masuk Islam dengan mazhab Sunni. Ketika dinasti Samaniyah dikalahkan oleh dinasti Ghaznawiyah, Seljuk menyatakan memerdekakan diri. Ia berhasil menguasai wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh dinasti Samaniyah. Setelah Seljuk meninggal, kepemimpinan dilanjutkan oleh anaknya, Israil. Namun, Israil dan kemudian penggantinya, Mikail, ditangkap oleh penguasa Ghaznawiyah. Kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh Thugrul Bek. Pemimpin Seljuk terakhir ini berhasil mengalahkan Mas’ud Al-Ghaznawi, penguasa dinasti Ghaznawiyah, pada tahun 429 H/1036 M, dan memaksanya meninggalkan daerah Khurasan.
Setelah keberhasilan tersebut, Thugrul memproklamasikan berdirinya dinasti Seljuk. Pada tahun 432 H/1040 M dinasti ini mendapat pengakuan dari khalifah Abbasiyah di Baghdad. Di saat kepemimpinan Thugrul Bek inilah, dinasti Seljuk memasuki Baghdad menggantikan posisi Bani Buwaih. Sebelumnya, Thugrul berhasil merebut daerah daerah Marwa dan Naisabur dari kekuasaan Ghaznawiyah, Balkh, Juljan, Tabaristan, Khawarizm, Ray, dan Isfahan.
Posisi dan kedudukan khalifah lebih baik setelah dinasti Seljuk berkuasa, paling tidak kewibawaannya dalam bidang agama dikembalikan setelah beberapa lama "dirampas" orang-orang Syi’ah. Meskipun Baghdad dapat dikuasai, namun ia tidak dijadikan sebagaj pusat pemerintahan. Thugrul Bek memilih Naisabur dan kemudian Ray, sebagai pusat pemerintahannya. Dinasti-dinasti kecil yang sebelumnya memisahkan diri, setelah ditaklukkan dinasti Seljuk ini kembali mengakui kedudukan Baghdad, bahkan mereka terus menjaga keutuhan dan keamanan Abbasiyah untuk membendung paham Syi’ah dan mengembangkan mazhab Sunni yang dianut mereka.
Sepeninggal Thugrul Bek (455 H/ 1063 M), dinasti Seljuk berturut-turut diperintah oleh:
- Alp Arselan (455-465 H/lO631072),
- Maliksyah (465-485 11/ 1072-1092),
- Mahmud (485-487 H/ 1092-1094 M),
- Barkiyaruq (487-498 H/1094-1103),
- Maliksyah II (498 H/1103 M),
- Abu Syuja’ Muhammad (498-511 H/1103-1117 M), dan
- Abu Haris Sanjar(51 l-522H/1 l 17-1 128 M).
Pemerintahan Seljuk ini dikenal dengan nama Al-Salajikah Al-Kubra (Seljuk Besar atau Seljuk Agung). Di samping itu, ada beberapa pemerintahan Seljuk lainnya di beberapa daerah sebagaimana disebutkan terdahulu. Pada masa Alp Arselan, perluasan daerah yang sudah dimulai oleh Thugrul Bek dilanjutkan ke arah Barat sampai pusat kebudayaan Romawi di Asia Kecil, yaitu Bizantium. Peristiwa penting dalam gerakan ekspansi ini adalah apa yang dikenal dengan peristiwa Manzikart. Tentara Alp Arselan berhasil mengalahkan tentara Romawi yang besar yang terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, Al-Akraj, Al-l-lajr, Praneis, dan Armenia.
Dengan dikuasainya Manzikan tahun 1071 M itu, terbukalah peluang baginya untuk melakukan gerakan penturkian ( turkification ) di Asia Kecil. Gerakan ini dimulai dengan mengangkat Sulaiman ibn Qutlumish, keponakan Alp Arselan, sebagai gubernur di daerah ini. Pada tahun 1077 M (470 H), didirikanlah kesultanan Seljuk Rum dengan ibu kotanya Ieonim. Sementara itu, putra ArSelan, Tutush, berhasil mendirikan dinasti Seljuk di Syria pada tahun 1094 M/487 H.
Pada masa Maliksyah wilayah kekuasaan Dinasti Seljuk ini sangat luas, membentang dari Kashgor, sebuah daerah di ujung daerah Turki, sampai ke Yerussalem. Wilayah yang luas itu dibagi menjadi lima bagian:
- Seljuk Besar yang menguasai Khurasan, Ray, Jabal, Irak, Persia, dan Ahwaz. Ia merupakan induk dari yang lain. Jumlah Syaikh yang memerintah seluruhnya delapan orang.
- Seljuk Kirman berada di bawah kekuasaan keluarga Qawurt Bek ibn Dawud ibn Mikail ibn Seljuk. Jumlah syaikh yang memerintah dua belas orang.
- Seljuk Irak dan Kurdistan, pemimpin pertamanya adalah Mughirs Al-Din Mahmud. Seljuk ini secara berturut-turut diperintah oleh sembilan syaikh.
- Seljuk Syria, diperintah oleh keluarga Tutush ibn Alp Arselan ibn Daud ibn Mikail ibn Seljuk, jumlah syaikh yang memerintah lima orang.
- Seljuk Rum, diperintah oleh keluarga Qutlumish ibn Israil ibn Seljuk dengan jumlah syaikh yang memerintah seluruhnya 17 orang.
Di samping membagi wilayah menjadi lima, dipimpin oleh gubernur yang bergelar Syaikh atau Malik itu, penguasa Seljuk juga mengembalikan jabatan perdana menteri yang sebelumnya dihapus oleh penguasa Bani Buwaih. Jabatan ini membawahi beberapa departemen.
Pada masa Alp Arselan, ilmu pengetahuan dan agama mulai berkembang dan mengalami kemajuan pada zaman Sultan Maliksyah yang dibantu oleh perdana menterinya Nizham Al-Mulk. Perdana menteri ini memprakarsai berdirinya Universitas Nizhamiyah (1065 M) dan Madrasah Hanafiyah di Baghdad. Hampir di setiap kota di Irak dan Khurasan didirikan cabang Nizhamiyah. Menurut Philip K. Hitu, Universitas Nizhamiyah inilah yang menjadi model bagi segala perguruan tinggi di kemudian hari .
Perhatian pemerintah terhadap perkembangan ilmu pengetahuan melahirkan banyak ilmuwan Muslim pada masanya. Di antara mereka adalah Al-Zamakhsyari dalam bidang tafsir, bahasa, dan teologi; Al-Qusyairy dalam bidang tafsir; Abu Hamid alGhazali dalam bidang teologi; dan Farid Al-Din Al-’Aththar dan Umar Khayam dalam bidang sastra.
Bukan hanya pembangunan mental spiritual, dalam pembangunan flsik pun dinasti Seljuk banyak meninggalkan Jasa. Maliksyah terkenal dengan usaha pembangunan di bidang yang terakhir ini. Banyak mesjid, jembatan, irigasi, dan jalan raya dibangunnya.
Setelah Sultan Maliksyah dan perdana menteri Nizham AlMulk wafat Seljuk Besar mulai mengalami masa kemunduran di bidang politik. Perebutan kekuasaan di antara anggota keluarga timbul. Setiap propinsi berusaha melepaskan diri dari pusat. Konflik-konflik dan peperangan antaranggota keluarga melemahkan mereka sendiri. Sementara itu, beberapa dinasti kecil memerdekakan diri, seperti Syahat Khawarizm, Ghuz, dan Al-Ghuriyah. Pada sisi yang lain, sedikit demi sedikit kekuasaan politik khalifah juga kembali, terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan dinasti Seljuk di Irak berakhir di tangan Khawarizm Syah pada tahun 590 H11 199 M.
Advertisement