Cerpen Islami Sehidup Semati

Advertisement

Penawaran Terbatas! Paket Data 25GB Hanya Rp 90.000


Dapatkan kuota besar 25GB untuk semua nomor AS, Loop, dan simPATI hanya dengan Rp 90.000, berlaku selama 30 hari! Internet lancar tanpa khawatir kehabisan kuota, cocok untuk streaming, gaming, dan browsing sepuasnya!

Aktifkan sekarang dan nikmati kebebasan internet!

Read More Beli Paket
Advertisement
Cerpen Islami Sehidup Semati
“Azumi Lara–”
“Saya, Pak!” potongku cepat ketika pak Imad -guru baru termuda di SMA-ku- mengabsen murid di kelas XI-IPS-1.
“kalau boleh tahu, apa salah satu dari keluargamu ada yang berasal dari Jepang?” kali ini ia bertanya dengan memamerkan senyum khasnya.
“Ya.” jawabku seenggan mungkin.
“Siapa?”
“Apanya?”
“Yang dari Jepang?”
“Sodara.”
“Hmm, nama yang bagus..” gumamnya pelan.
Namun cukup terdengar oleh pendengaranku yang normal. Maklum, aku duduk di bangku paling pojok depan dekat pintu kelas. Aku memilih duduk di sana supaya pas lagi bosan dengerin ceramah ngalor-ngidulnya pak Imad, aku bisa dengan cepat keluar dari keheningan kelas yang menurutku sudah dipengaruhi oleh si Badut sialan itu -nama keren yang ku beri buatnya. Pak Imad adalah guru Al-Islam yang paling ganteng di sekolah SMA-ku. Nggak hanya ganteng, tapi juga baik hati, ramah, dan murah senyum. Eits!! Tapi itu menurut temen-temenku loh, bukan aku!
armaila.com - Cerpen Islami Sehidup Semati

==================
Cerpen Islami Hikmah di Balik Cobaan Berat
kumpulan cerpen islami asma nadia
cerpen islami pernikahan
cerpen islami lucu
cerpen islami helvy tiana rosa
cerpen islami terbaru
kumpulan cerpen islami
cerpen cinta islami
 ==================

Temen-temen juga pada bilang, kalau mukaku sama pak Imad agak mirip. Tapi, masak iya, sih? Aku mirip sama si Badut yang dalam pandanganku seperti monster penghancur dunia? Yang tiap harinya selalu menghukumku karena keterlambatanku masuk kelas lima menit setelah bel sekolah? Bahkan menhukumku membersihkan WC gara-gara aku lupa tidak mengerjakan PR karena ketiduran? Oh my God. Sungguh-sungguh tidak berprikemanusiaan.
Kalau aku bener-bener jadi pak Imad, mana mungkin aku menghukum murid-muridku? Setidaknya aku masih punya hati nurani. Lagi pula, kita kan manusia, sama-sama pernah berbuat kesalahan. Jadi, maklumin dikit lah. Apalagi waktu seminggu yang lalu ketika aku memperkenalkan diri di kelas. Temen-temen yang ada di kelas bertepuk tangan meriah dan juga ada yang tertawa terbahak-bahak ketika aku berdiri tepat di samping pak Imad yang saat itu sedang memakai seragam kotak-kotak berwarna ungu.
“Ja..dian! Ja..dian! Ja..dian!”
“Eheeeem, eheeemm.. ada yang baru nih, hahaha..”
“Ciye, Azumi! Lo ternyata cocok banget ya sama pak Imad!” teriak Deo yang dari tadi diam lalu ikut menyahut bagaikan suara petir dengan Guntur yang saling bersahut-sahutan.
“Udah, nikah aja!”
“Eh, pak Imad! kalau nikah sama si Azumi aja, gih, kasihan tuh bocah dah setahun ngejomblo hahaha..” Rasti, cewek setengah tomboy juga ikut berkomentar, lebih tepatnya ia ikut meledekku habis-habisan hingga aku menggigit bibir bawahku menahan malu. Tapi, hei? Tunggu dulu! Kenapa Rasti bawa-bawa status men-jom-blo-ku? Aih, aku tidak terima.
“Enak aja lo, Ras. Sini! Lo aja yang di depan sama bapak ini,” kataku ketus sambil tangan telunjukku menuding pak Imad. Pak Imad yang melihatku seperti itu hanya tersenyum penuh arti. Lalu, “kalau lo cemburu bilang aja! Lagian, dia nggak selevel sama gue!” sambungku dengan melipat tangan di depan dada.
“Eh, eh, jangan marah dong, Azumi! Gue bercanda doang kok, peace..” ujarnya dengan memosisikan tangannya membentuk huruf ‘V’. “Habis, lo sama pak Imad kalau dilihat-lihat serasi banget hehehe..”
Pak Imad yang sedari tadi mendengar aku dan teman-temanku beradu mulut, langsung menghentikan dengan suara tegasnya. Seketika itu kelas sunyi namun masih ada yang berdehem.
“Sudah ya,” ujarnya tetap tenang. “Kita lanjutkan lagi perkenalan kita. Azumi, silahkan duduk di tempat.”
“Ya.”
“Cukup sekian pelajaran hari ini anak-anak, Assalamualaikum..” nah, ini dia kalimat yang sedari tadi ku tunggu dari mulut si Badut sialan itu.
Ku renggut tas ranselku dan ku rapikan bukuku yang masih berserakan di atas meja. “Ana balik dulu ya, Azumi.. assalamualaikum!”
“waalaikumsalam.” jawabku ngasal pada Aisha. Ya, dia temanku yang paling feminin banget. Tidak pernah mengucapkan sepatah katapun kalau menurutnya tidak penting. Bahkan ketika teman-teman sedang ramai meledekku, teman sebangkuku ini hanya tersenyum penuh kepolosan.
Entahlah, kenapa Aisha masih mau duduk dengan manusia yang menyandang dosa setinggi dan sebesar Fujiyama -gunung Fuji di Jepang. Yang tidak pernah salat, yang sedikit pun tak pernah membaca ayat-ayat al-qur’an, bahkan yang tak pernah menyentuh sedikit pun mushaf-mushafal-qur’an. Bahkan, Aisha selalu dengan sabar mengajariku bagaimana salat itu, bagaimana cara mengaji yang benar, dan bagaimana tuntunan agama Islam mewajibkan seorang muslimah memakai jilbab.
Aku tak habis pikir. Kenapa Aisha selalu menyuruhku untuk melakukan semuanya. Padahal dia tahu, aku cewek yang selalu nurutin ego dan kemauan diri. Pernah suatu malam di hari ulang tahunku yang ke-16, ia datang ke rumahku hanya untuk memberikan kado mungil yang berisi seuntai kain lembut dan satu buku al-qur’an ukuran kecil. Aku hanya bisa mengucapkan terima kasih dan menerimanya dengan senang hati meskipun sesudahnya aku tidak pernah memakai dan sampai saat ini kain halus itu tetap berada di dalam kotak kado bersama al-qur’an bersampul kuning emas.
Cahaya matahari yang masuk melewati ventilasi kamarku membuat tubuhku menggeliat layaknya ulat yang kelaparan. Bunyi bel rumah berkali-kali ku dengar. Dimana sih, Bibi? Apa dia gak ada di rumah? Lagian, siapa sih, yang dengan teganya membangunkan orang yang masih ngantuk? Tidak tahu kalau masih pagi?
“Azumi! Ohayou gozaimas! Ini saya!”
Kok, suaranya kayak si Badut itu ya? Ah mana mungkin guru itu tiba-tiba ke rumahku. Ku putuskan untuk menutup telinga dengan bantal dan kembali tidur melanjutkan mimpi indah yang sejenak sempat tertunda.
“Beneran gak mau turun? Ini saya, cepetan, turun, nggak?! Atau kamu gak bakal naik kelas tahun ini!”
Deg. Pak Imad? Masa sih? Tapi, kalau dia bukan pak Imad, ngapain pake bawa-bawa ‘nggak naik kelas’ segala? Perlahan tapi pasti, aku turun dari ranjang dan sejurus kemudian tanganku sudah mmenarik knop pintu ruang tamu.
Aku melongo melihat si Badut itu berpakaian rapi. Berbaju taqwa dan berpeci putih. Di tangannya pun terdapat seuntai dzikir dan beberapa berkas yang ku rasa cukup penting.
“Eh, emm ngapain pak, ke sini?” tanyaku tiba-tiba gugup. Hei, aku ini kenapa? Bukankah aku cewek pemberani yang siap membanting kursi jika ada musuh di depan mata? Atau melayangkan bogeman ke arah wajahnya hingga ia babak belur dan bersujud padaku lalu membuatnya ia memohon meminta ampun.
“Assalamualaikum!”
“Oh, iya, halo, pak!” sahutku masih gelagapan.
“Bukan halo, tapi, Waalaikumsalam, Azumi..” katanya dengan senyum kemenangan.
Aku masih diam seribu bahasa. Astaga. Sadar kau, Azumi. Dia gurumu, si Badut sialan itu.
“Kenapa? Nggak nyangka ya saya berada di sini pagi-pagi? Lupakan, saya di sini mau ngasih ini. Baca gih!” lanjutnya tanpa memberiku kesempatan untuk berbicara. Aku menerima berkas itu dan sedikit mengernyit. Sejenak ku pandangi wajah pak Imad. Baru kali ini aku berdiri dengan jarak yang dekat dengannya. Bahkan, aku sanggup merasakan hembusan napasnya. Oh, Tuhan, begitu berkharismanya laki-laki di hadapanku ini.. senyumnya.. lesung pipitnya.. bau harum badannya. Aaarrgh.. aku menepuk pipiku pelan. Aku tersadar dan langsung berhenti menatap wajah pak Imad.
“Apa ini?” gumamku sambil terus meneliti apa maksud dari wacana tersebut. Jari telunjukku pun mengikuti arah gerak mataku.
“Apa?!”
“Kenapa?”
“Kau sudah gila?!”
“Astaghfirullah, Azumi.. Maksudmu, ap–”
“M-maaf, pak!” potongku.
“Untuk apa?” kata pak Imad.
“Tadi,” ucapku pelan penuh penyesalan.
“Tak perlu meminta maaf, istighfar, ya.. lain kali jangan diulangi.” katanya cepat hingga meluluhkan hatiku yang sangat-sangat seperti baja ini.
“Bagaimana?”
“Hah?”
“Azumi, kau tidak apa-apa? Dari tadi saya lihat kamu tidak konsentrasi membaca berkas itu.” eh? Emang dari tadi dia memeperhatikanku ya? Ah senangnya hatiku, nah loh? kok jadi gini sih. Nggak. Ini nggak boleh diteruskan. Dia guruku. Bukan Bimo, si Kakak kelas tahun lalu yang sedang aku taksir.
“Tidak pak, aku gak mau.” Jelasku.
“Kenapa?”
“Aku tidak bisa membaca al-qur’an sama sekali! Bahkan lomba ini? Untuk umum, pak!! Belum grand final, paling-paling orang sudah mengira aku gak bakal menang! Lagian, kenapa harus aku? Aisha aja, aku yakin dia lebih pinter dariku,” cecarku dengan nada ketus.
“Sudah putus asa sebelum dicoba?”
Glek! orang ini maunya apa sih? Kok sepertinya memojokkanku? Memang kalau aku beneran gak mau, harus dipaksa? Huh. Menyebalkan sekali.
“Perwakilan dari sekolah kita ada dua. Kamu dan Aisha. Bahkan, Aisha sendiri loh yang nyuruh bapak biar masukin kamu ke daftar calon lomba. Soalnya, kata Aisha suaramu bagus jika dipadukan dengan ayat-ayat suci al-qur’an..”
Ya Allah.. Aisha! Apa-apaan kamu ini! Jika memuji kenapa harus pake bawa-bawa namaku? Hash. Beginilah nasib punya sahabat orang alim, batinku dalam hati.
“Yasudah, kal–”
“Baiklah.”
“Apa?” tanya pak Imad dengan senyum sumringah.
“Aku.. mau.”
“Oke. Urusan selesai. Besok pagi saya akan jemput kamu di sini jam 6 untuk regestrasi. Jangan lupa, pakai busana muslim lengkap dengan jilbab. Tak boleh protes. Turuti saja apa kata saya, deal? Assalamualaikum.” jelasnya sambil berlalu menaiki sepeda kayuhnya.
Dalam hitungan detik, pak Imad hilang dari pandanganku ketika sampai di tikungan. Ha? Jilbab? Peraturan apa lagi ini? Wah, jangan-jangan pak Imad ada maunya nih. Udah diturutin ikutan lomba ngaji, eh malah minta aku pake jilbab? Ogaaaah ah ogah. Aku gak bisa pake jilbab. Risi. Gerah. Apa aja, gak enak pokoknya. Sumpek.
“Nah, gini dong. Kamu tambah cantik kalau pake jilbab, Azumi.. aku aja kalah cantik..,” puji Aisha sambil tertawa kecil. Entalah. Apa itu benar-benar pujian atau hanya sekedar untuk menyenangkan semata. Tapi aku yakin, Aisha tidak mungkin berpura-pura manis di hadapanku. Ya, Aisha, sahabat sekaligus bidadari duniaku.
“Sudahlah, aku seperti ini juga demi lo, kalau yang nyuruh bukan lo, gue hari ini bakal sekolah.”
“Kok jadi bawa-bawa namaku? Yang ikhlas dong.. niat karena mencari ridha Allah. Lagian suaramu itu bagus loh, aku sampe kagum, apalagi kalau kamu ngaji!” tuturnya sambil merapikan jilbabku. Sekilas, ia melihat ke arah jendela kamarku.
“Eh, pak Imad udah dateng, yuk berangkat!”
Aku hanya bisa mengangguk.
Entah kenapa, semenjak dua manusia itu semakin mendekat ke dalam kehidupanku, aku merasa aneh.. aku seperti bukan Azumi, diriku yang berhati baja yang selalu egois dan tak pernah salat ataupun mengaji. Hingga sejak adanya mereka -pak Imad dan Aisha- aku sedikit merasakan hidayah Allah muncul dalam hati nuraniku. Itu terbukti ketika aku mendengar suara adzan, hatiku selalu ikut bergetar dan ingin sekali melaksanakan salat. Dalam setiap doa, aku selalu memanjatkan sebuah pertanyaan pada Tuhan. Entahlah, kapan Tuhan akan menjawab semua pertanyaanku, biar ku tunggu hingga datang waktu yang tepat.
Tak terasa, sudah berbulan-bulan aku dan pak Imad menunggu hari dimana lomba itu dimulai. Aku tidak terlalu berharap dengan kemenangan lomba mengaji tingkat umum ini. Tapi aku akan berusaha. Aku tidak ingin mengecewakan sahabatku dan pak Imad yang tiap harinya selalu ke rumahku hanya untuk mengajariku mengaji dengan benar, tepat, dan sesuai dengan hukum tajwid.
Dalam perjalanan menuju tempat tujuan, aku sedikit merenung dan bertanya pada diri sendiri. Kenapa sih, Tuhan menakdirkan jalan hidup Aisha sedemikian rumitnya. Aisha, ia sahabatku yang paling aku sayangi. Bahkan, ia kini mengundurkan diri dari kompetisi mengaji karena Ibunya tiba-tiba jatuh sakit dan harus segera dioperasi. Dan paling naasnya, tanggal operasi Ibunya bersamaan dengan tampilnya lomba mengaji tingkat nasional. Sungguh, aku merasa kehilangan separuh jiwaku jika tanpa Aisha.
“Pak, masih lama sampenya?”
“Insya Allah dikit lagi. sabar dong,”
Setengah jam kemudian.
“Pak, kapan sampainya? Deg-degan nih aku, mana gak ada Aisha lagi!” comelku dalam perjalanan menuju tempat kompetisi.
“Memang Aisha segitunya buat kamu?” aku tahu, pertanyaan konyol ini hanya sekedar untuk menghiburku. Dasar, pintar sekali sih, pak Imad. Tapi, enak juga sih, ngobrol bareng dia. kayak ngobrol bareng si Bimo. Asyik.
“Aisha itu baik, ramah, beda dari yang lain pokoknya, Pak! Aku sama Aisha pernah berjanji sehidup semati loh.”
“Kok gitu?”
“Iya sehidup semati. Pak Imad ngerti, gak? Tiap malem aku sering berdoa supaya Aisha jadi sahabat Azumi selamanyaa apapun yang terjadi,” ucapku dengan hati berbunga-bunga dan refleks menutup mata sambil merentangkan tangan.
“Aaakkhh! Awas!!”
BRAKKK.
“Astagh..fir..ru..llaah..aaahh…”
Gelap.
Aku tak tahu ada di mana. Di rumah? Tapi kenapa tak ada ruangan sama sekali?
“Subhanallah, tidak ada luka lecet pun di tubuhnya! Bahkan, memar pun tak ada! Masya Allah..” ujar sang Ibu pemilik warung kopi di jalan trotoar.
“Yo pasti lah, Jeng.. wong sing perempuan kayak bintang sinetron. Sudah jilbaban ayu pisan! Pasti baik orang itu.”
“Yaa, semoga saja amal ibadahnya diterma sama Gusti Allah, nggeh, Bu..” ujar salah satu wanita yang melihat kejadian naas tersebut.
“Amiin ya Rabb..” jawabnya serentak.
Hei! Apa yang di katakan ibu-ibu itu barusan? Loh? pak Imad mana? Seingatku, aku sedang bercakap-cakap dengan pak Imad di atas sepeda motor. Lalu, aku memejamkan mata dan pak Imad berteriak! Tapi saat itu aku sudah tak sadarkan diri. Astaghfirullah.. apa aku..
Tidak… jangaaaan…
Tidak mungkin… aku masih ingin hidup! aku takut adzab Allah!! Astaghfirullahaladzim…
“Iya, pak, setelah jenazah Azumi Larasati dikuburkan, jenazah Aisha Nurrahmah akan segera dikuburkan.” ucap pak Imad kepada kiai Ukik.
“Saya benar-benar tidak menyangka, kejadiannya begitu cepat.” ujar Bu Masning, Ibu Aisha yang kini sudah agak baikan. Sedangkan Ibu Azumi masih tetap menangis meraung-raung meratapi kepergian anaknya di ruang jenazah.
“Iya, Bu, saya juga sempat shock waktu itu.. kok bisa-bisanya ya.. padahal saat saya sedang menggonceng Azumi di belakang saya, saya berani bersumpah, saya tidak mengantuk, ataupun kecapekan. Malah saya sangat semangat, Bu..”
Bu Masning masih terdiam sambil sesekali mengusap kelopak matanya dengan tisu.
“Oh ya, Bu, sebelumnya saya sempet denger, Azumi berkata pada saya..”
Mendengar kata-kata Azumi, Bu Estu, Ibu Azumi langsung mendekat sambil dipapah oleh suaminya. “A.. anak saya mengatakan apa, pa..ak ustadz?” ujar Bu Estu sedikit terbata.
“Azumi bilang, Aisha itu sahabatnya yang paling dia sayang.” Pak Imad berhenti sejenak, Bu Estu lagi-lagi menangis dalam dekapan suaminya.
Lalu, “Azumi bilang, setiap malamnya, ia selalu berdoa supaya Aisha jadi sahabat Azumi selamanya, bahkan si Azumi juga mengucapkan bahawa mereka berdua berjanji sehidup semati. Subhanallah.. saya juga sempat berpikir, apa mungkin dari kejadian aneh ini karena Azumi dan Aisha berjanji sehidup semati ya?”
“Bisa jadi, Pak ustadz, karena ucapan adalah doa. Dan terbukti, kematian Azumi dan Aisha nyaris beda menitnya saja..” ujar Ayah Azumi yang sedari tadi hanya mendekap Istrinya.
“Masya Allah, Azumi, Aisha…” tangis Bu Masning pun semakin pecah tak karuan. Pipinya membentuk sebuah aliran sungai air mata.
“Pantes saja, saya juga ndak nyangka pak Ustadz, kalau Aisha sama Azumi meninggalkan kami di hari yang sama, sampai-sampai saya tak jadi operasi gara-gara dapet berita dari bapaknya Aisha kalau Aisha meninggal di mualla rumah sakit..” kenang Bu Masning.
Seisi ruangan pun kembali hening. Hanya menunggu waktu pemakaman tiba.
“Ya sudah bu, saya masuk dulu ke ruang jenazah. Assalamualaikum..” pamit pak Imad kepada dua keluarga tersebut.
“Saya tidak tahu harus mengatakan apa Azumi.. tapi saya akui, kamu meninggalkan kami dengan keadaan khusnul khatimah seperti sahabatmu.. kamu sudah rela berjihad di jalan Allah dengan menggengam al-qur’an dan menghafalnya.. saya.. saya.. merasa kehilangan kamu.. tapi tak apa.. tenanglah di sana bersama Aisha.. sahabatmu yang sehidup semati. Semoga Allah menerima segala amalan kalian selama ini.. amiin..” ucap pak Imad di telinga Azumi dengan menitikkan air mata. Ya, air mata itu dijatuhkannya untuk melepas kepergian Azumi dan Aisha, murid tersayangnya, bahkan di hatinya. 

Cerpen Karangan: Ilmalana Dewi
Facebook: Ilmalana Dewi
Ilmalana Dewi lahir di Gresik pada tanggal 23 Februari 1997. Saat ini ia masih berstatus sebagai seorang siswi di SMA Muhammadiyah 1 Gresik.
Advertisement

Postingan Terkait

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Iklan

Close x