Cerpen Islami Aku Ingin Kembali
Advertisement
Penawaran Terbatas! Paket Data 25GB Hanya Rp 90.000
Dapatkan kuota besar 25GB untuk semua nomor AS, Loop, dan simPATI hanya dengan Rp 90.000, berlaku selama 30 hari! Internet lancar tanpa khawatir kehabisan kuota, cocok untuk streaming, gaming, dan browsing sepuasnya!
Aktifkan sekarang dan nikmati kebebasan internet!
Read More Beli Paket
Advertisement
Cerpen Islami Aku Ingin Kembali | Setangkai bunga anggrek putih yang sangat aku kagumi memberikan
kesejukan hati di kala aku memandangnya. Tapi kali ini bunga anggrek
putih yang indah itu tak cukup mampu memberi ketenangan pada jiwaku yang
sedang kalut dan kusam diterpa badai ketidakberdayaanku sebagai
manusia.
Waktu terasa begitu cepat hingga aku benar–benar berada di ujung
senja, di mana setiap manusia akan pulang dari setiap kesibukannya,
hewan akan kembali ke kandangnya bahkan burung segera pulang ke
sarangnya. Aku, aku tak tahu ke mana aku harus kembali, setelah aku
pergi, kepulanganku sebelumnya bukanlah seperti kepulanganku saat ini.
Kepulanganku saat ini mengukir perih yang dalam, lebih pada kata
menyesal. Ya, aku menyesal mengapa nanti, sekarang aku betul-betul
memulangkan raga dan jiwaku ke rumah ini. Setelah banyak hal yang ku
lewatkan kenapa aku tersadar baru saja.
==================
Cerpen Islami Hikmah di Balik Cobaan Berat
kumpulan cerpen islami asma nadia
cerpen islami pernikahan
cerpen islami lucu
cerpen islami helvy tiana rosa
cerpen islami terbaru
kumpulan cerpen islami
cerpen cinta islami
kumpulan cerpen islami asma nadia
cerpen islami pernikahan
cerpen islami lucu
cerpen islami helvy tiana rosa
cerpen islami terbaru
kumpulan cerpen islami
cerpen cinta islami
==================
Tidak kemarin, tidak sebulan yang lalu dan mengapa tidak setahun yang
lalu. Aku merasa tragis dengan diriku sendiri, aku merasa keji dan
merasa suram dengan semua perjalananku. Haruskah aku mengatakan benci
pada takdir, tidak aku tak ingin menjadi manusia hina di hadapan Tuhan.
Aku hanyalah sebulir makhluk yang merasa terasing dari diriku sendiri,
aku merasa raga dan jiwaku tak menyatu seolah keduanya berjalan saling
membelakangi, kehendak ragaku tak selalu sama dengan kehendak hatiku
hingga akhirnya aku sadar bahwa hati selalu benar, dia dekat dengan
pemiliknya, ambisi dan emosi telah mengusai dan mengalahkanku, dan saat
ini aku tahu bahwa aku benar–benar kalah.
Ibu, aku tahu aku tak pantas minta maaf saat ini karena mungkin
waktunya telah tertutup semenjak kepergianmu, aku tahu kita telah
terpisah alam. Ruang dan jarak yang lalu selalu ku buat tak sama dengan
ruang dan jarak pemisah kita saat ini. Realita ini terlalu rumit untuk
aku terima, bukan karena aku tidak ikhlas akan takdir yang memisahkan
kita, tapi perih ini adalah perih yang ku buat beberapa tahun aku
menjadi anakmu. Penyesalan yang sampai saat ini belum bisa menghapus
luka dan perih di hati ini.
Terbayang wajah Ibuku yang selalu memberi kasih sayangnya untukku,
tepat di halaman rumah saat ku langkahkan kaki menaiki sebuah mobil
rental untuk memuaskan hasrat dan ambisiku untuk mengejar mimpi di
sebuah kota yang sangat jauh dari kampung halamanku. Ku tatap lagi
wajahnya yang kusam dan mata yang sembab akibat menangisi kepergianku.
Kakak tertuaku masih sabar menenangkannya sementara aku terus melaju
bersama mobil itu menuju sebuah kota yang sampai saat ini aku tidak tahu
kenapa aku harus terdampar di sini, dengan berbagai teka–teki kehidupan
dari sejak awal sampai hari ini aku masih terus bertanya.
Setahun setelah aku meninggalkan Ibuku, aku mengalami kegagalan dalam
studiku, di sinilah aku banyak mengukir kebohongan demi kebohongan dan
akhirnya kebohongan itu membawa malapetaka, suatu kebodohan yang mungkin
saat ini tak penting lagi untuk aku uraikan, hingga pada akhirnya aku
berusaha keras untuk merubah diri mejadi lebih baik. Tragisnya di saat
aku dalam keadaan lapang dan lebih dekat dengan Tuhan dengan berbagai
aktivitas kerohanianku, muncul sebuah nasib yang memaksaku untuk
menerimanya.
Ku putar balik memori, mengulang kembali tayangan masa lalu, begitu
tegakah aku, begitu burukkah aku hingga aku tak memahami posisi Ibuku
yang sedang menahan rasa sakit melawan penyakit kanker paru–paru yang
merenggutnya. Aku membentaknya dengan nada keras ketika beliau tak
memenuhi apa yang aku inginkan, begitu sadiskah aku sebagai seorang anak
yang tak menghargainya di saat dia bicara dan mencoba akrab denganku,
dan begitu durhakakah aku ketika seorang Ibu itu sedang berada pada
stadium akhir penyakit kanker paru–parunya, aku justru meninggalkannya,
dan sempat membentaknya dengan suara kasarku.
Sungguh aku tidak tahu Ibu, aku menyesal, dan aku muak dengan diriku
sendiri. Aku mencintaimu, hanya saja terkadang masa lalu kita yang
begitu kusam kebenarannya, selalu datang mengundang amarah dan
ketidaksadaranku sebagai seorang anak. Masa lalu yang aku benci, masa
lalu saat di usiaku yang masih membutuhkanmu kenapa kau tinggalkan aku,
kemudian tiba–tiba kau datang dengan suami barumu, aku tidak terima saat
itu. Enam tahun aku kehilangan kasih sayang, kasih sayang yang
seharusnya ada untukku saat itu. Masih terukir dalam memoriku ketika
Ibuku masuk ke dalam rumah dengan membawa seorang laki–laki yang telah
menikahinya. Seolah bumi akan runtuh mendengar penjelasan Ibuku,
penjelasan yang sangat aku benci, penjelasan yang membuat aku menjadi
anak yang kasar.
—
“Rani ini Om Muksin, ayo salim dia Bapak barumu nak.”
Dengan rasa kesal aku menendang pintu dan berlari ke luar tanpa menyalami tangan laki–laki itu. Ibu mengejarku, menenangkanku lalu merayuku untuk bisa menerima status Om Muksin, hati tak rela, tapi aku tahu aku hanyalah seorang anak berusia delapan tahun waktu itu.
“Pak, ini Rani anakku.”
“Eh Rani, sini sama om!”
Dengan rasa kesal aku menendang pintu dan berlari ke luar tanpa menyalami tangan laki–laki itu. Ibu mengejarku, menenangkanku lalu merayuku untuk bisa menerima status Om Muksin, hati tak rela, tapi aku tahu aku hanyalah seorang anak berusia delapan tahun waktu itu.
“Pak, ini Rani anakku.”
“Eh Rani, sini sama om!”
Begitu polosnya aku membiarkan tangan Om Muksin menggendongku, aku
tidak butuh seorang Ayah baru, keberadaan Ibu saat itu yang aku
butuhkan. Andaikan saat itu Ibu tak pergi meninggalkanku, dan
membiarkanku hidup sampai remaja dengan Kakak, mungkin aku akan tumbuh
dengan baik dengan asuhan seorang Ibu, aku tak akan tumbuh menjadi sosok
yang keras kepala dan kasar. Tapi sayangnya Ibu pergi meninggalkanku
selama kurang lebih enam tahun, dan ketika aku duduk di bangku kelas
satu sekolah menengah atas, akhirnya Ibu pulang. Ya, Ibuku pulang ke
rumah kami tanpa Om Muksin, dan yang lebih menambah kebencian dan
kebekuan luka di hatiku, Ibu pulang karena telah diceraikan oleh Om
Muksin seseorang yang telah ia pilih dan membiarkan aku tumbuh tanpa
perhatiannya.
“Ada apalagi bu, kenapa pulang?”
“Rani Ibu sekarang seorang janda, Ibu kembali ke sini untuk mengurusmu.”
“Aku tahu mengurus diri sendiri bu.” Dengan dinginnya aku lontarkan bahasa itu.
“Rani Ibu sekarang seorang janda, Ibu kembali ke sini untuk mengurusmu.”
“Aku tahu mengurus diri sendiri bu.” Dengan dinginnya aku lontarkan bahasa itu.
Sejak hari itu Ibuku banyak mengalah padaku, memperlakukan aku sebaik
yang aku mau. Ibu lebih banyak diam ketika aku mengomel jika ada yang
salah dengan ucapan Ibu. Ibu kembali, tapi aku merasa sama saja, toh aku
sudah besar, aku sudah pandai memasak, menyetrika baju sendiri dan
pekerjaan rumah yang lain aku sudah bisa, beda dengan enam tahun yang
lalu, baju sekolahku nyaris tak pernah disetrika, Kakak memasak dan
mengurusiku dengan apa yang dia bisa, jika Kakak merasa cape dengan
kerewelan dan kekanak-kanakanku aku akan menerima pukulan darinya.
Mungkin sebagian orang atau teman–teman menilai aku sebagai seorang
yang kasar dan keras, aku tak mengelak, aku sadar lingkungan dan keadaan
telah membentuk pribadiku, membentuk emosionalku, dan mengarahkan aku
pada sebuah ambisi yang sampai hari ini mengambang tak jelas arahnya.
Aku berambisi ingin menjadi seorang pilot dengan harapan bahwa aku akan
selalu berada di atas awan, jarang pulang dan dirindukan oleh setiap
keluarga, tapi sayang nasib justru mengantarkan aku pada sebuah
organisasi pembangun jiwa, dengan konsep dan prinsip alqur’an dan sunnah
Rasulullah saw, di sinilah aku tahu bahwa aku berada pada kesalahan
yang besar.
Hingga pada akhirnya aku tersesat dengan ambisiku, masalah mulai
bermunculan, namun aku bangga karena beberapa masalah yang tergolong
berat berhasil aku lewati, namun ujian kali ini adalah sebuah ujian yang
mengantarkan aku pada berbagai usaha pembenaran diriku di masa lalu,
berusaha membenarkan kesalahan yang ku buat di hadapan Ibuku, namun
sekali lagi waktu tak pernah bisa kompromi, aku terlalu banyak
menyia–nyiakannya.
Dan suatu hari aku mendapati gambar diriku yang pupus, penyesalan
kini menyertaiku. Aku tak melihat akhir dari hembusan napas Ibuku, dan
yang sangat aku sesalkan, aku sungguh tidak tahu bahwa terakhir kali aku
mencium Ibuku dan pergi meninggalkannya adalah sisa dari empat belas
hari yang ingin dia habiskan bersamaku, hanya saja aku menolak
permintaannya dengan alasan bahwa aku memiliki urusan kuliah yang tidak
bisa aku lewatkan. Sungguh aku tidak tahu bahwa paru-paru Ibuku sudah
parah dan sedang berada di titik stadium akhir.
Waktu tak mungkin kembali, sekalipun airmata berlinang dengan darah.
Sekalipun maaf bisa diperoleh dengan taubat apakah ada yang bisa
memulangkan waktu kemarin? tidak, tidak ada yang mampu. Akhirnya aku
benar–benar terpisah darinya, bukan karena kebencian tapi takdir, dia
yang kini telah pergi bukan aku yang meninggalkannya seperti beberapa
tahun yang aku lakukan untuk menghindarinya. Saat ku terima telepon dari
Kakak, suara gemetarnya bisa menyentuh hati kecilku, seolah isyarat
bahwa hari itu adalah hari kepergian Ibu, kepergian yang bukan
perjalanan, tapi kepergian yang merupakan kepulangan pada Sang Pencipta.
Ada perasaan mendongkol dalam hatiku untuk menyalahkan takdir,
perlahan–lahan sedih dan penyesalan mulai merayap mengelilingi semua
bilik di hatiku yang lama kosong. Tangisanku hari itu tak akan
memulangkan senyum seorang Ibu yang telah melahirkanku. Aku mendengar
isakan tangis dari Kakak tertuaku yang berusaha menjelaskan keadaan
terakhir Ibu sebelum menghembuskan napas terakhirnya. Aku tidak tahu
apakah ini pertolongan terhadap Ibu ataukah itu memang pantas untuknya,
Ibuku menghadapi sakaratul maut dalam keadaan tenang, bahkan saat ia
menghabiskan napasnya ia berusaha berada pada posisi yang baik, yakni
pada posisi menghadap ke arah kiblat. Suatu kelegaan bagiku, Tuhan tak
mempersulitnya.
“Ran, sabar ya.”
“iya kak, maaf Rani tidak berada di samping Ibu di saat terakhirnya.”
“tidak apa, jalannya sudah seperti itu.”
“Insya Allah hari ini saya segera berangkat.”
“iya kak, maaf Rani tidak berada di samping Ibu di saat terakhirnya.”
“tidak apa, jalannya sudah seperti itu.”
“Insya Allah hari ini saya segera berangkat.”
Hari ini aku pulang, bukan untuk bertemu Ibu, tapi untuk melepas
kepergiannya. Hari ini aku kembali dengan jiwaku, yang sebenarnya
memendam rindu yang ku selimuti dengan kebohongan dan keangkuhanku
selama ini. Tapi ketika jiwa ini benar–benar pulang kenapa harus
perpisahan yang menyambut, bukankah Ibu selalu menunggu kepulanganku?
aku telah terlambat, aku pulang pada ujung senja, aku pulang di saat
pemilik nyawa memanggil Ibu.
Penyesalan telah datang menyambutku, menemani dan menghantui diriku,
rasa sakit terasa begitu perih, lebih perih daripada saat Ibu
meninggalkanku untuk Om Muksin. Rasa sakit yang terus berdarah sampai
detik ini, rasa sakit yang kubuat sendiri, tak ada yang menancapkan
perih itu di hatiku yang meletakkan perih itu adalah kebencianku di masa
lalu yang melewatkan begitu banyak waktuku bersama Ibu, melewatkan
berbagai kesempatanku untuk berbicara baik dan lembut, dan melewatkan
semua kesempatan untuk mendekap atau hanya sekedar meringankan rasa
sakit yang ia derita. Oh begitu malang dirimu Rani, itu yang selalu
tergumam dalam hatiku.
Hari demi hari telah terlewati, Ibu telah berada di alam terpisah
dariku, lama sudah wajahnya tak ku lihat, dan sudah lama juga aku tak
mendengar suaranya. Waktu terus berjalan, ketika hidup menekankan aku
untuk tetap berjalan ke depan, aku harus maju namun luka masih berdarah,
penyesalan masih selalu datang menyergapku di sela–sela berbagai
aktivitas yang ku lakukan untuk belajar melupakan. Mungkin hal yang
biasa, namun aku merasa ini kerinduan yang sebenarnya. Aku ingin
kembali, pulang menemui setiap sudut rumahku yang kosong tanpa wajah
seseorang yang selalu merindukanku.
Andai saja waktu bisa berputar kembali, aku ingin pulang memeluk
Ibuku, mencium dan memeluknya dengan erat. Saat ini doalah yang bisa ku
kirimkan untuknya, doa yang selalu aku panjatkan pada Tuhan di setiap
akhir sujudku. Andaikan di kehidupan selanjutnya ada kesempatan bagi
seorang anak ini untuk bertemu Ibunya, aku mohon padaMu Ya Robbi,
pertemukanlah aku, ridhokah dia menjadi Ibuku, ataukah dia menyesal
beranakkan aku? Bisakah aku mencium dan memeluknya? aku sangat
mencintainya Tuhan.
Setiap perjalanan hidup di muka bumi ini selalu menghantarkan kita
pada pembelajaran dan pendewasaan diri, seseorang tak akan pernah tahu
mana yang benar jika ia tak melalui sebuah kesalahan. Sekarang aku hidup
dengan seorang Kakak yang begitu baik dan penuh pengorbanan, setelah
Ibu dialah yang banyak memberi dan menafkahiku, mungkin dari kesadaran
itu, kini saatnya aku tunjukkan sikap yang baik pada seorang Kakak,
sikap menghormati dan menyayangi, memiliki apa yang sebenarnya diberikan
padaku sebagai anugerah. Sekarang Kakak menjadi orang yang paling aku
utamakan, seseorang yang aku banggakan, dan seseorang yang aku sayangi.
Seperti layaknya orangtuaku karena sebenarnya beliaulah yang menjadi
pengganti orangtua bagiku, semenjak Ayah meninggal dunia dan sekarang
Ibu juga telah pergi menyusul.
Seperti itulah hidup membawa setiap manusia pada ujungnya, tak ada
yang mulus dalam menjalani kehidupan ini, semua pasti memiliki ujian
beserta kadarnya masing–masing. Seperti itu pula yang terjadi denganku,
penyesalan yang dalam tak boleh menjadi penghambat untuk terus
melangkah, sakit pasti ada, akan tetapi waktu selalu berputar, hingga
pada akhirnya waktu perlahan–lahan menghapusnya dan mulailah belajar
untuk memaafkan diri sendiri. Aku sadar bahwa memang seharusnya aku
pulang, pulang pada rumah dan menemui orang yang masih ada untukku.
Kawan, pulanglah jika kalian merindukannya karena sebenarnya merekalah
yang sangat merindukanmu.
Cerpen Karangan: Fitriyatunnisa Alhikmah
Facebook: Fitriyatunnisa Alhikmah
Facebook: Fitriyatunnisa Alhikmah
Advertisement