Cerpen Islami Sepotong Hati Untuk Tuhan
Advertisement
Penawaran Terbatas! Paket Data 25GB Hanya Rp 90.000
Dapatkan kuota besar 25GB untuk semua nomor AS, Loop, dan simPATI hanya dengan Rp 90.000, berlaku selama 30 hari! Internet lancar tanpa khawatir kehabisan kuota, cocok untuk streaming, gaming, dan browsing sepuasnya!
Aktifkan sekarang dan nikmati kebebasan internet!
Read More Beli Paket
Advertisement
Cerpen Islami Sepotong Hati Untuk Tuhan | Di keheningan senja menyapa alam selepas salat maghrib di rumah, Ayah
memandangi wajah mungilku yang sebentar lagi akan duduk di bangku
sekolah dasar. Aku balas pandangan Ayah dengan tatapan kasih sayang.
Dari raut wajahnya seolah Ayah ingin mengatakan sesuatu padaku, tapi aku
tidak tahu apa yang ada di benak Ayah. Ternyata benar, tiba-tiba Ayah
berkata kepadaku, “Nak, kalau kamu nanti sudah besar Ayah akan
menyekolahkan kamu ke pesantren, agar kelak kamu menjadi anak yang
saleh.” Aku menganggukkan kepala, dengan kepolosan wajah menandakan
bahwa aku mengiyakan ucapan Ayah.
Seiring dengan berputarnya waktu mengikuti arah jarum jam, hari ini
adalah hari pertamaku duduk di bangku sekolah dasar SD Negeri 147545
Bange. Aku sangat senang bertemu dengan guru-guru yang baik hati dan
teman baru yang lucu-lucu. Hari-hari di sekolah, ku lalui dengan riang
gembira. Tiada terasa enam tahun sudah berlalu, di sudut malam bersamaan
dengan gerimis hujan yang menghampiri bumi, Ayah mendekati aku di ruang
tamu sembari berucap.
“Dayat, sebentar lagi kan kamu akan lulus SD nak, sebenarnya Ayah
sangat menginginkan kamu masuk pesantren, sesuai dengan rencana Ayah
dulu. Tapi di sisi lain, Ayah belum tega berpisah karena kamu
satu-satunya anak lelaki Ayah, dan kelihatannya kamu juga masih terlalu
kecil untuk tinggal di asrama”
“Iya yah, dayat menurut saja sama Ayah” jawabku dengan polos.
“Bagaimana nak kalau kamu masuk pesantrennya nanti setelah lulus SMP?”
“Iya yah, Dayat setuju”
“Iya yah, dayat menurut saja sama Ayah” jawabku dengan polos.
“Bagaimana nak kalau kamu masuk pesantrennya nanti setelah lulus SMP?”
“Iya yah, Dayat setuju”
Setelah lulus SD, akhirnya aku terlebih dahulu dimasukkan di SMP
Negeri Madina, Sumut. Pergeseran waktu begitu cepat, sekarang aku telah
duduk di bangku kelas tiga Sekolah Menengah Pertama. Saat ini aku
benar-benar merasakan goncangan jiwa yang tidak seperti biasanya, setiap
hari aku selalu ingin mencoba sesuatu yang belum pernah aku rasakan. Di
usia remaja ini, aku ingin lepas sebebas-bebasnya tanpa kekangan dari
siapapun. Kata keluarga, sikapku sangat jauh berubah sembilan puluh
derajat dari sebelum aku kelas tiga, tapi aku tidak menghiraukan omongan
mereka.
Ketika aku nongkrong di kedai samping rumah, tiba-tiba Romi menghampiriku.
“Dayat, nanti malam kita ke diskotik yuk!” Ucap Romi, sembari mendekat.
“Ngapain Romi?” jawabku.
“Ngapain lagi yat, biasa anak muda…”
“Aduh… rom, aku nggak bisa, aku nggak pernah ke tempat gituan”
“Yat… Dayat… kamu itu udah gede, kamu bukan anak ingusan lagi, kamu itu harus gaul men… biar kamu nggak dibilang teman-teman yang lain dengan sebutan cupu bin katro”
Karena tidak mau dibilang cupu dan katro, lalu aku pun mengiyakan ajakan Romi tersebut.
“Dayat, nanti malam kita ke diskotik yuk!” Ucap Romi, sembari mendekat.
“Ngapain Romi?” jawabku.
“Ngapain lagi yat, biasa anak muda…”
“Aduh… rom, aku nggak bisa, aku nggak pernah ke tempat gituan”
“Yat… Dayat… kamu itu udah gede, kamu bukan anak ingusan lagi, kamu itu harus gaul men… biar kamu nggak dibilang teman-teman yang lain dengan sebutan cupu bin katro”
Karena tidak mau dibilang cupu dan katro, lalu aku pun mengiyakan ajakan Romi tersebut.
Aku susuri persimpangan malam dengan perasaan tidak menentu, ketika
pulang dari diskotik menuju rumah. Setibanya di kamar tidur, aku
rebahkan sekujur tubuh di ranjang bergaris-garis biru, pikiranku tidak
karuan seolah ada kekhawatiran dan perasaan tidak enak. Karena malam
sudah larut, aku paksakan mata memejam karena besok kami akan menerima
rapor di sekolah.
Di bawah terik mentari yang tersenyum sekitar pukul sebelas siang
ini, aku pulang dari sekolahku menuju rumah, dari kejauhan terlihat
senyum manis memancar dari dua orang insan yang sedang menantikan sang
anak. Mungkin mereka berharap di hari penerimaan rapor semester satu ini
sang buah hati tetap bisa mempertahankan rangking satunya. Aku tidak
tahu lagi harus bagaimana karena nilai raporku turun drastis, dengan
perasaan tidak menentu aku beranikan diri mendekati Ayah dan Ibu.
Melihat nilai raporku yang sangat jelek, Ayah langsung marah kepadaku.
“Kamu ini gimana sih, nilainya kok bisa jelek gini, kamu ini cuma bisa malu-maluin Ayah saja, beginilah… kalau kamu tidak mau lagi diatur”
“Sudah pak, mungkin Dayat juga tidak menyangka nilainya begini” jawab Ibu, mencoba meredam kemarahan Ayah.
Ayah pun melangkah pergi, meninggalkan aku dan Ibu. Aku tidak ambil pusing terhadap apa yang baru Ayah katakan, yang penting aku tetap bisa happy menjalani hidup.
“Kamu ini gimana sih, nilainya kok bisa jelek gini, kamu ini cuma bisa malu-maluin Ayah saja, beginilah… kalau kamu tidak mau lagi diatur”
“Sudah pak, mungkin Dayat juga tidak menyangka nilainya begini” jawab Ibu, mencoba meredam kemarahan Ayah.
Ayah pun melangkah pergi, meninggalkan aku dan Ibu. Aku tidak ambil pusing terhadap apa yang baru Ayah katakan, yang penting aku tetap bisa happy menjalani hidup.
—
Setengah tahun telah berlalu, ketika mentari pamit pulang ke ufuk
barat, burung-burung lalu-lalang menuju peraduan masing-masing dan
pelangi menghiasi sore nan indah. Di dalam rumah, Ayah mendekati aku
ketika sedang asyik-asyiknya mendengarkan musik di kamar. Lalu Ayah
berkata kepadaku.
“Dayat, satu minggu lagi kan kamu sudah lulus SMP, jadi Ayah ingin kamu masuk pesantren nak, bagaimana menurutmu?”
“Aduh… aku gak suka sekolah pesantren yah, aku gak berani tinggal di asrama” jawabku mencari-cari alasan.
“Dayat, satu minggu lagi kan kamu sudah lulus SMP, jadi Ayah ingin kamu masuk pesantren nak, bagaimana menurutmu?”
“Aduh… aku gak suka sekolah pesantren yah, aku gak berani tinggal di asrama” jawabku mencari-cari alasan.
Ibu tiba-tiba mendekati kami, mungkin tadi beliau mendengar
pembicaraanku dengan Ayah, lalu Ibu memegang tanganku sembari membujuk.
“Nak, apa yang dikatakan Ayahmu demi kebaikan kamu juga”
“Gimana sih Ibu, bukannya mau membela, malah dukung Ayah lagi. Mau jadi apa aku nanti kalau aku sekolah di pesantren?” menyahut ucapan Ibu dengan angkuhnya.
“Nak, kalau Ibu dan Ayah nanti meninggal, siapa yang akan menyolatkan dan mendoakan kami?”
Hatiku sontak kaget mendengarkan kata-kata Ibu, bagaimana pun juga aku masih mempunyai hati nurani. Aku sangat terharu mendengarkan ucapan Ibu tersebut, seorang manusia yang telah mengorbankan hidup dan matinya untukku sejak dari alam rahim. Sejenak hatiku luluh mendengarkan ucapan Ibu tadi.
“Nak, apa yang dikatakan Ayahmu demi kebaikan kamu juga”
“Gimana sih Ibu, bukannya mau membela, malah dukung Ayah lagi. Mau jadi apa aku nanti kalau aku sekolah di pesantren?” menyahut ucapan Ibu dengan angkuhnya.
“Nak, kalau Ibu dan Ayah nanti meninggal, siapa yang akan menyolatkan dan mendoakan kami?”
Hatiku sontak kaget mendengarkan kata-kata Ibu, bagaimana pun juga aku masih mempunyai hati nurani. Aku sangat terharu mendengarkan ucapan Ibu tersebut, seorang manusia yang telah mengorbankan hidup dan matinya untukku sejak dari alam rahim. Sejenak hatiku luluh mendengarkan ucapan Ibu tadi.
Di hari minggu ini, cuaca sangat mendung, semendung hati yang aku
rasakan. Aku benar-benar berada di persimpangan hati, apakah menuruti
kemauan kedua orangtua atau tidak. Tiba-tiba saja Ibu menghampiriku dari
belakang, dengan suara kasih sayang Ibu berusaha menenangkan kerisauan
hatiku. Mungkin tadi Ibu memperhatikan aku ketika duduk di kursi
berwarna hitam ini.
“Yat, Ibu tahu hati anak Ibu sedang risau, apa yang kamu pikirkan nak?”
“Nggak ada bu, cuma kurang fit aja”
“Kamu tidak boleh bohong sama Ibu, pasti kamu masih belum bisa menerima keputusan Ayah dan Ibu”
Kemudian Ibu mencoba menenangkan hatiku yang sedang galau tingkat tinggi ini.
“Nak di dalam tubuh manusia itu ada yang disebut dengan hati, ia ibarat sepotong roti yang harus dipersembahkan kepada yang pantas kita cintai, kamu ngerti kan?”
“Iya bu” Jawabku walaupun aku tidak tahu maksud perkataan Ibu.
“Yat, Ibu tahu hati anak Ibu sedang risau, apa yang kamu pikirkan nak?”
“Nggak ada bu, cuma kurang fit aja”
“Kamu tidak boleh bohong sama Ibu, pasti kamu masih belum bisa menerima keputusan Ayah dan Ibu”
Kemudian Ibu mencoba menenangkan hatiku yang sedang galau tingkat tinggi ini.
“Nak di dalam tubuh manusia itu ada yang disebut dengan hati, ia ibarat sepotong roti yang harus dipersembahkan kepada yang pantas kita cintai, kamu ngerti kan?”
“Iya bu” Jawabku walaupun aku tidak tahu maksud perkataan Ibu.
Dengan perasaan terpaksa akhirnya aku menuruti permintaan Ayah dan
Ibu. Setelah lulus dari bangku SMP, aku didaftarkan ke salah satu pondok
pesantren. Mendengar aku masuk pesantren, teman-teman sebaya
mengucilkan aku di kampung, tapi aku tidak terlalu menghiraukannya
karena mungkin inilah jalan takdir yang harus aku hadapi. Awalnya aku
ingin berhenti setelah satu minggu di pondok ini karena berbagai
peraturan yang sangat ketat, berkat dorongan Ayah dan Ibu akhirnya aku
betah juga di tempat para mujahid ilmu ini. Di pondok ini juga aku
benar-benar merasakan kedamaian hati yang belum pernah aku rasakan
sebelumnya. Seolah-olah aku terlahir kembali menjadi Muslim yang
sesungguhnya, bukan hanya Muslim di KTP saja.
Malam Jumat tepat pada pukul 12.00 aku terbangun di keheningan malam,
aku teringat semua kesalahan yang pernah aku perbuat dan juga teringat
kepada keluarga di kampung. Di tengah suara jangkrik yang sahut
menyahut, aku mengambil air wudu, untuk mengerjakan salat Tahajjud. Air
mataku bercucuran membasahi sajadah ketika berdoa dan meminta ampun
kepada sang khalik selepas salat Tahajjud. Setelah curhat kepada Allah
hatiku begitu tenang dan damai.
Ketika sedang di ranjang tidur, aku teringat kepada perkataan Ibu
bahwa di dalam tubuh manusia itu ada yang disebut dengan hati. Hati itu
ibarat sepotong roti yang harus dipersembahkan kepada yang paling pantas
untuk dicinta. Sejenak aku terdiam bingung seolah ada yang membisikkan
maksud dari perkataan Ibu kepadaku, pikiranku langsung terbuka dan tahu
jawabannya, maksudnya adalah hati itu harus dipersembahkan kepada yang
paling pantas dicintai di jagat raya ini, yakni kepada Tuhan semesta
alam, Allah SWT. Aku pun tersenyum sendiri setelah mengetahui maksud
dari ucapan Ibu itu.
Aku pun berjanji pada diriku sendiri bahwa kesucian sepotong hati
yang ada di dalam tubuh ini akan aku persembahkan kepada Tuhan, dengan
mengerjakan segala perintahnya dan menjauhi larangan-larangannya. Dari
jendela dekat ranjang aku menatap ke langit, terlihat bulan yang sedang
bahagia seolah menjadi saksi bisu dari pertaubatanku.
Selesai
Cerpen Karangan: Mustopa Kamal Btr
Facebook: Mustopa Kamal Btr
Nama: Mustopa Kamal Btr
TTL: Bange, 28 Oktober 1992
Pendidikan: SD Negeri 147545 Bange. MTs Negeri Siabu. Pesantren Musthafawiyah Purbabaru, kab. Madina-Sumut. UIN Suska Riau, Pekanbaru (sedang belajar)
Motto Hidup: Long life education
Prestasi: Juara 1 cerdas cermat bhs. Indonesia (2005). Juara 3 siswa berprestasi (2004). Juara 3 kesenian tor-tor Mandailing [grup] SD (2005) se-kec. Bukit Malintang. Juara 1 cipta puisi (2012). Juara 3 baca puisi se-pesantren (2011). Juara 3 Syarhil Qur’an MTQ se-kab. Madina-Sumut (2012). Harapan 2 Syarhil Qur’an menyambut Tahun Baru Islam se-kab. Madina (2012). Juara 1 Syarhil Qur’an MTQ pesantren (2013). Juara 2 pidato Bahasa Indonesia Pekan Olahraga dan Seni se-kab. Madina (2012). Juara 3 pidato Bahasa Indonesia ulang tahun 1 Abad Pesantren Musthafawiyah se-kab. Madina (2012). Harapan 2 pidato Bahasa Arab ulang tahun NU se-kab. Madina (2012). Harapan 2 pidato Bahasa Arab MTQ pesantren Musthafawiyah (2013). Peserta Festival Nasyid se-kab.Madina (2013). Harapan II Pidato Bhs. Indonesia Se-Prop. Riau. Juara I lomba Surat Untuk Rektor UIN Sultan Syarif Kasim Riau (Januari 2014).
Facebook: Mustopa Kamal Btr
Nama: Mustopa Kamal Btr
TTL: Bange, 28 Oktober 1992
Pendidikan: SD Negeri 147545 Bange. MTs Negeri Siabu. Pesantren Musthafawiyah Purbabaru, kab. Madina-Sumut. UIN Suska Riau, Pekanbaru (sedang belajar)
Motto Hidup: Long life education
Prestasi: Juara 1 cerdas cermat bhs. Indonesia (2005). Juara 3 siswa berprestasi (2004). Juara 3 kesenian tor-tor Mandailing [grup] SD (2005) se-kec. Bukit Malintang. Juara 1 cipta puisi (2012). Juara 3 baca puisi se-pesantren (2011). Juara 3 Syarhil Qur’an MTQ se-kab. Madina-Sumut (2012). Harapan 2 Syarhil Qur’an menyambut Tahun Baru Islam se-kab. Madina (2012). Juara 1 Syarhil Qur’an MTQ pesantren (2013). Juara 2 pidato Bahasa Indonesia Pekan Olahraga dan Seni se-kab. Madina (2012). Juara 3 pidato Bahasa Indonesia ulang tahun 1 Abad Pesantren Musthafawiyah se-kab. Madina (2012). Harapan 2 pidato Bahasa Arab ulang tahun NU se-kab. Madina (2012). Harapan 2 pidato Bahasa Arab MTQ pesantren Musthafawiyah (2013). Peserta Festival Nasyid se-kab.Madina (2013). Harapan II Pidato Bhs. Indonesia Se-Prop. Riau. Juara I lomba Surat Untuk Rektor UIN Sultan Syarif Kasim Riau (Januari 2014).
Advertisement